Bagian 5 ~ Buku Hitam Si Amnesia
Assalamu'alaikum, orang-orang baik.
Masih lancar, kan, puasanya? Mudah-mudahan sampai akhir Ramadhan lancar terus yaaa 😊😊😊
Adakah yang kangen sama air mata Mumta atau Pak Pol nyebelin Elbiyan? Atau kelembutan bunda Ashma? Atau justru author nya? 😁😁😁😁
Oke oke oke, tahu. Hani tuh emang ngangenin orangnya. Gak usah dibilang juga sadar diri kok (Kalau ini cuma haluku aja 😂😂😂)
Tapi, tapi, mudah-mudahan kalian selalu kangen ya sama Mumta dan Elbiyan.
Hani mau bilang, mungkin di bagian ini typo bertebaran. Because my kepala is sick 😁😁😁 Jadi, Hani minta maaf lahir dan batin kalau kalian kesal sama typo nya 🤗🤗🤗
Semoga tiap part cerita Al Mumtahanah selalu mengesankan dan meninggalkan pengajaran untuk kita semua. Aamiin
raihani_
.
.
.
.
.
Bagian 5
Buku Hitam Si Amnesia
*****
Elbiyan menatap dingin perempuan yang tampak kebingungan di atas ranjang rumah sakit. Perban menempel di beberapa sisi wajah yang menoleh takut-takut padanya.
"Bagaimana keadaanmu?"
Mumta menunduk setelah sekilas melirik laki-laki di sampingnya.
"Baik."
Tiba-tiba Elbiyan mendekat. Meski meninggalkan cukup jarak, debar ketakutan semakin meluap di dalam diri Mumta. Apalagi dia sedang tidak ingat apapun saat ini.
"Kamu ... benar-benar tidak ingat apapun?"
Mumta mengangguk. Kepalanya seperti kosong tidak terisi apa-apa padahal dia sudah hidup selama ini. Ah, umur berapa dia sekarang?
"Makasih," ucap Mumta tanpa sadar. Membuat laki-laki di depan sana berwajah bingung. "Kamu yang selamatin aku, kan?"
Elbiyan membuang wajah. "Kalau bukan kewajiban, mungkin sekarang kamu bangun di Padang Mahsyar."
Mumta menaikkan wajah sedikit, laki-laki ini bersuara seperti tidak suka. Entah apa salahnya. Mumta tidak bergerak dari ranjang ini sejak dia membuka mata. Baru ini dia bersuara.
Perempuan tua yang selalu menemaninya belum kembali setelah pamit pulang. Dia merasa tercekam seruangan dengan laki-laki yang seolah siap menerkamnya kapan pun. Tidak ada senyuman ramah di wajah penyelamatnya itu.
Seorang suster masuk sambil membawa kertas. Tersenyum padanya dan membicarakan sesuatu.
"Maaf, apa anda keluarganya?"
Mumta menunduk saat Elbiyan menghunusya dengan tatapan lancip.
"Bukan, ada apa sus?"
"Saya ingin membicarakan administrasi pasien."
Mumta bergeming. Bagaimana dia membayar, dia saja tidak tahu apakah memiliki pekerjaan atau seorang pengangguran?
Sampai Mumta merasa lega saat Elbiyan mengulurkan tangan yang berisi sebuah kartu, kemudian menyerangnya lagi dengan tatapan mengerikan. Dan suster pergi sambil tersenyum.
Jam merangkak kian jauh. Mungkin di luar sudah sangat gelap, tapi penyelamatnya tak beranjak dari ruang inapnya. Mendadak mengupas buah setelah melihat ponsel sebentar.
"Kamu ... gak pulang?" tanyanya sambil menggigit apel di tangan. "Kenapa menungguku?"
"Uang ganti rugi," jawab Elbiyan cepat.
"Huh?"
"Biaya administrasi, biaya obat, dan jasaku membawa kamu kemari. Kamu gak berpikir itu gratis, kan?" Elbiyan memberi sepotong apel lagi padanya.
Kata-kata Mumta menggantung entah dimana. Dirinya gelagapan saat tahu kebaikan yang diterima ternyata bukan keikhlasan. Dia harus membayar semuanya setelah sembuh nanti.
Pakai apa?
"Aku sudah mencatatnya di sini." Elbiyan melempar buku kecil yang ia rogoh di saku celana. Tubuhnya berkacak pinggang, menunggu jawaban Mumta.
