Bagian 27 ~ Orang Tua Durhaka?

Bagian 27 :

Orang Tua Durhaka?

*

*

*

"Kamu takut jarum suntik, tapi hobi sekali keluar-masuk rumah sakit. Aneh." Keyra mencibir. Tangannya meletakkan jinjingan di atas meja. Menarik kursi dan duduk di samping pasien yang berwajah pasrah.

Untuk mengalihkan, Mumta memainkan pipi berisi makhluk menggemaskan yang didudukkan Keyra di depannya.

"Kok si Abang di bawa?"

Keyra melepas jaket yang melekat di tubuh malaikat hatinya.

"Gak ada yang jaga. Gak mau merepotkan orang lain. Lagian biar dia gak dirumah terus."

"Jalan-jalan kok ke rumah sakit, ya, bang?"

Batita di pangkuannya hanya tersenyum-senyum.

"Gimana dong? Nte Mum-nya hobi masuk rumah sakit," tutur Keyra menirukan suara anak kecil. Mumta memancungkan bibir.

Dia memilih bermain bersama putra pertama Keyra dan Si Lubis. Sesekali pikirannya melayang, mungkin hidup juga akan menyenangkan jika manusia tidak beranjak dewasa. Menetap di fase kehidupan, dimana seorang manusia belum mengenal apa itu luka dan derita hidup. Mungkin Mumta akan tersenyum-senyum dan berceloteh tak jelas seperti baby Keyra, hanya karena alasan sederhana.

"Pengen punya sumber kebahagiaan kayak Alifbata, ya, Ta?"

"Maksud kamu?"

"Punya bayi. Kamu, kan, suka banget sama anak kecil."

Dia tertawa sebentar.

"Ya, pengenlah. Siapa yang gak pengen punya anak? Cuman jodoh yang mau diajak kerja sama aja yang belum ditemukan. Masih jadi buronan."

"Sebenarnya udah ada, dekat malah. Tapi, kamu aja yang pura-pura gak tahu."

Mumta berkerut kening.

"Memang udah ada, tapi belum dipertemukan Allah."

"Allah sudah mempertemukan, tapi hamba-Nya aja yang bersikeras kalau itu bukan."

Keyra memberikan anaknya sebutir anggur yang sudah dicuci bersih. Menunggu Mumta mengeluarkan suara.

"Kamu kira Elbiyan menetap disini itu untuk apa dan kenapa? Gak usah sok pura-pura gak tahu."

"Memangnya apa? Jawab kalau kamu tahu," tantang Mumta yang membuat Keyra tersenyum miring.

"Cinta, Ta, karena ada harapan yang dia semai dalam diri kamu. Aku gak percaya kamu gak sadar itu."

Memang.

Dia sempat merasa begitu. Ada perbedaan tindakan yang diberikan Elbiyan padanya belakangan ini. Namun, percakapan kemarin, bagaimana Elbiyan menghanturkan alasan atas tanya kenapa-nya, Mumta tidak ingin salah paham. Luka lamanya belum sembuh. Dia tidak ingin memperbodoh diri dengan berpikir berlebihan.

"Dia disini karena utangku yang belum lunas, Key. Gak ada yang lain."

"Itu alasan dia, Ta. Sebuah tembok yang dia bangun untuk menyembunyikan kebenaran."

Benarkah?

Apakah utang hanyalah jembatan Elbiyan untuk tetap ... .

Nggak!

Mumta tidak ingin termakan prasangka lagi. Dulu dia juga begitu terhadap Adam. Namun, cowok masjid yang mata keranjang itu menunjukkan belangnya di detik-detik kegentingan. Mumta akan mulai menutup diri demi kesehatan batin.

"Sudahlah, tindakan laki-laki itu sumber PHP. Gak selaras sama rasa di hati."

Laki-laki ... .

Mereka sudah mati bagi Mumta. Menimbulkan trauma berat untuk memulai lagi. Bagaimana jika salah lagi? Pertanyaan yang seolah menjadi magnet, menarik mundur pemikiran Mumta yang menganggap jika itu adalah keseriusan.

"Aku cuma mau bilang, tidak ingin memaksa. Tapi, coba deh ketuk lagi hati kamu, Ta. Dan sadari, Elbiyan berusaha menyusun kembali hati kamu yang sempat hancur. Meskipun gak bisa menyembuhkan seutuhnya, cinta bisa terlihat walaupun tersirat dari matanya."

Setelah itu, tiap detik yang berjalan, Mumta habiskan dengan merenung. Memikirkan apakah itu benar, atau hanya sekedar kata-kata?

*****

Elbiyan adalah manusia yang tidak bisa ditebak.

Gerak-gerik yang ditunjukkan sempat membuat prasangka, tapi dengan cepat polisi medit itu mematahkannya.

