Bagian 32 ~ Hatiku Maunya Kamu
Bagian 32 :
Hatiku Maunya Kamu
*
*
*
Jum'at cerah.
Satu jam lewat tiga puluh menit lalu, hujan berhenti mengguyur bumi. Mempersilahkan kembali matahari menghangati hari menjelang siang. Bumi terasa seperti di dunia rekayasa. Penuh rekaan manusia, dan bahagia yang tidak pernah ada dalam nyata.
Drama maupun novel yang ada.
Sejuk yang tersisa seakan mengucapkan salam pada bunga yang menguncup. Tetes-tetes air yang jatuh dari ujung daun. Juga angin yang berlalu dengan damai.
Mumta seperti melangkah pada halaman baru hidupnya.
Tidak ada lagi hati yang dijeruji, tidak ada lagi belenggu nurani, tidak ada lagi rantai yang memberatkan langkah untuk menapak.
Dan tidak ada lagi genggaman pada masa lalu.
Semuanya sudah lepas, dia buang pada arus memaafkan.
Sekarang senyum berani muncul tanpa menyembunyikan apapun. Sakit hati sudah tidak lagi menguasai, udara yang masuk lepas tanpa membawa beban.
Hatinya ... damai.
Sejak dia mulai menerima dan membuka pintu lagi untuk belajar. Meski belum bisa selebar dulu, Mumta akan berusaha agar raganya keluar dari masa sulit.
"Jatuh cinta ya, kamu?"
Saat sadar, Mumta sudah melihat Keyra memajukan wajah. Mengerutkan kening, menatapnya penuh selidik. Dagu dia topang di telapak tangan bagian kanan.
"Curiga aku."
"Key," Mumta justru memajukan kursi. Menggenggam jemari Keyra. Wajahnya masih berbinar seperti tadi. "Aku gak nyangka rasanya bakal seperti ini. Semacam mendapatkan hadiah atau menjadi pemenang di kompetisi idaman, bahkan lebih dari itu. Aku ngerasa pundakku jadi ringan, hati juga gak melulu lagi pengen nangis, wajah juga jadi hobi senyum, bukan lagi murung dan meluruhkan tangis. Benar-benar beda dari dua puluh empat jam yang lalu."
Kepala Mumta kembali melayang, pada malam hari ketika dia tidak bisa tidur. Lalu, kakinya seperti maling berjalan menuju kamar utama. Merangkak, menyempil di tengah-tengah orang tua yang tidur saling membelakangi. Kemudian tangannya melingkari pinggang Tantri yang ternyata belum terlelap sempurna. Kasur yang bergerak disangka manusia disebelah tengah beringsut, ternyata putri sulung yang memeluknya di belakang. Jauhari yang terganggu melirik dengan mata mengantuk. Namun tidak lama seulas senyum menghiasi wajah bangun tidurnya.
Benar-benar perubahan yang nyata.
"Serius kamu?" Mata Keyra membulat tidak lama setelah cerita bahagia itu selesai. Kepala Mumta mengangguk masih berhiaskan senyum. Bahkan hangatnya masih terasa di kulit yang ditutupi baju panjang ini.
Namun saat Mumta kembali mengangkat wajah, ekspresi berlawanan terlihat di wajah Keyra yang menjatuhkan pandang pada lantai kafe.
Tidak ada garis bibir yang terpahat, hanya ada raut murung yang baru saja menghela napas.
"Kamu gak senang dengar berita perdamaianku, Key?"
Keyra menggerakkan kepala. Tangannya mengaduk-aduk gelas di depan.
"Nggak, seneng dong. Bahagia banget. Itu cerita yang sangat ingin aku dengar dari kamu," balasnya dengan memberikan senyum yang terasa sedikit terpaksa.
"Tapi, kok ekspresi kamu gak menggambarkan demikian?" Kening Mumta berkerut. Bahkan orang lain pun tahu jika Keyra tidak merasakan kesenangan di balik ceritanya.
Keyra menghela napas, sembari merapatkan tangan di atas meja.
"Aku kira kamu dilamar sama anak bunda itu. Polisi hitungan itu loh. Yang jaga pengutangnya, bukan diteror."
Dilamar?
Kepala Mumta melemah. Bahkan Ashma saja sudah marah besar padanya karena peristiwa yang entah kenapa bisa terjadi.
