Bagian 22 ~ Dendam Yang Bersemayam

Bagian 22 :

Dendam Yang Bersemayam

*

*

*

Mumta diam di tempat. Kakinya menapak lemah di atas ubin. Ada rasa panas yang menjalar di tiap inci tubuh.

Mungkin ini alasan, mengapa Allah melarang umatnya bermesraan di depan umum.

Untuk menjaga perasaan. Karena tak semua hati ikut bergembira saat melihat yang lain bahagia.

Seperti saat ini.

Ada sepasang burung dara yang saling mengepakkan sayap. Ada sepasang manusia yang melemparkan canda, tanpa sadar kejadian itu menimbulkan air di sepasang mata yang melihat.

Apa susahnya untuk menjaga sebentar?

Menjaga untuk tidak menunjukkan kebahagiaan di ruang terbuka, di tempat dimana semua orang dapat melihat.

Mumta tahu, dia sudah tidak pantas, status mereka sudah berubah drastis. Tidak bisa diganggu gugat. Namun, mereka tidak bisa mengumbar senyum di depannya ... seperti ini.

Kemarin di mall, sekarang di dapur.

Kenapa semua tempat yang dikunjungi, selalu ada mereka?

Seolah kepedihan sudah berlalu, apakah kepulangannya bermakna seperti itu?

Dulu ... di kampus, Adam dikenal sosok yang peduli. Menggalang dana sana-sini untuk membantu saudara yang membutuhkan. Entah itu bencana atau musibah. Mungkin kebaikan itu yang membuatnya menjadi incaran banyak perempuan. Dan Mumta sempat merasa beruntung karena hampir diperistri.

Hampir, satu kata yang menjelaskan jika dia sudah berada di dekat garis finish, tapi bukan keluar sebagai pemenang.

Kenyataan yang memilukan.

Namun, kenangan tidak pernah berjalan pada masa depan. Dia kekal di ingatan masa lampau. Adam memang masih sosok yang hangat, penyayang, juga rupawan. Tapi semuanya kini terasa menyakitkan. Bukan dia yang menerima semua kelembutan itu, bukan dia ... perempuan yang di peluk Adam dalam selimut.

Bukan dia ... .

"Kak," sebuah sentuhan membuyarkan kesedihan. Air mata yang menunjukkan seninya dalam menyampaikan kesedihan tak sempat Mumta hapus. Tantri terlanjur melihat kehancuran yang bermuara dari hati ketika dua detik setelah kepergian putri sulung, terlihat kemesraan anak dan menantunya.

"Eh, ma,"

Kemesraan itu berakhir. Tantri memasang senyum paksa ketika putrinya berlalu menyiapkan perlengkapan kerja sang menantu.

"Mama sudah sarapan?"

Tantri menggeleng dengan senyum masih menempel. Diminumnya seteguk air sebelum menyampaikan sesuatu.

"Adam,"

"Ya, ada apa, ma?"

Wajar, hati Tantri berbicara. Mengapa Mumta begitu mngharapkan Adam untuk menjadi imam dalam istana samawa yang pernah sulungnya ucapkan.

Bagaimana menantunya memperlakukan Hawa, mengasihi bungsunya, menjaga putri keduanya seperti berlian yang berharga. Bahkan, perlakuan Adam padanya pun terasa seperti ibu kandung. Kadang Tantri sampai berpikir jika dia memiliki seorang putra karena perlakuan Adam yang istimewa.

"Maaf sebelumnya jika perkataan mama kali ini menyinggung hati kamu." Tantri menatap lelaki berkemeja yang sudah duduk di depannya. "Susah payah mama membawa Mumta untuk pulang, membujuknya untuk kembali tinggal di sini. Mama hanya takut, kemesraan yang kalian lakukan saat berada di luar kamar akan membuat Mumta berasumsi kepulangannya hanya untuk melihat laki-laki yang masih dicinta bahagia dengan adiknya sendiri. Kamu tahu, kan, dari awal Mumta dan kami sudah tidak baik-baik saja. Ada celah dan dinding yang diam-diam terbangun di antara kami. Dan mama sedang mencoba untuk meruntuhkan sekat itu. Mama bukan melarang kalian untuk bahagia, tapi tolong ingat tempat dan kondisi. Ada seseorang yang sedang mencoba untuk sembuh di rumah ini."

Sudut hatinya tersentil. Secara tak langsung, bahagianya seperti penderitaan untuk orang lain.

Lagipula ucapan Tantri benar, harapan palsu yang dia berikan pada Mumta adalah tindakan kriminal. Menggerogoti Mumta hingga ke ujung-ujung.

Seharusnya jika dia tidak bisa kembali, dia harus bisa menjaga perasaan Mumta dan jangan muncul terlalu sering. Bagaimanapun mereka tinggal satu rumah, meski hanya untuk sementara, bertemu setiap hari dengan orang yang dicinta, tapi bukan untuk kebersamaan adalah hukum alam yang tidak adil bagi hati.

