Bagian 20 ~

Bagian 20



Pulang

*

*

*

Kelopak mata yang dipayungi bulu-bulu lentik berusaha mengerjap. Mengepak-ngepak untuk memperlihatkan biji hitam kecoklatan yang lelah.

Lima detik, pandangan yang kabur berhasil memantulkan kejelasan. Langit-langit kamar yang terlihat pertama kali.

Mumta mengingat-ingat. Rentetan peristiwa yang membawanya bergelung di bawah selimut.

Hati yang remuk sampai tidak berkeping menuntunnya ke pinggir jembatan, lalu angin yang menerpa mengangkat kaki Mumta untuk berdiri di atasnya, memandang air yang mengalir tenang, sampai sebuah tarikan membuatnya memberontak.

Lalu, kecupan yang lama, jejak sejuk dari benda kenyal kemerahan di kening, memaku kesadarannya pada dada bidang yang melingkarkan tangan di kedua pundak.

Mumta kembali terpaku.

Ciuman itu ... bagaimana dia harus bersikap saat bertemu Elbiyan nanti?

Kegilaannya, kebodohannya yang timbul karena sakit hati, memberatkan langkah Mumta untuk memunculkan diri. Terutama setelah perlakuan hangat yang terjadi belum pada waktunya.

Apa yang harus dia lakukan?

Pertanyaan-pertanyaan di kepala membuat tenggorokannya kering. Ataukah karena jeritan-jeritan ingin menemui kematian semalam?

Mumta berusaha bangkit, menguatkan lengan yang bergetar untuk menopang tubuhnya yang ingin duduk. Namun, kaca bening itu menampilkan kekosongan. Hanya setetes air yang tersisa. Botol air biasa yang diisi penuh juga tandas, Mumta mendesah.

Tubuhnya masih lemah, sendinya nyeri ketika digerakkan, bahkan tubuh harus ikut bergerak kemana leher ingin menuju.

Satu kaki berhasil menapak di ubin dingin, tinggal sebelah lagi ... .

"Aduh,"

Telapak tangan menekan kuat-kuat sisi perut sebelah kanan. Nyerinya berkali-kali lipat dari sendi geraknya.

Ini bukan waktu menstruasinya tiba. Meski begitu, Mumta tidak pernah merasakan nyeri haid seperti yang perempuan lain rasakan. Hanya nyeri di kedua payudara, tidak sampai ke perut.

Dia menghirup udara berkali-kali. Mencari kekuatan untuk menapak ke dapur. Meminum seteguk air pun jadi untuk melancarkan tenggorokan.

Mumta terus memaksa langkah, meski tubuh membungkuk menahan sakit. Mencari pegangan apapun yang bisa menahannya untuk tetap berdiri.

Namun semakin jauh kakinya berjalan, bertambah pula ritme sakit di perutnya. Hingga tak membuatnya jeli memilih pegangan. Di perbatasan dapur, gelas kaca jatuh, puingnya bertebaran di lantai, sementara tubuh Mumta sudah bersujud  yang mengundang langkah kaki tergesa untuk segera memangku kepalanya.

*****

Rasanya sudah tak sempat lagi untuk mendatangi meja informasi, menanyakan nama Mumta untuk segera melihat kondisi perempuan yang semakin hari semakin membuat Elbiyan kewalahan ... untuk tidak mengkhawatirkannya.

Setiap menyusuri lorong, Elbiyan menajamkan penglihatan, mencari wajah Ashma yang menelponnya sambil menangis.

"Bunda,"

Elbiyan sampai dengan napas terengah dan kepala yang bertanya. Berapa lama waktu perjalananan yang ditempuh hingga orang tua Mumta sudah hadir lebih dulu?

"Dengan keluarga pasien?"

Pintu ruangan terbuka, Elbiyan maju paling depan. Menimbulkan kebingungan di benak dua orang paruh baya.

"Dia baik saja-saja, kan, dok? Tidak ada luka apapun di tubuhnya?"

Elbiyan khawatir, jika Mumta akan melakukan cara lain untuk memaksa malaikat Izrail menjemputnya sebelum waktu yang ditulis Allah di buku takdir perempuan itu.

"Anda suaminya?"

Elbiyan diam sejenak, matanya memandang wajah risau orang tua Mumta.

"Kami orang tuanya."

Suara Jauhari mengambil alih. Dokter melepas masker yang menutupi sebagian wajah berjenggot putih di dagu.