Esok hari, ketika Mumta keluar kamar setelah subuh, Ashma langsung menghampirinya di dapur. Dengan senyuman yang masih terpatri untuknya, Ashma menyampaikan permintaan yang semakin membuat Mumta merutuki diri. Permintaan pulang saat itu juga dilayangkan, meski dengan kalimat halus, hati Mumta tetap tercabik. Seolah dia sudah melakukan dosa besar dan menjadi aib masyarakat.
Ah, bukannya memang begitu?
Disengaja atau tidak, dosa tetaplah dosa. Tidak ada tawar menawar.
Sehalus apapun sebuah niat pengusiran disiratkan dalam lisan, rasanya tetap menyayat di hulu hati. Meski Ashma menyampaikan penuh kelembutan dan senyuman di tiap kalimat, permintaan pulangnya tidak terasa mendamaikan.
Tapi Mumta tahu, Ashma mengusirnya, ah, maksudnya meminta untuk pulang lebih cepat, itu untuk kebaikan mereka.
Demi menjaga martabat dan kehormatan wanita.
"Dia gak pernah singgung masalah itu ya, Ta?"
Jangankan itu, Elbiyan sedikit pun tidak pernah menyatakan cinta atau kalimat apapun yang menyiratkan pendeklarasian rasa di hati. Semua tindakan yang melambungkan hati rasanya seperti tipuan.
Tidak pernah konsisten.
Selalu membuat salah paham.
Untuk menjawab, gelengan lemah diberikan. Keyra memutar manik hitamnya. Bingung pada cerita asmara dengan alur rumit sahabat di depan ini.
"Tapi, kamu ngerasa kalau dia cinta kamu, kan?" Sebelah alis naik di wajah perempuan asli Minang.
Mumta menatap ragu-ragu. Jemarinya mulai memilin ujung jilbab di bawah meja.
"Gimana mau ngerasa kalau dia gak ada bilang," tuturnya lemah.
Keyra membuang napas, memijit pelipisnya pelan. Untung perjalanan cinta yang terbalut antara dia dan sang suami tidak serumit kisah Mumta yang dramatis. Penuh liku yang membingungkan.
"Terus, kamu kira rasa itu akan menjadi cinta kalau dia diungkapkan?"
Bukankah memang seperti itu?
Perempuan-perempuan banyak menjadi korban harapan laki-laki karena perlakuan yang tidak konsisten dengan kenyataan di hati. Menganggap teman, tapi mesranya menghanyutkan. Menganggap adik, tapi perhatiannya melambungkan. Menganggap sahabat, hubungan tidak sedarah itu tidak berlaku untuk pertemanan laki-laki dan perempuan.
Lantas dengan semua korelasi itu, bukankah cinta memang harus dilisankan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang akan melibatkan ketulusan?
Perempuan memang butuh kepastian, bukan?
"Lalu, orang-orang yang direnggut suaranya oleh Allah, tidak boleh jatuh cinta? Orang-orang yang direbut pendengarannya, penglihatannya, dan orang-orang dengan keistimewaan lainnya? Kamu klaim mereka tidak akan bisa merasakan cinta karena tidak berkemampuan untuk mendeklarasikan maupun dideklarasikan?" Ada emosi terasa di ujung kalimat Keyra. Matanya yang kecil bertambah minim karena menusuk tajam matanya yang terpaku.
Mumta disudutkan.
Keyra menyerangnya tanpa aba-aba barusan. Menjebaknya dengan bertanya dan menuntut jawaban yang sulit untuk diterka.
"Karena cinta Allah ciptakan dengan cara dirasakan, Ta. Kalau bukan dengan cara seperti itu, gimana dengan keberadaan Allah sendiri? Pastinya akan diragukan." Keyra tersenyum tipis. Matanya menerawang langit biru yang berpadu indah dengan awan putih. Melengkung samar barisan warna di antara pepohonan. "Itu makanya Allah bentengi kita dengan iman. Iman kepada Allah, iman kepada qada dan qadar. Kalau kita gak punya iman yang kuat, bagaimana mau tegar menjalani takdir? Kalau keberadaan dan kebaikan Allah sendiri aja sudah gak lagi menempati posisi pertama di hati."
Keyra menatap Mumta. Mereka membangun jembatan dari pandangan.
Mumta mengunci mulut. Hatinya dibekap oleh teguran yang keras.
Pantas.