"Uh, ehm, gini." Mumta berusaha mencari jalan tengah. "Gimana kita nego dulu?"
"Itu sudah aku kurangi karena nurani aku bergerak melihat keadaan kamu."
Kalau nurani, tuh, uang diikhlaskan untuk membantu orang, cercanya dalam hati. Mumta jadi kesal karena Elbiyan mulai menjengkelkan.
"Aku memang berniat membalasnya, tapi sekarang ...," Mumta melirik Elbiyan yang menaikkan sebelah alis. "Aku gak punya uang, tap-tapi aku akan membayarnya," kata Mumta cepat saat Elbiyan menunjukkan reaksi. "Jadi, aku mengutang dulu." Mumta tersenyum seikhlas mungkin untuk menarik empati penyelamatnya yang berhati dingin. Tangan sampai menyatu di depan dada memohon kebaikan.
Namun, cara itu tidak mempan untuk hati Elbiyan yang batu. Itu pendapat teman-temannya. Elbiyan paham ini rayuan, yang menggerakkan hati untuk luluh, lalu dia mengiyakan. Setelah itu, perempuan ini kabur dan meninggalkan utangnya yang menumpuk. Elbiyan sudah sering menangani kasus berlatar belakang seperti itu, apa Mumta tidak tahu dia ini polisi?
"Kamu, kan, tahu aku gak punya siapa-siapa, nama aja gak ingat. Terus bagaimana caranya aku membayar kebaikan kamu sekarang juga?" Mumta menunduk. Wajahnya berkerut sedih. Ataukah dia sebatang kara? Memikirkan itu, wajahnya semakin turun mendekati dada. Menyedihkan sekali hidupnya. Bangun di ranjang rumah sakit tanpa ingat apa-apa, sebatang kara, dan ditolong oleh penyelamat yang tidak berhati malaikat. Dalam keadaan masih belum sepenuhnya baik, malah diminta membayar hutang.
"Oke, aku anggap ini hutang. Harus segera di bayar." Elbiyan tidak peduli, dia ini polisi, tapi gelagatnya seperti rentenir. Di dunia, tidak ada yang gratis, kan?
Seminggu setelah sadar, dokter mengizinkan perempuan amnesia pulang. Senang hanya mampir sepuluh menit, selanjutnya Mumta justru diselimuti kebingungan mencari tempat tinggal. Saat kakinya keluar di tangga terakhir lobi rumah sakit nanti, dia harus kemana? Menyewa hotel? Memegang satu rupiah pun jarinya tidak ada. Mengontrak rumah, pakai apa dia bayar bulanannya?
"Di rumah bunda ada kamar. Kamu bisa tinggal di sana sampai ingat sesuatu."
Elbiyan langsung bersuara tidak terima.
"Bunda, kita cuman punya dua kamar. Satu untuk bunda dan satu lagi kamar Iyan. Terus kamar mana lagi yang bunda sebut?" Tangannya berhenti merapikan barang-barang sang pengutang.
Interaksi yang aneh. Piutang membantu pengutang? Bahkan utang belum dibayar. Meski kesal, Elbiyan bersyukur diberkahi hati yang baiknya melimpah ruah.
"Hush! Gak kasihan lihat perempuan sakit begini? Gak tahu mau kemana karena gak ingat apa-apa? Kalau menolong orang jangan setengah-setengah, bang."
Ashma membantu Mumta berdiri. Tangannya terus menggandeng Mumta sampai masuk ke mobil. Kedekatan mereka seperti ibu dan sang putri.
Elbiyan didiamkan di kursi kemudi. Ashma berbicara seperti sudah lama kenal dengan pengutang anaknya.
Kurang dua minggu, Mumta berhasil mengambil hati Ashma. Mereka bertingkah seperti keluarga. Mumta diperlakukan bunda seperti putrinya. Dan Elbiyan merasa di pajang di foto keluarga.
Kamarnya diubah seperti ruang tidur seorang putri. Dia dilarang keras melangkah meski sejengkal ke kamarnya sejak Mumta tiba di rumah ini. Terpaksa, Elbiyan tidur di ruang tamu. Entah sampai kapan badannya harus terlipat karena ukuran sofa yang tak sesuai dengan panjang tubuhnya.
