Bagian 28 ~ Kalau Saya Cinta Dia

Bagian 28 :

Kalau Saya Cinta Dia

*

*

*

Sudah beberapa hari ini, dia memperhatikan perempuan yang sudah dikecewakan hatinya. Sudah belakangan ini, sejak calon pengantin perempuan yang ia campakkan bersedia pulang ke rumah yang ia sulap bak neraka nyata.

Sejahat itu?

Bahkan mungkin lebih dari itu.

Adam menghancurkan jembatan kasih sayang orang tua dan anak. Dia mengacaukan hubungan darah Hawa dan saudarinya. Dia menghancurkan hidup orang-orang demi ambisi yang bersarang di hati.

Ambisi?

Bukan. Ini cinta, yang tak begitu jeli menerka wajah pujaannya. Hingga menimbulkan petaka yang mengandung karma.

Wajah itu, meski sudah lebih sebulan kembali pulang, sudah berkali-kali kedua mertua berusaha menarik kembali cinta yang perlahan padam di hati putri sulung, Adam masih tak melihat kedamaian di wajah Mumta. Belum ada tanda-tanda bendera putih berayun-ayun di udara di atas benteng pertahanan Mumta.

Yang ada hanya peluru yang sesekali mengudara dalam senyap.

Namun, tatapan mata yang diberikan nyatanya menyampaikan kesan lain pada seseorang yang menyadari.

Hawa seperti melihat ada sorot rasa yang terpancar dari sudut mata sang suami. Ada suatu gejolak yang seakan ingin diungkapkan, tetapi tersangkut oleh suatu beban yang membinasakan. Sorot mata yang menyentil sudut hati kecilnya.

"Bi," sapanya pelan. Senyum terukir di bibir. Adam hadiahkan kecupan lembut di kening bidadari.

Tangan Hawa mengangkat tas hitam, dibantunya sang imam merapikan kemeja kerja.

"Nggak sarapan dulu?" tanyanya. Sudah beberapa hari diperhatikan, Adam terlampau sibuk dari hari biasa. Pulang cukup larut dan pergi pagi-pagi. Sesibuk itu profesi sebagai tenaga didik di perguruan tinggi?

"Di kantin aja. Ada hal yang harus abi urus."

Senyumnya membuat Hawa luruh. Rupa Adam membuat pikiran terngiang-ngiang untuk selalu memikirkan seperti candu dalam senyawa adiktif.

Hawa suka itu, dia juga cinta ... suaminya.

"Abi per—"

Kalimat pamit terpaksa berhenti. Mumta mendekat sambil menenteng mangkuk. Tatapan sinis sempat diberikan, tapi Mumta langsung pergi menjauh.

Hawa melihatnya lagi.

Rasa itu ... .

Rasa yang mengekspresikan tidak enak, rasa bersalah dan permintaan maaf. Ada gurat sendu tergambar sebelum Adam berlalu seraya memeluknya sekilas. Seketika membuat hati Hawa mengira-ngira.

Cintakah Adam pada Mumta?

*****

Padahal sudah berbulan-bulan terlewati, Mumta juga sudah bersedia pulang, tapi gunjingan-gunjingan itu seperti tidak ada habisnya. Setiap dia menyusuri lorong maupun ruangan, bisik-bisik menyinggung selalu mampir di hati. Seakan dia publik figur, yang tengah melakukan dosa besar.

Ataukah memang iya?

"Gue jadi takut punya suami soleh karena berita yang tersebar tentang Pak Adam."

"Ternyata iman yang kuat gak bisa menjamin hati laki-laki untuk bertahan dengan satu perempuan. Justru iman yang besar itu seperti perisai yang melindungi dan membebaskan mereka untuk memiliki lebih dari satu dan berdalih dengan hadits yang membolehkan."

"Padahal nafsu bersembunyi dibalik semuanya."

Dia tidak seperti itu. Adam justru menjauhkan Mumta dari penyiksaan yang sebenarnya. Ataukah dia yang salah menduga? Bahwa tindakan gegabah yang berasal dari hati adalah dosa besar yang sudah dia lakukan?

