Bagian 8 ~ Tak Ingin Pulang
Bagian 8
Tak Ingin Pulang
*****
Termasuk kamu?
Saat sampai di rumah makan, Mumta belum menjawab candaan yang membungkus sebuah keseriusan. Elbiyan hanya ingin tahu arti dirinya dalam hidup sang pujaan.
Sekedar penyelamat atau lebih dari itu.
"Kamu juga harus memikirkan pengganti Adam, Mum. Tetap sendiri gak akan buat Adam kembali."
Lihat aku sekali saja, Mumta. Rasakan perhatian yang ada di sorot mataku.
Mumta menghela napas. Matanya jatuh pada susunan makanan lezat di meja, tapi suasana hati yang suram membuat makanan itu tidak berarti apa-apa.
Biasanya perempuan lain akan menjadi truk pengangkut makanan apapun saat hatinya patah karena lelaki, tapi keadaan berbeda terjadi pada Mumta.
Kehilangan Adam benar-benar mempengaruhi psikologis dan fisiknya.
"Jangan pernah berpikir semua laki-laki itu sama. Anggap Adam adalah penyakit yang membuatmu sadar kalau kacamatamu sedang rusak. Dan sekarang sudah saatnya membeli yang baru."
Sayangnya, Adam adalah penyakit kronis yang merusak penglihatan Mumta untuk melihat objek lain. Hingga semuanya tampak sama dan buram. Mumta tidak tahu mana yang baik dan tidak.
"Kamu sudah siap?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan."
Mulut Mumta terkatup. Pembicaraan ini mendadak merusak selera makannya. Nasi di piring usak setengah dan tenggorokan enggan untuk menelan lagi. Mumta menyedot air putih, menghilangkan kepahitan di pangkal lidah.
Sebuah usapan hadir di sudut bibir. Elbiyan memajukan tubuh mengelus bibirnya dengan tisu. Pandangan Mumta jatuh untuk menilai rupa penyelamatnya.
Elbiyan memang mengerikan ketika berwajah datar, apalagi saat matanya menukik tajam. Rahang laki-laki itu jadi tampak tegas jika tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sampai Mumta mengira dia diculik oleh mafia kejam tukang dagang organ ilegal. Atau mungkin mafia bejat yang mencari keuntungan.
Namun, kondisi meneduhkan diberikan wajah itu saat beraut khawatir, prihatin, bahkan perhatian sekali pun. Garis-garis matanya melunak, urat-urat wajah pudar menghilangkan kesan sangar, Elbiyan justru terlihat seperti sosok perhatian penuh kasih saat emosinya dalam mode khawatir.
Senyum?
Saat sudut-sudut bibir polisi itu terangkat ke atas, rupa tampan langsung menguar ke udara, apalagi Elbiyan begitu pandai menata penampilan. Barang-barang dikamarnya saja tersusun rapi dan sesuai tempat, tapi lain cerita ketika sudah ditempati Mumta.
Mengenal Elbiyan, Mumta jadi tahu, kalau kesan tampan akan naik saat terjadi pada manusia kulkas.
"Ganteng aku, ya?" Elbiyan sudah memainkan alis saat Mumta mengedipkan mata dan sadarnya kembali ke dunia nyata. "Sampai dipandangi gitu?" godanya masih menggerak-gerakkan payung mata.
"Gak usah kepedean."
Tawa Elbiyan berderai. Mumta kembali terpaku pada kelangkaan garis bibir yang terbentuk di depannya. Ia kira manusia kulkas hanya bisa tersenyum tipis tanpa memperlihatkan gigi. Ternyata, senyum mereka begitu membius.
Namun, semua keindahan itu belum mampu mengalahkan pesona Adam di benaknya.
Elbiyan memajukan tubuh lagi. Mumta cepat mundur ke belakang.
"Ngapain?" Sebuah garpu mengacung ke dada Elbiyan.
"Itu, ada kecap di pipi." Elbiyan menunjuk pipinya.
"Aku aja." Mumta menyambar cepat tisu di tangan Elbiyan. Menghapus noda makanan sendiri menggunakan tangan.
Lima belas menit mereka duduk menunggu nasi turun, sebelum kembali melanjutkan perjalanan pulang.
"Kita gak usah makan bakso, ya, El. Perut aku sudah kenyang."
