Bagian 7
Bagian 7
Daripada Membisu
*
*
*
Seseorang yang tepat tak selalu datang tepat waktu.
Tanpa di perintah, bersama langkahnya yang bergerak masuk ke dalam, kepala Mumta justru menimbang-nimbang perkataan teman yang dia pikir akan hilang bersama kepergian Keyra.
Kadang ia datang setelah kau lelah disakiti oleh seseorang yang tidak tahu cara menghargaimu.
Saat itu, matanya berserobok dengan foto Elbiyan yang tersenyum berbalut seragam kepolisian sambil memeluk Ashma. Mereka tampak bahagia meski sang kepala keluarga sudah tak lagi nyata. Ikut terekam dalam sebuah foto dalam bentuk potret pula.
Dia dan Elbiyan?
Pikiran Mumta kembali pada potongan ayat yang menggetarkan.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
Apa mungkin Elbiyan yang terbaik karena terlihat tidak baik di matanya? Apa begitu konsep dari ayat itu?
Namun, hari-hari Mumta bersama Elbiyan hanya berisi pertengkaran mengenai utang piutang, tidak ada interaksi harmonis mungkin lebih kecil dari itu: obrolan ringan. Tidak ada, Elbiyan selalu naik pitam ketika berbicara padanya.
Lalu, dia dan Elbiyan?
Berisi apa cerita kehidupannya nanti kalau sampai benar-benar Elbiyan adalah ....
Nggak, nggak, nggak.
Mumta menggelengkan kepala. Dia tidak mau mengurus masalah hati lagi. Luka yang ini belum kering, dia tidak mau menambah nyeri dengan menuang cuka ke hatinya.
Lagipula, Elbiyan selalu menatapnya tajam, tidak ada sorot ramah. Mumta? Jangan tanyakan tingkat kesal yang membumbung kalau laki-laki itu menagih hutangnya.
"Kenapa lihat-lihat? Suka?" Suara judes Elbiyan langsung menghantam lamunan Mumta yang membayangkan mereka.
"Gak. Aku kira bunda udah pulang makanya lihat ke sana," balasnya sambil memutik toge untuk dimasak nanti.
"Lagian jangan sering merhatiin aku, nanti suka aku yang repot. Anak gadis orang nangis lagi berhari-hari. Aku gak mau langkahku dilaknat Allah karena membuat perempuan menangis." Elbiyan berbicara sambil memainkan ponsel. Sesekali matanya melirik perempuan yang cemberut dari ekor mata.
"Suka sama kamu gak ada dalam cerita hidupku," balas Mumta tak kalah ketus.
Dia mengangkat tampah dan memasukkan kembali toge ke dalam plastik. Meletakkan di kulkas dan melakukan apapun agar tidak berdekatan dengan laki-laki itu.
"Mumta! Uang makan temanmu juga masuk ke buku hitam!"
Lihat!
Mumta semakin yakin, kalau dia dan Elbiyan tidak cocok sama sekali. Mereka hanya sebatas piutang dan pengutang. Tidak bisa menjadi pengantin laki-laki dan perempuan. Lagian Mumta juga tidak memikirkan ke arah sana. Yang dia pikirkan bagaimana cara menata hati kembali, dan menemukan pekerjaan supaya bisa segera melunasi hutang pada Elbiyan.
*****
"Kerja?!"
Mumta mengangguk ragu. Dia sudah memikirkannya. Diam di rumah tidak menghasilkan apa-apa. Pikiran Mumta justru semakin akrab pada Adam. Adakah khawatir sedikit tentang dirinya? Pertanyaan yang menambah beban hati. Mungkin dengan beraktivitas, dia bisa sedikit merangkak keluar dari lubang hitam, sekaligus mendapatkan penghasilan. Mencicil hutangnya pada Elbiyan meski dengan waktu yang tidak sebentar.
"Kenapa? Abang siksa kamu lagi?"
Elbiyan langsung mendelik. Kenapa jadi dirinya? Dia juga tidak tahu apa-apa.
