3: Ini 2017 dan Aku Kebingungan
Terlelap selama lebih dari dua ratus tahun membuatku terjaga sepanjang sisa malam. Selain karena tubuhku sudah kekenyangan tidur, 'lampu bohlam' di dalam ruangan ini terlalu terang dan aku tidak tahu cara mematikannya. Satu-satunya cara memadamkannya mungkin adalah meledakkan benda tersebut dengan sihirku, tetapi aku masih terlalu lelah untuk melakukan itu.
Alhasil, aku hanya merebahkan diri sambil mengamati sekelilingku.
Sudah berjam-jam aku berbaring di atas kasur yang terlewat empuk, mengetahui progresi waktu melalui benda bundar yang tergantung pada dinding yang menghadap kasur. Ada jarum panjang dan pendek yang bergantian menunjuk barisan angka memutar. Firasatku memberitahu bahwa itu adalah jam, dengan bentuk yang sedikit berbeda dengan pendulum pada jamanku. Dari jam, kuperhatikan dinding rapat tanpa rongga berwarna krem di sekitarku, kemudian beralih ke sepasang jendela berbingkai besi di salah satu sisi dinding. Jendela yang terlapisi tirai krem itu tertutup rapat, tetapi udara terasa sejuk di dalam ruangan ini. Barangkali karena benda putih-persegi panjang di dinding seberang yang terus meniupkan udara dari dalamnya. Di bawah benda putih-persegi panjang-peniup-udara, kudapati ada kertas lebar yang tergantung di sana. Ada barisan angka dari satu sampai dua puluh delapan tercetak pada kertas tersebut. Di atas barisan angka, kulihat ada tulisan besar: Februari 2017.
Benar saja. Sesuai rencanaku, aku memang tertidur persis dua ratus tiga puluh lima tahun.
Ini bukan tahun 1782 lagi. Ini adalah 2017. Anehnya, fakta tersebut membuat napasku sedikit lebih lega (atau barangkali karena udara di sini jauh lebih bersih dibanding di dalam katakomba).
Edaran pandang mataku berhenti ketika mencapai langit-langit kamar yang juga bertekstur rapat dan berwarna krem. Sembari memerhatikan bentuk lampu bohlam yang sedari awal sangat menarik minatku, pikiranku mulai menapak tilas. Secuil pelajaran yang bisa diambil dari tidur panjang selama dua abad, yakni waktu tidak pernah berbelas kasih. Aku kira sesuatu di dalam diriku—yang orang awam sebut sebagai jiwa—sudah mati dilahap waktu. Tidak, itu tidak terjadi. Waktu telah membiarkan aku tidur dengan tenang, hanya untuk memperoleh efek dahsyat sesudahnya.
Ini mirip seperti ledakan-ledakan dari sihirku yang berujung salah. Hanya saja, ledakan aneh ini berimbas pada 'jiwa'—atau apa pun yang tersisa dalam diriku. Kurasakan efek dahsyat berupa ledakan emosi, yang sepanjang sisa malam kuhabiskan untuk mengenyahkannya tetapi berujung percuma.
Tanpa kuhendaki, aku teringat kampung halamanku. Aku teringat Ayah, Mogwa-versi-mortal, dan Idlin. Aku teringat Dave. Bahkan, kendati aku membenci semua penduduk desa, aku merasakan suatu gejolak menjijikkan yang menyiratkan bahwa aku ingin bertemu mereka lagi.
Lebih dari itu, aku teringat seseorang yang pernah sangat kusayangi. Dave juga—kurasa—menyayanginya. Namun, aku terpaksa meninggalkan dia karena mantra Tidur Panjang.
Kemudian, selagi aku bernostalgia, tahu-tahu matahari sudah terbit. Sinarnya merembes melalui tirai krem yang menutupi jendela. Aku pun lekas beranjak dari kasur dan keluar kamar. Sepanjang koridor lantai dua, kulihat lampu-lampu bohlam tidak lagi menyala. Bahkan setelah menuruni tangga pun, lampu-lampu yang semalam sebelumnya bersinar terik kini telah padam. Cahaya matahari yang pucat berganti menerangi seisi rumah, termasuk ruang makan yang sedang kumasuki.
Masih penasaran terhadap lampu bohlam, aku menghampiri salah satu yang terletak di atas meja ruang makan. Lampu bohlam itu memiliki topi (atau setidaknya, tudung aneh yang melingkupinya itu berbentuk seperti topi silinder). Aku pun mengangkat topi si lampu bohlam dan meletakkannya sembarangan di atas lantai, kemudian memerhatikan lampu berbentuk bulat itu lekat-lekat.
Sekali ini, aku ingin mencobanya dengan sihirku. Aku memikirkan Cahaya dari ketiadaan, berusaha untuk menyalakan lampu bohlam tersebut. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Kali ini kucoba dengan melafalkan 'Cahaya' dalam bisikan, tetapi si lampu bohlam tetap enggan bersinar.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Suara Mogwa sontak mengagetkanku. Sesosok kucing hitam berjalan mendekat ke arahku dari belakang, menatapku dengan iris hijaunya yang intimidatif.