"Ingat utang kamu!" Elbiyan mengintip Ashma di dapur. Sambil memasang kancing di tangan, dia berbisik, "Jangan karena bunda, kamu menganggap utangnya lunas."
Mumta bersabar dalam hati. Laki-laki ini memang dari awal tidak ikhlas membantunya.
"Iya," jawabnya ketus. Meneruskan kembali menyapu lantai rumah saat matahari masih datang malu-malu.
Andai Elbiyan sebaik Ashma, mungkin Mumta tidak harus terbebani memikirkan upaya untuk membayar hutang sebelum tidur.
"Sarapan sudah siap!" teriak Ashma dari dapur. Senyumnya timbul saat Mumta dan Elbiyan datang bersamaan.
"Kok udangnya gak diambil?"
Mumta menatap udang tepung di tengah-tengah makanan yang lain. Di antara makanan harum yang menusuk hidung, hanya makanan itu yang tidak menarik di perutnya. Entah kenapa.
"Nanti, bun."
Belum lagi Mumta menyendok nasi, Ashma sudah duluan mengangkat sepotong udang di depan mulutnya. Dengan senyum, perempuan tua itu mengantar udang sampai kunyahan Mumta.
Sesuatu dengan cepat berdesir aneh di dada. Gendang hati seperti ditabuh tiba-tiba. Mumta merasakan impuls aneh menjalar di setiap sarafnya. Ada gejolak yang timbul dari mata ketika menerima suapan itu.
Perhatian sudah sering diberi Ashma sejak mereka bertemu, tapi suapan kali ini terasa sendu di hati Mumta. Air menggenang di pelupuk mata. Tanpa sebab yang bisa dimengerti, perhatian Ashma kali ini membuatnya sedih. Bunda Elbiyan itu hanya menyuapinya sepotong udang, tidak melakukan tindak kekerasan. Namun, kenapa menyedihkan?
Mumta meletakkan sendok di atas piring. Kaki tegak seperti semula.
"Maaf, aku ke kamar dulu."
Semua kepala menoleh kaget. Mumta ke kamar dengan keadaan berlinang air. Saat Ashma bertanya apa ada yang salah, Elbiyan hanya mengangkat bahu. Dan memilih melanjutkan sarapan.
Perempuan banyak drama.
*****
"Cepat! Saya harus balik lagi ke kantor."
Mumta tersenyum dan menelusuri pasar ini lebih jauh. Dia melihat Elbiyan bersedekap tangan di belakang dan menyiratkan wajah tidak suka, ini perintah Ashma bukan keinginannya. Ah, tepatnya, keinginannya yang diserukan oleh Ashma.
Sedikit banyak Elbiyan cukup mengagumkan. Dia menuruti apapun kata Ashma. Bisa dibilang, anak penurut juga berbakti. Mumta pernah bertanya, kenapa penyelamat yang tidak ikhlas itu belum ada istri sampai sekarang.
"Si abang itu gak mau ninggalin bunda sendirian. Karena bunda cuman punya dia di sini, saudara yang lain jauh. Padahal bunda mah ditinggal demi si abang menjalankan sunnah rasul, nggak apa-apa. Tetangga di sini, kan, ada. Baik pula. Bunda juga sering ditinggal kerja sama si abang, gak apa-apa, kan? Si abang aja yang lebay."
Menunda nikah demi orang tua, Mumta tidak tahu apakah dilegalkan agama atau tidak, tapi itu terdengar damai di hatinya.
"Bakso!" pekiknya dan melangkah girang menuju gerobak yang memamerkan daging bulat dibalik kaca.
"Eh, eh," belum mengetahui nama membuat Elbiyan susah memanggil perempuan yang sudah memesan barang pada pria sepantaran Ashma.
"Uangnya?" tanya Elbiyan saat dia ingat Mumta tidak memiliki uang sepeser pun.
"Uang?" Mumta berpikir mengenai pembayaran yang sebentar lagi akan di tagih. Dia tidak memiliki dompet, jangankan benda itu, uangnya saja tidak ada, lalu untuk apa ia memiliki dompet?
Tatapannya mengarah pada Elbiyan yang mengamati gerobak biru.
"Kamu."
Elbiyan menurunkan pandangan. "Maksudnya?" Keningnya berkerut.
"Pakai uang kamu dulu. Nanti aku bayar. Lagian, aku juga sudah mengutang sama kamu, kan?" Mata Mumta berbinar seperti sorot matanya.
