Bagian 6 ~ Asa Di Persimpangan Hati

Bagian 6

Asa Di Persimpangan Hati

*****

Mumta terpaku menatap huruf demi huruf yang mengisi al quran. Hatinya terasa semakin getir, dan air mata kembali luruh karena sentuhan terjemah di hulu hati.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Mumta mengamati lamat-lamat potongan ayat surah Al Baqarah yang menarik suaranya untuk berhenti mengaji.

Mumta mendadak merasa bingung dan kalut. Tidak tahu harus melakukan apa. Keyra tertidur setelah melaksanakan solat maghrib. Hampir keseluruhan ranjang sahabatnya itu kuasai. Tidur liar Keyra tidak berubah meski sudah dianugerahi satu malaikat kecil di dalam hidupnya.

Angin yang berhembus mengibarkan tirai jendela, membuat pikiran Mumta kembali lagi pada lukanya. Sudah sebulan usia pernikahan sang mantan tunangan dan adiknya, berarti sudah sebulan pula Mumta bertahan dengan luka menganga yang tidak tahu harus dibawa berobat kemana.

Seolah benang dan jarum jahit untuk menjahit luka hati tidak ia temukan di dunia ini.

Mumta ingin kembali ke rumah, mencaci adiknya, menjambak kepala perempuan yang merebut cinta Adam hingga kerudungnya terlepas, bersikap brutal meluapkan isi hati. Tapi, kata-kata bibi yang menyemangati saat Mumta diminta mengalah kesekian kali pada adiknya melunturkan niat tidak beretika yang muncul di benak.

"Non, seseorang bisa dikatakan pemenang jika dia berhasil mengontrol diri, menahan apa yang ingin dilakukan sesakit apapun itu. Karena dia tahu, kemarahan bukan memperbaiki, tetapi semakin merusuhi. Non mau jadi pemenang, kan? Maka non harus sabar, hadiahnya pasti sangat membahagiakan."

Nyatanya, bersabar tidak semudah berbicara. Bahkan, Mumta semakin menumbuhkan benci untuk keluarga karena bersabar menahan emosi di dada. Entah sabar yang mana dimaksud bibi kala itu.

Kepala Mumta turun, melihat kalam Allah yang masih terbuka di pangkuannya.

Apa dia kurang bersyukur? Apa ibadah yang dilaksanakan tidak bisa menghibur Allah untuk memberinya kebahagiaan?

Mumta sudah terlalu banyak bersedih sejak lahir. Dia sudah merelakan banyak hal demi menjadi anak baik yang sering dituturkan mama saat Hawa menangis menginginkan sesuatu miliknya.

Apa Allah baru saja menyindirnya lewat potongan ayat surah itu?

Bukankah Dia yang memberi gambaran kalau Adam adalah yang baik untuknya karena kedatangan niat baik dihanturkan kepadanya di masjid kampus waktu itu? Bukankah perempuan pantang menolak laki-laki yang baik akhlak dan agamanya? Tapi, kenapa orang-orang seperti itu yang justru menorehkan luka terbesar pada perempuan?

Pemahaman agama yang mereka akui justru menguras pemikiran laki-laki untuk setia dan menghargai wanita. Bukannya memuliakan, laki-laki malah menuangkan pengkhianatan yang meretakkan hati perempuan.

Kalau tahu Adam tidak sebaik sampul yang terlihat, Mumta menolak saat pertama kali kak Hasnah memberikan map coklat dan membalas Adam dengan tatapan benci di pelataran panggung teater tempo hari.

Pengkhianatan Adam seperti menampar Mumta, seolah dia tidak memiliki cermin di kamar. Seharusnya dia rajin membandingkan diri dengan sosok perebut kebahagiaan yang berkedok di balik hijab lebar di rumahnya. Yang kemudian semakin menggerus simpati Mumta.