Sudah sering perlakuan Elbiyan membuat Mumta salah paham dan berakhir merutuki pemikirannya yang berlebihan.

Elbiyan seperti pengidap bipolar, yang cepat sekali berubah pribadi.

Namun, keributan kecil yang kerap kali timbul karena masalah sepele, sempat membuat Mumta menduga, jika kedatangannya tidak disukai lelaki itu.

Lalu, tiba-tiba Keyra bilang, Elbiyan cinta dia? Darimana? Perlindungan yang diberikan Elbiyan tidak lebih karena uang yang dipinjamnya. Ataukah itu hanya alibi?

Nggak, nggak.

Mumta harus fokus pada kesembuhan. Dia harus mencoba bangkit walau perlahan dengan membenci Hawa. Jika begitu membuat hatinya aman, dia harus lakukan.

Apalagi mereka serumah. Satu atap dengan pemberi luka. Setiap hari melihatnya bermesra dengan adik sendiri. Nestapa menjadi kakak ipar dari orang yang dicintai.

Permintaan Tantri agar Hawa tinggal sementara di rumah ini selama kehamilan sampai dirasa siap untuk mandiri, selama itu Adam terlihat menghindar, kecuali ketika di meja makan. Meski Mumta mencoba santai, tapi di setiap kunyahan, matanya sesekali melirik suami orang yang mampu tersenyum tanpa beban. Semakin membarakan kebencian di hati untuk adik sendiri.

Ups.

Mumta sadar. Air yang mengalir dari teko melebihi kapasitas gelas kaca di tangan. Lamunannya membuat Mumta tak fokus pada aktivitas yang sedang dikerjakan.

Karena masalah yang sama.

Mumta hendak mencari lap kain, membungkuk dan mengusap-usap lantai, jika saja satu pemikiran dengki tidak melintas.

Air yang tumpah membuat lantai licin. Benturan keras tidak bagus untuk ibu hamil.

Korelasi yang pas saat Hawa terlihat menuruni tangga. Kakinya tampak melangkah ke dapur. Mumta cepat menyembunyikan diri. Mungkin menyaksikan darah bercucuran dari selangkangan perempuan itu pasti akan menjadi pertunjukkan yang indah. Lalu, berpasang-pasang wajah mendadak panik mengangkut Hawa ke rumah sakit. Dan pulang dengan perut yang kembali datar.

Seutas garis miring terbentuk di bibir Mumta. Perempuan perebut kebahagiaan orang akan masuk ke dalam perangkapnya. Perempuan perebut kebahagiaan orang itu harus mendapatkan karma yang sepantasnya.

Dia juga harus kehilangan.

Sedikit lagi ... lima langkah sebelum rencananya berhasil.

"Hawa!"

Tubuhnya berjengit. Hawa membalik badan dengan cepat. Tangannya langsung melindungi perut, detak jantung berpacu dengan keterkejutan. Panggilan itu memompa jantungnya untuk bekerja lebih keras.

"Ya?" jawabnya ragu. Stainless di tangan digenggam erat. Asumsi-asumsi buruk mulai berkeliaran seperti ayam yang lepas dari kandang.

"Ada air tumpah."

Matanya mengikuti telunjuk Mumta yang jatuh ke dekat meja pantry.

"Nih!"

Sebuah lap mendarat tak sopan di wajahnya. Sedangkan, Mumta sudah berlalu ke kamar dengan menembakkan tatapan sinis yang menusuk.

Amarah masih tergambar walaupun sedang memberikan perhatian.

*****

Bodoh!

Sebuah suara meledak di telinga.

Itu kesempatan. Ketika Hawa keguguran, maka Adam akan menikahimu. Bukankah itu yang kamu mau?

Tak sadar, bisikan itu dianggukkan.

Dia memang masih menyimpan harap, tapi bukan dengan cara yang salah.

Kau korbannya. Kenapa masih baik pada orang yang menyakitimu?

Bisikan itu memantikkan amarah. Mumta merasa bulunya meremang. Mengingat-ingat senyum bahagia yang terukir di wajah Adam dan Hawa. Seolah tidak memperdulikan luka yang sudah ditorehkan. Dan bodohnya dia malah membalas dengan kebaikan.

Sekarang kamu pikir, kalau kamu menyakiti Hawa, mencoba melenyapkan calon keponakanmu sendiri, apa Adam akan kembali sama kamu? Nggak! Justru kamu yang akan menjadi jahat karena membunuh nyawa yang tidak tahu apa-apa. Dengar! Jangan sampai dendam menghilangkan pribadimu yang baik.

Mumta memejamkan mata. Berusaha menulikan telinga dari suara-suara tak kasat mata. Pikirannya kalut, sangat membingungkan.