Bayangan gelap ketika kaki berdiri di pinggir jembatan melintas. Luka yang kronis mengikis iman karena kekecewaan yang mendalam pada takdir yang tertulis. Mumta meragukan kebaikan-Nya, Mumta meragukan kepiawaian Allah dalam merangkai alur cerita hidupnya. Kecewa yang makin tersungkur, bahagia yang terjerembap dalam harapan yang tidak pada tempatnya, juga pengkhianatan-pengkhianatan orang terdekat yang terjadi di depan mata, menutup mata Mumta terhadap rencana Allah selanjutnya. Membekap langkahnya untuk semakin dekat pada Al Hadi.
Namun Mumta malah menjauh sebagai langkah penentangan pada takdir yang dijalani. Dan lupa, jika Allah tidak rugi dengan hal itu. Justru dia yang akan sangat kehilangan.
Satu titik air menetes. Meski menunduk, titik kristal di pipi terlihat di mata Keyra. Punggung perempuan berjilbab biru itu menegak, mengangsurkan beberapa lembar tisu pada Mumta yang kebanjiran di wajah.
"Berarti aku dosa banget, ya, Key," Satu tarikan napas dilakukan untuk mengosongkan ruang di dada. "Pernah meragukan Allah karena masalah yang menimpaku."
Keyra berpindah tempat. Memanjangkan lengannya di kedua pundak Mumta.
"Dosa itu selain ditangisi dan diakui, juga harus diperbaiki. Karena air mata tanpa usaha untuk memperbaiki itu sama aja bohong, Ta. Dan gak ada kata terlambat untuk taubat."
*****
Semua perlengkapan rias sudah masuk kembali ke dalam tas.
Bekas air sudah tidak tampak, hidung merah bisa dialasankan karena flu, dan mata bengkak bisa dibilang karena begadang.
Setidaknya dia punya alasan untuk menjawab tanya 'kenapa' ketika teman SMA sedang berjaga di kasir. Mungkin Mumta akan kehilangan alibi jika Ariyan melihat tangisannya tadi.
"Berapa, Yan?"
"Biasa. Karena pesanan kalian gak pernah berubah."
Tawa kecil menggema pelan. Mumta merogoh tas, menyerahkan alat pembayaran, dan menunggu beberapa saat.
"Ini."
Ariyan mengembalikan kembalian dengan senyum tipis. Matanya liar menjelajahi kedai sendiri. Seperti mencari atau menunggu seseorang di kedainya.
"Lagi nunggu seseorang ya?" tanya Mumta setelah menyimpan dompet.
"Bukan, hanya ... ."
Ah, Mumta mengerti.
"Elbiyan?"
Ariyan mengekeh. Tengkuk dia garuk karena malu. Takut saja kekasih teman salah paham lagi seperti tempo hari.
"Tenang, El gak ada di sini kok. Dia udah pulang. Maaf ya. Dia memang labil. Suka emosian, protektif gak jelas. Aneh anaknya."
Ariyan mengibaskan tangan. Tersenyum simpul.
"Wajar. Aku juga gitu kalau melihat orang yang kusayang menebar senyum sama orang lain yang gak kukenal. Bisa dibilang waspada."
"Waspada, kenapa?"
"Takut beralih hati, Ta. Godaan setan itu tidak kenal tempat dan waktu. Bisa tiba-tiba, dan bisa panjang karena waktu yang tiba-tiba. Pasangan yang sudah kenal bertahun-tahun, cintanya bisa berpindah karena bertemu lagi dengan cinta pertama. Atau pasangan yang selingkuh karena tergoda dengan sesuatu yang menarik di diri orang lain. May be?"
Takut?
Beralih hati?
Bisakah dia menggabungkan penjelasan itu dengan dugaan-dugaan yang Keyra sebutkan tentang Elbiyan padanya?
Perhatian itu, pelukan di jembatan, marah yang tak jelas Elbiyan di kedai ini, Elbiyan mengikutinya pulang dari belakang, lalu yang terakhir ... kecupan di bibir?
Cintakah?
Tapi, kenapa Elbiyan menjawab tanya-nya saat itu dengan kata hutang jika dia memiliki rasa?
Benarkah jika hutang yang belum terlupakan itu hanya jerat agar Elbiyan bisa dekat dengannya?
"I know, kamu gak akan ngerti dengan mudah. Masih polos seperti dulu."
Ledekan Ariyan menjadi salam perpisahan. Mumta pamit dengan kepala yang masih terus bertanya.
Sampai kakinya berhenti dan wajah kembali dirundung tangis.
Kenapa harus sekarang?