"Mencoba sihirku," ketusku, agak malu karena terpergok olehnya. Percayalah, Mogwa adalah makhluk terakhir di Bumi yang ingin kamu jadikan saksi atas kejadian-kejadian memalukan yang kamu lakukan.
"Mau kamu coba sampai kepalamu meledak pun tidak akan bisa," ejek Mogwa, yang kemudian kubalas dengan dengusan. Ya, ini dia maksudku.
"Kamu habis menangis?" tanya Mogwa tiba-tiba, seraya mengamati mataku.
"Omong kosong," sanggahku, meskipun—benar kata Mogwa—air mata sempat lolos dari mataku selama menunggu pagi di kamar atas. Namun, bahkan pada Mogwa sekalipun, aku berprinsip untuk tidak pernah menunjukkan kelemahanku pada siapa pun (kecuali pada sekali waktu, itu pun karena Mogwa adalah saksi sihir terbesarku). "Ini gara-gara aku tidak bisa tidur."
Bukan Mogwa namanya bila tidak mendebatku. "Tapi kamu baru tidur selama, err ... dua ratus tiga puluh lima tahun?"
Beruntung, sebelum aku sempat terpikir jawaban untuk menyanggah Mogwa lagi, terdengar dering memekakkan dari dalam salah satu kamar di lantai atas. Dering itu berhenti tak lama kemudian, terganti dengan suara seorang anak laki-laki yang seperti sedang berbicara sendiri. Aku mengenal suara itu sejak kemarin malam: Rasmus. Suara Rasmus kian terdengar seiring dia menuruni anak tangga dengan agak tergesa-gesa. Kulihat anak laki-laki tersebut sedang memegang sebuah benda-persegi-hitam-kecil dan menempelkannya pada telinga kanan seiring dia berbicara.
Selagi Rasmus berjalan ke arah kami, aku pun bertanya pada Mogwa, "Apa yang sedang dia lakukan?"
"Berbicara dengan ibunya," jawab si kucing hitam.
"Dia menganggap benda persegi-hitam-kecil itu ibunya?!" tanyaku dalam syok.
Mogwa memutar bola matanya. "Benda itu bernama ponsel, Alamanda. Perangkat untuk berkomunikasi jarak jauh. Ibunya Rasmus ada di tempat lain dan menghubungi Rasmus dari sana."
Karena raut wajahku masih menampilkan ketidakpahaman, Mogwa menambahkan, "Seperti telepati, tetapi pakai alat."
"Menarik...." gumamku. "Telepati, sihir yang paling sulit dipraktekkan bahkan oleh penyihir legendaris sekalipun, dan orang-orang masa kini menguasainya?"
"Begitulah," jawab Mogwa dengan malas-malasan.
Begitu Rasmus mencapai dapur, dia menjauhkan 'ponsel' dari telinganya dan menutup sisi benda itu dengan telapak tangannya. Dengan berbisik, dia memohon kepadaku dengan tatapan memelas, "Tolong bilang pada ibuku bahwa kamu adalah Bridget dan aku berlaku baik sejak kemarin!"
Tanpa menghiraukan tampangku yang termangu, Rasmus menyodorkan ponsel kepadaku. Aku ragu-ragu menerimanya, tetapi mulai meletakkan benda itu ke samping telinga kananku seperti cara Rasmus. Terdengar suara wanita dari dalam benda bernama ponsel: "Halo? Bridget?"
Alisku mengernyit heran. Namun, kulihat Rasmus menyatukan kedua telapak tangannya di depanku dan berkata dalam bisikan, "Kumohon!"
Menyaksikan orang memelas kepadaku adalah pemandangan terbaik, sehingga kuturuti saja kemauan bocah itu.
"Ya?" ucapku pada ponsel.
"Suaramu agak berbeda, Bridget. Apa ini benar-benar dirimu?"
Suara wanita dari dalam ponsel terdengar cukup keras sehingga Rasmus turut bisa mendengarnya. Kulihat anak laki-laki itu berpura-pura batuk layaknya memeragakan orang sakit. Aku pun menangkap maksudnya.
"Y-ya, aku sedang sakit," kataku. "Uhuk!"
Kuberikan suara batuk palsu yang—semoga—terdengar meyakinkan. Di depanku, Rasmus mengacungkan jempol dan tersenyum lebar. Suara di dalam ponsel berkata lagi, "Apa Rasmus baik-baik saja? Aku tidak mendengar kabar darinya dan darimu sejak kemarin malam."
"Dia anak yang baik, Ibunya Rasmus," ujarku, kemudian kulihat mulut Rasmus bergerak melafalkan 'panggil dia Mrs. Adams!'
Namun, suara di dalam ponsel sudah kepalang meneruskan dengan intonasi tergesa-gesa, "Syukurlah. Kulihat di berita ada insiden kecil di pemakaman dekat rumah dan aku mengkhawatirkan Rasmus-kecilku. Aku harus pergi, ada rapat menunggu. Semoga cepat sembuh, Bridget."