Andai dia menikah dengan Mumta malam itu, tapi setiap hari hatinya justru bersuara untuk perempuan lain—adik ipar yang kini jadi istri—bukankah itu lebih menyiksa Mumta? Sehingga keputusan berat harus dia ambil, menikah dengan seseorang yang hatinya inginkan, dan melepas Mumta dihalalkan oleh laki-laki lain yang memang terlahir untuk mantan mempelainya itu.

Namun, mengapa orang-orang tidak beranggapan sama?

"Tapi, bapak itu orang baik. Meski sedikit tegas, dia tidak memberatkan mahasiswa seperti dosen lain."

"Yang namanya pengkhianat, pasti baik di covernya, tapi menusuk di bagian isinya. Mana ada orang baik, datang melamar siapa, menikahnya dengan siapa."

Adam berlalu. Tidak ingin memanasi hati dengan mendengarkan gosip lebih lama lagi. Toh, kabar itu juga tidak benar. Atau ... dia yang berusaha menyangkal?

Adam berdeham singkat dibalik punggung dua mahasiswa yang bergosip ria dengan begitu tenang. Seolah-olah sang pemilik kabar tidak mungkin akan mendengar. Dua pasang leher langsung berputar arah saat suara singkat seakan mengintrupsi, lalu empat mata sukses membulat ketika Adam melintas.

Namun belum lagi tubuhnya mendarat di kursi kebangsaan, berita-berita itu kembali berhembus begitu damai di telinganya. Kali ini dari rekan sejawat.

"Kamu mengundang dosen kebanggaan kampus kita?"

"Takut aku, bu. Nanti mempelaiku lari dengan rekan kerjaku sendiri."

Suara kekehan terdengar bertubi-tubi.

"Adik ipar sendiri saja disabet, apalagi punya teman? Wah, bisa dikuras habis."

"Saya juga khawatir mengizinkan orang rumah datang ke kampus. Bagaimana begitu melihat dosen kita itu, istri saya langsung lari ke pelukannya? Na'udzubillah."

Adam menarik napas. Menghembuskannya penuh tekanan. Seburuk itu dia karena menikahi perempuan yang dicintai?

Padahal dia menjalankan sunnah rasul, menikah dengan seseorang yang dicinta. Memang cinta sudah dijanjikan Allah dalam pernikahan, tapi jika menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya, bukankah itu lebih bagus?

Adam mencintai Hawa, dan Hawa juga mencintainya, tapi Mumta juga mencintainya. Mumta yang dia lamar malam itu, tapi dia malah ... . Ah, mungkinkah itu letak kesalahannya?

Dia melamar sebuah nama, tapi menikah dengan nama yang lain.

Itukah kejahatan yang orang-orang bilang?

Padahal dia hanya ingin menghindarkan Mumta dari luka yang membinasakan, tidak ada yang lain.

*****

Bahkan Hawa pun tidak tahu. Kesalahan besar apa yang diperbuat hingga orang-orang berani membicarakannya terang-terangan. Tidak ada segan, maupun enak hati, kabar itu tetap berhembus meski Hawa ada di sekitaran.

"Aku masih gak nyangka, gadis berjilbab dalam itu tega banget sama kakaknya. Seperti gak ada laki-laki lain, sehingga merebut jatah kakak sendiri. Astaghfirullah."

"Ya, kan, mbak? Aku kalau jadi si ... si ... Ta ... Ta, pokoknya itu, bakal lari ke Komnas HAM dan Perempuan untuk memenjarakan adik kejam seperti dia. Pengenku remas muka polos tapi liciknya itu. Astaghfirullah ... astaghfirullah ... astaghfirullah ... emosi aku jadinya."

"Padahal Si Hawa itu cantik, bisa mendapatkan lebih. Tapi, kok malah calon kakak ipar sendiri yang menjadi keputusan akhir?"

"Aku jadi takut minta suamiku jemput setiap kita selesai taklim. Takut berpaling hatinya ke dia."

Hawa menunduk. Hatinya nyeri. Rasanya tidak tertahankan saat orang-orang memberitakan keburukan yang berlebihan.

