Bagian 2 ~ Elbiyan Maulana

Bagian 2

Elbiyan Maulana

*
*
*

Nanti sebelum pulang, tolong bunda belikan bakso mangkuk di tempat biasa, ya, bang. Mumta belum ada makan sama sekali. Makasih Abang sayang 😘

Elbiyan menghela napas. Menyugar rambutnya gusar. Sejak kedatangan Mumta di hidupnya, hati Elbiyan terlalu sering cemas dan khawatir. Padahal sebelumnya, rekan kerjanya selalu protes karena dia tidak pernah kelihatan menaruh hati pada perempuan atau sekedar bertanya tentang makhluk yang diistimewakan dalam al quran. Hanya satu kali Elbiyan menyinggung masalah perempuan, ketika dia meminta tolong untuk mengusut identitas anak gadis orang yang tinggal di rumahnya pada teman sementara dia menjalankan tugas.

"Kenapa, lu?"

Seseorang berseragam keabu-abuan meletakkan sepiring gorengan di atas meja. Menarik kursi dan duduk tanpa izin di depan laki-laki yang kembali merasa bersalah atas hidup seorang perempuan.

"Gusar amat tuh muka."

Ali, junior yang lolos satu tahun dibawahnya kembali mencomot sepotong tahu berisi sayur. Bibirnya menguap-nguap mengeluarkan panas yang masih mengendap di dalam tahu.

"Alibaba Syaifullah."

Ali terbatuk-batuk karena kunyahan gorengan yang salah jalur di tenggorokannya. Matanya berair menyampaikan jika tersedaknya menyakitkan.

Meski ditatap tajam, Elbiyan tidak peduli. Khawatir dihatinya harus hilang dengan cara menemui Mumta segera dan membawakan pesanan Ashma.

"Nggak gue gak mau." Alibaba bersuara serak. Dia meletakkan gelas dan sesekali berdeham meredakan nyeri di tenggorokan. Senior yang tidak dianggapnya itu sudah memasang tatapan permohonan. "Untuk kali ini gue menolak mendapatkan pahala."

"Pul," Suara Elbiyan terdengar lemah. "Kali ini aja, Pul, gue gak mau rumah gue jadi TKP kematian anak orang karena gagal menikah."

"Kali ini ajanya lo itu sudah berkali-kali menerpa gue. Gak bisa!" Ali mengibaskan tangan di depan Elbiyan. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Sudah cukup dia seperti kalong hanya untuk membantu temannya itu menemukan identitas perempuan yang diberi label anak gadis orang oleh Elbiyan. Sudah cukup dia menjadi jembatan atas musibah bucin yang melanda hati rekan sejawatnya itu.

"Pul, lo tega melihat gue terjun ke jurang luka yang sama? Gue gak mau nambah beban lagi di hati gue, Pul."

Tahan Ali, tahan, ini cuman sandiwaranya aja. Ali pura-pura mengabaikan Elbiyan.

"Oke," Ali membanting wajah ke samping kanan. Dia sedikit menyesali kebesaran hati yang dianugerahi Tuhan kepadanya. "Kali ini, ya. Besok-besok gak ada kali-kali lagi. Waduk aja sekalian," ujarnya kesal dan berpindah duduk ke kursi Elbiyan. Sedangkan, polisi yang cukup digandrungi wanita itu langsung menyambar jaket di sandaran kursi dan meninggalkan kantor menuju rumah.

*****

"Assalamu'alaikum."

Elbiyan menyeret langkah ke meja makan. Bundanya yang sedang memotong sayur langsung bangkit begitu melihat Elbiyan datang sambil membawa tentengan.

"Baksonya, kan?"

Elbiyan mengangguk. Matanya dengan cepat mengarah pada pintu kamar yang tertutup.

"Belum mau makan juga, bund?"

Raut cemas semakin menebal di wajah Elbiyan kala bundanya menggeleng. Diletaknya plastik berisi makanan dan mengambil piring untuk disajikan di depan Mumta.

"Memangnya ada apa sama pernikahannya sampai Mumta balik lagi ke sini?"

Bunda sudah mengangkat semangkok bakso, tapi menunda langkah untuk ke kamar. Dia menagih jawaban dari puteranya.

"Panjang, bun." Elbiyan ingin merebut nampan di tangan Ashma, tapi perempuan paruh baya itu lebih cepat menggeser nampan.

"Eh, mau ngapain?"

"Biar, Iyan aja."

Ashma menggeleng tegas.

"Nggak! Kamu balik ke kantor aja sana. Nanti kalau kamu yang antar bunga di hati kamu makin mekar. Jangan macam-macam, ya, Yan! Dia calon bini orang."

Sudah mantan, bund, dan itu karena anak bunda. Elbiyan meringis. Rasanya sedikit perih saat hatinya merasa demikian.

