Bagian 4 ~ Bunga Yang Di Petik
Bagian 4
Bunga Yang Di Petik
*
*
*
Elbiyan jadi menyesal saat dulu bersikeras menemukan barang-barang Mumta untuk ia jadikan pancingan agar ingatan perempuan itu kembali seutuhnya. Elbiyan kira, ketika Mumta pergi dari hidupnya, maka hilang pula tanggung jawab yang bermula karena penasaran.
Sayangnya, Elbiyan terlalu naif menipu hati hingga ia terjerembap dalam perasaannya sendiri.
Dia mencintai Mumta.
Dia mencintai perempuan yang duduk lemah di jok belakang sambil bersandar di bahu Ashma.
Tadi pagi, Mumta mendadak muntah-muntah. Bibirnya pucat dan tidak bertenaga. Ashma yang sudah kepalang sayang menyeret puteranya untuk mengantar Mumta berobat.
"Bunda tahu, kamu kecewa, tapi kesehatan juga harus dijaga, kan?"
Bunda mendudukkan Mumta dengan hati-hati di ranjang. Memberikan bantal sebagai sandaran di punggungnya.
"Nangis juga butuh tenaga kali, Mum. Makan yang banyak biar kamu puas nangisnya. Ditampung, ya, biar menghemat air di kamar mandi."
"Elbiyan!"
Mumta tampak muram. Hatinya sedikit tersinggung akan perkataan itu. Tapi, ia juga membenarkan. Kalau tidak ada tenaga, bagaimana ia menumpahkan isi hatinya? Yang ada rohnya yang tumpah ke luar.
"Kamu ini, orang lagi sakit malah ditambah sakit. Sudah sana!" usir Ashma berkata tajam.
Ini cara Iyan mengembalikan dia, bund, batinnya bersuara bersama langkah yang menjauh ke luar.
Ashma berdecak melihat ketidakpedulian Elbiyan pada Mumta. Sedari kecil Elbiyan dididik oleh sang suami untuk menghormati perempuan, tapi kenapa besarnya justru tidak berperikewanitaan? Ashma jadi ragu perasaan yang ada di putra tunggalnya itu bukanlah cinta.
Kalau cinta seharusnya memperhatikan diam-diam, mengamati dari jauh, bukan menjadi musuh secara terang-terangan.
"Bunda ambilkan nasi biar bisa minum obat, ya?"
Mumta hanya mengangguk. Menolak bunda hanya membuang-buang tenaga. Apalagi dia tidak memiliki cukup tenaga untuk beradu argumen dengan wanita itu. Mungkin tiga suap saja sudah cukup sebagai syarat agar bisa minum obat. Setelah itu, Mumta kembali merebahkan jiwanya pada alam bawah sadar.
Tidur adalah cara yang sederhana untuk lari dari kenyataan. Kompleksnya? Ya, bunuh diri. Tidur untuk selama-lamanya.
"Loh, kok dikit sekali?" Ashma protes saat Mumta menolak suapan di tangannya. "Belum juga usak setengah."
Mumta menjauhkan mulut ketika Ashma memaksa menyuapi lagi.
"Yang penting makan, kan, bund?"
Ashma hanya menggeleng dan memberikan bungkusan obat untuk Mumta minum.
"Langsung tidur? Ndak tunggu dzuhur?"
"Lagi libur."
Mumta meluruskan punggung di atas kasur. Tersenyum sekilas sebelum menutup mata.
*****
"Aw, aw, bund, sakit."
Tubuh Elbiyan meliuk-liuk akibat daging di perutnya dipelintir Ashma dengan ganas.
"Kamu, tuh, sebenarnya cinta tidak dengan Mumta? Kenapa menjulidinya terus?"
Elbiyan diam menatap pantulan diri dari kaca meja makan. Suara bunda melunak saat bertanya, meski masih ada emosi terselip disetiap katanya.
"Bunda yang bilang Iyan tidak cocok dengan Mumta. Kenapa sekarang mengungkit?"
"Lalu, kamu bebas mengasarinya dengan kata-katamu?" Suara Ashma tajam lagi. Terkadang Elbiyan berpikir, sejak kedatangan Mumta, dia seperti anak tiri di rumahnya sendiri.