*****
Angin mendorong kepala Mumta untuk mendongak. Daun-daun yang jatuh membentuk sosok jangkung berwatak dingin. Tanah yang masih basah membawa jejak itu mendekat pada Mumta yang mematung. Orang-orang yang berlalu di sekitar, mengunci dua mata dalam satu pandangan.
Mata Mumta perih, tidak berkedip untuk memandang Elbiyan yang sudah ada di hadapan. Namun saat mengerjap, satu titik air dari mata menyatu dengan air hujan yang menggenang di bawah.
Mumta tidak bisa bergerak. Tubuhnya dipalu oleh pertemuan yang mengejutkan. Anehnya, Elbiyan selalu bisa menemukan dimana pun dia sedang berada.
Apakah Elbiyan memasang alat pelacak di ponsel atau tubuh Mumta?
Ataukah ... ini bentuk cinta itu?
Nggak! Dia tidak bisa memiliki pemikiran itu lagi.
"Dua kali, Mum. Dua kali kamu pergi tanpa bilang apa-apa sama aku." Manik hitam Elbiyan bergerak-gerak, mengamati seseorang yang selalu membuatnya berdebar. "Dua kali juga aku ketakutan gak jelas karena takut kehilangan kamu."
Angin yang berhembus semakin membekukan raga Mumta saat itu. Hangat mentari yang sudah terlihat, tidak mampu menghangatkan. Elbiyan menyerangnya dengan tatapan dingin yang menusuk.
"Kamu ngapain di sini?"
"Ingin memperjuangkan sesuatu yang berharga dalam diriku yang sudah kamu rebut diam-diam."
Sesuatu yang berharga?
Yang dia rebut?
Apa?
Mumta merasa tidak mencuri apapun. Jika uang yang dimaksud Elbiyan, bukankah dia sudah meminjam?
"Menikah denganku."
Mumta terpaku. Satu kalimat yang menyatu dengan udara bertalu di kedua telinga. Berulang-ulang mengetuk hatinya.
Mumta menelisik. Mungkin saja ini canda Elbiyan yang sudah keterlaluan. Ledekan karena dirinya yang gagal menikah. Ah, mungkin karena kegagalan itu, Mumta yang ingin tahu rasanya dicintai dipaksa menunggu lagi. Dan Elbiyan yang kasihan, menolongnya untuk menerima cinta yang pura-pura.
Begitukah?
"Aku gak tahu gimana caranya melamar dengan manis, Mum. Mungkin inilah apa adanya kulkas dingin sepertiku ketika mengajak menikah perempuan yang berhasil mencairkan dinding es yang membungkus hatiku. Kamu."
Tubuh Mumta bergetar. Bibirnya bergerak-gerak tidak percaya.
Ini nyata.
Ajakan itu adalah serius.
"Aku ingin tanggung jawab terhadap perbuatan kurang ajarku yang pernah kita ... lakukan." Elbiyan menarik napas. Keterdiaman Mumta semakin membuatnya kelimpungan mencari kata-kata yang berkesan. Tidak mungkin dia mencari keributan agar perempuan yang dicinta yang terkesan. Bukan jawaban yang didapat melainkan pertengkaran.
Elbiyan harus bisa menyalurkan ketulusan yang hatinya punya.
Ini memang tulus.
Tidak pernah dia rasakan getaran aneh ini selama hidup. Meski dulu hidupnya sering dikelilingi oleh wanita cantik dengan jenis apapun. Namun bersama Mumta, hidup tiga bulan dengan status pengutang dan piutang, mengorbankan waktu untuknya, juga tentang Windi, Elbiyan belajar ketulusan.
Dan dia tidak mau kehilangan. Elbiyan akan berjuang mendapatkan jawaban dari Mumta seperti Mumta berjuang untuk lepas dari jeratan Adam.
"Juga tanggung jawab kepada hatiku. Mau, kan, Mum?"
Awalnya Mumta masih tak berkedip, bibirnya kaku untuk berkata. Sampai sesuatu bergejolak, melahirkan hujan lokal di wajah.
Mumta tidak bisa.
Dia tidak bisa melakukan kejahatan yang pernah dia terima.
Karin cinta Elbiyan. Tapi, Elbiyan cinta dia dan dia juga demikian.
Sama seperti Hawa dan Adam.
Namun, Mumta tidak ingin menjadi seperti mereka. Melegalkan cinta dengan cara pintas yang salah.
Mumta tahu rasanya terpuruk karena harapan, dia tahu bagaimana sakitnya tersungkur dalam cinta, lalu bagaimana bisa dia melakukan itu pada perempuan lain? Sama saja julukan-julukan tak bernurani yang dulu dia berikan untuk Hawa kembali padanya.