Mumta bukan sosok perempuan yang menarik, apalagi cantik. Dia hanya perempuan bertubuh mungil, mahasiswa yang sering dikira seorang siswa, yang sering dipanggil adik bungsu meski bukan dia yang termuda di organisasi kampus yang diikuti. Wajahnya hanya ditempeli hidung mungil, dengan lengkungan hitam di bawah mata yang tersamarkan karena balutan riasan sederhana, dan lekuk senyum yang selalu dipuji manis oleh teman-teman Tantri. Tubuhnya memang ideal, meski tinggi tak seberapa, cukup sering diinginkan oleh teman-teman sejurusan, tapi ternyata itu tak cukup menarik perhatian Adam untuk setia pada satu wanita.

Lagipula, mana ada laki-laki yang sanggup bertahan bersama perempuan yang tidak berparas rupawan?

Sekali lagi Mumta kurang meluangkan waktu untuk bercermin sebelum menerima lamaran Adam hingga ia ditelantarkan bersama luka seperti ini. Sadar dirinya langsung lenyap ditutupi kabut kebahagiaan karena kertas ta'aruf itu.

"Bingung cari hikmah dari ayat itu?"

Mumta meoleh cepat ke belakang. Dia sampai tidak bisa menghapus air mata dan mempertontonkannya pada wajah bangun Keyra. Ternyata kasur yang bergerak bukan menandakan tidur Keyra yang menggeliat, melainkan tidurnya yang terusik.

Tangisannyakah sebabnya?

"Ayat itu memberi tahu tentang obat hati yang patah, Ta. Kadang apa yang baik menurut kita, belum tentu bermakna sama di mata Allah. Kayak kasus kamu ini, ditinggal nikah, memang rasanya menyakitkan, tapi sebenarnya Allah sedang melindungi kamu dari luka yang lebih besar." Keyra mengucek matanya yang masih sayu karena mengantuk. "Itu Al Baqarah ayat 216, kan?"

Mumta mengamati lembar ayat al quran itu. Kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Keyra.

"Kamu kenapa bangun? Tidur aja lagi."

Keyra menurunkan kaki dan duduk di atas ubin dingin. Melipat kaki di depan Mumta dengan matanya yang terasa seperti dilapisi lem.

"Tangisan kamu berisik. Padahal mimpinya indah."

Mumta membuat garis bibir yang samar. Dia menutup mushaf umat islam dan menyimpannya kembali.

"Masih suka nangis juga kalau keingat, ya?" tanya Keyra prihatin.

"Sedikit." Mumta membuka mukena dan melipatnya.

"Sedikit kok sampai mewek terisak gitu? Sedikitnya itu banyak maksudmu?"

Entahlah, terkadang Mumta memiliki semangat untuk menjalani hari-hari, terkadang juga angin yang menerpa kulit seperti membawa ingatan tentang Adam di tiap hembusannya. Membuat Mumta kembali limbung akan jalan yang akan ditempuh.

Resiko dari perjalanan yang berhenti di persimpangan tanpa peta di tangan. Gontai ingin menjatuhkan telapak dimana.

"Gak mau nangis lagi?" tanya Keyra setelah menguap.

"Nggak, ah, buat apa? Gak mengubah keadaan." Mumta memeluk mukena yang terlipat di tangannya. Meluruskan kaki dan beringsut menyandar pada tepi ranjang. "Biasanya kamu juga marah kalau aku nangis karena laki-laki."

Kadang Mumta berpikir, entah kapan dia bahagia karena laki-laki?

Keyra mendekat. "Justru sekarang aku dukung kamu untuk nangis, deh. Sepuasnya." Keyra merentangkan tangan. "Nih, bahu aku nganggur." Dia menepuk-nepuk bahunya yang tertutup rambut hitam tergerai. "Drama True Beauty rekomendasi kamu memberitahu aku kalau menangis itu adalah cara membersihkan hati. Gak apa-apa kalau menangis, manusia gak dituntut harus berpura-pura baik-baik saja."

Mumta tersenyum tipis lagi. Sayangnya, tangisnya sudah melimpah ruah sebelum wanita itu bangun. Dan sekarang mungkin saja sistem tubuhnya sedang memproduksi kembali air itu untuk ia tumpahkan di waktu yang tidak tentu.

Wajah Mumta menunduk. Hatinya kembali riuh karena ketidakpercayaan diri.

"Apa Adam ninggalin aku karena rupaku yang tidak menarik? Sejelek itu aku, ya, Key sampai laki-laki harus menyakiti dulu untuk mengatakan aku gak pantas untuk dia?" Suaranya bergetar, tapi bukan menahan tangis.