Elbiyan mengikuti Ashma yang berjalan ke kamarnya. Menunggu beberapa saat untuk Mumta membuka pintu.

Ashma berjalan masuk saat pintu terbuka meski tak seluruhnya, sedangkan tatapan tajam ia tujukan pada Elbiyan sebagai isyarat agar puteranya itu menunggu di luar.

"Nih, bunda bawain bakso kesukaan kamu. Tapi, di makan pakai nasi, ya," tuturnya lembut.

Mumta memaksakan senyum tipis. Dia tidak enak menolak niat tulus seorang perempuan yang sudah menganggapnya seperti seorang putri. Bahkan, Ashma melarang keras puteranya yang notabene pemilik kamar untuk memasuki area tidur ini meskipun hanya mengambil baju.

Mumta merasa seperti bagian dari keluarga mereka. Mungkin Mumta akan merasa lebih lelausa bermanja pada bunda kalau saja dia lahir dari rahim wanita itu.

Pasti menjadi seorang Mumtahanah tak akan sesedih ini.

"Ketahuan kalau kamu sebenarnya kelaparan, kan?"

Mumta sempat diam sebelum sadar kalau mangkuk di hadapannya telah kering. Dia menunduk malu dan itu membuat Ashma tertawa kecil.

Di seberang mereka, Elbiyan bersila tangan sambil bersandar di ambang pintu.

"El gak kerja, bund?"

Sekilas Ashma melirik Elbiyan. "Gak tahu. Tadi pagi ke kantor, bunda minta tolong belikan bakso buat kamu. Gak tahu bakal balik lagi atau nggak."

Mumta melirik Elbiyan lagi. Kalau saja aku yang minta, pasti tidak akan dituruti. Mumta terkadang bingung. Elbiyan bersikap acuh padanya, cuek ketika berinteraksi, kadang juga merisaknya terang-terangan. Namun, kebaikannya tidak luntur meski harus dimulai perdebatan dulu.

Dan dia merasa malu karena Elbiyan menyaksikan luka yang bersarang lebat di hatinya. Mumta malu ketika Elbiyan melihat bagaimana ketidakpedulian orang tuanya padanya saat pulang. Entah hipotesa apa yang tersangkut di dalam benak Elbiyan tentang dirinya setelah malam itu.

"Sudah, gak usah dipikirin. Nanti nambah beban pikiran."

Memikirkannya atau tidak, beban pikiran Mumta akan bertambah setiap harinya. Mumta bahkan berkhayal, mungkin tidurnya akan benar-benar tenang ketika sudah beralas tanah.

"Mumta," panggil bunda. Tangan hangat perempuan itu sudah menjejak di pipinya. "Sudah bisa ceritakan pada bunda apa yang terjadi?"

Jika Ashma tidak tahu masalahnya, dia tidak akan bisa membantu gadis malang di hadapannya ini. Hanya memeluk dan menenangkan tidak bisa membuat Ashma puas. Kedatangan Mumta di hidupnya begitu mudah terasa seperti keluarga. Atau ini mungkin efek karena Ashma begitu menginginkan seorang putri di hidupnya?

"Maaf bunda kalau memperdalam lubang di hati kamu," potongnya cepat saat bibir di depannya mulai berkedut-kedut menahan sesuatu yang hendak keluar. "Tapi, kalau bunda nggak tahu masalahnya, bunda juga gak tahu harus bantu apa."

Mumta menunduk lagi, air mata langsung turun. Bunda yang tidak tega mendekap tubuh itu untuk kesekian kali.

Perasaan bersalah langsung hinggap di hatinya. Pertanyaan ini mungkin terlalu cepat ia layangkan. Tapi, itu karena dia menyayangi Mumta, terlalu peduli pada gadis yang tidak memiliki hubungan darah dengannya.

"Sudah, sudah. Bunda minta maaf, ya, sudah mengungkitnya lagi."

Melihat itu, tubuh Elbiyan bereaksi. Bertanya-tanya kenapa perempuan yang dia cintai diam-diam menangis lagi.

Elbiyan ingin melangkah, tapi bunda langsung memperingatinya dari dalam. Dia kembali menapakkan kaki di posisi semula. Ini lebih baik daripada dia diungsi ke rumah sanak saudara.

"Adam...," lirih Mumta. Ashma menatap khawatir wajah basah Mumta. "Dia... menikah, bund."

Ashma tahu itu. Kabar pernikahan itu adalah hal pertama yang diceritakan Mumta setelah dia ingat akan hidupnya. Seharusnya Mumta bahagia ketika Adam menikah, itu berarti Mumta resmi menjadi pengantin yang Ashma tidak ketahui rupanya.