Dendam merayunya untuk menjadi jahat, tapi nurani menggenggam hatinya untuk mencoba memaafkan.

Akhirnya, dua rasa yang bertolakbelakang membuat Mumta tidak mampu memilih pijakan. Membuatnya tampak terombang-ambing karena benak sendiri.

"Nggak apa-apa marah, wajar. Manusia punya hati dan nurani yang bisa terusik. Tapi, jangan sampai luka yang ada membuat kamu jadi sosok yang berbeda. Cukup hindari dan berusaha menunjukkan yang terbaik, itu sudah cukup jadi pembalasan."

Dengan wajah lembut yang tidak biasanya ditampilkan, juga usapan hangat di punggung tangan, masih mengisi kepala Mumta saat Keyra mensenyuminya sebelum menutup percakapan hari itu.

Namun tetap, Mumta belum bisa memilih pasti langkah mana yang harus diambil.

Membalas yang akan membuatnya menjadi jahat atau diam dan merajut lagi hidup yang baru?

*****

Mumta ingin membalas ajakan Keyra, menemani ibu rumah tangga itu untuk mengisi kembali kebutuhan dapur. Namun senyuman tulus Tantri yang mengajaknya keluar, entah kenapa berat untuk ditolak. Padahal senyuman itu yang menyambut bahagia kedatangan Hawa dari atas tangga.

"Kita masak ikan nila asam manis, kak?"

Mumta mengintip, rangkulan Tantri di pergelangan tangan kanannya. Menyelimuti jemarinya dengan kulit Tantri yang keriput. Sudah lama dia tidak digandeng seperti ini. Dan ketika merasakan kembali, rasanya justru aneh, asing, Mumta jadi tidak nyaman.

Ataukah karena sudah terbiasa sehingga hal yang dulu pernah diributkan, sekarang jadi biasa-biasa saja? Tidak memantik rasa apapun. Tidak semembahagiakan dulu.

"Kak," Tantri tersenyum lagi. Diusapnya bahu Mumta pelan untuk menghapus keterdiaman. Dirinya harus membiasakan, jalan berdua dengan si sulung agar hubungan yang dulu hampir terputus, tersambung lagi. Meski dengan simpulan yang kusut, dia akan mencoba merapikan.

"Terserah mama aja."

Terserah, jawaban yang mengandung banyak makna. Satu kata yang ambigu, membuat Tantri menimbang, apakah putrinya tidak suka atau hanya menerima saja ... karena tidak suka?

"Eh, Bu Tantri."

Seorang wanita dengan usia tak jauh beda menghampiri. Melambai dan saling menempelkan telapak tangan. Mumta menunduk untuk mendaratkan kening di punggung tangan wanita berpenampilan modis. Bahkan Mumta saja tidak pandai berpakaian seperti itu.

"Lagi belanja?"

Tantri tersenyum. Bertanya kembali dan melahirkan basa-basi beberapa menit, sebelum mereka pamit dan lahir bisik-bisik di belakang.

"Bukannya itu anaknya yang seharusnya menikah hari itu, ya?"

"He'em, kasihan ya. Calon suami malah berakhir adik ipar. Kenapa gak diusut sampai selesai, sih? Jadikan, gak harus berakhir menyayat begitu. Kasihan anaknya."

"Mana serumah lagi, kan? Makan hati terus itu pasti anaknya."

"Kok ada, ya, orang tua gegabah? Padahal mayat anaknya belum ditemukan, eh, sudah mengklaim meninggal. Ternyata masih hidup. Mana harus menghadapi kenyataan kalau calon suami nikah sama adik sendiri. Kandung pula."

"Jaga image kali, ya?"

Mumta membalik badan. Tatapan sinisnya memergoki wanita yang tadi berbicara mengangguk kecil dengan senyum kaku, sedangkan wanita lain berpura-pura mengamati barang di rak. Meski belum berjalan terlalu jauh, percakapan itu masih bisa ditangkap oleh indra pendengarnya.

Dasar! Emak-emak komplek!

Lalu, saat Mumta kembali memposisikan tubuh, sesuatu yang bening terlihat menumpuk di pelupuk mata Tantri. Wajahnya yang tertunduk beraut sendu. Bibirnya bergerak-gerak seperti menahan tangis agar tidak luruh.

Bahkan orang lain pun menyalahkannya, maka tidak heran jika sulungnya membenci ibunya sendiri.

Kesalahan besar sudah dia lakukan, mungkin itu sebabnya usaha untuk memperbaiki terasa begitu sulit.

Rasanya, luka yang diberikan, seperti tidak berhak mendapat ampunan.

Tantri merasa seperti orang tua yang durhaka yang tidak pantas jika surga ada di telapak kakinya.