"Lambungnya kumat, mungkin karena jadwal makan yang tak teratur dan memakan makanan tajam sebelum mengonsumsi karbohidrat. Itu menyebabkan nyeri seperti tusukan di sekitar lambung."

Istighfar melambung beramai-ramai. Namun, hamdalah keluar dari bibir Elbiyan, Mumta tidak menyayat urat nadinya.

"Tidak parah, kan, dok?"

"Tergantung manusianya. Jika menyepelekan, sakit yang ringan pun bisa berujung kematian."

Semua orang mendesah. Terutama Tantri yang masih diliputi rasa bersalah. Putrinya menjadi seperti sekarang karena dirinya yang tidak pandai memilah kasih.

"Mumta sudah boleh dijenguk?" Dengan tangan saling menggenggam, Ashma menatap penuh harap pada dokter. Matanya menyinarkan kecemasan begitu kuat. Tadi, sebelum dibopong ke rumah sakit, wajah anak gadis orang yang sangat disayang pucat pasi, bibirnya mengelupas, dan kakinya begitu rapat menjepit perut dengan tempurung lutut. Panggilan Ashma yang setengah teriak tidak dijawab, Mumta terus meringis menyuarakan kepedihan di perut.

"Untuk saat ini, biarkan pasien istirahat dulu." Ashma menghela napas kecewa. Tak apa, ini kebaikan Mumta. Ada hari esok untuk menyuapi makan anak orang itu.

"Saya akan resepkan obat untuk pasien. Harus diminum teratur agar bisa pulih benar. Makan wajib dijaga dan sesuai jadwal. Pasien juga tidak boleh dibebani dengan pekerjaan berat, terutama tidak boleh stres. Banyak pikiran akan semakin memperlemah kondisi penderita lambung."

Semua orang mengangguk. Dokter melangkah menjauh. Jauhari mengekori dokter dari belakang. Sebagai wali, dia akan mengurus administrasi dan menebus obat untuk putri yang tersakiti.

Sementara itu, Ashma menoleh pada Elbiyan yang cemas disampingnya. Menuntut penjelasan yang tertunda karena dokter yang keluar dari ruangan Mumta.

"Iyan, bunda harap kamu jujur."

Pernyataan tegas itu membuat semua kepala menoleh. Elbiyan menatap Ashma dengan alis menyatu.

"Apa Mumta mencoba melakukannya?"

Elbiyan sadar, ada maksud tersembunyi di balik kata 'melakukan'.

"Jawab bunda, bang."

Tantri hanya memandangi, dia yang tidak mengerti hanya mendengarkan. Pertanyaan besar mengapa Mumta bisa tumbang, dia tunda. Jawaban terbesar sudah dikantongi, itu karena tindakan gegabah yang dia lakukan.

"Jangan diam, Yan! Ayo bersuara untuk menjawab tidak!"

"Maaf, bun."

Ashma limbung. Tubuhnya terhuyung menuju kursi tunggu. Elbiyan menangkap tubuh Ashma dan berlutut di depannya.

Tantri yang tidak jauh dari sana ikut terkejut dan duduk di antara ibu dan anak itu. Air matanya menetes. Ada yang tidak beres dari masuknya Mumta ke rumah sakit.

"Memangnya apa yang dilakukan Mumta?" Suaranya bertanya parau. Tanpa sadar, tangan bersandar di punggung tangan Ashma. Sedangkan, wanita itu menatap lurus lantai ditemani air mata yang menetes.

"Bunda tidak perlu khawatir, dia sudah aman sekarang."

"Mumta,"

Ashma menangis. Telapak tangan yang mengeriput menutup wajah yang basah. Kenapa hatinya terasa hancur mengetahui Mumta hampir mengakhiri hidup? Jalinan apa yang dirajut Allah antara dia dan Mumta? Rasanya menyesakkan, seperti gagal menjadi orang tua. Terasa jika kehadiran Ashma tidak berhasil membunuh kesedihan tamu yang disayangnya.

"Saya ibunya, boleh saya tahu apa yang terjadi pada Mumta belakangan ini?" tanya Tantri sedikit bergetar. Tangisan perempuan yang mungkin usianya tak jauh darinya, semakin menimbun kekhawatiran. Ia menatap Elbiyan yang ragu untuk menjawab.