"Bukan denganku," biji mata Ashma membulat. "Tapi, dengan perempuan lain ... di tanggal indah yang aku tentukan."

Mumta kembali menenggelamkan wajah pada dada perempuan yang sekarang memeluknya erat. Entah ilusi atau tidak, Mumta melihat mata bunda berair saat dia menyelesaikan kalimat.

Suaranya yang keluar untuk menguatkan pun terdengar bergetar di telinga. Mumta benar-benar ingin terlahir kembali dari rahim wanita ini agar bisa mendapatkan pelukan hangat yang jarang ia dapatkan setiap hari.

"Maafkan, bunda, Mumta. Bunda pasti semakin menyakiti kamu."

"Bunda," Mumta menarik napas sejenak. "Apa memiliki anak seperti aku itu sangat menjengkelkan? Kenapa papa sama mama tidak mencariku sama sekali? Mereka malah menikahkan adikku dengan tunangan putri sulung mereka sendiri. Apa aku kurang mengalah seumur hidupku? Aku besar tanpa kasih sayang mereka, apa aku salah mencari itu di hidup laki-laki yang aku cinta? Apa seorang kakak tidak pantas bahagia?"

Ashma menggeleng tegas. Dihapusnya tetes-tetes air yang menggantung di pipi tirus Mumta.

"Nggak, Ta. Nggak ada orang tua yang seperti itu."

"Tapi," potong Mumta cepat. Dia berusaha menentralisir isaknya yang parah. "Kenapa mereka sekejam itu sama aku? Aku juga ingin bahagia seperti Hawa, bunda."

Ashma tidak tahu Hawa itu siapa, tapi yang perempuan tua itu tangkap nama yang disebut Mumta dalam ceritanya mungkin perempuan yang menjadi pengantin pengganti atas dirinya.

"Denger bunda." Ashma menarik wajah Mumta yang ada di pelukannya. "Kamu gak sendiri, ada bunda dan Elbiyan di samping kamu. Kamu sudah tinggal di rumah bunda selama sebulan, kamu anak bunda, Mumta. Bukan orang asing yang menginap. Ada Elbiyan yang bisa jadi saudara laki-laki kamu." Ashma membelai pipi Mumta yang mulai kemerahan. Setiap melihat wajah ini, nalurinya sebagai seorang ibu bangkit. Sama seperti dia berhadapan dengan puteranya.

Sejak kedatangan pertama Mumta di rumah yang disediakan almarhum suami untuk ia tempati bersama anak semata wayangnya, dia sudah menyayangi Mumta.

"Menjadi keluarga gak harus memiliki hubungan darah, kan?"

Bunda mencium kening Mumta dan membiarkan perempuan itu tidur di pangkuannya.

*****

Elbiyan memindai tubuhnya sendiri dari atas sampai bawah. Tidak ada yang aneh apalagi sampai menimbulkan lelucon. Tapi, perempuan berkerudung maroon di depannya terus saja tersenyum.

"Kenapa kamu?" tanyanya sinis. Senyum Mumta langsung lenyap hitungan detik.

"Nggak apa-apa," jawabnya kemudian lanjut menyapu.

Elbiyan mencampak sebuah notes di atas meja. Mumta menatap buku kecil itu sebelum beralih pada Elbiyan yang bersikap angkuh.

"Kapan kamu bayar semua utang kamu?" Tangannya ia sila di atas perut.

Mumta mengambil dan melihat sebentar catatan hutangnya yang ditulis Elbiyan pada tiap baris pada benda mungil itu dan meletakkannya kembali.

"Bentar lagi, kan, aku pulang. Setelah itu baru aku bayar. Suamiku pasti gak akan biarin istrinya terlilit sama polisi kejam kayak kamu."

Elbiyan berdecak. Dia mengusap-usap kerah bajunya jumawa.

"Kejam-kejam begini, saya penyelamat kamu. Coba saja saya mengabaikan kain abu-abu itu di atas air, gaji saya berbulan-bulan dan kamar tidur itu tidak akan berubah pemilik."

"Ish, jadi kamu gak ikhlas berbuat kebaikan?" Mumta mulai jengkel. Dihentaknya kaki sekali di depan pria itu.

"Oh, iya."

Gerakan tangan Mumta kembali terhenti. Dia berbalik menatap putera pemilik rumah yang ia tumpangi dengan malas.

"Itu belum termasuk biaya jasa temanku yang mencari identitas kamu, ya."

Elbiyan mengetuk kepala anak gadis orang dengan buku piutang di tangannya. Dia berjalan ke arah dapur dan tiba-tiba menghadap Mumta kembali.

"Memangnya kamu yakin calon kamu itu," tegasnya di klausa terakhir, "tidak mencari perempuan lain setelah mendengar kabar calon istrinya hilang di telan arus sungai?"