Seperti bumerang yang kembali pada tangan majikan setelah dilempar.
Mumta tidak mau menjadi jahat karena rasa. Dia tidak mau memperjuangkan sesuatu yang membuatnya bahagia di atas penderitaan perempuan lain.
Tapi, apakah Mumta sanggup, melihat orang yang dicinta bahagia bersama orang lain untuk kedua kali?
Entahlah.
Keadaan saat ini menjepitnya untuk melangkah.
"Mum,"
Elbiyan ingin lega, saat kata-kata manis yang dia tabung di dalam otak berhasil meluncur tepat sasaran. Namun tangis Mumta yang berderai akibat dari lamarannya justru membuatnya kebingungan. Elbiyan ingin merengkuh, tapi tatapan orang-orang disekitar membuatnya urung. Tangan Elbiyan hanya bisa mengambang di samping tubuh Mumta.
Apakah keharuan ini menjawab 'iya'? Tapi mengapa berlebihan?
Ah, Elbiyan ingat. Jika perasaan perempuan itu lembutnya mengalahkan sutera, sehingga disentuh sedikit saja akan berbahaya. Untung dia datang membawa kepastian, bukan main-main.
"Boleh aku mengatakan sesuatu?"
Mumta menguatkan hati. Dia menahan isak lain yang ingin keluar. Mumta tidak boleh menunda lagi. Ada hati yang berharap padanya, dan ada hati lain yang menggantungkan harapan yang sama pada Elbiyan.
"Ya?"
Elbiyan sudah tersenyum. Meski tidak lebar, tapi garis bibirnya menggambarkan bahagia yang luar biasa. Tanpa tahu jika menit selanjutnya, semua berubah menjadi gerimis.
"Aku tahu kamu sebenarnya baik, El. Dibalik sikap kamu yang kasar dan menyebalkan, aku tahu kamu menyembunyikan perhatian yang besar. Tapi ...,"
Perasaan Elbiyan mulai tidak enak. Senyumnya mengendur, penuturan itu ... kenapa terasa menjorok pada ... .
Nggak! Nggak!
Elbiyan menggeleng samar. Dia percaya takdir Allah. Karena Allah tahu ketulusan dan niat yang ada di hatinya.
"Ayo jangan jatuh cinta, El."
Meski aku sudah jatuh di dalamnya.
"Kita belum tahu banyak hal tentang satu sama lain. Hal itu yang buat kita sering bertengkar. Aku takut, tragedi itu terulang lagi, El. Luka ditinggal oleh orang yang dicinta itu gak mudah kering." Mumta menjeda kalimat, melihat Elbiyan yang mematung. "Aku minta maaf."
Elbiyan tertawa sumbang. Menatap langit, menyamarkan air mata yang mendadak muncul. Tangannya menggaruk pelipis.
Apa baru saja dia ... ditolak?
Segitu buruknya dia di mata Mumta karena pertengkaran yang sering terjadi di antara mereka?
"Aku mengatakan ini bukan karena kamu gak baik, El. Kamu baik, jadi—"
"Jadi?" Tatapan terluka Elbiyan menyapu wajah Mumta yang basah. Dia yang ditolak, mengapa Mumta yang berlinang air mata?
"Jadi ... kamu pantas dapat yang lebih."
Klasik.
Penolakan dengan cara yang basi.
"Tapi aku lihat itu di kamu, Mumta."
Dengan air yang menumpuk di pelupuk mata, Elbiyan memaku tatap pada Mumta. Dia menuntut penjelasan yang sebenarnya disebut penjelasan. Bukan penolakan tanpa embel-embel.
"Pantas mendapatkan yang lebih? Atau kamu yang masih menunggu Adam, Mum?"
Mumta menggeleng. Adam tidak lagi memegang status apapun dalam hidupnya. Dia benar-benar sudah meninggalkan halaman itu. Sekarang Mumta sedang mencoba melukis dengan indah halaman hidupnya yang lain.
"Aku serius sama kamu, Mum. Apa kamu gak merasakannya selama ini?"
Ataukah dia yang terlalu kaku menyampaikannya?
Sedangkan, Mumta terdiam. Merasa seperti ada tarikan yang menghempasnya dengan keras.
Ternyata benar.
Kata-kata Keyra, juga penjelasan Ariyan ... itu semua benar.
Mumta terlalu kalut menjaga keamanan hati hingga dikelabui oleh benak sendiri.
