Bagian 31 ~ Apa Aku Punya Jodoh?

Bagian 31 :

Apa Aku Punya jodoh?

*

*

*

Terpuruk lagi.

Mumta kembali memasuki lubang yang sama ... setelah susah payah mendaki untuk naik. Namun dengan mudahnya dia melepas pegangan, dan membiarkan raga kembali terjun pada bebatuan tajam di tengah jurang.

Cinta tidak pada orang yang tepat.

Ataukah ini bentuk keterlambatan?

Andai dia tidak terlalu keras menyangkal. Andai dia tidak memasang benteng tinggi untuk bertahan. Andai dia segera menyadari getaran-getaran asing di dada, mungkin kecewa tidak akan bertandang lagi.

Ditambah kejadian tempo hari. Saat tamparan keras yang nyaring mendarat di pipi kanan Elbiyan, lalu Mumta melihat tangan Ashma bergetar sambil menatap nyalang dua manusia yang berzina di ruang terbuka.

Hanya air mata yang menjadi juru bicara Mumta, ketika Ashma marah besar untuk pertama kali.

"Bunda tidak pernah mengajari kamu untuk bersikap kurang ajar seperti itu."

Amarah membuat tubuh tua Ashma bergetar. Air mata mengalir begitu lancar di pipi keriputnya.

Sedangkan, hati Elbiyan lebih perih dari layangan keras telapak Ashma di wajahnya. Tangisan tidak pernah lagi Elbiyan lihat sejak kematian abah. Namun kini dia kembali menciptakan arus kepedihan di hidup Ashma.

"Bunda sudah bilang! Kalau tidak bisa menahan, jauhi dia dan lupakan!"

Wajah berkedut Mumta cepat menatap Ashma. Hatinya dicubit keras tatkala telinga menangkap dengan jelas kemarahan yang menyiratkan ketidaksukaan. Jemarinya semakin kuat saling membungkus di bawah perut. Mumta menunduk, tidak sanggup melihat kemarahan yang berapi-api di wajah Ashma.

"Bun, tapi Iyan—"

"Bukan berarti karena cinta, kamu jadi bebas melakukan apapun, Elbiyan! Cinta saja gak bisa menghalalkan dua manusia!"

Baru kali ini, Mumta bergidik, menerima tatapan nyalang dari perempuan yang penuh kelembutan. Ashma tidak pernah menghunusnya dengan tatapan tidak suka. Selalu ada cinta, kasih sayang, dan kelembutan setiap kali Ashma memandangnya. Namun kali ini, semua kenyamanan yang pernah Mumta dapatkan hanyut ... dalam satu kesalahan fatal.

Cinta Ashma melebur dalam kemarahan.

"Bunda juga gak nyangka, kalau kamu akan mau direndahkan seperti ini, Mumta. Segitu lemahnya iman kamu sampai mau dijamah diluar pernikahan?"

Kepala Mumta menggeleng cepat. Dia ingin mendekat, memegang tangan Ashma dan meminta maaf, tapi wanita itu justru menjauhkan diri. Membuat percaya diri Mumta luruh dalam sekejap.

Ashma membencinya sekarang.

Mengingat itu, air mata kembali meluap tiba-tiba. Hujan yang membuat Tantri kelimpungan mencari sebab. Alhasil hanya pelukan yang berani dilabuhkan pada sulungnya. Tepukan-tepukan pelan diberikan untuk menenangkan. Sampai semuanya reda, dan beberapa teguk air membasahi tenggorokan.

"Ma," panggil Mumta pelan. Tantri yang ingin beranjak kembali duduk.

"Ya? Mau minum lagi?" tanyanya penuh perhatian.

Mumta menggeleng pelan. Dia menggigit bibir agar tangis tidak lagi menguasai.

"Kata orang, Mumtahanah itu nama yang indah, meskipun artinya sedikit menakutkan. Walaupun ujian adalah bentuk cinta Allah untuk hamba-Nya, tapi belum tentu manusia kuat terus-terusan menerima ujian-Nya, kan, ma?"

Tantri diam, mengamati kolam mata Mumta yang berkaca-kaca. Senyum kecil ia lengkungkan.

"Aku hanya ingin tahu, apa hidupku benar-benar hanya berisi tinta kekecewaan, huruf-huruf kesedihan, tanpa ada spasi kebahagiaan?"

Tantri mengangkat tangan, mengusap pipi Mumta yang menggantungkan air.

"Apa nanti akan ada laki-laki yang menyukaiku, ma?"

Ataukah mereka takut untuk datang karena namanya yang menyembunyikan makna tak biasa?

Meskipun Mumta sudah menghabiskan hari-hari bersama kesendirian, nyatanya dia tidak bisa selamanya seperti itu.