"Siapa yang mau ngajak makan bakso? Itu cuma candaan doang, Mum." Elbiyan tertawa.
"Gak lucu."
Mumta membuang pandang ke jalanan. Dalam sekejap kesan mengagumkan dari Elbiyan hilang. Berganti pribadi menyebalkan yang tidak tahu beda serius dan canda. Sampai Mumta ragu kalau Elbiyan adalah putra kandung Ashma.
"El, El, El."
Elbiyan yang fokus menyetir cukup terkejut mendengar teguran itu.
"Apa?"
"Berhenti, berhenti."
Mumta langsung menerjang jalanan yang begitu ramai saat roda mobil parkir di pinggir jalan. Elbiyan sampai menahan napas melihat ketangkasan perempuan itu menyebrang jalan dan kembali membawa plastik merah jambu.
"Tahu buat bunda."
Ya ampun.
"Karena ini kamu buat aku jantungan nyuruh tiba-tiba berhenti di pinggir jalan?"
Mumta mengangguk.
"Bunda suka sekali tahu ini, El. Jadi aku pengen belikan."
*****
Bagaimana Elbiyan bisa menolak rasa yang tumbuh di kalbunya kalau setiap bersama Mumta, Ashma selalu ceria. Bukan Ashma yang selalu bersedih sejak ditinggal kekasih hati, tapi ceria yang sesungguhnya bermain di mimik wanita itu saat berdekatan dengan Mumta.
Mungkin kasih sayang yang tulus menjadi alasan kenapa Ashma tak setuju ketika Mumta mengungkapkan ingin bekerja minggu lalu.
"Lucu-lucu banget, bun, anak-anak di sana. Mumta gemes pengen bawa satu." Ashma tertawa lagi. Padahal tak ada unsur humor di perkataan anak gadis orang.
"Nanti ada waktunya kamu punya sendiri."
Mumta tergugu. Seharusnya dia aminkan ucapan baik itu, tapi kenapa Mumta memilih menolak?
Apakah karena perlakuan orang tua?
Mungkin. Mumta tidak ingin menjadi madrasah yang gagal untuk generasinya. Dia ingin membesarkan mujahid dan membagi rata kasih sayang untuk anak-anaknya nanti.
Ah, jangan langsung pada masalah anak. Berpikir menerima lamaran lelaki lain Mumta tidak sanggup. Dia berharap Allah paham kenapa menunda hal baik untuk berumah tangga.
Di sisi lain, Elbiyan ingin tahu, mantra apa yang ada pada Adam hingga Mumta menanam cinta begitu kuat untuk laki-laki yang jelas-jelas sudah menorehkan luka di hatinya. Tapi, Mumta masih setia menyemai pupuk, sedang Adam menyiram taman bunga yang lain.
Seharusnya, setelah Mumta tahu jika sang tunangan kini menjadi adik ipar, perempuan itu pelan-pelan melupakan. Mencari pengganti atau bahagia tanpa memikirkan masa lalu.
"Lu kira melupakan itu mudah? Apalagi hampir nikah itu, Yan."
Tinggal jangan memikirkan lagi, dan fokus ke depan tanpa menoleh ke belakang, batin Elbiyan.
"Elbiyan Maulana Firdaus! Mungkin move on akan semudah membalikkan telapak tangan kalau manusia gak punya otak. Lu kira gampang apa menghapus memori indah di otak. Makanya jatuh cinta, Elbiyan. Sekali-sekali rasain patah hati, jangan lu mulu yang patahin hati anak orang. Biar tahu rasanya perjuangan yang tidak dihargai itu gimana."
Ali sampai kabur entah kenapa karena berdebat dengan Elbiyan mengenai masalah itu.
Siapa bilang Elbiyan tidak pernah jatuh cinta? Dia sedang merasakannya sekarang. Dan patah hati selalu ia rasakan ketika melihat Mumta menangis karena teringat Adam.
"Hayo, ngelamunin apa?"
Ada raut kecewa ditunjukkan Mumta saat tak berhasil membuat Elbiyan berjengit di bangkunya.
"Terkejut, dong, menghargai usahaku."
Elbiyan hanya menebar senyum tipis sebagai balasan. Mumta mengikuti Elbiyan yang memandang langit malam minim bintang. Ada ketenangan merambat melihat kegelapan ditemani angin sejuk seperti ini.
