Bagian 18 ~ Bertemu Allah
Bagian 18
Bertemu Allah
*
*
*
Hawa terpaku di tempatnya. Matanya memindai kamar yang baru saja ia bersihkan. Tempat tidur, lampu kamar, gorden, semua terlihat selaras dengan warna dinding. Pilihan perempuan penggila abu-abu.
Mumtahanah.
Bagi Hawa, kamar ini bukan hanya untuk beristirahat, tetapi juga wujud pengkhianatan yang ia lakukan pada Mumta. Mengayomi lelaki yang perempuan itu cinta, hingga berani mengandung anaknya.
Di kamar ini, senyum kebahagiaan itu sempat hadir. Menghiasi tiap-tiap hari pengantin baru bersama lelaki yang mencintainya sepenuh hati.
Sampai membuatnya lupa, jika dia hanya pengantin pengganti agar pernikahan tetap terlaksana.
Ah, apakah masih bisa disebut begitu saat hatinya diam-diam juga menginginkan?
Sepertinya, istri solehah yang disebutkan para tetangga, bidadari yang disemat Adam untuknya, Hawa tidak lebih dari serigala berbulu domba yang dipadukan dengan musuh dalam selimut.
Jemarinya yang dilingkari cincin perkawinan, mengusap-usap foto lelaki tampan berbalut busana pengantin, dan lagi-lagi pilihan kakaknya sendiri.
Setiap kali melihat perut yang membesar, juga senyum Adam yang selalu merekah meski ia diamkan, ingatannya tak lekang di malam saat Adam datang untuk meminang Mumta, tapi berakhir di pelaminan dengannya.
Andai malam itu ... .
*****
"Mumta belum ditemukan. Sedangkan, hari tetap beranjak menuju hari pernikahannya. Apakah kita batalkan saja?"
Suara Adam tercekat di tenggorokan. Dia tidak setuju. Persiapan sudah matang, tinggal eksekusi, pembatalan justru akan menambah masalah.
"Tidak bisa, Tantri. Topeng apa yang harus aku pasang di depan kolegaku ketika meeting?"
Meski sedikit tersentil, sebab calon ayah mertua masih mementingkan citra baik di depan para kolega daripada pencarian putrinya, Adam tetap mengangguk.
"Saya punya rencana, Om."
Jauhari menoleh. Wajahnya seketika berbinar walaupun tidak terang.
"Apa?"
"Izinkan saya melamar Hawa dan kami akan menikah tepat di hari itu."
Hari memang ribut, angin bertiup rusuh, pohon-pohon bergoyang mengerikan. Namun, saran dari Adam semakin membuat gemuruh ribut di dada masing-masing kepala yang mendengarnya. Tantri langsung berdiri tidak terima.
"Nama di papan bunga, undangan, dan lain-lain itu nama Mumta. Bagaimana bisa kamu menikahi adiknya?"
Adam tahu. Dia sendiri yang menulis nama Mumta untuk disandingkan dengan namanya. Tapi, ...
"Keadaan darurat, Tante. Kita harus memasang jalur nekad."
Tantri merunduk, menumpahkan tangis di balik tangkupan tangan.
Siapapun tidak setuju dengan saran gila itu sekarang, tapi keadaan memaksa. Malam yang kian larut akan mengantarkan waktu pada hari H. Dan jika tetap dilaksanakan tanpa mencari pengantin pengganti, dengan siapa dia menikah?
"Tantri, itu solusi terbaik."
Dengan linangan air mata, dia menatap suami yang melipat lutut di depannya.
"Har, Mumta itu putrimu. Kamu tahu, kan, bagaimana hubungan kita dengan si sulung? Kamu mau semakin membuatnya merasa terbuang dengan menyetujui ide gila itu?"
Jauhari menelan ludah. Dia pun tahu. Tatapan Mumta selalu dingin, begitu juga dengan lisannya. Didikan yang ia terapkan sudah salah antara kedua putrinya. Dia sayang Mumta, begitu pula Hawa. Dua malaikat cantik itu yang membuat hidupnya semakin sempurna.
Namun, situasi darurat memaksanya untuk mengalahkan sisi nurani. Tiga hari setelah pernikahan ini, dia akan melakukan meeting. Pembahasan mengenai kerjasama yang begitu didambakan sejak mendirikan perusahaan. Tapi, apakah semua itu akan tetap berlangsung aman kalau pernikahan dibatalkan? Sudah pasti hal buruk tergambar di wajahnya.