Padahal yang disakiti adalah Mumta, tapi yang merasa sakit seperti seluruh dunia. Apakah ini namanya makhluk sosial? Atau rasa sosial?

Ah, Hawa lupa. Jika umat islam seumpama anggota tubuh. Bila salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam (HR Bukhari dan Muslim).

Mungkin itu sebabnya. Orang-orang menggunjingnya dengan santai.

"Nggak usah didengarkan. Mulut mereka begitu karena hati mereka belum mengimplementasikan ilmu yang didapat. Anggap aja lagi belajar."

Hawa tersenyum, memalingkan wajah dan menghapus titik-titik air yang menggantung di pipi.

Lagipula, tanpa didengarkan pun Hawa tahu jika dia sudah melakukan kejahatan. Namun kata-kata mereka nyatanya lebih menyakitkan.

"Manusia itu memang gudangnya salah. Tapi, mulut manusia lain melebih-lebihkan."

Benarkah?

Berarti dirinya tidak sekejam penggambaran yang Mumta dan orang lain tuturkan? Bolehkah dia tenang?

"Saya duluan, mbak."

Hawa membalas senyum tipis. Terima kasih terucap pelan, mungkin tidak bisa didengar. Meski seseorang mencoba menenangkan, hati Hawa tetap merasa nyeri.

Tidak menyangka jika pernikahannya akan menjadi momok mengerikan di benak orang-orang.

*****

Adam memijit pelipis pelan saat membuka pintu kamar. Langkahnya berat karena kelelahan mengajar. Atau lelah mendengar gosip yang—setengah—tak benar mengenai dirinya? Rasanya pernikahan yang diharapkan penuh kebahagiaan justru menghadirkan luka-luka yang membatinkan.

"Baru pulang, bi?"

Adam sedikit terkejut ketika Hawa muncul di balik kegelapan.

"Hmm. Belum tidur?"

Adam menyambut uluran tangan itu, mencium kening Hawa, lalu duduk di tepi ranjang.

"Ada yang mau aku bicarain sama kamu."

Adam melirik, wajah itu menampilkan keseriusan. Namun, tubuhnya kelelahan. Ingin segera diistirahatkan.

"Besok aja, ya? Abi capek."

Hawa menghela napas. Dielusnya pelan perut yang membulat.

"Aku juga capek, bi. Aku juga capek nungguin kamu dan...," Wajahnya menunduk, rasa sedih mendorong air mata untuk muncul ke permukaan.

"Dan?" tagih Adam. Alisnya naik sebelah.

"Menghadapi gunjingan orang-orang. Aku capek."

Istighfar terdengar dari bibir Adam. Helaan napas berat keluar beberapa kali.

Apalagi ini?

"Mi, abi capek. Kita bahas besok, ya?" Tatapan lembut Adam hunus pada telaga indah sang bidadari. Diskusi di tengah tubuh yang kelelahan bisa menimbulkan keributan bukan keputusan.

"Kita pisah aja, ya, bi? Mungkin pernikahan ini terjadi memang bukan buat aku. Posisiku itu terlalu memaksa sehingga hari-hari dijalani penuh tekanan dan ... ketidaksukaan."

Adam menengadah. Hawa sudah berurai air mata.

"Wa, ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda."

"Ini serius. Bagiku gak ada candaan dalam pernikahan," potong Hawa cepat. "Kamu merasa, gak, pernikahan yang kita paksa untuk tetap terjadi malam itu, gak ada membawa bahagia sama sekali. Orang-orang justru—"

"Ngapain dengar omongan orang, Wa. Kita yang menjalani, kita yang tahu. Mereka hanya tahu apa yang ingin mereka tahu. Tidak peduli itu benar atau tidak."

Manusia hanya percaya apa yang ingin mereka percaya. Bahkan jika itu salah sekali pun, mereka akan tetap memegang teguh, jika itu adalah kebenarannya.

"Karena mereka yang nilai, bi! Dan penilaian mereka mengatakan kalau aku mendzolimi kakakku sendiri."

Dzalim?

Adam hanya memperjuangkan cinta dan menghalalkannya agar berpahala ketika merawatnya. Dia hanya menjalankan sunnah rasul, apakah itu suatu bentuk kedzaliman?