Tidak semua gelap itu menyeramkan. Ada keindahan di balik hitamnya arang. Tergantung bagaimana cara menyikapinya.
Sayangnya, Mumta tidak kreatif memainkan kata untuk melahirkan sebuah karya di tengah duka lara. Kata-kata berserakan dan sulit dikumpulkan kala hatinya berduka.
Padahal kisah hidup yang basah air mata bisa jadi tumpuan cerita untuk ia pamerkan pada dunia. Menulis apa yang dia rasa saat orang lain menyebut rumah adalah surga, dan keluarga adalah harta paling berharga.
Bagi Mumta itu sebuah fiksi.
Rumah adalah bangunan yang terasa seperti studio rekaman, dimana setiap dinding yang berdiri menjadi saksi atas tangisan Mumta tiap hari. Keluarga hanyalah penggerus kebahagiaan. Hanya status untuk di pajang di dalam kartu keluarga.
Sampai sekarang, Mumta masih mencari tempat pulang.
"Cantik."
Mumta menoleh, Elbiyan sudah tersenyum dengan tangan menopang kepala.
"Langit itu selalu cantik, El. Kalau tidak turun hujan, dunia mungkin menjadi bagian dari surga."
Dan hidup tidak akan ada tangis.
"Ada yang cantik selain langit Mumta."
Elbiyan tersenyum penuh arti. Menghadirkan satu degup keras di dada Mumta.
"Apa?"
"Bidadari dunia."
Mumta menaikkan sebelah sudut bibir.
"Yang namanya bidadari selalu cantik, Elbiyan."
"Makanya aku suka."
Mumta memikirkan, apa Elbiyan sedang jatuh cinta?
"Kamu sedang menyukai seseorang, ya?" tebak Mumta. Dugaan itu cukup membuat Elbiyan gelagapan.
"Jangan menerka-nerka."
Mumta ikut berdiri saat Elbiyan lari akan tuduhannya. Mencercanya dengan pertanyaan itu-itu saja. Namun, dia dibuat gemas ketika Elbiyan tak kunjung menjawab. Malah mempermainkan rasa penasarannya.
"Bunda, bunda." Mumta berlari pada bunda dan menyampaikan kabar bahagia. "Elbiyan menyukai seseorang. Dia jatuh cinta, bunda. Elbiyan sudah genit sekarang." Telunjuk dia goyang-goyangkan dengan mata menyipit. Sedang tatapan di belakang memandang Elbiyan datar. Ashma tidak merespon, tapi malah memperingati.
Elbiyan kicep di depan Ashma. Bundanya seperti menentang keras perasaannya diketahui siapa pun. Entah kejahatan apa yang dilakukan orang yang sedang jatuh cinta? Sampai Ashma menggalakkan agar dia melunturkan rasa yang bukan kuasa Elbiyan.
Elbiyan sudah berusaha menghindar, menolak berinteraksi lebih, dan banyak menghabiskan waktu pada kertas-kertas berisi kasus kriminal. Selain karena bayangan kelam yang masih menghantui meski dia sudah meminta ampun, Elbiyan ingin mengabdikan diri untuk Ashma.
Sejak sandaran Ashma tidur di timbun tanah, Elbiyan yang berjanji menjadi pengganti. Dia tidak lagi mengisi waktu di luar, tidak peduli dibilang anak di bawah ketiak karena terus berada di samping sang malaikat. Baginya tidak ada yang lebih penting dari senyum Ashma kembali mengembang.
Sebagai bentuk bakti, Elbiyan menunda pernikahan.
Namun, saat Ashma ribut mengenai usia yang kelewat untuk berumah tangga, Elbiyan datang membawa Mumta, tapi Ashma malah menolak. Meminta memilih yang lain, beralasan Mumta bukan nama yang ditulis untuknya.
"Bunda memang ingin bermenantu, tapi tidak dengan perempuan yang kamu ajukan."
Malam itu, Elbiyan merasa tangga usahanya rubuh. Kembali datar ke tanah. Padahal, Elbiyan mengira gagalnya pernikahan Mumta adalah satu anak tangga yang Allah hadiahkan atas setiap sujud malam yang dia lakukan.
