**Special Part**
Ini Tentang Kita
*
*
*
Allah benar-benar Pencipta Yang Maha Baik.
Apa yang tertulis dalam al-qur'an tidak pernah Dia ingkari.
Bahagia benar-benar ada dalam hidupnya. Setelah air mata yang membuat lautan, kini matahari membentuk senja di ujungnya.
Indah.
Mengagumkan.
Ternyata bahagia terasa lebih membahagiakan setelah kepahitan yang dilalui. Allah tidak menciptakan sesuat tanpa alasan, tanpa pasangan. Dia selalu menyertai apapun di dunia dengan kebaikan.
Foto ini contohnya.
Sejak awal memasuki masa remaja, sejak awal pikiran anak-anaknya mulai merangkak pada masa depan yang lebih jauh, sejak dia mulai memikirkan bagaimana itu kehalalan yang selalu terlihat menggiurkan di matanya.
Sekarang dia tahu rasanya. Jika ada kata-kata yang sanggup menggambarkan perasaan lebih dari bahagia, maka itulah jawabannya.
Bahagianya kali ini ... sulit dijelaskan.
Karena satu nama.
Karena sepetak gambar.
Mumta masih memandangi senyum lebarnya sambil merangkul laki-laki yang kini sudah jadi suami. Menatapnya lekat di dalam album pernikahan yang telah penuh dengan gambar.
Hanya kebahagiaan yang mampu Mumta lihat di tiap lembar albumnya ini.
Meletup-letup sampai sekarang.
"Bahagia banget, ya, nikah sama aku?"
Adakah parameter yang bisa menerjang habis kata 'banget' yang baru saja terucap dari mulut yang kemarin mencium keningnya dengan syahdu? Bahkan kelembutan yang masih terasa sampai sekarang semakin tak mampu mengalihkan Mumta pada hari dimana sejarah barunya dimulai.
Berjuang untuk bersama.
Bersama untuk berjuang.
Laki-laki itu ... mencuri kewarasannya lewat pernikahan ini.
"Jangan membalikkan fakta."
Mumta menutup keras buku tebal berwarna hitam di depan wajah yang kini malah tersenyum jahil. Kakinya berjalan menyimpan album pernikahan di tempat yang akan selalu ia ingat. Hati. Semuanya akan tersusun rapi di sana. Dari awal sampai akhir.
Semua tangga perjuangannya akan berdiri kokoh dalam ingatan.
"Tapi, itu memang faktanya, kan? Menjadi Nyonya Elbiyan Maulana Firdausy itu memang membahagiakan. Kulkas dingin limited edition yang hanya dimiliki oleh kamu."
Ya, amat sangat bahagia banyak sekali.
Saking bahagianya, bahkan dalam tidur pun bibirnya masih tersenyum.
"Limited edition banget, karena kamu itu bakal dikenang."
"Oh, jelas. Barang berharga itu pasti menyimpan cerita yang luar biasa." Alis tebal Elbiyan naik-turun. Bibirnya tersenyum tanpa segan.
"Luar biasa karena baru kamu laki-laki yang melamar perempuan hanya membawa beberapa bungkus roti. Pelit."
Tawa Elbiyan berderai. Andai istrinya tahu alasan di balik kekonyolan itu terjadi.
"Darurat, Mum. Kalau sampai telat, bukan aku yang tidur sama kamu semalam dan selamanya."
Bahkan mungkin, jika Elbiyan tidak datang di malam Mumta memasrahkan semuanya pada Allah, di malam ketika dia mulai membangun lorong untuk kuat jika ditakdirkan hidup sendirian, Mumta tidak tahu jika dia pada akhirnya akan menyemat nama orang lain diujung nama.
Nyonya Elbiyan Maulana Firdausy.
Mumta sangat menyukai gelar itu. Terdengar indah di telinga.
"Lagian kalau kamu gak nolak waktu itu, mungkin aku akan bawa lebih."
"Tapi, kan, kamu tahu alasannya, El."
Karin.
Bahagia yang terpancar di wajah Mumta meredup ketika mengingat satu nama itu. Dia menimbang-nimbang keseriusan yang coba diyakinkan Karin satu hari setelah dia minta waktu untuk menjawab lamaran Elbiyan malam itu.
"Aku serius."
Kata pertama yang dia dengar di detik sebelum tidur saat dering telepon mengganggunya.
"Di hatiku, gak ada apa-apa, Ta. Tapi, di hati Elbiyan, ada kamu disana."
Malam yang kian larut saat itu semakin menghanyutkan Mumta dalam kebimbangan jawaban yang harus dia berikan esok hari.