Bagaimana bisa surga masih ada di telapak kakinya jika dia adalah pemberi luka terhadap putri sendiri?

"Ma," Mumta menggoyang pelan lengan Tantri yang menggantung lemah. Cepat dia usap pipi yang berair.

"Ah, mama sampai lupa kita mau beli apa." Kepala Tantri bergerak. Melihat-lihat sekeliling. "Oh itu, area ikan segarnya."

Mumta menahan langkah Tantri yang ingin beranjak.

"Aku mau makan ayam aja. Ditepung biasa."

Barulah, Mumta melihat seukir senyum lahir di wajah yang bersedih itu.

*****

Orang tua yang durhaka, adakah?

Selama ini Mumta hanya mendengar, melihat, dan merasakan seorang anak yang durhaka pada orang tua. Bahkan sampai menjadi batu.

Apakah sehebat itu dosa pada orang tua?

Lalu, apa jadinya jika orang-orang yang menjadi panutan itu yang melakukan dosa? Apakah mereka juga bisa disebut durhaka? Terutama ... orang tua?

Jauhari melakukan kesalahan besar. Menikahkan putrinya yang lain dengan mempelai sulungnya. Karena impian, juga harga diri.

Tantri yang dibelakang ikut mendukung, sampai mendoakan keberkahan perkawinan Hawa dan Adam. Terlebih hampir menganggap Mumta benar-benar telah pergi.

Lantas, durhakah mereka itu?

Ataukah justru Mumta yang durhaka karena mempertahankan amarah dan memberontak pada orang tua? Tetap diakah yang salah ketika keadaan mencekiknya?

Namun ketika melihat kemurungan yang menyergap hati wanita itu, segelintir perasaan tidak tega mampir di hati Mumta. Bagaimana naluri itu berjalan saat hati Tantri terluka.

Dialog-dialog itu seakan ingin menunjukkan pada Mumta, jika Tantri menyesali apa yang terjadi dan menyayanginya dengan sangat.

Air mata yang mengalir itu seperti menyiratkan, jika Tantri juga terluka karena dosanya sendiri.

"Ma," panggil Mumta.

Tantri berbalik dengan antusias. Jarang sekali anaknya memanggil, hingga panggilan itu keluar dari bibir Mumta, rasanya sangat menyenangkan.

"Ya?"

Mumta diam, membuat Tantri menunggu tak sabaran. Mumta hanya ragu, bagaimana cara mengungkapkannya. Kepalanya kusut karena perasaan yang tidak menentu. Dan terakhir hanya sebuah pelukan singkat yang bisa Mumta berikan untuk menyampaikan ... rasa sayang?

Mumta langsung berlari memasuki kamar, melewati Jauhari yang mematung menyaksikan pelukan yang seolah menjadi fenomena langka. Keterpakuan Tantri menyiratkan kebahagiaan, sedangkan keterdiaman Jauhari, mempertanyakan, inikah awal dari perubahan?

*****

Mumta hampir tidak percaya, dia berani melakukan itu. Menempelkan kulit dan melingkari tubuh Tantri. Perlakuan yang tidak pernah, ah, maksudnya sudah lama tidak dia lakukan. Mungkin tepatnya dia ingin, tapi Tantri terlalu sibuk dengan anaknya yang lain.

Mumta sampai memandangi kedua telapak tangannya yang lemah di paha. Lalu, wajahnya yang termangu di depan cermin.

"Kamu ... melakukannya?" Mumta bertanya, pada bayangan seorang perempuan yang termenung. Padahal bukan sebuah dosa, tapi gelisahnya luar biasa.

"Benarkah itu?"

Mumta mencoba meyakinkan, apakah tadi itu nyata? Darimana dia dapat keberanian sampai berani mendaratkan sebuah pelukan di tubuh Tantri? Rasa peduli karena gunjingan di pusat belanja? Atau ... rasa sayang yang nyatanya tersembunyi di hati?

Ataukah hal yang lebih besar dari itu.

Mulai memaafkan?

.

.

.

Assalamu'alaikum, kawan-kawan akuuuuuu 😘😘

Kaifa haluk?

Gimana gimana sama setiap part cerita Al Mumtahanah? Sampai sini, apakah bisa kalian berikan pendapat di kolom komentar? 🤗🤗🤗

Syukron untuk kalian yang menunggu dan tetap setia di lapak ini sampai sekarang. Dan mudah-mudahan kalian juga bisa membersamai cerita Hani yang lain (yang masih dalam otak 😁😁) di akun Hani 🤗🤗

Syukron katsir bangettttt semuaaaa. Do'akan mudah-mudahan perjuangan Hani bisa sampai akhir ya 🙏🙏🙏

Wassalamu'alaikum,


RaliaAkma_17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top