"Nggak, bunda. Pikiran Mumta selalu mengarah," Dia menatap orang-orang yang menunggu lanjutan.
"Bunda ngerti. Tapi, kamu menginginkan sesuatu, makanya mau kerja? Atau dipaksa Elbiyan untuk membayar hutang segera?!" Mata Ashma langsung jatuh pada Elbiyan yang masih terkejut.
Apa Mumta menimbang sarannya di supermarket? Pikir Elbiyan.
"Bukan bunda," tegas Mumta. "Mumta cuma mau berkembang, berpenghasilan, jadi wanita independen. Gak mau jadi wanita bodoh yang terpuruk karena laki-laki."
Ashma menghela napas. Ada gurat sedih tergambar di wajah yang mulai keriput.
Mumta jadi tidak enak. Ashma baik, dia memperlakukan Mumta seperti putri sendiri, menyayangi Mumta dan memberikannya perhatian penuh yang tidak ia dapatkan dari orang tuanya.
Tapi, Mumta tidak ingin menjadi manja. Dia tidak ingin bergantung hidup pada orang lain. Mumta juga harus mengandalkan diri sendiri meski Ashma bersenang hati memberinya apapun. Mumta tidak ingin menyalahgunakan kasih sayang Ashma. Karena bagaimanapun, dia bukan bagian keluarga baik ini.
"Lalu, sudah dapat pekerjaan?"
"Sudah."
"Sudah? Jadi apa?" tanya Ashma yang masih tidak menyangka kalau Mumta bertekad menjadi wanita independen seperti yang wanita itu bilang.
"Guru SD."
"Di mana?" Kini Elbiyan yang memotong pertanyaan Ashma.
Mumta menyebutkan lokasi berdirinya sekolah yang menerima dirinya menjadi tenaga honorer di sana.
"Itu cukup jauh dari sini, Mumta."
Mumta menimbang, bagaimana caranya dia menyampaikan niat akan pergi dari sini dan menyewa kamar atau kos di dekat tempat mengajarnya?
"Kamu tidak sedang memikirkan untuk pergi dari sini dan kos, kan, Ta?"
Mumta menatap binar Ashma yang langsung menggeleng tidak setuju. Elbiyan juga bersuara tidak terima.
"Gimana nanti kalau terjadi apa-apa sama kamu di sana? Kalau ada orang yang berniat jahat? Kalau memang mau pergi dari rumah ini pulang langsung saja ke rumahmu!"
Mumta diam. Mulutnya terkunci karena bentakan Elbiyan membantah pemikirannya. Apa tidak bisa menyanggah dengan pelan? Dia tidak tahu hati perempuan itu mudah retak?
Ashma ingin marah pada Elbiyan, tapi dia lebih marah pada niat Mumta untuk angkat kaki dari sini. Dia sadar Mumta pasti akan meninggalkannya suatu hari nanti. Anak orang yang terasa putri sendiri tidak bisa ia paksa untuk tetap tinggal bersamanya. Mumta juga berhak memilih jalan hidup. Apalagi tidak ada darah Ashma yang menetes setitik pun dalam diri Mumta sehingga dia tidak pantas menuntut Mumta untuk menurut padanya.
Namun untuk saat ini, Ashma masih belum rela berjauhan dengan putrinya. Ashma masih ingin menjadi perekam setiap kesedihan Mumta, memeluknya, menasehatinya, memberikan kasih sayang seorang ibu yang sedikit tercurah dalam hidup perempuan itu.
Ashma masih ingin memanjakan Mumta.
"Bunda mendukung setiap keputusan kamu selama ini, tapi untuk kali ini, bunda tidak bisa Mumta."
"Kenapa?" Semangat Mumta untuk kembali menata hidup dan melupakan Adam lenyap. Dukungan yang ia kira akan diberikan Ashma nyatanya berupa penolakan. "Mumta gak ingin merepotkan terus." Pandangannya melirik Elbiyan.