"Aku udah dengar semuanya. Kamu pernah terpuruk karena gagal menikah. Dan itu tidak bisa menjadi alasan kamu untuk kamu terus-terusan gagal, Ta. Aku lihat cinta dan ketulusan di mata Elbiyan untuk kamu. Dan hal yang sama juga aku temukan di mata kamu. Kalaupun aku cinta, aku gak akan memisahkan dua hati yang berharap."
Hembusan angin malam menerpa kegalauan Mumta. Langit gelap berbintang yang membentang di balik jendela, juga cahaya bulan yang menerangi bumi menjadi saksi untuk satu tanyanya yang pada akhirnya menyeret Mumta pada keputusan mutlak.
"Tapi, kenapa?"
Entah apa yang merasuki jiwa Karin hingga bibirnya tidak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaannya.
"Karena perempuan itu gak harus melulu menjadi korban laki-laki, Ta. Kita pun juga pantas untuk diperjuangkan. Karena orang yang mencintai pun juga berhak untuk dicintai."
Satu jawaban yang mengantar Mumta pada pernikahan impian yang dia kira hanya akan tertulis pada buku hariannya.
Dia menikah.
"Hem, melamun lagi. Sepertinya seminggu setelah aku menikahi kamu, aku tahu satu hal. Kalau aku menikahi perempuan yang punya hobi melamun."
Cubitan kecil di hidung minimalisnya tidak mampu mengukir senyum yang sepenuhnya. Mumta masih memikirkan Karin yang sedang apa di sana.
"Tapi, gimana kalau Karin—"
"Shut! Ini hidup kita, Mum. Kita yang pilih jalan ini. Maka konsekuensi yang ada kita tanggung sama-sama. Karena kita hidup berdua untuk satu tujuan. Surga."
Ketulusan yang Mumta lihat di wajah dingin itu menyalurkan ketenangan di benaknya.
Ya.
Ini bukan tentang orang lain yang pernah ditemui dalam hidup mereka lagi. Ini bukan tentang orang-orang yang pernah menyelipkan peran dalam hidup mereka lagi.
Ini tentang pesona Elbiyan yang bisa dinikmati Mumta, hanya untuk Mumta—dan mungkin juga orang-orang yang akan ditemui Elbiyan selama di luar rumah—sejak dalam satu kali tarikan napas, Elbiyan menghalalkan mereka untuk melakukan apapun berdua.
Ini tentang satu malam seminggu yang lalu ketika tidur Mumta terasa hangat hanya dengan satu pelukan Elbiyan di perut dan kakinya dan mereka sama-sama menghangati tanpa selimut.
Ini tentang hari-hari dan jam tidur Mumta selanjutnya yang habis untuk memandangi wajah laki-laki asing yang karena satu kalimat akad tiba-tiba berjuang untuknya.
Ini tentang cinta yang membuat nyaman meski hanya duduk berdua, diam, tanpa mengatakan apapun dan hanya saling memandang, cinta berkata dari matanya.
Ini tentang hari di penghujung subuh ketika Mumta menangis diam-diam dan melanggar janji mereka untuk menceritakan apapun yang sedang dirasakan karena sikap manis yang diberikan Elbiyan padanya. Juga tangisnya yang membasahi baju Elbiyan saat akhirnya Mumta bisa menjawab bagaimana rasanya bersandar ketika mereka menyaksikan matahari terbenam atau sekedar menonton bersama atau saat diri lelah setelah menjalani hari.
Ini tentang senja di hari kelima pernikahan, saat keluarganya mengadakan makan malam dan Elbiyan tertawa lepas bersama Jauhari dan iparnya. Bergabung layaknya keluarga kandung dan Mumta merasakan 'lengkap' dalam hati di balik wajah haru.
Ini tentang Elbiyan dan hal-hal mengejutkan lain di dalam dirinya.
Ini tentang laki-laki yang bersamanya cinta semakin dalam jatuh pada Allah.
*****
"Iyan mau nikah, bun!"
"Jangan main-main kamu, Yan!"
"Iyan serius, bun. Iyan akan jawab pertanyaan 'kapan nikah' tetangga dan orang-orang yang udah kayak sensus penduduk dengan membawa Mumta pulang."
"Mau kamu bahagiakan dia pakai apa? Mumta itu gak perlu harta karena orang tuanya udah kaya. Jangan buat Mumta jadi perempuan paling kasihan di dunia karena kamu. Pulang sekarang!"
"Justru Iyan akan buat dia menjadi wanita paling bahagia di dunia, bun. Iyan mau jemput restu bunda."
Lama tak terdengar jawaban. Elbiyan melirik ponsel yang masih menyambungkan panggilan. Tapi, kenapa di seberang sana senyap? Apa Ashma membiarkan ponsel tetap menyala dengan panggilan tetap tersambung?
"Kalau bunda restui kamu, kasihan sekali Mumta punya suami dingin kayak kamu bang. Tapi, kalau nggak, justru kamu yang kasihan karena akan jadi bujang lapuk."