"Yang kemarin-kemarin aja belum dibayar. Gak bisa!"
"Sepuluh ribu, mbak." Si bapak sudah mengulurkan plastik berisi bakso buatannya. Tersenyum menunggu uang yang akan dijadikan pembayaran.
"Bang,"
Mata Elbiyan membulat. Suara mendayu itu membuatnya terkejut. Si bapak yang melihat ikut tersenyum.
Pasangan serasi muncul di benak bapak paruh baya yang masih terlihat bugar. Topi khas abang-abang bakso menutupi kepala yang kelihatan sedikit memiliki rambut.
"Istri ngidam memang gitu, mas." Dia menerima uang biru dari tangan Elbiyan.
"Istri? Dia bukan istri saya, pak." Elbiyan menatap rendah perempuan yang kesenangan menerima plastik hitam berisi kuah panas menggiurkan.
"Oh, pacar."
"Bukan juga, pak."
Si bapak sempat berhenti menghitung uang kembalian yang harus dia berikan pada pelanggan.
"Ah, kakak adik, ya. Ya ampun, baik sekali jadi abang masnya."
"Bukan," protes Elbiyan tak terima. Si bapak memasang tampang bingung. Semua dugaannya tidak benar. Pasangan serasi yang ada di kepala pun bubar.
Mumta cemberut. Seburuk itu dia di mata Elbiyan sampai tidak pantas menyandang status apapun selain piutang dan pengutang?
Mumta mengikuti Elbiyan yang berjalan menuju mobil.
"Tuh," Elbiyan melempar buku kecil ke dashboard mobil. "Catat harga baksonya! Nanti aku lupa."
"Gak mau diikhlaskan saja? Cuman sepuluh ribu?" rayunya.
"Nggak bisa! Sepuluh ribu itu bisa buat beli telur empat butir. Jadi gak bisa dilupakan."
Dengan berat hati, Mumta menambah tulisan di buku khusus yang disediakan Elbiyan untuk catatan semua hutangnya.
*****
Ashma, Elbiyan, dan anak gadis orang yang tinggal dirumahnya hanya berkeliling di supermarket. Ashma menyuruh Mumta membeli barang yang ingin dibeli, sedangkan janda satu anak itu pergi ke bagian bahan dapur. Ditemani Elbiyan, Mumta menjelajahi tiap lorong tempat belanja ini.
"Kalau gak ada yang mau dibeli, mending kita ke bunda dan pulang." Suara itu mengalun pelan, namun menyiratkan ketegasan.
Mumta ingin membeli barang, banyak malah. Tapi ia sadar diri, meski sudah sempat pulang, dirinya tidak sempat membawa apapun. Dia hanya kembali membawa luka dan itu tidak bisa diperdagangkan. Kalau bisa, mungkin Mumta sudah kaya sekarang. Tidak harus kerja sama orang.
Pandangan Mumta berhenti pada kulkas berisi makanan siap saji. Pasti di sana ada benda bulat berbahan daging kesukaannya atau makanan lain yang bisa ia nikmati kala perut lapar tengah malam.
"Mau kesana?" tawar Elbiyan yang melihat arah mata anak gadis orang itu.
Buat apa kalau gak beli? Lesunya dalam hati.
"Ke bunda aja, deh. Eh," Mumta memandang tarikan Elbiyan di tangannya.
"Yakin? Bakso di sini enak, loh. Apalagi nuggetnya, kalau dicocol saus, kayak narkoba, tapi halal."
Ini godaan Elbiyan agar utangnya makin bertambah. Dan dia bisa semakin semena-mena. Mumta menggeleng pasrah. Ternyata keberadaan uang adalah masalah krusial dalam hidup. Setrika kehidupan yang bisa meluruskan masalah apapun.
"Gak ada uang, El," adu Mumta.
"Biasanya juga pakai uangku." Elbiyan mengantongkan tangan di saku.
"Gratis?" tanya Mumta menahan rasa senang di tenggorokan.
"Ya bayar."
Mumta mendesah. "Ah, utangku makin nambah. Yang kemarin aja belum dibayar sama sekali."
"Ya, makanya dibayar."
"Gak ada duit, El. Kalau ada, udah aku cicil."
"Kerja dong, Mum. Masih muda juga." Elbiyan meninggalkan Mumta dan berjalan menuju kulkas makanan itu. Mengambil sebungkus makanan siap saji dan membawanya pada Ashma.