*****

"Elbiyan Maulana Firdausy!"

Wajah bunda sudah kesal saat Elbiyan sadar dari lamunan. Dia kembali menyuap nasi di piring.

"Jangan berani-berani mengkhayalkan Mumta di kepala kamu!" ancam bundanya sambil melirik pintu kamar yang masih tertutup. "Ingat! Itu zina! Paling tidak itu ain yang mendorong ke sumur dosa." Bunda menaruh lauk ke piring dengan memasang tatapan tajam di wajahnya.

Elbiyan melanjutkan makan malamnya, tapi pikirannya seolah berdiri dan mengamati Mumta di pinggir ranjang. Ingin memeluk perempuan itu, tapi batasan di antara mereka terlalu kuat. Mata-mata Allah begitu amanah menjalankan tugas. Tidak bisa diganggu gugat.

"Bun,"

Ashma hanya berdeham sebagai balasan.

"Memangnya ditinggal nikah sangat menyakitkan, ya?"

Ashma mengangkat wajah. Menelisik wajah Elbiyan. Bagi Ashma ini keajaiban. Elbiyan mau menyinggung kata nikah di dalam ucapannya itu adalah kejadian langka. Entah apa yang ditunggu anaknya itu sehingga masih menunda untuk berkeluarga. Mapan, iya, tampang, lumayan, tanggung jawab ... itu hal utama yang dikeraskan almarhum suaminya pada anak mereka.

Ashma tahu Elbiyan begitu menyayanginya, tapi jika rasa sayang itu yang menghambat puteranya untuk berumah tangga, Ashma justru akan merasa bersalah.

"El gak mau jauh-jauh dari bunda." Jawaban yang selalu sama setiap dia menyodorkan putri temannya pada Elbiyan.

"Tumben kamu nanya gitu."

"Jawab aja, bund."

"Wajar sih kamu gak tahu. Wong mendekati perempuan aja nggak pernah. Sekalinya jatuh cinta sama perempuan yang salah. Bang, bang." Ashma menggelengkan kepala. Tidak habis pikir kenapa Elbiyan bisa mencintai Mumta padahal setiap hari mereka bertingkah seperti anjing dan kucing. Selalu mengeong dan menggonggong.

"Bun," pinta Elbiyan lembut.

"Sebelum bunda jawab, bunda yang tanya kamu dulu." Ashma menatap Elbiyan serius. "Apa yang kamu rasakan kalau malam itu Mumta menjadi istri orang?"

Dua detik, tiga detik, Elbiyan bereaksi. Polisi tampan itu menghela napas. Pasrah dengan bumerang yang dilempar bunda padanya.

"Sakit, ndak? Kecewa sudah pasti. Itu juga yang dirasakan Mumta." Ashma mengangkat piring kotornya. "Dan juga perempuan-perempuan yang kamu tolak." Janda yang ditinggal mati suami sejak puteranya duduk di bangku kuliah itu berjalan ke bak cuci piring. Dirinya kesal kala mengingat Elbiyan selalu menolak untuk dijodohkan. Kini setelah ada secercah harapan untuk segera bermenantu, tapi perempuan yang ada di hati puteranya malah jodoh orang.

"Bund,"

"Hmm,"

"Mumta udah makan?"

"Belum, kamu antar ya."

Mendengar itu, semangat Elbiyan terasa membara. Tangannya cepat mengambil piring dan mengisinya dengan lauk yang sama yang dia makan bersama bundanya.

Ashma yang melihat beristighfar. Membenarkan perkataan anak muda di zaman sekarang, laki-laki kalau sudah sayang akan sulit melupakan.

"Sudah bunda bilang," dia mencubit pinggang Elbiyan. "Lupakan perasaan kamu terhadap Mumta, bang. Kalau semakin merekah, akan susah kuncupnya. Kamu juga yang repot nanti."

"Sekali aja, bun," Elbiyan memohon. Dia menahan piring yang hendak direbut Ashma.

"Justru karena ada awal makanya ada akhir. Bunda melakukan ini supaya gak ada awal atau garis start antara kamu sama Mumta, bang. Kasihan, Mumta."

"Maksud bunda, Mumta akan kasihan kalau hidup dengan Iyan?" tanya Elbiyan dengan suara sedih. Elbiyan kira saat mengetahui dia jatuh cinta, Ashma akan senang dan langsung melamar. Tapi, kenapa sekarang Ashma menentang?

"Iya, kamu gak cocok sama Mumta."

Hati Elbiyan mencelos. Kalau bundanya sudah berkata begini, bagaimana dengan takdir?

.
.
.
.
.

Syukron katsir sudah hadir.

Boleh tak tinggalkan komentar dan bintang di pojok bawah?

RaliaAkma_17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top