*****

Rasanya Mumta enggan untuk membasuh sebagian diri di kamar mandi. Dia muak juga lelah. Nunggang-nungging untuk melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah.

Doa yang selalu berbisik, harapan yang terukir di atas sajadah terasa tak pernah terijabah. Hidup Mumta tetap berjalan di jalur itu-itu saja.

Air mata.

Seolah tak bosan turun dari matanya. Selalu dan selalu hadir di setiap detik perjalanan hidup.

Matanya melirik lagi.

Malam kian larut dan waktu Isya akan segera berakhir. Hati Mumta berdegup ragu. Meninggalkan solat sebagai pemberontakan ketidakadilan takdir hidup, apakah ampuh?

Mungkin saja setelah itu, Allah berbelas kasih memberikannya sedikit cahaya untuk bernafas lega.

Manusia yang jahat, kenapa Allah yang kamu salahkan?

Sisi baiknya bersuara.

Tapi, karena takdir yang Dia tulis hidup kamu berlangsung miris.

Sisi buruknya ikut berbisik. Hampir saja melahirkan anggukan.

Karena itu, solatlah. Jika Allah yang memberikan ujian, sudah pasti Allah juga yang mempunyai penawarnya. Tidak ada sakit yang tidak obatnya. Itu janji Allah.

Bayangan di cermin membuat Mumta bimbang. Sudah kesekian kali, dia memberontak dan berusaha meninggalkan kewajiban, tapi ketika membayangkan api itu berkobar seakan siap untuk melahap, juga bisikan-bisikan yang lahir entah dari mana, membujuk langkah Mumta untuk perlahan-lahan membasuh diri dan mengembangkan sajadah coklatnya. Bersimpuh diri dengan doa yang masih sama.

Allah, jika memang dia tidak baik, tolong jatuhkan hatiku sedalam-dalamnya pada agama-Mu. Karena aku yakin, jatuh cinta yang paling indah adalah kepada Rabb ku sendiri.

*****

Keyra :

Aku Ingin Menjadi Istrimu.

[Coba deh baca, menggetarkan jiwa ceritanya. Karya penulis favoritmu, loohhhhh]

Mumta menggeser layar. Melihat potongan cerita yang dikirim Keyra beberapa waktu lalu. Hingga tiba akhir, Mumta terpaku pada satu bagian.

Sebab cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan memandang. (Bukan begitu, Nia?) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling mengemis.

Cinta... .

Mumta tersenyum tipis. Tak pernah karya Ashma Nadia tidak membuatnya terdiam, meresapi tiap bait kalimat yang begitu sarat makna akan kehidupan, terlebih... tentang hati. Kata-kata yang begitu mewakilkan seolah menimbulkan kelegaan hingga keterpakuan.

Pemikiran yang bijaksana nan menawan.

Andai dia juga bisa mengolah kata selihai itu, mungkin menyadarkan Adam untuk menoleh ke belakang bukanlah hal yang sulit.

Sebuah pesan kembali terkirim. Dari Keyra.

Keyra :

[Dengar tuh kata si Nia, cinta tidak seharusnya membuat dua orang kekasih saling mengemis 😏]

Me :

[Dalam cinta tidak ada yang mengemis, itu namanya perjuangan 👍]

Keyra :

[Di kamu bukan perjuangan namanya. Tapi, merebut laki orang. Perjuangan laknat, tuh 😒]

Mumta mencebik. Jarinya mengetik penuh emosi.

Me :

[Dia yang laknat, Key. Merebut Adam dariku. Murahan 😤]

Keyra :

[Murahan mana sama kamu yang rela merendahkan izzah dan iffah untuk seseorang yang bahkan menolakmu dua kali? Yang katamu itu perjuangan, tapi merebut laki orang? 😒]

Merebut laki orang?

Mumta membanting ponselnya ke kasur. Napasnya memburu. Bukan dia yang merebut, tapi Hawa yang merebut calon suaminya dan menikah di tengah rancangan keindahan yang dia buat. Di tanggal yang sekarang dia benci.

Seharusnya Keyra paham itu.

Hawa adalah perebut, seorang mafia kebahagiaan. Manusia yang tidak pantas bahagia. Perempuan yang menyembunyikan jiwa jahannam di balik kerudung lebar yang dia kenakan. Mencoreng citra muslimah yang sebenarnya.

Di sana, benda bulat itu seharusnya melingkar di jari manis Mumta. Menghiasi jemari Mumta yang kosong. Tidak sepatutnya Hawa tersenyum setelah menikam saudari sendiri dari arah seorang pengecut.

"Biadab,"

Kata mengejutkan menghentikan langkah yang bergerak. Menghapus senyum yang menghias wajah Hawa. Tatapannya kini beradu dengan manik kecoklatan yang menghunusnya dengan tajam. Seolah mengumandangkan peperangan.

