Epilog
Inikah Bahagia Hidup Mumtahanah?
*
*
*
Baru kali ini, keanehan itu tumbuh dalam hati. Baru kali ini, Mumta merasakan sayat yang bertubi.
Untuk kali pertama.
Pelangi indah yang melengkung memutari sebagian tubuh bumi tidak mampu menarik jiwanya yang tersungkur dalam kerucut kekecewaan.
Biasanya, meski tak banyak, lengkungan indah berwarna di langit itu akan menarik kedua sudut bibir di tengah lara hati.
Setiap keindahan yang disuguhkan alam padanya—yang Mumta anggap sebagai penghibur diri—justru memantik keras tangisnya untuk mengosongkan hati yang sudah penuh. Mumta tidak tahu lagi harus menyimpan luka dimana ketika angin berhembus sambil membawa kesedihan lain.
Karena ruang untuknya menyimpan air mata ... sudah habis.
Kini Mumta hanya mampu berdiri. Membuang pandang dan terpaku, menikmati bahagianya pasangan lain memadu kasih di muka umum.
Seakan ingin menunjukkan kemenangan mereka melawan nafsu untuk tetap menjaga posisi hati untuk dia yang diciptakan. Seakan mengolok Mumta yang terlalu sering termakan tipuan hati.
Sekarang dia tahu, kenapa hidupnya terlalu banyak ujian.
Karena ujian itu dirinya sendiri yang buat.
Kadang Mumta bertanya, kenapa hidupnya tidak bisa seperti orang lain?
Memiliki kisah cinta yang mulus, dikelilingi oleh orang-orang yang perhatian, dan dijiwai oleh raga yang kuat. Tidak mudah tumbang ketika diterpa ombak kehidupan.
Kenapa dia tidak bisa memiliki hati setangguh Fathimah yang bisa mencintai Ali tanpa diketahui siapa pun? Bahkan mungkin dirinya sendiri?
Kenapa hatinya tidak bisa setangguh Rabi'ah Al Adawiyah dalam menjaga cinta hanya untuk Allah? Mengisi deru napas dengan seruan dzikir? Seumur hidup bertahan tanpa pasangan dan hanya menjadikan Allah kekasih hati.
"Jawabannya gampang, karena kamu bukan mereka. Jadi wajar kamu gak bisa seperti itu."
Mumta menunduk. Angin membawa ingatan pada kejadian lampau. Semakin menumpuk beban pikiran.
"Kita mungkin gak bisa seperti orang lain, Ta. Tapi kita bisa melahirkan cerita kita sendiri yang akan dikenang orang lain."
Bagian mana dari kisah Mumta yang bisa dikenang?
Air mata?
Ditusuk adik sendiri?
Ditinggal nikah mantan tunangan?
Atau ... menolak pinangan laki-laki yang dicinta?
Tidak ada.
Tidak ada hal berkesan dalam hidup Mumtahanah. Semuanya dramatis tanpa kesan. Tidak ada pelajaran.
Seumur hidup Mumta hanya ditakdirkan untuk menikmati kisah orang lain. Tidak ada kenikmatan pesan dalam kisah hidupnya.
Tidak ada.
Mumta mengusap cepat pipi. Kenapa belakangan hati begitu rapuh? Melihat senyum perempuan lain, Mumta justru ingin menangis?
Apa yang salah?
Itu adalah bentuk ekspresi bahagia mereka. Bentuk kesenangan hidup bersama orang terkasih.
Mumta?
Entahlah, mungkin tidak ada pendamping dalam takdir hidupnya. Ataukah ini hanya perasaannya yang kesepian? Ataukah sebagai bentuk ungkapan, Mumta juga ingin pasangan?
Masih adakah tersisa satu saja seseorang untuknya di sini?
Pertanyaan itu membentur kebahagiaan yang terlihat di wajah manusia lain di sekitar.
Hangatnya.
Bahagianya.
Memorinya.
Mumta belum bisa mendeksripsikan dengan jelas bertubi-tubi rasa yang bergumul dalam kata bahagia.