Disuruh tidur di ruang tamu, tidak boleh masuk meskipun hanya sejengkal ke kamarnya kalau Mumta ada di dalam. Setiap hari makanan sesuai selera Mumta yang tersaji di meja makan. Sebagai bentuk memuliakan tamu, jawab bunda kala Elbiyan protes.
"Bunda memang pengen punya menantu, bang. Tapi, perempuan yang kamu pilih tidak tepat. Dia mencintai orang lain, bukan kamu. Kalau tidak sekarang, akan susah untuk kamu melupakannya. Tahu sendiri, kan, kalau cinta sudah melekat kuat bagaimana efeknya pada manusia? Tindakan negatif terasa positif di mata."
"Kenapa bunda berbicara begitu?"
"Bagaimana bunda tidak berbicara begitu kalau kalian setiap detik berantam terus. Itu di luar pernikahan, bagaimana jika sudah menikah? Bisa-bisa perang dunia terus setiap hari."
"Itu karena Iyan pengen ngobrol sama Mumta, bun."
"Ngobrol sama ribut itu beda, bang. Dan yang kamu lakukan sama Mumta itu cari ribut namanya."
Ashma pergi meninggalkan putranya. Elbiyan mungkin termasuk murid pintar di sekolahnya dulu. Meski tidak melulu ranking terbaik di kelas, tapi kecerdasan anaknya tidak bisa diragukan. Namun, itu tidak bisa dibanggakan saat disandingkan dengan kepekaan terhadap perempuan.
Namun, Ashma bisa sedikit tenang, kabar burung mengenai anaknya yang menyukai sesama jenis hilang saat dia tahu Elbiyan mencintai tamu mereka.
Tapi, ketika Ashma membawa Mumta ke pasar atau ada orang bertanya, Ashma akan tersenyum dan gembira mengenalkan Mumta sebagai putrinya, adik Elbiyan. Mungkin dia tidak akan seingin ini untuk memiliki putri kalau saja rahim masih melengkapi sistem reproduksinya.
*****
Di anak tangga masjid Al Azhar, 4 bulan sebelum akad
"Kenapa saya, ya, kak?" Meski seumuran, Mumta merasa tidak sopan jika memanggil laki-laki yang mengisi hatinya hanya nama saja. Apalagi sebentar lagi akan ada panggilan khusus di antara mereka.
Mumta mengintip sedikit laki-laki yang sedang mengarahkan kepalanya ke atas. Semakin erat memeluk buku tebal di dada karena ketampanan yang dilukis Allah begitu jauh di atas rata-rata, dan itu akan menjadi miliknya kurang dari dua bulan lagi.
"Saya juga gak tahu," ada seberkas senyum ditujukan untuknya. Jantung Mumta semakin berdetak berlebihan. "Kamu ragu?"
Mumta menggeleng cepat. Bahkan, dia sangat yakin. Tidak ada keraguan meski sekecil biji zarrah.
Cinta membuat Mumta seperti ini.
Ditutupnya kepedulian pada orang-orang yang menatapnya sinis, seolah berkata di kepala mereka, bahwa Mumta tak pantas untuk cowok masjid yang dulu aktif dalam kegiatan kampus.
Toh, restu Allah dan orang tua yang akan menikahkan Mumta pada imam impian. Bukan orang lain.
Namun, hati Mumta selalu bergetar ketakutan saat mengingat sesosok perempuan.
"Saya memiliki seorang adik," Pelukan erat pada buku berubah menjadi remasan ketakutan.
"Lalu?"
"Dia cantik, lebih unggul dari saya." Mumta semakin menunduk dalam.
Hawa Putri Al Jauhariyah. Anak kesayangan Pak Jauhariyah dan Ibu Tantri Suci. Mumta jadi takut membawa Adam ke rumah. Bagaimana jika nanti Adam berubah haluan dan melamar Hawa karena kecantikan yang adiknya miliki?
Menggema pelan tawa kecil di telinganya.
"Insyaallah saya tidak mencari yang cantik." Mumta hendak bersyukur, tapi kalimat selanjutnya membuat hati perempuan yang baru saja mendapat gelar psikologi di belakang namanya mencelos. "Tapi, yang sangat cantik."
Tawa kecil yang beberapa detik lalu lahir menjelma tawa yang membingungkan. Mumta hanya berkata-kata di hati dan kepalanya.
"Tenang, Mumta, saya sudah mendiskusikan ini matang-matang dengan Allah. Jujur, memang banyak perempuan yang lebih cantik dari calon saya, tapi yang menempel di qalbu saya cuma kamu."