Lalu, bagaimana dengan mereka yang menjalin hubungan di dalam ikatan selain pernikahan? Saling merangkul, menggenggam, menebar senyum bahkan bersentuhan yang tidak seharusnya dilakukan. Kenapa justru mengomentari dua insan yang telah mengumumkan kehalalan di depan para saksi dan Allah sendiri?

Seolah salah membidik titik untuk menancapkan anak panah.

Apa yang salah dari pernikahannya?

Dia melamar Hawa dengan persetujuan, dia menikahi Hawa tanpa paksaan. Dia ... ah, Adam tahu. Pernikahannya terlaksana dengan cara yang salah.

Tidak konsisten dengan apa yang dia lamar malam itu. Dia meminang Mumta, tetapi menyebut nama Hawa di dalam akad. Mungkin itu yang tidak bisa diterima orang lain. Hingga menjadi gunjingan yang sedap untuk dibincangkan.

Adam mengembalikan kesadaran. Menatap Hawa yang tertunduk di depan, sesekali merapikan rambut hitam yang tidak tertutup hijab.

Dia memilih berlalu. Tetap di sana akan menimbulkan prahara baru lagi. Menghindari seribu satu cara setan untuk merusak rumah tangga cucu Adam.

"Selalu begini."

Sentakan itu menahan langkahnya untuk berlalu kian jauh.

"Setiap kali aku mengungkit, setiap kali aku berunding sama kamu untuk mencari jalan keluar, kamu selalu lari. Seperti membiarkan aku untuk berkubang sendiri di masalah ini."

Adam memejamkan mata. Menahan gumpalan amarah yang mengepul di tiap hembusan napas yang keluar penuh tekanan. Dia tidak boleh terpancing. Atau setan akan tertawa riang melihat pertengkaran hamba Allah.

"Orang-orang menyalahkan aku atas kesakitan Mumta, Dam. Tapi kamu tetap diam seolah-olah itu murni kesalahanku."

"Saya sudah bilang gak ada yang salah--"

"Tapi, mereka tetap menyalahkan aku!"

"Untuk apa mendengarkan kata orang, Wa?"

"Karena aku punya telinga unt—"

"Hawa!"

Suara gelegar itu memecah bendungan emosi yang sempat ditahan Adam. Namun nyatanya, hasutan setan lebih kuat daripada pertahanan iman yang ia kumpulkan. Manik hitam yang bersembunyi dibalik alat bantu penglihatan menusuk tajam mata Hawa yang membulat penuh keterkejutan.

Baru kali ini, laki-laki di depannya mengeluarkan suara nyaring menyesakkan seperti itu. Bentakan yang mampu membuatnya diam, mematung tak berkutik.

"Gimana saya gak menghindar kalau setiap kali bermusyawarah kamu seperti orang yang tidak punya tata krama."

Dia punya itu.

Namun, sikap Adam yang terlampau tenang yang membuatnya terkesan seperti orang tidak beradab. Andai Hawa juga bisa bersikap seperti itu, mungkin hatinya tidak akan sesakit ini karena membawa perkataan menyakitkan orang lain ke dalam hati.

"Kamu pikir, dengan berpisah, permasalahan ini akan selesai? Nggak! Justru akan berbuntut lebih panjang. Menimbulkan masalah baru."

Adam merasa kehilangan kewibawaan, saat Hawa begitu mudah melayangkan kata cerai. Seakan kepemimpinan yang dia duduki, tidak pantas untuk dihormati.

Cukup.

Dia tidak mau semakin menipiskan keharmonisan hubungan pernikahan ini. Satu ruangan, berdekatan dengan Hawa mungkin akan melahirkan bentakan-bentakan yang lain. Karena sekarang, hatinya telah dipenuhi emosi yang menggelegak.

Mungkin berdiam diri, berjauhan sejenak dari sang bidadari bisa jadi solusi sementara untuk mendinginkan kepala.

Demi pernikahan.