Allah, kemana harus ia bawa hati yang kelelahan ini?
Kalau bukan dengan doa bagaimana seorang muslim mampu melukis harapan atas berbagai ujian yang menerpa?
Satu kalimat dari penulis ternama melintas.
Mumta memejamkan mata.
Doa.
Doa yang membuat masalah berkurang dari pundak.
Sekulum senyum terbit. Mumta seperti dihujani semangat. Tapi tidak lama, kegelapan tiba-tiba membelenggu Mumta. Sayup-sayup pemikiran buruk terngiang, merusak ketenangan yang baru sebentar dia dapat.
"Mau sebanyak apalagi doa kamu langitkan? Bukankah hidupmu tetap berjalan di tempat?"
Mumta bisa melihat doa-doa yang dipanjatkan bersama tangis di kepala.
Terlalu banyak sudah.
"Sebanyak-banyaknya, sampai aku kehabisan kata-kata untuk menceritakan masalahku. Karena saat itu, Allah sedang mengurusnya satu per satu."
*****
Allah telah menggariskan hidup umat-Nya jauh sebelum mereka diciptakan. Tidak ada yang terlewat selama kita percaya kepada-Nya.
Tidak ada yang kurang.
Allah menghadirkan Hawa untuk menemani Adam. Maka Allah melahirkan Hawa-hawa yang lain untuk menemani Adam-adam yang lain. Tidak pernah Allah ciptakan umat-Nya sendiri.
Berpasang-pasangan sudah Allah janjikan dalam kitab-Nya.
Lalu mengapa masih takut ketika masih sendiri?
Jodoh sudah diatur.
Dia sedang disimpan dan ditempa Allah sebelum dimainkan di waktu yang tepat. Di momen yang pas. Di titik terindah. Di halaman ketika Allah menggariskanmu untuk berdua. Di kalimat yang akan menggambarkanmu menjadi 'lengkap'.
Cinta.
Cinta memang bisa membuat manusia menjalin hubungan. Tapi, tidak bisa membuat manusia menetapkan jodoh.
Itulah kenapa Allah melarang manusia untuk mencintai sebelum menikah. Karena selain pernikahan, semua itu semu.
Hanya maya.
Tidak nyata.
Jika kamu menikah, cinta langsung jatuh satu detik setelah sah. Menikah membuat cinta berpahala, membuat cinta semakin bahagia di atas bahagia.
Sayangnya, untuk berjuang ke titik itu tidak mudah. Mata seringkali terbuai dengan pesona manusia yang menipu hati dan membuatnya jatuh tanpa pasti. Lalu tiba-tiba waktu memberitahu, ternyata dia bukan orangnya.
Kecewa.
Sedih.
Semua berkubang membentuk luka.
Bukan tidak pandai menjaga, hanya sedikit lengah.
Lengah yang berkali-kali.
Tapi bukan berarti menjaga, kita jadi menutup diri. Dan jangan sampai menjaga kita jadi kehilangan.
"Ketuk hati kamu, Ta. Buka lagi ruang yang perlahan mulai tertutup. Jangan sampai kamu kehilangan yang terbaik karena apa yang kamu anggap baik. Sulit memang, tapi kamu harus melakukannya."
Mumta terdiam. Memaksa tungkai untuk tetap bertahan. Meski telinga berdengung memekakkan.
"Ada yang datang. Ingin membangun tangga surga bersama kamu, kak."
Senyuman Tantri yang penuh arti semakin membuat Mumta tak berkutik. Hatinya mulai ketar-ketir ketakutan. Atau bahagia yang berselimut takut?
"Kita temui dulu, yuk?"
Mumta menarik tangan. Semua bentuk emosi bertubi-tubi mendatangi hati dan pikiran. Membuatnya buyar ingin bertindak.
"Terserah papa aja. Aku yakin kali ini."
Senyum dia patri.
Ridho Allah ada pada ridho orang tua. Dan kebaikan ada pada restu orang tua.
Mumta tidak ingin gegabah lagi.