"Kamu seharusnya tahu diri untuk tidak muncul di hadapan semua orang setelah aksi bejat yang kamu lakukan. Gak seharusnya memamerkan senyum di depanku. Kamu bangga karena berhasil menjadi sampah karena merebut punya orang lain? Bangga sekali karena bisa menjadi nyonya Ghifari?"

Hawa menggeleng. Tangannya memeluk erat perut yang tampak menyembul. Matanya berair ketakutan. Mumta, kakaknya tampak seperti binatang buas yang kelaparan.

"Kamu ... hanya perempuan yang merendahkan martabat baik perempuan lain karena merebut hak orang lain. Dikucilkan adalah hukuman yang pantas untuk kamu."

Mumta memajukan langkah, memundurkan tubuh Hawa ke belakang.

"Kamu itu sampah, seharusnya kamu sadar. Menjadi pengantin pengganti adalah peran yang memalukan. Kamu itu hanya pengganti, bukan pemain asli. Perempuan nggak tahu malu padahal cuma serap. Rendahan."

Hawa menunduk. Setitik air lolos dari jangkauan mata. Kalimat panjang yang mengutarakan kebencian berhasil menembaki batinnya. Menciptakan serpihan-serpihan menyakitkan.

Hawa tak mampu berucap. Meski keduanya sama menginginkan, dirinya tetap pengantin pengganti. Menggantikan Mumta yang dikabarkan menghilang malam itu.

Kebahagiaannya tidak lebih datang dari hasil merebut.

Kebencian yang terasa kebenaran itu, menampar sudut hati. Mengunci bibir Hawa yang menahan tangis. Tetap diam menerima tudingan-tudingan menyakitkan. Jika itu melegakan Mumta dan memperbaiki hubungan keduanya, silahkan. Lagipula kakaknya membeberkan kebenaran.

"Kamu itu gak lebih dari kerikil yang berada di tengah berlian. Istimewamu itu hanya pantulan, yang gak akan pernah jadi milik kamu."

Mumta menunjuk dada Hawa. Mendorong tubuh itu di setiap kata yang terucap.

"Perempuan perebut kebahagiaan orang lain."

Hawa tertahan pada dinding. Saat dirasa Mumta sudah menutup mulut, dia memberanikan mengangkat wajah dengan pipi basah.

"Kak, kalau malam itu kamu tidak bersikeras tetap bekerja, kalau malam itu kamu mendengarkan mama, situasinya gak akan seperti ini. Dan sekarang kakak malah menyalahkan aku?"

Kini keadaan berbalik. Mumta yang terdiam. Dengan cepat hatinya membenarkan yang segera ia tepis. Itu hanya alibi, hatinya bersikeras. Tak mau disalahkan.

"Kalau kakak tetap diam dirumah, menahan diri sebentar, kecelakaan itu gak akan membuat aku menggantikan posisi kamu yang sekarang kamu ributkan. Ya, kan?" Suaranya bergetar. Mata berairnya kembali menyerang Mumta.

"Kalau kamu tolak, pernikahan itu akan batal, gak akan terlaksana."

Benar juga, batin Hawa menjawab.

"Dasar kamunya aja memang yang mau. Sok-sokan ingin membalikkan keadaan."

Mau?

Hawa berpikir. Dia hanya memiliki rasa, tanpa disadari ternyata masih tersisa perasaan labil yang dulu sempat bersemayam. Dan mekar begitu cepat ketika pertama kali melihat Adam setelah sekian tahun. Apakah itu tetap dia yang mau?

"Aku penasaran, apakah hidup kamu juga bisa menderita atau tidak? Apakah kalau Adam kehilangan sesuatu yang dia damba, dia akan meninggalkan kamu dan kembali sama aku. Aku penasaran."

Awalnya Hawa tak mengerti, apa maksud yang terkandung dalam dialog Mumta kali itu. Sampai sebuah dorongan terasa di kedua pundaknya, ketika lengan Mumta mendorong tubuhnya ke samping, lalu perutnya menghantam ubin dingin kalau saja sebuah lengan kukuh yang lain tidak menangkap tubuhnya dengan cepat.

Di sana, masih di posisi yang sama, Mumta terpaku ketakutan. Ketika tubuh Hawa yang sedang mengandung ditangkap oleh seseorang yang sepuluh detik kemudian menatapnya tajam.

Seperti waktu itu.

.

.

.

Assalamu'alaikum, kawan-kawan akuuuuuu 😘😘

Ada yang nungguin, kah?

Maaf ya lama update lagi. Tadi Hani kulon dulu 🤗🤗

Okay 😉

Selamat membaca dan semoga terlena  Epribadeh 😎😎

Wassalamu'alaikum.




RaliaAkma_17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top