"Karena kamu tidak merepotkan." Ashma menindih tangan Mumta sambil tersenyum. "Bunda senang kamu merengek ingin ini-itu, ingin dimasakkan sesuatu, tidak apa-apa asal jangan pergi, ya?" mohonnya. Mumta menatap mata Ashma yang berbinar-binar. Kenapa tekadnya untuk bekerja justru membuatnya seperti orang jahat?
"Tapi, Mumta tidak mau menopang hidup pada orang lain, bun." Mumta masih belum ingin menyerah. Dia harus membuat Ashma mengerti tanpa dipaksa. Mumta pandai menulis, pastilah mulutnya juga pandai berkata-kata. "Kesempatan emas kenapa harus disia-sia, kan?"
Air menetes dari mata Ashma. Itu membuat Mumta panik bukan main. Dia bukan ingin menjahati ibu baik hati dan penuh perhatian, tetapi ingin memetik restu agar diizinkan berkarir.
Mungkin mudah bagi Mumta untuk kembali pada pekerjaan awal. Namun, tidak mungkin ia pulang pergi setiap hari menempuh jarak yang jauh dari rumah Elbiyan menuju klinik konsultan. Bekerja di tempat yang menempuh waktu hampir sejam saja bunda sudah menangis, apalagi jika dia ingin kembali mengabdi menjadi asisten psikolog. Mumta juga tidak ingin bertemu keluarga yang sekarang sedang mencarinya atau tidak. Hatinya benar-benar tercabik karena pengkhianatan mereka.
"Bunda pikirkan dulu."
*****
Tas hitam, sudah.
Penampilan, menakjubkan.
Peralatan, lengkap.
Mumta tersenyum lebar saat bayangannya terlihat sempurna di cermin.
Dia bekerja.
Meski tidak bisa sepenuhnya diberi izin, Mumta harus tampak senang menyambut hari agar Ashma percaya, bahwa ia senang hati pulang pergi, siang hingga petang, untuk mendapat gelar independen dalam hidup.
Ashma melepasnya dengan senyum dipaksa pagi ini. Membawakannya bekal serta air minum dalam botol besar. Ashma tahu kalau Mumta itu kuat minum sehingga menyediakan persediaan yang lumayan.
"Segitu senangnya cuman jadi guru SD?"
Mumta menoleh sebentar. Tentu ia senang, sebentar lagi akan berpenghasilan sendiri dan membeli sesuatu tanpa uang kasihan dari Elbiyan. Hutangnya tidak akan menumpuk lagi setelah ini justru akan berkurang.
"Pekerjaan apapun kalau memang itu keinginanku, terasa sangat membahagiakan, El. Apa kamu gak merasakan hal yang sama saat lulus menjadi anggota polisi?"
Benar juga.
Siapa yang tidak bahagia menjadi sesuatu yang diinginkan? Mendapatkan sesuatu yang dia idamkan? Pasti Elbiyan juga akan tersenyum tanpa henti seperti yang dilakukan Mumta di sampingnya.
"Tapi, antar jemput kamu begini merepotkan aku. Jatah tidurku harus berkurang karena menjadi supir pribadi tanpa gaji."
Senyum Mumta langsung pudar. Kenapa Elbiyan mudah sekali menghancurkan kebahagiaannya?
"Kalau nggak ikhlas, kenapa dilakukan?"
"Kalau kamu gak bertingkah, gak akan ada antar jemput begini."
Kalau bukan syarat dari bunda, aku juga emoh diantar sama kamu.
"Lagian nyari kerja sampai sejauh ini, kenapa gak sekalian aja ke Pulau Komodo."
Mumta menghela napas. Dia sudah tidak tahan.
"Kenapa kamu sekali saja gak bisa berbicara manis sama aku? Pertemuan kita di sungai itu juga bukan keinginanku, El. Aku juga gak minta buat kamu tolongin. Lagian bekerja ini cara aku buat mengembalikan gaji bulanan kamu yang ludes. Kalau aja kamu ikhlasin uangnya, aku juga gak perlu cari kerja. Dasar itungan!"