Kegagalan pertama datang karena dia menyepelekan restu. Maka ketika kesempatan lain datang, dia tidak ingin terjerumus pada kecerobohan.
Jauhari lebih tahu lelaki mana yang cocok untuk putri sulungnya. Mumta bisa menyerahkan sepenuhnya.
Dia hanya menyiapkan mental dan kesiapan diri.
"Papa yang meminta kamu untuk menjawab langsung. Kita ke depan, ya?"
Mumta menggerakkan kepala. Tubuh kembali dia tahan untuk tidak bergerak.
"Aku ikhlas, ma. Aku ikhlas."
"Kamu kenal orangnya, kak. Roti itu," Mumta melirik nakas kecil di samping kasur. "Dia yang bawa. Spesial untuk kamu."
Kepala Mumta berpikir sejenak.
"I-Iyan?"
Senyum Tantri menjawab. Mumta ingin limbung, tapi untung tangan tua Tantri cepat menahan.
Ini terlalu cepat.
Hatinya protes. Mumta ... kebingungan.
Tiba-tiba Mumta sudah berada di tengah ketegangan. Saat kepala terangkat, seonggok wajah tak asing menatapnya penuh arti.
Sosok yang tidak disangka.
*****
Dia tahu jika menikah bisa dengan siapa saja, tapi cinta tidak bisa direncanakan untuk siapa. Karena cinta itu kata hati. Bukan kata orang.
Ini tentang takdir.
Entah itu kemauan diri atau tidak, kehendak hati atau demi membahagiakan orang tua. Dia hanya percaya, Allah selalu ada menyertainya.
"Jangan permalukan bunda di depan keluarga Karin."
Ketegasan itu memancarkan peringatan. Elbiyan melirik Ashma sekilas. Mengusap dahi, menghapus jejak kecemasan di wajah. Mencoba menenangkan diri. Gugup tidak boleh merusak keberaniannya yang tersisa. Dia harus maju untuk hal yang sudah diamanahkan.
Dia harus bisa.
Seikhlas hati.
Di sana, di tengah kerumunan orang-orang, berdiri satu wali yang akan dia halalkan putrinya. Siap menyambut uluran tangan yang bersedia melanjutkan perjuangan untuk membahagiakan putri kesayangan.
Jantung Elbiyan semakin berdegup. Detaknya semakin kuat terasa. Harap-harap cemas tak ada orang yang mendengar.
"Dengar, bang! Karin itu orang baik. Orang tuanya susah payah untuk membahagiakan dia. Jangan kecewakan dia karena ego kamu. "
Elbiyan semakin tak karuan. Langkah membuatnya semakin dekat dengan meja akad. Penghulu sudah tersenyum menyambutnya. Sedangkan pria baya yang masih mengesankan kewibawaan, menatapnya datar dengan tegas.
Elbiyan memejamkan mata sebentar. Membayangkan keyakinan-keyakinan yang kemarin dia tekadkan.
Apapun yang terjadi.
Dia yang memilih jalan ini.
*****
Ada yang bilang, tiap kehidupan diciptakan dengan jumlah penderitaan dan kebahagiaan yang sudah ditentukan. Jika sekarang dan sebelumnya yang dikeluarkan adalah penderitaan, maka yang tersisa untuk hari esok hanyalah kebahagiaan.
Bahagia dan derita sudah ditakar Allah dalam takdir. Jadi tidak ada derita yang lebih banyak dan bahagia yang kurang. Semuanya dipadu untuk melahirkan pelajaran.
Mumta mengamati diri.
Terpukau akan bayangan perempuan bergaun putih dengan riasan sederhana mewarnai wajah yang biasa polos. Tidak menyangka jika lilitan hijab putih dengan sedikit hiasan akan membuatnya seindah ini.
Cantik.
Pujian yang sangat ingin Mumta dapatkan.
"Kak," Satu sentuhan tiba-tiba menguasai pundak. Tangan mengusap pipi dengan cepat.
Bibir ranum mengeriput Tantri menemani bayangan sendirinya di dalam cermin.
"Kamu pasti bahagia, kak. Allah sudah jamin itu."