Kemudian terdengar suara 'Beep' satu kali dan benda bernama ponsel pun berhenti berbicara. Rasmus mengambil ponsel dari tanganku dan berseru penuh kelegaan, "Terima kasih, kamu baru saja menyelamatkanku! Bridget sudah kusuap dengan voucher tiket bioskop semalam."
"Hanya demi mengikutiku ke katakomba-mu," tambah Mogwa, memutar bola matanya lagi.
Tidak peduli dengan Bridget-atau-siapalah, aku memekik kegirangan, "Aku baru saja melakukan telepati! Sihirku telah kembali, Mogwa!"
"Bukan telepati, tapi teknologi bernama telepon," Mogwa membantah. "Jangan terburu-buru, sihirmu belum pulih dan kamu pasti masih mengalami disorientasi karena transisi era."
"Jadi, Mogwa, apa saja yang aku lewatkan?" tanyaku cepat.
"Cukup banyak. Teknologi, perang dunia, kesetaraan gender, terrorisme, bedah plastik, feminisme, nuklir, LGBT, negara superpower, dan ... kurasa hal-hal itu saja yang benar-benar mencolok," ungkap Mogwa.
Meskipun tidak benar-benar mengerti, aku mengangguk-angguk. Berbeda dengan kelesuan kemarin malam, aku merasa lebih bersemangat dan bertenaga pagi ini. Terlalu banyak hal yang harus dipelajari, tetapi mereka bisa menunggu. Karena tujuanku hanya satu, yang kuutarakan melalui pertanyaan susulan kepada Mogwa, "Lalu? Bagaimana dengan Dave?"
Tidak berbeda dengan dua abad lalu, Mogwa selalu memasang tampang jijik acap kali aku menyebut-nyebut Dave. "Itu bukan prioritasmu sekarang, Alamanda."
"Maksudmu?" sergahku.
"Menurutmu?" balas Mogwa.
Mogwa jelas sedang menantangku lagi. Aku hampir menerjangnya kalau saja tidak dicegah oleh Rasmus yang menyeru, "Gawat!"
"Apa lagi sekarang?" tanyaku kesal.
"Peristiwa di makam kemarin masuk berita lokal!" papar Rasmus, sementara jari telunjuknya sedang sibuk menyapu permukaan ponsel. Baru kusadari bahwa permukaan ponsel tersebut berpendar dan terdapat barisan tulisan kecil di sana. Seakan sudah terbiasa dengan diriku yang tidak memahami apa-apa di jaman aneh ini, Rasmus berinisiatif menjelaskan, "Lewat ponsel, kamu bisa mengetahui segala peristiwa yang terjadi di dunia. Termasuk kejadian kemarin. Dengarlah, akan kubacakan...."
Rasmus mengambil sepasang lensa yang tergantung di kerah bajunya. Bentuknya seperti spectacles, tetapi dengan bingkai yang lebih kokoh dan ukuran lensa yang lebih besar. "Sebentar, kupakai kacamataku dulu...," ucapnya, sebelum mulai membaca tulisan pada permukaan ponsel, "Pencurian Makam. Telah terjadi pencurian makam di Jalan Hermistone tadi malam, lima belas Februari, pukul sepuluh lewat empat puluh menit. Jeremy Bugg, penjaga makam, berkata dia sempat mengejar dua sosok penyusup yang telah meledakkan pintu sebuah katakomba dan mencuri mayat di dalamnya. 'Peti mati di dalam katakomba itu terbuka dan kosong ketika aku mengeceknya,' ungkap Jeremy Bugg, lima puluh satu tahun, 'Pelaku berhasil meloloskan diri, entah bagaimana cara mereka mengangkut sisa-sisa mayat.' Ketika ditanyai lebih lanjut mengenai sosok kedua pencuri, Jeremy Bugg mengungkapkan bahwa salah satunya bertubuh jangkung bungkuk, sedangkan satunya lagi bertubuh pendek. 'Aku bisa saja menangkap mereka bila mereka tidak meledakkan pagar makamku!' lanjut Bugg. Saat ini, polisi masih menyelidiki daerah sekitar makam untuk mengusut kasus pencurian makam yang telah meresahkan warga--"
"Oh tidak," potong Mogwa, seraya menggerak-gerakkan kumis putihnya dengan gelisah.
Mendengar berita yang dibacakan Rasmus barusan, aku juga tidak habis pikir. "Bungkuk? Aku sedang lemas saat itu!" protesku.
Namun, kelihatannya bukan kecacatan deskripsi postur tubuh yang menimbulkan kecemasan pada wajah Rasmus. Barangkali berhubungan, beberapa menit setelahnya, wajah Rasmus memucat ketika melihat ada benda besar-hitam-putih-beroda yang menepi di depan rumahnya—bisa kami saksikan melalui jendela ruang makan yang setengah terbuka. Di atas benda besar itu, terdapat lampu silinder berwarna merah, sedangkan pada bagian badannya tercetak tulisan: Polisi. Menit berikutnya, wajah Rasmus kian memutih begitu terdengar dering nyaring yang bersumber dari pintu depan rumah.
Mogwa berhenti menggerakkan kumisnya, mencetus, "Ini akan menjadi bencana."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top