Keyra diam sejenak, dia menekuk kaki dan menempelkan dagu di tempurung lutut.

"Kalau masalah cantik, aku juga kalah sama wanita lain di luar sana. Wanita di dunia ini banyak, Mumta, dan setiap harinya akan bertambah jumlah wanita cantik. Kalau laki-laki mencari perempuan yang cantik, maka dia gak akan bisa hidup sama satu wanita aja, Ta. Karena waktu akan terus melahirkan perempuan-perempuan cantik setiap detiknya." Dia memiringkan wajah. Melihat Mumta yang diam memandang kaki tertutup sarung.

"Kalau begitu Adam?"

"Dia menikah bukan dengan kamu itu karena satu alasan." Keyra mengacungkan jari telunjuk. "Bukan kamu takdirnya, Ta. Kalau pun kalian memaksa menikah, tapi akhirnya berpisah, buat apa, Mumta? Lebih baik sakit di awal kemudian bahagia selama-lamanya bersama orang yang tepat. Setidaknya kita butuh usaha yang terekam dalam proses untuk hasil yang maksimal, kan?"

Mumta dibuat larut dalam setiap jawaban bijak Keyra untuk tiap pertanyaannya. Apa mungkin ini pertanda kalau dia memang tidak pandai bersyukur sebab dijauhkan Allah oleh sumber luka? Padahal apa yang baik dimatanya itulah yang menjadi sebab air matanya berair.

Haruskah ia bersyukur atas kepatahan hati karena dijauhkan dari Adam? Tapi, cinta masih tumbuh subur di taman hati Mumta.

Akhirnya, kemarahan-kemarahan di dalam hati Mumta bertiup seperti pusaran angin beliung. Kadang bertumpu pada Adam yang tidak pandai menjaga hati sepertinya, kadang berpindah pada Hawa yang membuat Adam berpaling, lalu balik lagi pada Adam, Hawa, kemudian Mumta berhasil menemukan titik tumpu kemarahan, yaitu dirinya sendiri.

Andai Mumta tidak cepat menerima dan berbahagia.

Andai Mumta membicarakan ini dengan Allah terlebih dulu.

Andai dia memberi waktu untuk bercermin dan memikirkan kembali kepantasan diri untuk menjadi istri dari Adam Ghifari.

Mumta merasa naif, merasa telah baik untuk menyandang nama Adam di belakang namanya, menjaga hati untuk laki-laki itu. Padahal dia hanya merangkak bersanding dengan usaha Hawa yang berupa langkah besar untuk sampai pada pelukan Adam.

"Kalau masih sakit, kenapa gak lanjut nulis aja lagi, Ta? Kemampuan kok dianggurkan." Keyra mengikat rambut hitamnya yang pernah Mumta bayangkan tumbuh di kepala menggantikan rambut bergelombang yang diturunkan Tantri. Menyisakan anak-anak rambut yang menghiasi wajah bulat bak China padahal Keyra asli uni Minang.

"Gak bisa nulis kalau lagi begini, Key."

"Loh, justru penulis di luar sana memanfaatkan luka dan kecewa mereka untuk melahirkan karya, Ta. Mereka itu kreatif, luka dijadikan ladang pembawa berkah. Pundi-pundi uang mengalir setelah air mata. Itu baru namanya manusia. Pandai memanfaatkan apa yang terjadi pada hidup untuk hal-hal yang positif. Ya, tapi jangan pula sengaja patah hati untuk cari inspirasi, itu namanya menyiksa diri." Keyra menampilkan gigi-gigi putih saat ujung-ujung bibirnya naik ke atas. Bahunya bergerak naik turun meluapkan kegelian yang dia lahirkan sendiri.

Memang, saat ini masih ada pembacanya yang menanyakan perihal kelanjutan cerita yang pernah Mumta pamerkan di salah satu aplikasi baca. Namun, entah kapan tepatnya dia absen menulis kisa h lagi.

Obrolan mengalir di waktu yang berjalan kian larut. Kehadiran Keyra seperti google yang maha tahu akan jawaban yang kepalanya pertanyakan. Kadang membuat bibirnya bungkam, kadang juga menamparnya tanpa disentuh.