Haruskah Elbiyan membatalkan doa atas Mumta? Sedang, hatinya sudah berharap begitu dalam.
"Siapa, ya, bun, perempuan kurang beruntung yang dicintai Elbiyan?"
Mumta menyatukan telunjuk dengan dagu. Memutar bola mata ke atas, bergumam, dan berpikir keras.
"Tapi, walaupun manusia kulkas, pasti perempuan itu cukup beruntung juga dicintai oleh laki-laki yang mencintai dan menghormati ibunya. Suami able."
Hati Elbiyan berdesir lagi. Rasa senang menjalar cepat di setiap saraf. Tapi, senyum tak berani terbit sebab ditatap tajam yang berbeda rasa dengan hatinya.
Elbiyan merasa pupus.
Di sisi lain, sebuah hati ikut meringis. Mumta menyesali ucapannya barusan.
Adam juga begitu menghormati uminya. Dia tidak malu bergelayut manja di lengan sang umi. Keharmonisan itu yang membuat Mumta semakin mantap untuk menerima lamaran tanpa istikharah.
Namun, gegabahnya mendatangkan pisau, yang sampai sekarang masih aktif memberikan sayatan di hati. Tanpa tahu kapan berhenti melukai hatinya yang sudah teriris lebih dari kepingan.
*****
"Kamu yakin laki-laki yang mengantar tadi bukan pacar?"
Hanum, teman yang masih penasaran terus mengejarnya untuk memastikan status yang terjalin antara ia dan Elbiyan.
Berulang kali Mumta jawab tidak ada status apapun antara ia dan Elbiyan. Atau haruskah ia menjelaskan tentang pertemuan awal?
"Jujur, dong, Ta. Seperti dengan siapa aja." Hanum memainkan mata. Mulai girang saat Mumta mulai luluh.
"Aku itu pecandu utang, jadi Elbiyan terus mengikutiku agar tidak kabur membawa uangnya."
Kening Hanum berkerut cepat.
"Pecandu utang?"
"Sederhananya, tukang utang, dan Elbiyan itu piutang."
Sambil melangkah, Hanum memaksa keras untuk mengerti. Dia tersenyum lebar saat sebuah lampu menyala terang di atas kepala.
"Oh, kamu doyan pinjam duit Elbiyan terus karena takut kabur dan nggak bayar, dia jaga kamu?"
Mumta mengacungkan dua jempol.
Akhirnya.
Tiba-tiba, Hanum tersenyum malu-malu. Mencolek-colek lengan atasnya.
Duh, kenapa lagi?
"Gentle banget, Elbiyan, Ta. Langka ada laki-laki seperti itu. Harus dilestarikan," tekadnya. Sebuah tangan mengepal membentuk semangat.
Kini Mumta yang dibuat tidak mengerti.
"Kok gentle? Harusnya kalau menolong itu ikhlas, dong, bukan dianggap utang," sanggah Mumta tak terima.
"Loh, ya, gentle. Dimana-mana, piutang itu selalu sangar kalau nagih, kebanyakan bawa preman sebagai senjata. Nah, Elbiyan, bukannya melakukan hal yang sama, dia justru menjaga pengutangnya pakai perhatian pula. Kan, manis, Ta. Aku juga mau, deh, doyan pinjem duit supaya dijagain juga sama Elbiyan." Selanjutnya, keluar suara cicitan menggelikan di telinga. Hanum jadi senyum-senyum sendiri entah membayangkan apa.
Andai kamu tahu bagaimana konteks menjaga versi Elbiyan, Num.
*****
Hujan itu apa?
Langit yang menangis? Atau peristiwa alam yang menyenangkan?
Kadang memunculkan pelangi, kadang menimbulkan huru-hara petir.
Mungkin hidup Mumta bisa diibaratkan seperti itu. Pelangi hanya sesekali hadir, tidak lama, hanya beberapa menit, tapi mampu memberikan Mumta semangat untuk hidup. Setidaknya ada kebahagiaan, dibalik awan gelap.
Namun, apakah pemikiran itu masih sama sekarang? Setelah badai dan angin kencang mengusir pelangi Mumta dari langit, akankah dia tetap bertahan dan yakin pelanginya datang kembali?
Mumtahanah.
Perempuan yang diuji.