*****
Mumta menyesal menerima mentah-mentah sebuah pengakuan di depan masjid waktu itu. Dia menyesal melipat kaki dan membicarakan Hawa dengan laki-laki disampingnya. Dia sangat menyesal begitu riang menerima kertas yang berakhir membawa sengsara untuknya sekarang.
Kebahagiaan kecil yang susah payah dibangun, runtuh dalam sekali tatap. Mumta kembali terpuruk pada lubang hitam kehidupan yang ia ciptakan sendiri.
Adam pasti tengah berbahagia di atas ribuan air yang menetes dari matanya. Atau mungkin dari awal, dia memang menginginkannya?
Mumta semakin meringkuk dalam kesakitan. Raganya yang lemah bertambah ringkih saat kenangan-kenangan indah bersama Adam bermain di kepala.
Dia baru saja amnesia, namanya saja dia tidak ingat, tapi kenapa senyum Adam tidak lenyap bersama cedera otak itu?
Mumta sadar dia tidak secantik Hawa, bahkan disebut cantik pun entah bisa atau tidak, tapi dia juga memiliki hati yang bisa retak dengan mudah. Mumta paham dirinya tidak semenarik bidadari dunia yang lain, tapi apakah dia tidak pantas dihargai oleh cinta?
Mumta sudah terabaikan sejak kecil, kenapa semua kesedihan justru berpihak kepadanya? Orang tuanya hanya menganggap Hawa, dunia juga seolah mengikuti, lalu dengan siapa dia bersandar untuk mencurahkan isi hati?
Mumta punya keluarga, dia punya orang tua, tapi hidupnya berjalan seperti sebatang kara. Dia tidak tahu apa yang salah sehingga orang-orang menganggapnya semu.
Mumta kira kedatangan Adam bisa jadi lembaran baru yang indah, nyatanya laki-laki itu yang menimbulkan luka biru paling menyakitkan di ruang hati.
Sudah terlalu besar harapan untuk dibahagiakan yang ia letakkan pada sosok Adam. Membina rumah tangga, saling berpegangan tangan saat datang ombak, dan tidak saling meninggalkan.
Bukankah itu yang Adam tulis di suratnya waktu itu? Kenapa dia malah berbalik bahkan saat semuanya belum dimulai?
"Itu karena dia bukan yang baik buat kamu, Mumta."
Ashma tersenyum simpul. Menarik wajah yang tenggelam di dalam rengkuhannya. Mengusap pipi sang putri. Menatap butiran air yang jatuh di wajah Mumta.
"Memangnya cuman dia laki-laki di dunia ini sampai ditangisi seperti itu?"
Itu karena aku kira, Adam yang akan menghapus air mata dalam hidupku, bun. Mumta meringis.
"Jangan lemah karena manusia, Ta. Kamu membuat Allah sedih, padahal ada banyak alasan untuk menyukai orang lain."
Mumta tidak yakin dia bisa lagi mempercayakan harapannya pada laki-laki. Setelah ini pun, Mumta tidak tahu apakah masih berani menerima lamaran laki-laki lain atau tidak.
"Jangan jadikan kegagalan kamu kali ini menghambat masa depan kamu yang cerah. Masa lalu nggak pantas merusak masa depan. Seharusnya kamu jangan menangis, tapi bangkit untuk menunjukkan pada laki-laki itu kalau kamu bahagia tanpa dia. Kalau kamu bisa melukis di kanvas kamu tanpa bantuan dia."
Mumta sedikit semangat mendengar dorongan itu. Bukankah terlalu bodoh menangisi seseorang padahal Allah menyediakan jutaan alasan untuk manusia bahagia? Bukan semata hidup dengan orang yang dicinta?
"Seseorang yang mengaku cinta, tidak akan merusak bunga indah yang dia temukan di tengah taman. Cinta yang diakui di hati seharusnya membuat dia menjaga bunga itu sepenuh hati. Bukannya memetik, dan membuatnya layu."
Ashma menangkup wajah sembab Mumta. Mengamati air yang mulai kering. Mungkin tinggal lukanya sedikit lagi.
"Kalau kamu merasa sendiri di dunia ini, lalu kehadiran bunda sama Elbiyan kamu anggap apa? Hanya orang asing yang baik?"