"Putrimu ...," Ashma memutar leher. Dia tidak tahu apa yang perempuan ini buat hingga Mumta begitu membencinya, tapi saat ini wajah itu terukir khawatir. "Ingin mengakhiri hidupnya."

Keadaan di rumah sakit sedang lengang, tidak terlalu berisik, tapi rasanya seperti ada petir yang melintas. Menampar sudut hati Tantri. Dia mematung sebentar sebelum lemah di sandaran kursi.

"Bukankah Mumta terkena asam lambung? Itu penjelasan dokter tadi, kan?" Dia bingung. Penjelasan dokter berlawanan dengan fakta yang baru diketahui.

"Kemarin, di pinggir jembatan. Untung saya datang tepat waktu. Kalau tidak," Elbiyan tidak dapat membayangkan seperti apa harinya sekarang, esok, dan seterusnya. Kepergian Windi saja sudah membuatnya tak mampu tidur nyenyak, apalagi melihat peristiwa yang sama untuk kedua kalinya.

"Ma,"

Semua pandangan beralih. Seorang perempuan dan lelaki dibelakangnya mendekat. Memeluk Tantri yang menangis di kursi tunggu.

"Bagaimana kakak?" Tanya itu melantur terputus-putus.

"Dia baik-baik saja, kan?"

Belum sempat Adam melanjutkan, satu kepalan tangan berisi kekuatan penuh melayang ke pipi kanannya. Laki-laki itu tersungkur hingga menabrak tong sampah. Berpasang-pasang mata yang melihat langsung menjerit.

"Elbiyan!" Ashma menarik lengan putranya yang mencengkram kerah mantan tunangan Mumta. Namun, kekuatannya tak seberapa dengan kemarahan Elbiyan.

"Puas kamu, hah?! Karena penjelasan konyolmu itu, hidup seseorang hampir berakhir sia-sia!"

Sekali lagi, satu pukulan penuh kebencian menjadi hiasan di wajah rupawan Adam yang kembali tersungkur.

"Elbiyan!"

Ashma menatap tangannya yang mengambang di udara. Jemarinya bergetar, telapaknya masih pedih setelah menampar kulit pipi Elbiyan. Matanya menatap tidak percaya, kini telapak tangannya membekas merah di pipi Elbiyan.

"Cukup! Kekerasan tidak memperbaiki apapun. Istighfar, bang! Mumta sedang tidak baik-baik saja. Apa ini caramu mengkhawatirkannya?"

Elbiyan memaksa meredam emosi, kemarahannya mengundang atensi pengunjung lain. Namun, mata elangnya masih mengawasi Adam yang duduk di seberang pintu. Memegang sudut bibir yang berdarah.

Itu masih belum seberapa.

"Dasar tidak punya urat malu! Tidak bernurani!"

Hawa menatap takut Elbiyan yang menyerang mereka dengan nyalang. Wajahnya memerah, kedua tangannya masih mengepal erat di sisi badan. Penjelasan apa? Tanyanya dalam hati.

"Cukup bang! Ayo kita pulang!"

Ashma menarik lengan Elbiyan, tapi pemilik tubuh tak bergerak.

"Tapi, bun, Mumta,"

"Disini sudah ada keluarganya, lagipula Mumta belum bisa dikunjungi."

Elbiyan tidak percaya, meninggalkan Mumta bersama keluarganya. Sedangkan, orang-orang itu adalah penyebab Mumta seperti ini.

"Ayo, bang."

Elbiyan melangkah tak rela. Kalau begini dirinya semakin tak bisa tenang. Bagaimana jika Mumta mengulang kejadian keji itu? Apa yang terjadi kalau sampai dia membuka mata dan melihat orang-orang pemberi luka yang tampak pertama kali?

*****

"Bun, kita gak bisa ninggalin Mumta disana," keluh Elbiyan. Wajahnya frustasi mengikuti Ashma yang berjalan masuk ke rumah.

"Mereka keluarganya, bang. Mereka lebih berhak."

Ashma menekuk lutut dan mendudukkan diri di ruang tamu. Jika bisa ditunjukkan, kekhawatirannya lebih besar dari yang putranya rasakan. Atau mungkin juga ibunya sendiri?

"Tapi, Mumta lebih percaya kita dibanding keluarganya. Mumta butuh kita untuk berlindung, bun."

Ashma melirik Elbiyan yang berwajah kusut.