"Berarti bunda kasih restu?"
Punggung Elbiyan menegak. Matanya menatap cerah pagar hitam yang membentang di depan. Di dalam sana, ada perempuan yang berhasil membuat huru-hara di pulau hati Elbiyan yang gersang. Bermodal yakin dari Allah, dia tetap akan masuk dan melamar Mumta sendiri tanpa atau dengan ditemani restu Ashma.
"Kayaknya bunda harus minta maaf tiap hari sama Mumta karena dia bersuamikan kamu, bang. Kasihan sekali anak gadis orang."
Satu kalimat mengesalkan, tapi menjadi akhir dari perjuangan dalam menjemput restu sebelum akhirnya hari-hari dia bersama Mumta berlalu sebagai pasangan suami istri.
Sudah seminggu.
Adakah definisi yang bisa menjelaskan bagaimana rasanya ketika melihat orang yang dicinta bahagia bersamamu? Rasanya bahagia, bahagia, dan bahagia. Tidak ada kata lain yang bisa Elbiyan ungkap untuk menggambarkan bagaimana hidupnya setelah bersama Mumta, selain bahagia.
Satu tepukan berhasil merebut Elbiyan dari ketidakwarasan karena kebahagiaan yang tidak terkira menjadi suami dari Mumtahanah Al Jauhariyah.
Sosok mertua yang kemarin sempat membuat lututnya bergetar bahkan saat duduk kini memasang senyum untuknya.
Sambil menyerahkan sepotong kue, Jauhari berkata.
"Terima kasih sudah mengembalikan senyum Mumta, El. Terima kasih sudah menjawab doa dibalik namanya."
Elbiyan tersenyum.
"Bahagianya seorang anak ada pada keluarganya, pa. Sedangkan, setelah mereka dewasa, keluarga kecil yang mereka bangun yang menjadi bahagia mereka selanjutnya."
Tiga kali tepukan kecil diterima bahu Elbiyan, sebelum matanya beralih pada salah satu perempuan yang tertawa lebar di atas taman rumah. Tertawa dan bercanda yang belum pernah Elbiyan lihat sebelumnya.
Ternyata seperti ini rasanya menjadi alasan seseorang tersenyum. Hanya memberikan waktu dan keberadaan.
Sesederhana itu.
"Bunda hanya menyampaikan amanah. Dan bunda sadar, manusia hanya bisa merencanakan, tapi Allah yang menentukan. Ini jalan kalian, bunda gak bisa menolak. Lagipula, Karin juga menolak, entah kenakalan apa yang dulu kamu lakukan sampai dia pun ogah sama kamu."
Tatapan sayang penuh kelembutan juga pelukan hangat yang diterima Elbiyan pertama kali saat pulang ke rumah dan membawa berita bahagia. Dialog Ashma itu menutup keresahannya setelah mendapat sesuatu yang diinginkan.
Pintu untuk hidup berdua dengan Mumta.
Hanya mereka.
"Awas kalau kamu sampai minta balik maharnya sama Mumta, ya, Yan!"
Ancaman yang memantik tawa ketika Elbiyan berlutut di depan Ashma yang disaksikan para tamu setelah resmi membangun keluarga kecilnya sendiri.
Tapi ini bukan tentang kalimat-kalimat Ashma yang seakan menganggapnya sebagai predator kebahagiaan Mumta.
Ini tentang kebahagiaan manusia kulkas yang menemukan pawangnya setelah membeku lebih dari seperempat abad.
Ini tentang beruang kutub yang berhasil keluar dari labirin es dan menemukan kehangatan yang selama ini tertutup oleh kabut dingin.
Ini tentang pertemuan yang membuat sendiri berubah menjadi kita. Ini tentang dia yang membuat kesunyian menjadi lebih hangat.
Ini tentang kemonotonan kisah yang berubah hidup setelah kanvas bernoda abu-abu jauh lebih berwarna.
Ini tentang Mumtahanah yang bersamanya debu pun bisa menjadi alasan untuk bahagia.
Ini tentang perempuan yang bersamanya surga terasa lebih mudah untuk dicapai.
Ini tentang kita yang membuat hidup menjadi lengkap.
.
.
.
Assalamu'alaikum kawan-kawan akuuuuuu 😘😘
Alhamdulillah setelah perjuangan panjang, special part untuk kalian yang menginginkannya rampung juga.
Tapi, jika kemunculan bab ini belum juga bisa menjawab pertanyaan yang masih menggantung di benak kalian, saye dah tak tahu lagi lah.
Saya ni manusia yang tidak sempurna.
Jadi, Hani minta maaf atas ketidaknyamanannya 😞😞🙏🙏
Soo, enjoy for reading ma prend
Love You Guys ❤️❤️
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam Sayang,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top