Bagaimanapun, berdua terasa menyempurnakan. Melengkapi perjalanan yang masih rumpang. Dan Mumta butuh seseorang untuk mengisinya.

Namun, laki-laki yang pernah dipertemukan, tidak pernah ada yang menetap. Hanya jodoh orang yang istirahat sebentar.

Adam, cowok masjid idaman yang nyaris menjadi suami, berakhir menjadi imam adik sendiri.

Lalu, Elbiyan. Polisi murah hati yang meminjamkannya bahu untuk merasakan sandaran, ternyata jodohnya teman kecil sendiri.

Setelah ini siapa lagi? Jodoh siapa lagi yang akan membuatnya salah paham?

"Pertanyaannya bukan ada di orang lain, kak."

Wajah Mumta yang jatuh, kini terangkat memperhatikan Tantri yang menyorotkan kasih sayang.

"Tapi, ada di kamu. Siapa yang kamu sukai?"

Mumta diam. Ada satu nama, tapi sudah memiliki pendamping.

"Tapi, mama gak bisa apa-apa kalau kamu masih jawab Adam."

Mumta merasakan kegetiran di balik kalimat itu. Meski sudah berganti, tapi hatinya tetap salah lagi dalam memilih.

Kenapa susah sekali untuk jeli dalam masalah hati?

"Kamu masih cinta dia, kak?" Saat bertanya, Tantri menatap dalam mata Mumta. Dia harus menelusuri kejujuran di kedua bola mata sulungnya. Tidak boleh lagi ada kesalahpahaman di rumah ini.

"Iya," Satu titik air turun bebas di pipi Tantri. Langkah apa yang harus dipilih, sedangkan dia tidak ingin pilih kasih lagi? "Tapi itu sebelum aku sadar, kalau ternyata ada laki-laki lain yang berhasil menggesernya, ma."

Tantri merenung sebentar. Memusatkan penglihatan pada manik kecoklatan Mumta yang berair. Apakah kesimpulannya, Mumta sudah melupakan adik iparnya? Tantri ingin membuka mulut, tapi Mumta memotong suaranya.

"Ma, padahal aku gak minta banyak. Aku hanya ingin hidup seperti orang lain. Tapi kenapa prosesnya harus serumit ini? Jatuhku lebih banyak daripada bangun, sedangkan yang mendukung tidak ada. Gimana aku bisa bertahan kalau sendirian?"

Tangisan pilu menyanyi di tengah kesakitan. Tantri menarik tubuh bergetar Mumta ke dalam pelukan. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Tidak, bukan anaknya yang salah. Dia yang belum bisa menjadi ibu yang baik untuk kedua putrinya.

"Ada mama, kak, ada papa. Kamu gak pernah sendirian."

Rasanya, ada jiwa ringkih yang berjalan tertatih-tatih di balik tubuh muda Mumtahanah. Ada kelemahan yang dibalut di tengah-tengah langkahnya yang dipaksa tegak. Padahal Mumta berjuang untuk mencari pegangan, menemukan satu sosok yang katanya pemilik tulang rusuk di dada.

Namun, dua puluh empat tahun sudah bernapas, berkali-kali salah menaruh hati, hingga menyokongnya memiliki bakat sandiwara yang apik, senyuman Mumta berhasil dengan memuaskan menutupi luka memar di ruang hati. Tanpa ada rangkulan yang menguatkan, tanpa ada seseorang yang bersedia berdampingan.

Mungkin karena sudah nyaman, saat ada seseorang yang menawarkan kebersamaan, Mumta memilih menarik diri.

Sendiri lagi.

"Berhenti menganggap kalau kamu sendirian, kak. Allah menciptakan Hawa untuk menemani Nabi Adam dalam membangun keluarga. Manusia tidak bisa hidup sendirian, makanya Allah ciptakan berpasang-pasangan."

Tapi, Mumta tidak merasa demikian. Ataukah karena laki-laki yang meminjamkan tulang rusuknya telah pergi, sehingga Mumta masih menapak sendiri sampai kini?

Allah, jika benar, sepi sekali hidupnya.

"Kita perbaiki, ya, kak?"

Mata Tantri berbinar saat berharap kesempatan turun untuknya. Meskipun tidak bisa memperbaiki seutuhnya, Tantri akan berusaha. Sampai umurnya habis, dan tergoda akan uluran tangan Sang Khalik.

Dia hanya takut, anaknya akan menjalani hidup yang tidak bahagia setelah dia mati. Bagaimanapun, sejelek apapun nilainya di rapot hidup karena gagal menjadi ibu, Tantri juga ingin yang terbaik. Untuk putri yang melengkapi kepingan di album hidup.