Mumta menyandang tas di pundak kanan. Membuka pintu dan mengeluarkan kaki sebelah.
"Makasih."
Elbiyan mengerjapkan mata. Sepersekian detik Mumta telah hilang bersama kemarahan. Secara tidak langsung Elbiyan menyimpulkan.
Perempuan itu bekerja karena dirinya?
*****
Ali menggelengkan kepala. Tangannya memijit kening panas karena cerita tak berperikewanitaan Elbiyan. Kenapa bosnya bisa memiliki mulut sejulid itu?
"Pul, jawab dong. Jangan diam saja." Elbiyan bertambah kalut melihat ekspresi Ali di depannya.
"Jawab apa, Yan? Lagian lu udah kelewatan. Bicara kasar kayak gitu ke perempuan. Ya, habis lu dibabat. Nyesal sendiri, kan?"
Menurut Ali, lebih baik Elbiyan diam dan mempertahankan raut dinginnya daripada berbicara yang menyakitkan hati. Dia saja yang mendengar naik pitam.
"Lebih baik kemarin Mumta gue yang bawa pulang, gue rawat kayak bini. Ikhlas gue ngeluarin uang buat Mumta. Baik dan perhatian gitu malah lu cari gara-gara. Yan, Yan, pantes bunda gak setuju sama perasaan lu."
Elbiyan merutuki dirinya. Kenapa begitu kelewatan mencari perhatian Mumta?
"Lu gak ingat, waktu pertama kali Mumta antar bekal yang lupa lu bawa. Dia hujan-hujanan kemari demi antar bekal lu. Alasannya mengharukan pula."
Elbiyan ingat, mungkin itulah getar pertama yang terasa di hatinya untuk makhluk bernama perempuan.
Hari itu, dimana awan gelap menyelimuti kota tempatnya tinggal. Mumta datang sambil memeluk bekal.
"Kamu ngapain ke sini?" Elbiyan kaget bukan main ketika seseorang memberitahu ada yang mencari dan sedang menunggu di depan. Mumta datang dengan baju setengah basah sambil menenteng sesuatu.
"Antar bekal buat kamu." Mumta membersihkan air yang menempel di wajah.
Elbiyan menggeleng tidak habis pikir.
"Aku bisa pulang saat jam istirahat."
"Bunda bilang kamu gak bisa fokus kerja kalau perut kosong. Jadi aku antar. Gak nyangka juga bakal turun hujan."
Mumta menatap langit. Cahaya terang kini berganti gelap. Hujan yang turun rintik-rintik mulai lebat. Bagaimana caranya dia pulang? Angin yang bertiup menambah suhu dingin di muka bumi. Mumta juga baru sadar kalau sebagian tubuhnya basah karena hujan yang jatuh tiba-tiba.
"Kamu kemari naik apa?"
"Tadi diantar sama tetangga yang juga mau lewat sini."
Elbiyan berdecak. Kebaikan Mumta malah merepotkan.
"Ayo, masuk."
"Ngapain?"
"Ya nunggu aku pulang. Kalau gak sama aku, kamu pulang sama siapa?"
Mumta melirik bangunan berlapis cat kuning dan kecoklatan. Sepertinya tempat ini minim perempuan. Bukan sok suci, Mumta sedikit canggung dan kurang nyaman jika menjadi perempuan sendiri di sana. Tapi, hujan belum menandakan akan reda. Dia juga tidak mungkin berdiri sendirian di sini.
"Mau masuk atau tetap berdiri di sini? Pekerjaan saya masih banyak?"
"Aku nunggu di mushola aja, ya?" pintanya.
Telunjuk Elbiyan mengarah ke jalanan yang pasrah dijatuhi bertubi-tubi air dari langit.
"Kamu lurus nanti belok kiri. Ada masjid di ujung jalan sana."
Mumta menghela napas. Dengan langkah berat, dia mengikuti Elbiyan yang masuk ke dalam.