*****
Semuanya berakhir.
Perjalanan hidup Mumta mencari jati diri menemukan titik ujung. Dia tidak lagi luntang-lantung di jalanan hidup. Dia tidak lagi kebingungan memilih pijakan.
Kini semua tanya 'kapan' sudah terjawab.
Sekarang.
Di hari yang tepat, di waktu yang indah, untuk halaman yang baru.
Status hidup.
Dia masih tidak berani untuk menatap balik kedatangan yang baru hadir. Mumta belum jua membalas tatap yang sedari tadi ingin sekali melihatnya.
Dia gugup.
Dia haru.
Rasanya masih tidak percaya. Seseorang yang kemarin masih dipertanyakan hari ini dihadirkan sebagai jawaban.
Jodoh memang tidak tertebak.
Misterius.
Mengejutkan.
Membahagiakan.
Bahkan saat halal sudah mengikat, Mumta masih saja dirundungi ketakutan.
Bagaimana jika ini mimpi dan ternyata dia masih tertidur sekarang? Atau mungkin ini adalah halusinasinya yang sudah tidak terkendali?
Satu hal yang pasti Mumta masih ketakutan karena kegagalan yang pernah hinggap.
"Gak mau melihat suaminya?"
Satu senyum menyembul di wajah yang kemerahan. Jemari Mumta semakin kuat terpaut. Dan kepala makin dalam menunduk.
Lima belas menit pertama dihabiskan untuk berdiam diri. Menenangkan hati masing-masing yang masih bergetar.
Lima belas menit pertama dipakai untuk menikmati status hidup yang baru.
Lima belas menit pertama, digunakan Mumta untuk bertanya.
Inikah bahagia?
Saat tanganmu digenggam pangeran hati dan dibawanya menuju istana yang akan dibangun sama-sama. Saat hatimu akhirnya berhenti berlabuh. Saat kedatangan itu membuatmu menghentikan tanya 'siapa' untuk pemilik tulang rusuk yang melindungi dada.
Ketika dia yang siap menggenapkan ibadah, menemani potretmu di album pernikahan, dan seperti kata Rumi, "Ketika aku melihatmu, aku melihat diriku sendiri." Bahkan ketika tidak melakukan apa-apa, hanya dengan memandang, dia bisa membuatmu berarti lebih dari apapun.
Sekali lagi, lima belas menit pertama di hari pengantinnya, Mumta bertanya.
Inikah bahagia Mumtahanah?
.
.
.
Assalamu'alaikum kawan-kawan akuuuuuu 😘😘
Udah penutup aja nih cerita Al Mumtahanah.
Masih adakah yang menunggu Mumta?🤗🤗
Bagaimana pendapat kalian?
Paham, kan, sama alur bab ini? 😁😁
Mumta udah menikah, udah bertemu sama bahagianya, udah bertemu sama laki-laki baik yang meminjamkan tulang rusuk untuk dia hidup.
Elbiyan juga udah nikah, udah ketemu sama ladang pahalanya, udah ketemu sama buronan hati selama ini.
Yang jadi pertanyaannya, kita kapan? 😂😂😂
Astaghfirullah, maaf Hani bercanda 🙏🙏
Pokoknya nanti di waktu terbaik menurut Allah 😚😚
Terima kasih banyak sudah menemani Mumta sampai akhir. Terima kasih banyak sudah menguatkan Mumta di kolom komentar 🤗🤗. Masya Allah, kalian orang-orang baik yang semakin baik. Terima kasih untuk kalian yang turut mendoakan Hani 🤗🤗 Doa baik juga Hani langitkan untuk kalian.
Terima kasih sudah memberikan Hani kesempatan untuk merasakan bahagia menjadi penulis yang disukai pembaca. Rasanya Hani seperti dapat kawan baru 😘😘
Syukron katsir untuk kebaikannya dan keluangan waktu untuk hadir di cerita ini 🙏🙏
Hani sayang kalian karena Allah ❤️❤️❤️
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, orang-orang baik 🤗🤗
*
*
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top