Mumta masih tak mengerti kenapa namanya menyedihkan seperti itu? Padahal nama itu dimuliakan dalam al quran. Nyatanya, nama yang diadaptasi dalam kitab suci tidak menjamin keindahan perjalanan hidup.
Mumta membuka jendela kamar lebar-lebar. Mengizinkan hawa dingin yang berhembus mengisi ruang tidur. Merasakan kesejukan cipratan air yang jatuh dari atas. Jemarinya menari-nari dibawah air yang tanpa jeda dan lelah, bertubi-tubi menghantam tanah. Malam ini, hujan turun tanpa gemuruh. Kedamaian terasa di benaknya.
Andai ... .
Andai malam itu Mumta tidak memaksa diri, menembus malam menjalankan pekerjaan, memenuhi nazar yang terucap demi kelulusan, mungkin sekarang sebuah kehangatan akan datang kepadanya, membawakan serta segelas coklat hangat, duduk di sampingnya, menarik kepala Mumta untuk bersandar di pundak dan menikmati rahmat Tuhan bersama-sama.
Mungkin pelanginya akan terus melengkung tanpa takut diusir lagi oleh awan hitam. Bahagia akan terus melingkupi hidup seorang Mumtahanah.
Andai malam itu roda mobilnya tidak menggesek aspal.
"Sudah doa?" Mumta menarik diri, mengibas-ibaskan tangan, dan mendapati Elbiyan telah membuka lemari. "Hujan itu keadaan mustajab untuk berdoa. Bukan cuma dinikmati airnya saja."
Allahumma shoyyiban naafi'an. Allah, jika memang dia tidak bisa kembali lagi, buatlah hatiku menutup diri hanya untuk-Mu. Untuk mengetahui kebaikan takdir-Mu di balik namaku.
"Sudah."
"Setelah kuingatkan."
Haruskah Mumta berterima kasih? Dia larut menikmati kenyamanan kata-kata yang hadir bersama kesejukan air hujan. Hingga lupa untuk menyelipkan harapan di celah-celah air yang jatuh.
Elbiyan mengeluarkan sedikit kepala, melirik ke luar. Ranting-ranting pohon menari karena alunan angin. Sedikit menjadi hiburan perempuan yang sedang galau hatinya.
"Biasanya kalau turun hujan, hati yang sedang galau akan makin kacau. Benar tidak?"
Mumta malah merasa, jatuhnya hujan ke bumi mendinginkan amarah yang sering menyelimuti hati. Tempat paling aman untuk menangis. Tanpa harus khawatir ditanya kenapa, tanya yang menyiratkan perhatian, tapi semakin meluruhkan tangisan.
"Kamu seorang hypophrenia?" Elbiyan menoleh.
Hypophrenia? Penyuka hujan?
Tidak juga. Mumta tidak menyukai hujan jika jatuh di hari yang sudah ia rencanakan untuk berkegiatan. Berpergian mencari hiburan, contohnya.
"Nggak juga. Tergantung kapan dia turun."
Elbiyan diam. Menumpu tubuh di kusen jendela menggunakan siku. Melakukan hal yang sebelumnya Mumta melakukan.
"Dinginnya mengingatkan pada seseorang. Ya, kan?"
Mumta tersentak. Mulai tergagap. Tangannya mulai memilin ujung jilbab. Gugup melanda.
"Mum, boleh aku mengatakan sesuatu?"
Permohonan izin itu seperti memancarkan sesuatu. Mumta diam lima detik sampai akhirnya Elbiyan melipat tangan dan menatapnya.
"Aku lebih baik hidup di musim kemarau daripada terus teringat kenangan yang semakin membuatku terpuruk seperti yang dibawa hujan pada bumi." Elbiyan maju sedikit. "Setidaknya kehausan di tenggorokan membuatku berpikir untuk mencari minum, bukan mengingatkan pada seseorang yang tidak layak untuk aku pikirkan."
Mumta memegang dinding agar bisa tetap berdiri setelah Elbiyan berlalu dan mengucapkan kata-kata yang ... menamparnya.
Syllabel 'tidak layak' membuat Mumta limbung. Adam benar-benar tidak bisa ia rengkuh lagi. Sebesar apapun doanya di setiap sujud, itu hanya sia-sia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top