Setiap turun hujan, kenangan itu yang pertama melintas di benaknya. Apalagi setelah mereka pulang, Mumta tumbang dengan tubuh hangat dan bersin-bersin. Tapi, perempuan itu tidak meminta imbalan. Dia tetap tersenyum melakukan apapun.
Sampai Elbiyan merasa kalau Mumta jatuh hati padanya. Keajaiban yang terus Elbiyan harapkan sampai sekarang.
"Lu tahu, Yan, Kahlil Gibran pernah bilang, kesendirian memiliki tangan-tangan sutera yang lembut, namun dengan jari-jarinya yang perkasa, ia meremas jantung dan membuatnya menderita karena duka."
Elbiyan berpikir sebentar. "Maksudnya?"
"Mumta sudah berduka, jangan lu buat makin turut berduka cita. Setidaknya, ya, jangan berbicara padanya. Kata-kata lu bagai jarum yang menusuk jantung Mumta. Pantas dia meminta bekerja, supaya gak terus-terusan menelan sakit karena ngobrol sama lu."
*****
Sudah pulang?
Elbiyan berkali mengecek ponselnya. Tapi, balasan Mumta belum juga sampai. Dia melihat-lihat kondisi sekolah dari dalam mobil, takut-takut Mumta nekad pulang sendiri karena ucapan pagi tadi.
Elbiyan gemas. Dia menekan ikon telepon dan menempelkan ponsel ke telinga.
Tidak diangkat.
Karena khawatir berlebihan, dia memasuki pekarangan sekolah. Melihat papan yang menggantung di tiap pintu ruangan.
"Saya duluan, ya, Bu Mumta. Eh," seorang perempuan mematung begitu keluar dari ruang guru. Matanya memindai Elbiyan dari atas hingga bawah.
"Wali murid, pak?" tanyanya.
"Bukan," Elbiyan mengintip ke dalam.
"El?"
Perempuan berjilbab kekuningan memperhatikan teman kerja yang baru beberapa jam diterima di sekolahnya kaget.
"Ngapain?" tanya Mumta bergeser pijakan karena menghalangi guru lain yang ingin melintas.
"Suami?" sebuah bisikan berhembus.
"Bukan, temen."
Elbiyan cukup meringis saat tahu statusnya dianggap teman oleh Mumta.
"Kenapa telponku gak diangkat? Chat-ku juga tidak kamu balas."
Teman baru Mumta menggigit bibir. Dia merasa seperti berada di antara pertarungan sengit. Takut-takut, dia permisi undur diri.
"Ngapain jemput?"
Elbiyan tidak menggubris. "Ayo pulang," ajaknya menarik tangan Mumta dan mendudukkan perempuan itu di kursi penumpang.
"Kam-"
"Nggak usah ngomong kalau mau marah-marah," potong Mumta. Dia tidak mau semakin makan hati.
"Didengerin dulu sampai selesai."
"Dengerin kamu sampai selesai ngomong buat sakit hati," balasnya cepat.
Elbiyan menghela napas. "Kamu sudah makan?" Irama suara tersalur lembut.
"Saya mau makan di warung dekat sini. Mau?"
"Hutang atau ikhlas?" tanyanya memastikan. Kadang, kebaikan Elbiyan terbalut ketidakikhlasan sehingga Mumta harus memastikan terlebih dahulu sebelum menerima.
"Ikhlas."
"Bakso, ya?" Mumta mencoba request.
"Setelah makan nasi. Gak bagus makan bakso belum makan nasi."
Mumta mencoba memikirkan lagi. Apa barusan Elbiyan menyelipkan perhatian? Laki-laki tidak ikhlas seperti Elbiyan?
"Tumben perhatian, biasanya kejam kayak ibu tiri," tutur Mumta.
"Baik salah, jahat salah. Serba salah ya, kamu."
Tawa kecil Mumta berderai. Imbas pada jantung Elbiyan yang bertalu-talu girang.
"Kamu kalau baik, pasti banyak perempuan yang antri jadi menantu bunda."
"Termasuk kamu?"
Mumta mengunci mulut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top