Kerja?
Mumta jadi mempertimbangkan saran itu saat perjalanan pulang.
*****
"Bunda kayak mau menyambut tamu belanjanya," tegur Elbiyan saat mengeluarkan plastik penuh dengan belanjaan Ashma.
Mumta menerima dua plastik dan menentengnya di tangan kanan dan diri.
"Biar gak ke pasar-pasar lagi."
Elbiyan merebut belanjaan dari Ashma dan berjalan menuju pintu. Mungkin mereka sudah membanting tubuh di atas sofa setelah berjam-jam berkeliling jika seorang perempuan tidak ikut berdiri dan menubruk tubuh Mumta tiba-tiba.
"Aku kangen kamu, Ta."
Mumta mematung. Barang-barang di tangannya jatuh ke tanah. Ikut melingkarkan lengan di pinggang perempuan yang memeluknya erat.
"Key," panggilan Mumta bergetar karena haru. Keyra ada di sini. Dia ingin menceritakan semuanya pada Keyra. Ada banyak sayatan yang bertambah dalam hidup Mumtahanah. Dia tidak sanggup menahannya sendiri. Hatinya tak sekuat baja dan setangguh besi.
Ibu dan anak yang menyaksikan saling melempar pandang. Kemudian menyuruh tamu tak dikenal untuk mengobrol di dalam.
"Jahat banget kamu gak ngabarin kalau masih napas." Dia menghapus air di sudut mata saat Ashma datang mengantar minum.
"Kalau udah almarhumah, gimana ngabarinnya, Key? Mau aku datangi lewat mimpi?"
Mereka berbincang sebentar sampai pemilik rumah memberi kebebasan untuk dua sahabat itu berbicara lebih intim. Mumta mengajak Keyra ke kamar. Ba'da ashar, mereka duduk berdampingan di atas lantai, bersandar di ranjang. Sama-sama memeluk lutut.
"Aku gak tahu harus mulai darimana, tapi," Keyra menatap ke samping. "Adam benar-benar gak baik buat kamu."
Adam baik, takdir saja yang tidak berpihak pada mereka.
"Aku sudah bilang dari awal sama kamu, gak percaya, sih. Galau, kan?"
Mumta tersenyum kecut. Kebahagiaan waktu itu membuatnya gegabah menilai takdir yang berjalan. Hingga menghimpun luka sendiri di hati.
"Lagian kamu, sih, Adam dan Hawa mau dipisahkan. Tuhan aja menyatukan kembali laut merah, apalagi awal kehidupan seperti mereka."
Menyesal pun percuma, Key, semua sudah terjadi.
Mendengar kata-kata Keyra untuk memikirkan kembali lamaran Adam juga sia-sia. Tidak akan mengembalikan waktu dan memberikan kesempatan apapun pada Mumta untuk menimbang baik-baik.
Sekarang dia dituntut untuk terus maju, selain itu tidak ada lagi.
"Tapi, Mum," Dengan tangan menjepit erat kedua lutut, Mumta menoleh. "Anak pemilik rumah ini boleh juga, tuh."
Mumta menepuk lengan temannya. Mereka tertawa bersamaan. Meski tawa Mumta tidak bisa sepenuhnya disebut tawa.
Kehadiran Keyra sedikit menghibur hatinya yang masih gerimis. Menyisakan gemitir yang sesekali timbul saat membayangkan kebahagiaan Hawa bersama Adam saat ini.
"Kamu bukan sedang memikirkan ucapanku tadi, kan?" Keyra sudah tersenyum jahil untuk menggodanya saat Mumta menoleh.
"Yang mana?"
"Ish, tentang anak pemilik rumah ini."
Elbiyan?
Sepertinya tidak ada perasaan lain selain terima kasih untuk penyelamat itu. Meski sekarang Mumta masih bingung cara membayar hutangnya yang kian menumpuk. Apa harus dia keluar dari rumah ini dan mencari pekerjaan?
"Nggak mungkin perhatian dia gak mengusik hidup kamu."
Perhatian?
Mumta tidak tahu menyebutnya bagaimana. Saat dia meminta sesuatu pada Elbiyan, laki-laki itu selalu mengatakan tidak, tapi tetap membawakan pesanannya ketika pulang.
Perhatiankah itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top