Tentu tidak. Mumta menganggap lebih, bunda dan Elbiyan terasa keluarga untuknya. Dukungan mereka, kasih sayang mereka, juga perhatian besar yang diberikan membuat Mumta merasa seperti satu kartu keluarga. Meski Elbiyan acap kali mencari ribut, Mumta tidak yakin laki-laki itu tidak menyukai kehadirannya.
"Bunda bukan melarang kamu untuk menangis. Kalau bukan air mata yang menjadi juru bicara kecewa, lalu apalagi? Tapi ...," Ashma menggenggam bahu Mumta dan menariknya supaya tegak. Menarik kedua ujung bibirnya hingga terlihat seperti tengah tersenyum. "Sekarang udah waktunya bangkit. Allah tidak suka hal yang berlebihan, termasuk cinta manusia pada manusia lainnya."
"Kamu cantik, kamu baik. Dan orang baik pasti dijodohkan dengan orang baik. Ya, kan?"
*****
Elbiyan terpaku melihat Mumta datang dengan senyum tipisnya. Terlihat sedikit cahaya di wajahnya meski masih menampilkan kekecewaan yang membuatnya menolak keluar kamar.
"Kenapa kamu? Melihat Mumta seperti itu?"
Elbiyan menggeleng samar. Ashma sudah memasang sorot tajam. Mewanti-wanti dirinya agar tidak membayangkan apapun tentang Mumta. Padahal Mumta sudah yakin, sebelum memberanikan diri dan merangkak keluar dari kecewanya, bayangan di cermin tidak memperlihatkan suatu yang aneh. Tapi, kenapa Elbiyan sampai memelototinya seperti tadi?
"Bang."
Elbiyan tersedak. Panggilan Ashma menegur tiba-tiba.
"Y-ya, bun?" Sekali, matanya melirik Mumta yang tetap makan, tidak terusik dengan batuknya.
"Nanti pulang cepat bisa tidak? Bunda mau belanja bahan dapur." Ashma menambah lauk di piringnya.
"Jam berapa bun?"
"Ba'da dzuhur aja. Biar dapat dhuha sama dzuhur tepat waktu. Nanti kalau kelamaan, Ashar di jalan."
Elbiyan berpikir sejenak. "Kayaknya bisa, bun. Nanti Iyan minta tolong Ali."
Ashma tersenyum. "Masyaallah sekali, ya, teman kamu itu. Baik banget. Kalau perempuan udah bunda lamar jadi mantu."
Elbiyan kembali tersedak makanan. Kali ini tak main-main, denyut menjalar hingga ubun-ubun.
"Dih, Ali bukan level Iyan, bun. Ogah seranjang sama dia." Elbiyan bergidik jijik.
"Memangnya si Ali juga mau sama kamu?"
Elbiyan cemberut. Bunda ini, menghardik anak tidak tahu tempat, kenapa harus di depan cintanya? Tergores sudah kewibawaan yang dia pamerkan pada Mumta. Namun, dia ingin berterima kasih pada Ashma, senyum tipis Mumta kembali terlihat, sehingga Elbiyan tahu kalau hati Mumta mulai membaik saat ini. Meskipun dia tidak tahu baiknya seberapa jauh.
"Nanti kita beli daging buat bakso kesukaan Mumta. Oke?" Ashma mengacungkan jempol, tapi tak kunjung mendapat anggukan atau sekedar senyum. "Kenapa, Mum? Gak mau?"
"Bukan gak mau bunda, tapi ...," Mumta melirik Elbiyan takut-takut. Kalau dia menganggukkan kepala, Elbiyan pasti akan menambahkan harganya ke dalam buku hitam Mumta. Bukannya bebannya semakin berkurang malah bertambah karena hutang yang kian menumpuk.
"Tenang, niat bunda itu ikhlas, tidak itung-itungan. Jadi kamu gak perlu bayar."
Elbiyan menghela napas. Menyadari tatapan sengit itu ditujukan untuknya.
"Iyan berangkat, ya, bun."
Dia harus lari supaya tidak kena semprot lebih tajam oleh Ashma. Mumta sedang menduduki tahta tertinggi di hati Ashma. Dia kalah saing.
*****
Mumtahanah Al Jauhariyah.