"Perasaan kamu yang butuh dia atau dia yang butuh kamu?" Ashma bertanya sinis. Elbiyan tergagap. "El, mencintai seseorang yang mencintai orang lain gak seindah telenovela. Belum tentu kalian berakhir bersama. Belajar dari pengalaman Mumta. Jangan menjalani kisah yang sama. Bangkit dari keterpurukan cinta itu gak mudah, bang. Mumta saja mati-matian untuk sembuh. Seharusnya perjuangan dia bisa kamu jadikan gambaran untuk perasaanmu yang salah sekarang."

Ashma beranjak. Menyentuh pipi Elbiyan yang entah sejak kapan mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Terlihat seperti potret lelaki tua yang berdiri di atas lemari kayu ruang tamu di belakang mereka.

"Daripada kamu terus berharap pada jodoh orang, lebih baik memantaskan diri untuk jodohmu nanti."

"Bagaimana kalau orang itu Mumta?" Mata Elbiyan berbinar. Memancarkan permohonan. "Iyan sangat mengharapkannya, bun." Baru kali ini, Elbiyan berlutut, memeluk kaki Ashma, menatap wajah tua Ashma untuk memohon.

"Perempuan di dunia ini banyak, bang. Jangan stuck di satu perempuan."

"Bun, semua orang mungkin bisa menikah dengan siapa saja, tapi cinta tidak bisa direncanakan untuk siapa." Elbiyan menggenggam tangan Ashma. Menciumnya, berusaha meyakinkan. "Iyan janji akan membahagiakan Mumta, bun. Iyan janji tidak akan menjadi sebab tangis anak gadis orang yang bunda sayangi."

Ashma melepaskan tangannya dari genggaman Elbiyan. Bibirnya tertawa kecil. "Kamu ini, seperti ingin apa saja."

"Tolong restui Iyan, bun."

"Bukan kamu yang ada di hati Mumta, bang. Bunda gak tega melihat kamu berjuang untuk Mumta, tapi hati Mumta mencintai orang lain."

"Makanya restui Iyan, bun. Iyan akan ubah haluan di hati Mumta."

Ada cinta yang menggumpal di pelupuk mata Elbiyan, itu terlihat jelas di mata Ashma. Ada keyakinan besar untuk memperistri tamu mereka, memperjuangkan rasa di hati, tetapi amanah yang disampaikan harus ia jaga rapat-rapat.

Ashma juga ingin, dia sangat setuju dengan pilihan putranya, tapi ada belenggu besar yang mengunci restunya untuk membungkus usaha sang putra.

Ashma tidak bisa apa-apa.

*****

Hitam.

Pekat, gelap.

Mumta tidak menemukan setitik penerangan pun. Matanya menjelajah, bergerak kemana-mana untuk mendapatkan cahaya, tapi setiap sisi dicat oleh kegelapan.

"Kak,"

Sebuah panggilan terasa berhasil memecah pendengaran. Parau, diikuti tangis di detik berikutnya.

"Mumta."

Kelopak mata Mumta bereaksi. Payung matanya berkedip. Perlahan, menampilkan manik hitam yang sudah berari-hari tidak terlihat. Tertidur bersama tubuh yang kaku di atas ranjang.

"Mumta?"

Sebuah wajah begitu dikenal langsung terdeteksi. Ada kehangatan membungkus tangannya yang berinfus.

"Mama?" Panggilnya pelan. Nyaris tak terdengar. Mumta meliarkan pandangan kembali. Meski masih dengan kekuatan yang lemah, tidak ditemukan sosok Ashma disampingnya.

Mumta sedikit kecewa, saat orang-orang yang tidak diharap justru menjadi pemandangan pertama kesadaran.

Satu pertanyaan hadir. Untuk apa? Mau menertawakan keterpurukannya diam-diam? Atau ingin memamerkan perut Hawa yang semakin membesar?

Sekuat apapun berusaha, pikiran-pikiran buruk selalu melintas urutan pertama saat Mumta melihat keluarganya.

*****

Sudah setengah hari, bahkan hampir beranjak sore, Ashma belum juga menjenguknya. Sesekali pintu terbuka, tapi tidak menampilkan sosok Ashma yang datang dengan senyuman ketulusan. Dan sudah lama pula, Mumta berada di lingkaran mencengkam, duduk di atas ranjang di kelilingi keluarga yang bersikap baik-baik saja.