"Kamu ...," Hawa menatap laki-laki yang kini memunggungi. Menahan sesak dan nyeri yang timbul di sisi perut. Bahkan bayinya pun ikut merangsang kesakitan yang di alami. "Cinta sama Mumta, bi?" Sudut-sudut bibir perempuan itu bergerak-gerak menahan kegetiran. Sekarang dia merasakan kekecewaan yang kakaknya alami. Mengetahui jika suami sendiri, mungkin saja menyesali pernikahan yang mereka paksakan malam itu, karena cinta yang kembali bersemi untuk mempelai wanita yang sebenarnya.

"Kalau saya mencintai dia, saya tidak akan menikahimu malam itu."

Saat daun pintu tertutup pelan, tubuh Hawa luruh ke lantai. Menumpahkan segala isi hati, yang ia pendam demi memupuk pahala kesabaran.

Ternyata, imannya tidak sekuat itu.

*****

Mumta diam, memindai keanehan yang tampak sejak Hawa keluar dari kamar. Mata merah yang sembab sedikit bengkak, suara parau, dan tubuh yang cukup lemah. Perubahan yang mengundang perhatian.

Namun, dia berusaha untuk tidak peduli. Memikirkan orang lain hanya membebani diri sendiri. Lebih baik menatap pada kesembuhan yang perlahan ingin ia gapai. Tapi ... sejak pagi tadi, tidak kelihatan adik ipar menyebalkan.

"Hawa, kenapa?"

Tantri datang dengan gelisah saat bungsunya meringis memegang perut. Satu kursi berdecit untuk Hawa duduki. Mumta masih diam mengamati.

"Nggak apa-apa, ma. Mungkin belum terbiasa sama kontraksi palsu," katanya seraya menenangkan diri menahan nyeri. Ataukah ini imbas akibat ulahnya menangis semalaman? Bayinya bergerak karena hubungan batin yang terjalin. Jemarinya mengelus-elus perut buncit, mencoba menyampaikan kalau dia baik-baik saja.

Tapi, tanpa disadari, ada sepasang mata yang memandangi. Mumta penasaran, bagaimana rasanya perut ketika diisi oleh sebuah nyawa? Bayi yang bernapas di dalam rahim. Apakah menggelikan karena pergerakan kecil yang makhluk itu lakukan?

Mumta penasaran, bagaimana rasanya hamil?

Namun, cepat dia gelengkan kepala. Tidak mungkin hamil tanpa perantara lelaki. Sedangkan, sosok imam yang ditakdirkan belum juga kelihatan hilalnya. Ataukah memang sudah tampak, tapi hanya saja Mumta yang mencoba menyangkal.

Sekali lagi bibirnya tersenyum kecil memikirkan kemungkinan yang acap kali Keyra ributkan.

"Kak,"

Panggilan itu menyahut di tengah lamunan. Senyum Mumta langsung punah saat kembali sadar. Tatapannya berubah dingin diwarnai ketidaksukaan.

"Hm?"

Hawa menguatkan diri, mengumpulkan keberanian untuk konsekuensi yang akan dia dapat.

"Kalau Adam datang ingin menikahimu, kamu mau, kan?"

Mumta diam sebentar, bukan untuk memikirkan, tapi memberi waktu untuk diri menertawakan pertanyaan yang tidak berbobot.

Senyum miring Mumta terbit saat wajah Hawa meminta penjelasan.

"Begini, gagal menikah itu memang memalukan, tapi hatiku itu bukan tempat hiburan, yang bebas dimasuki siapa aja untuk main-main."

Mumta melangkah, tapi di jarak yang belum seberapa, tubuhnya berbalik. Melihat Hawa yang menunduk dari samping.

"Hawa," Hawa memutar leher sedikit, mengintip Mumta dari sudut mata.

Beberapa detik digunakan Mumta untuk berpikir. Memutar ingatan pada waktu yang tidak sengaja mendengarkan keributan di telinganya. Lalu, suara pintu yang terbuka menyebabkan Mumta dipergoki seakan tengah menguping.

"Kalau sampai kalian bercerai karena rasa bersalah terhadapku, aku akan semakin membenci kalian. Jangan tanya kenapa karena alasannya sudah jelas, aku gak mau menjadi jahat dengan memisahkan dua hati seperti yang kalian lakukan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top