Anak gadis orang yang berhasil mendobrak penjara hati Elbiyan menjadi taman bunga. Elbiyan tidak tahu jelasnya kenapa ia bisa jatuh hati, tapi saat tahu Mumta adalah calon istri orang, hatinya menggebu-gebu tak terima. Mungkin kekuatan itu yang menghasut Elbiyan menyembunyikan status asli perempuan yang tinggal di rumahnya sekarang. Hidup seperti seorang putri bagi Ashma, tapi seperti istri bagi Elbiyan.
Andai Ashma tidak menentang keras perasaannya.
"Segitu indahnya, ya, pesona, tuh, anak gadis orang?"
Tiba-tiba Alibaba Syaifullah sudah duduk di depannya. Urat wajahnya timbul karena tengah mengunyah sesuatu. Ini kata bunda si Ali tidak mau dengannya? Setiap saat selalu mengusiknya di meja kerja.
"Padahal dulu keras sekali mau menelantarkannya di rumah sakit."
Dia mengelap bibirnya dari minyak sisa makanan. Menopang kaki kanan di lutut kiri.
"Dulu sama sekarang beda."
"Cinta maksud bos yang membuatnya berbeda?" Alis Ali naik sebelah. Wajah Arab imitasi Ali menatap Elbiyan menantang. Senior yang tidak dianggapnya itu terlalu memikirkan harga diri dan gengsi sehingga sulit sekali mengatakan cinta pada perempuan. Kalau trauma diikuti, akan menghambat perkembangan, kan? Lawan adalah solusinya, tuturnya ketika Elbiyan lari saat diajak membicarakan perempuan.
"Diem lu, ah," kesal Elbiyan sambil menyimpan ponselnya ke saku.
"Tuh, anak gadis orang, gak ada nanyain gue, bos? Padahalkan sebelum lu bawa pulang, akrabnya sama gue."
"Kenapa? Mau bersaing?" tanyanya dingin.
"Eh, bos takut, ya, tuh, anak orang lari sama gue?" Ali tertawa. Elbiyan hanya menggeleng. "Lagian, ya, bos," Ali berusaha meredam tawa. "Sesuatu yang pernah melekat di hati, susah untuk dilepaskan."
Elbiyan melunak. Dirinya mulai memperhatikan Ali yang berkata serius. Biasanya kalau sudah begini, Ali akan mengatakan sesuatu yang bermanfaat. Yang terkadang bisa menampar Elbiyan tanpa disentuh oleh telapak tangan. Atau mungkin sedikit memberikan perubahan pada hidupnya yang monoton.
"Dan kalau sudah begitu, celah untuk lu masuk itu kecil. Kalau lu paksa buka lebar, bawa goresan entar. Makin nambah sayatan, kan?"
"Tapi, gue gak menyakitinya sekejam itu, Pul."
"Kalau lu gak kejam, si Mumta gak akan tahu identitasnya dari bunda, tapi dari lu." Ali mendekat ke meja dan menunjuk Elbiyan. "Memang sih lu gak sekejam mantan calonnya yang biadab itu, tapi keegoisan lu juga jadi jembatan atas luka Mumta. Coba aja dia bisa pulang seminggu sebelumnya, mungkin yang jadi nikah itu dia, bukan adiknya, bos."
Elbiyan merasakan panas di dada. Giginya gemeretak. Ingin memberikan kepalan tangan di wajah Arab imitasi Ali, tapi yang dikatakan temannya itu benar. Kalau saja keegoisan tidak menguasai Elbiyan kala itu, mungkin Mumta sekarang sudah jadi istri orang. Pergi dari rumahnya yang dulu sangat dia galakkan. Namun entah kenapa, Elbiyan sedikit merasakan syukur. Meski juga ikut terluka, dia masih berdoa untuk diberikan kesempatan memiliki Mumta. Mematahkan argumen Ashma kalau dia pasti bisa membahagiakan anak gadis orang itu. Membawakan Ashma menantu yang sering menjadi perdebatan mereka.
"Dari lu gue belajar," Elbiyan tersadar dari lamunannya. "Kalau cinta tidak selamanya membahagiakan."
.
.
.
.
.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sudah lama tidak basuo lewat online gini sama orang-orang baik Mumtahanah.
Semoga puasa kedua hari ini lancar wal afiat yaaa 😁😁😁😁
Dukung Mumtahanah yuk di kolom komentar dan bintang di sebelahnya.
Jangan kasih kendor 🤭🤭🤭
Wassalamu'alaikum 🙏🙏🙏🙏
Binjai, 2 Ramadhan 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top