Namun di depan mata, Mumta diam, tidak mampu menjawab. Bertubi-tubi perasaan langsung menghujani kepala. Ribut, saling adu mulut, melahirkan persidangan yang kacau.

Suara-suara asing yang keluar-masuk gendang telinga menahan jawaban di tenggorokan. Seperti ada pemeriksaan akurat, sebelum melanjutkan perjalanan.

Mumta ... bimbang.

"Ta, orang tua itu meskipun derajatnya tinggi di mata Allah, tapi mereka bukan makhluk sempurna. Orang tua juga bisa salah dalam kata-kata atau mendidik anaknya. Tapi, semarah apapun kamu, aku yakin, marahnya seorang anak pada orang tua akan menjadi penyesalan. Walaupun hanya terasa sebentar."

Saat Keyra menutup kalimat, kepala Mumta justru terbang pada ingatan-ingatan kecil ketika langkahnya belum sebesar ini.

Saat Tantri harus mengurus dua anak yang sakit bersamaan, saat Tantri dipaksa bangun sebelum matahari membuka mata untuk keperluan keluarga, saat Mumta membentak ingin sesuatu di tempat keramaian, sambil menggendong Hawa kecil, senyum tetap terukir di wajahnya yang mungkin sedang menahan malu. Ataukah ketika Mumta dibujuk potong rambut, tapi berujung pada ukuran yang terlalu pendek, bahkan hampir terlihat seperti laki-laki. Di tengah perjalanan pulang, karena kesal, satu pukulan melayang di dada ibu. Tantri tetap menggendongnya dengan sayang, tidak peduli anaknya tantrum begitu hebat dan mengundang atensi masyarakat.

Atau bisa saja, dia mengingat-ingat cerita Oma tentang perjuangan Tantri dan Jauhari demi memiliki seorang generasi. Bolak-balik masuk ruang operasi, suntik cairan ini-itu, selalu gagal di percobaaan pertama. Sampai dokter mengatakan ada segumpal darah yang siap berkembang di rahim Tantri. Seharusnya Mumta paham, betapa berharganya dia di malam kelahiran. Tangisannya yang membuat Tantri menjadi ibu, kedatangannya yang dijemput susah payah itu yang membuat Jauhari resmi menyemat status ayah. Sehingga kelahiran Hawa yang menyusul tidak bisa menjadi alasan cinta dan kasih sayang itu hilang.

"Coba deh, kamu pandang orang tua kamu bukan dengan status orang tua, tapi sebagai dua orang biasa yang bisa berbuat salah, seperti orang lain kapan saja. Pemikiranmu ketika kecil, mungkin cukup sulit untuk menerima itu. Tapi, sekarang kamu udah dewasa, Ta, kamu bisa berpikir lebih luas sekarang. Jadi kamu bisa mencobanya."

Setiap kali dia melakukan kesalahan, entah itu kecil atau besar, dengan hati yang terluka, Tantri masih merawatnya penuh cinta dan mengatakan 'tidak apa-apa.'

Kasih sayang yang disiratkan dalam nasihat.

Tanpa sadar, jika ibu yang dibenci, selalu mengucap kata maaf di setiap tidur malamnya. Menahan khawatir, saat si sulung pergi merantau demi menjemput ilmu, lalu pulang-pulang membawa lelaki pilihan.

Lalu, tanpa Mumta sadari lagi, jika saat itu, Tantri masih ingin waktu untuk menjadi ibu penuh untuk sulungnya, tanpa dibatasi oleh sekat apapun.

Namun, karena kemarahan yang semakin marak oleh hembusan rasa ketidakadilan, mata Mumta melewatkan ketulusan itu. Hatinya terlalu mengedepankan bisikan-bisikan yang mengandung kesalahpahaman, sehingga ketika Tantri mendekat, Mumta justru menjauh. Meregangkan hubungan anak dan ibu.

Sekarang, tiba-tiba ada angin yang mengajaknya untuk memperbaiki sesuatu yang sudah rusak dalam hidup.

Bisakah?

"Ma," Mumta ingat. Dia kehilangan sesuatu yang dulu sering dia dapatkan. Mumta kehilangan sesuatu yang dulu hanya miliknya. Mumta sadar, dia lupa rasanya akan hal yang sempat hilang. "Dulu, waktu aku kecil, mama sering banget peluk aku sebelum tidur sambil ditepuk-tepuk pelan. Kalau dilakukan sekarang, itu gak memalukan, kan?"

Tantri mengangguk. Senyumnya menjatuhkan tetes air dari mata. Lalu, tubuhnya bergerak beringsut. Melingkari tubuh Mumta seperti guling besar yang hidup.