Kenapa?
"Maaf, Elbiyan."
Rasanya Mumta tidak punya kata apa-apa untuk diucapkan selain maaf, maaf, dan maaf.
Dulu dia merutuki Adam yang selalu menyerangnya dengan kata-kata tidak berfaedah itu. Tapi sekarang, justru dia yang melakukannya pada Elbiyan.
Inikah yang namanya karma?
Elbiyan tersenyum perih. Kepalanya jatuh ke tanah. Mendadak, dadanya diserang sesak. Menarik napas seperti menerima bertubi-tubi anak panah. Nyeri di setiap sisi.
"Ini."
Mumta menyerahkan amplop coklat pada Elbiyan. Tangannya bergetar saat menahan benda itu menggantung di udara.
"Ini pembayaran untuk semua hutangku. Gaji kamu selama dua bulan, ada di sini. Sekarang kamu udah bebas, gak harus mengawasi aku lagi untuk memastikan pelunasan hutang. Gak ada lagi jembatan atau apapun untuk kita berdekatan." Mumta memandangi Elbiyan juga mematut diri padanya.
Kenapa harus sekarang? Mumta melihat ketulusan di mata Elbiyan?
"Ada hati yang harus kamu jaga dan biarkan aku yang menjaga hatiku sendiri. Sekarang kita punya jalan masing-masing dengan tujuan yang tidak sama. Jadi kita gak bisa sama-sama, El."
Elbiyan menelan ludah. Kegetiran begitu pekat mewarnai hatinya. Semua rasa yang bergumul menjadi luka begitu cepat menyebar luas. Meradang tak tertahan.
"Karena satu alasan kita bertemu, lalu aku mencintaimu." Elbiyan memberikan senyum. Yang di mata Mumta menampilkan luka yang sudah dia goreskan. "Aku pernah berharap, kamu akan menemukan kebahagiaan kecil di keseharianmu bersamaku, Mum. Tapi sekarang, bagaimana itu akan terjadi kalau kamu ... menolak untuk aku bahagiakan?" Elbiyan tersenyum di tengah tangis yang tertahan. Tawa kecil yang keluar putus-putus terasa menyayat. Laki-laki itu berusaha tertawa di lingkaran luka dan sesekali air menetes di wajahnya yang biasa dingin.
Melihat itu, Mumta semakin merasa jahat. Menghancurkan harapan seseorang. Adakah yang lebih kejam dari itu?
Tapi, dia tidak bisa apa-apa.
Ada Karin yang sudah mengikat Elbiyan.
Dan Mumta tidak mau merebut. Dia tidak ingin bahagia dan hidup bersama sesuatu yang seharusnya menjadi milik orang lain.
"Mungkin kita bertemu memang untuk saling mengenal, tapi sebagai teman biasa, El, bukan teman hidup."
"Tapi hati aku maunya kamu, Mum." Air mata menitik. Genangan air di mata Elbiyan pecah. Bendungannya tidak sekuat yang dikira. Laki-laki apatis kini menangis. Walaupun tidak terisak, titik-titik air yang jatuh sudah cukup untuk memberitahu, betapa penolakan ini meruntuhkan harapan yang sudah tersusun.
"Kemauan hati itu bukan kemauan takdir, El. Ada cerita kenapa kita bertemu seperti ini. Yang pasti hikmahnya bukan untuk hidup bersama. Perempuan yang meminjam tulang rusuk kamu itu ... bukan aku, tapi yang lain."
Mumta mengusap pipi, menarik napas untuk mengosongkan dada. Senyum dia patri.
"Aku harap kita bisa berteman baik setelah ini. Dengan membawa pasangan masing-masing untuk reuni nanti. Atau mungkin bukan kita yang berjodoh, tapi anak-anak kita? Bisa aja."
Mumta mencoba tertawa, tapi ternyata justru menyakitkan. Tangis menggema setelah itu. Dia tidak ingin berlama-lama lagi.
Melangkah dari sini, artinya Mumta dituntut untuk melupa. Melepas paksa sesuatu yang pernah menjerat hatinya.
Sulit bukan berarti tidak bisa, bukan?
Lagipula, Mumta pernah mengalaminya. Dipaksa untuk mengikhlaskan Adam untuk Hawa. Dan sekarang, melupakan hari-harinya bersama Elbiyan.
Maka untuk melepas untuk kedua kali, tidak akan serumit itu. Karena dia punya pengalaman untuk dijadikan guru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top