"Buah kak?" Mumta ingin mencakar, wajah yang tersenyum sambil mengangkat piring buah di depannya. Tidak tahu malu, umpatnya dalam hati.

"Nggak."

"Manis loh,"

"Nggak usah sok baik."

Tatapan tajam itu membuat perhatiannya surut. Hawa menurunkan piring dan meletakkannya kembali ke meja. Sedikit menusuk, tapi dia harus mendobrak gerbang itu.

Bunda, bubur rumah sakit gak enak. Mumta mau sup daging buatan bunda.

Pesan sudah terkirim, sejam yang lalu, tapi tidak ada balasan. Mumta mengembalikan layar, melirik room chat dengan Elbiyan.

Tetap sama. Masih dua centang abu-abu, belum berubah biru.

Mumta merasa mati kutu. Tidak bergerak kecuali ke kamar mandi. Menolak memakai kateter memaksanya untuk bolak-balik kamar mandi. Mengeluarkan suara hampir tidak ada. Dan dia jenuh, tapi Ashma atau putranya tidak muncul-muncul.

Apa mereka bekerja sama untuk mendamaikan perang orang tua dan anak?

"Assalamu'alaikum,"

Pintu terbuka. Menyampaikan kelegaan di hati saat Ashma mendekat sambil menenteng sesuatu. Sumber ketenangan ada di dekatnya. Dia bisa menghindari sumber lukanya sekarang.

"Bunda," Mumta tersenyum. Begitu lancar mendaratkan kepalanya di dekapan perempuan itu. Perlakuan yang menghembuskan rasa tidak suka di hati perempuan yang sudah melahirkannya. Tantri hanya diam, menahan tusukan hebat di dada saat Mumta terlihat lebih dekat dengan orang asing ketimbang keluarga sendiri.

Namun ia tidak bisa menuntut, peletakan batu kebencian dimulai darinya. Maka untuk merubuhkannya butuh waktu juga kesabaran yang berlipat.

"Bunda baw-"

"Sup daging, kan?" tebaknya langsung, Ashma mengulum senyum. Telapaknya mengelus kepala Mumta yang tidak tertutup jilbab.

Melihat Mumta memakan dengan lahap, mengeringkan mangkuk beserta kuah sup, menyajikan kebahagiaan di hati Ashma. Naluri seorang ibu semakin melekat kuat terhadap Mumtahanah.

Lalu, kalau sudah begini, apakah dia sanggup untuk kehilangan?

"Mumta,"

Ashma memandang punggung tangan Mumta yang ditusuk jarum mengerikan. Kemudian naik, dan melihat wajah sumringah dengan bibir pecah memandangnya. Wajah ceria, tapi menyembunyikan derita, wajah polos yang pernah tidak ingat apa-apa, kelakuan kekanakan, tapi semakin membuatnya sayang. Mumta benar-benar terasa seperti darah dagingnya.

"Bunda sayaaang banget sama Mumta. Kehadiran Mumta seperti menjawab tanda tanya bunda bagaimana rasanya memiliki seorang putri. Kedatangan kamu berharga banget untuk hidup bunda."

Mumta tahu itu. Semuanya tergambar jelas lewat perhatian dan kasih sayang yang dia terima.

"Kehadiran bunda juga mengisi kekosongan di hati Mumta tentang perhatian seorang ibu."

Ashma tersenyum. Menggenggam erat punggung tangan di genggamannya, mati-matian menahan gelegak air yang meluap di pelupuk mata.

"Kalau kamu sayang bunda ... pulang ya nak."

Mumta mengangguk. Dia menginginkan itu ketika membuka mata dan dikatakan membaik oleh dokter.

Dia ingin pulang.

"Iya, aku akan bujuk dokter supaya mengizinkan aku pulang hari ini."

Ashma menggeleng. Tangannya menangkup wajah yang masih menggemaskan di usia dewasa.

"Bukan pulang ke rumah bunda, tapi ke rumah kamu. Ke rumah yang sempat kamu tinggalkan dua bulan ini."

Lima detik, senyum cerah Mumta tenggelam. Surut akan makna dari ucapan Ashma yang sudah terdengar ganjal di awal.

Pantas ... Tantri dan malaikat perebut kebahagiaannya mendadak pamit setelah kedatangan Ashma.

Pantas ... Ashma tidak merespon cepat pesannya dzuhur tadi.

Pantas ... ketika datang, mata Ashma memerah, menyisakan sedikit air.

Inikah alasannya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top