*****

"Kamu masih suka makan ginian?" tanya Keyra yang terdengar protes saat Ashma meletakkan piring berisi bakso siap saji yang dimasukkan Elbiyan ke dalam troli belanja. "Gak ada kapoknya padahal udah pernah kena kelenjar."

"Kelenjar apa maksud nak Keyra?"

Mumta memberi kode pada Keyra lewat gelengan samar. Tapi, sifat menyebalkan Keyra sedang kumat.

"Itu, bun, dulu pernah ada benjolan di belakang telinga Mumta karena sering makanan mengandung micin. Dan sekarang dia mengonsumsinya lagi. Dasar penikmat makanan beracun!" Keyra memberikan bibirnya pada Mumta yang dibalas dengan cebikan di bibir ranum Mumta.

"Ya sudah, setelah ini gak lagi, ya, Ta." Peringat Ashma bersama jari telunjuk yang mengudara.

Sesosok laki-laki mengamati diam-diam Keyra dan Mumta.

Kehadiran Keyra sedikit memberikan perubahan pada diri Mumta. Perempuan yang hatinya baru saja patah itu sedikit mau lebih banyak berbicara daripada sebelumnya. Bahkan sejak pagi tadi, Mumta rajin tersenyum meski tidak banyak. Terpancar cahaya yang belakangan ini redup di wajah Mumta. Cahaya yang Elbiyan kira akan kembali karena dirinya.

*****

Elbiyan menenggak air setelah berjuang menembus kemacetan di kota. Padahal dia berlindung di dalam alat pendingin, tapi hausnya begitu terasa.

Di rumah ini, teman si anak gadis orang tidak terlihat.

"Temanmu itu mana?" tanya Elbiyan.

"Sudah pulang."

"Gak tinggal disini juga?" sindir Elbiyan membuatnya dihadiahi tatapan tidak suka Mumta di depan bak cuci piring. Elbiyan hanya merespon dengan tatapan dingin.

"Dia sudah punya suami, anak juga."

Mumta mengelap tangan di kain yang menggantung di dinding. Berjalan ke kamar dan menyempatkan menyikut perut hingga Elbiyan terbatuk air di mulut.

"Mumta!"

Terbukti kalau tidak ada kecocokan sama sekali antara dirinya dan Elbiyan seperti yang dikatakan Keyra sebelum pulang tadi.

"Saya pamit, ya, bun. Makasih untuk satu malamnya." Keyra tersenyum mencium punggung tangan Ashma.

"Kenapa gak lebih lama aja disini? Mumta terhibur karena kedatangan kamu."

Keyra juga ingin begitu, tapi tanggung jawabnya sangat besar sekarang. Tidak bisa sesuka hati mengikuti nafsu.

"Naluri seorang ibu gak bisa meninggalkan anak lama-lama bun."

Ashma mengangguk. Keyra beralih pada Mumta. Memeluk tubuh sahabatnya dan membisikkan sesuatu.

"Ta, aku hanya ingin bilang, seseorang yang tepat tidak selalu datang tepat waktu. Kadang ia datang setelah kamu lelah disakiti oleh seseorang yang tidak tahu cara menghargaimu." Keyra menenggelamkan kepalanya di bahu kiri Mumta. "Coba deh kamu pikirin kata-kataku. Siapa tahu Elbiyan penggantinya," bisik Keyra sebelum memasuki kendaraan yang akan mengantarnya pulang.

.
.
.
.
.

Assalamu'alaikum, orang-orang baik.

Hani balik lagi dengan pertanyaan yang itu mulu-mulu.

Gimana puasanya? Mudah-mudahan lancar sampai 21 hari ke depan 😁😁😁

Adakah yang nungguin si Mumta sama Pak Pol nyebelin Elbiyan?

Maaf, lama update, yaaaa 🙏🙏🙏

Gimana sama part ini? Komen dan vote dong.

Ayo silaturahmi bareng Hani dengan komen di bawah yaaaa 🤗🤗🤗


Binjai, 9 Ramadhan 1442

RaliaAkma_17

Nb:

Kalau typo, berkabar yaaakkk 😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top