Di malam yang dingin, saat angin berbungkus sejuknya air hujan, kehangatan Mumta dapatkan dari pelukan Tantri yang sempat hilang. Kemanjaan yang dulu dipaksa untuk dewasa, malam ini menaunginya lagi.

Mumta seperti kembali pada masa kecil yang dia harapkan berjalan lambat. Dia ingin menyimpan lamat-lamat, jawaban yang seringkali dipertanyakan.

Dan sekarang, dia sedang merekamnya.

*****

Ini sudah kali ketiga, pintu kamarnya terbuka, lalu tertutup lagi karena kakinya ragu untuk keluar.

Udara kembali dihirup, bibirnya menghembuskan napas dengan pelan. Sedangkan, kedua tangannya naik-turun untuk mencari angin ketenangan.

Mumta mengepalkan tangan. Menatap pintu coklat yang menutupi jalannya, lalu melirik kertas kuning di genggaman jemari kiri.

Tidak lama hanya untuk menempelkan notes ini di pintu kulkas.

Pintu terbuka, menampilkan ruang kosong tanpa manusia. Mungkin yang lain masih di kamar, sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Ini kesempatan.

Suasana sunyi cocok untuk berjalan mengendap menuju dapur. Memajang kertas kuning berisi catatan makanan kesukaan yang pernah diminta Tantri saat mereka masih belum baik-baik saja.

Sekarang?

Senyum merekah di bibir ranumnya. Mumta seperti mendapatkan kembali memori kecil yang singkat ia jalani. Semalam ia meringkuk, di balik pelukan Tantri, dan mengartikan lagi rengkuhan yang pernah terlupakan.

Saat mata Tantri terpejam bersama hembusan napas yang teratur di sebelahnya, mata Mumta terbuka. Lalu, setiap inci kulitnya merekam rasa yang dihadirkan oleh kulit Tantri yang mengeriput.

Hangat yang menjalar seakan menjadi kubah yang melindunginya dari dingin, juga ada kesan aman dan tenang yang ditawarkan.

Satu yang Mumta paham. Setua apapun usia membawanya tubuh Tantri berjalan, kulitnya yang berlipat tidak menyurutkan kehangatan dan ketenangan yang pernah ada.

Bertahan dan kekal di hati ibu.

"Kak, ngapain?"

Tantri tersentak ketika Mumta berjengit di depan kulkas. Mumta yang terkejut menular pada tubuhnya yang mundur sambil menenteng kain kotor.

"Ehm, itu,"

Mata Mumta bergerak naik, turun, kiri, kanan, memikirkan alibi yang meyakinkan. Namun di setiap arah otaknya hanya menemui kebingungan. Notes kuning yang telah bertinta disembunyikan dibalik badan. Kini tubuhya gugup bercampur malu.

"Mau masak sesuatu? Biar mama masak, kan?" Tantri datang setelah memproses baju di mesin cuci. Namun, putri sulungnya malah bertingkah aneh. Terlihat kebingungan dengan mata bergerak tak tentu arah. "Kakak mau makan?"

Mumta menggigit bibir. Matanya jatuh ke lantai, sejenak terpejam kuat. Mencoba meyakinkan diri lagi.

"Ini," Tangan kanannya terjulur, ingin menyerahkan sesuatu. "Buat mama."

Tantri mematung. Menatap benda kecil yang terbungkus di balik plastik yang berkilau. Sedikit tak percaya, tangannya meraih pemberian kecil tapi sarat rasa dari si sulung.

"Untuk mama?" Senang yang melonjak membuat suaranya bergetar. Air mata ikut menguap.

Mumta mengangguk. Tangannya merekatkan sesuatu pada pintu kulkas. Tantri mengamati, ada judul yang bertuliskan 'makanan kesukaan Mumta.' Air yang menggenang pecah menjadi air yang menetes di pipi.

Saat Mumta ingin beranjak dari dapur, Tantri menahan. Membuat mereka saling berhadapan. Lalu, tangannya terangkat menyentuh pipi Mumta.

"Mumta, mama minta maaf." Satu kecupan dan tetesan air menjejak di punggung tangan Mumta. "Mama minta maaf, kak."

Tiga detik diambil Mumta untuk merenung. Rasa bersalah melingkupi hati. Tidak ingin berlarut, bibirnya mengukir senyum. Kedua telapak tangan menangkup wajah Tantri yang basah. Mengusap-usap lembut pipinya.

"Amarahnya seorang anak gak ada apa-apanya sama kasih sayang seorang ibu, ma."

.

.

.


N.b :

Bagian ini terinspirasi dari film Dear, Zindagi. Masya Allah sekali filmnya. Bagi yang suka film sad, Hani saranin nonton ini 😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top