"Tante, kita harus memutuskan cepat. Semuanya demi kepentingan bersama."
Ataukah untuk kepentingannya saja?
Sejak awal, saat pertama kali kakinya melangkah memasuki rumah ini, saat itu kesalahan ia rasakan begitu melihat kedatangan perempuan lain dari pintu utama. Perempuan bergamis dongker dengan hijab panjang merah muda, bukanlah datang dari anggota keluarganya yang menenteng hantaran. Ya, perempuan itulah yang seharusnya.
Cinta di mata seorang remaja lelaki dengan adik kelas berseragam putih abu-abu. Dengan senyum memikat serta tundukan pandangan yang meneduhkan.
Jika cinta, Adam tidak mungkin salah menafsirkan garis wajah hingga membuatnya menorehkan kesalahan seumur hidup.
Seketika malam itu, dia ingin mengubah nama yang hendak dipersunting.
*****
Hawa memeluk erat kertas persegi di dada. Tangisnya menjadi nyanyian hati yang bersalah. Kamar yang awalnya hening, kini bising oleh tangisan memilukan.
Andai malam itu Hawa bisa menahan hasrat yang menjalar, mungkin yang menemani Adam tidur hari-hari sebelumnya bukanlah dirinya.
Andai malam itu dia benar-benar bisa mengenyahkan cinta monyet yang nyatanya masih bersarang lebat di hati, pasti bayi yang dirindukan ini tidak bersemayam di perutnya.
Andai ...
Dan andai-andai yang lain semakin membuat hatinya menjerit kesakitan. Seperti ada berpasang-pasang tali melilit dada ibu hamil. Sesak ditusuki nyeri yang membara.
Tidak ada sakit yang membinasakan selain penyakit hati.
Beribu maaf yang keluar dari bibirnya, entah seberapa banyak pun air yang menitik dari mata indahnya, tidak mampu menjahit luka perempuan yang—mungkin saja—sekarang sedang menangisi hidupnya.
Seharusnya, pikir Hawa. Malam itu dia tidak pulang, maka pertemuan itu tidak akan membuatnya berakhir di situasi rumit ini.
*****
Di sisi lain, Mumta ingin marah. Dia ingin memaki siapa saja yang terlintas di depan mata.
Kebenaran itu, kejujuran yang sesal dia dengarkan, mendorong Mumta masuk ke dalam neraka dunia. Luka jahanam yang mustahil terobati.
"Sejak awal, aku hanya menginginkan adikmu. Pertemuan tidak disengaja kita di panggung teater, dan pengajuan ta'aruf itu ... maaf."
"Maksudmu ...,"
Mumta meringis. Bahkan, untuk memperjelas semuanya pun, hatinya kelu untuk berbicara. Bidikan yang diarahkan oleh kebenaran yang dia tuntut melesat tepat sasaran. Di titik, ruangan kecil, tempat puing-puing kekuatan ia kumpulkan. Dan sekarang semuanya hancur, melebur dalam satu kalimat penjelasan.
"Kamu salah melamar malam itu?"
Dengan berat dan penuh penyesalan, Adam mengangguk. Dia harus menyingkirkan sisi nurani, dan cukup menyisakan empati. Bagaimanapun, kebenaran tidak layak disembunyikan. Membuat seseorang menerka-nerka lebih lama, akan semakin mempertipis tali persaudaraan antara Mumta dan Hawa, istrinya.
Prasangka itu akan semakin mempersempit jalan perdamaian antara Mumta dan keluarganya. Sedangkan, yang salah di sini hanya Adam. Lelaki ceroboh yang egois. Seakan mengadu domba dua saudari kandung.
"Kamu ...," Mumta menumpahkan gejolak kecewanya sebentar. Tidak peduli orang-orang menatap mereka aneh dan prihatin. Dadanya harus kosong sebelum memaki laki-laki di depannya ini. "Aku salah apa? Aku cuma perempuan, yang mengira mimpinya dikabulkan karena kedatangan pengajuan ta'aruf itu. Tapi, kamu malah menghancurkan kepercayaan diriku, kekuatan yang aku kumpulkan susah payah, sampai membuatku takut untuk melangkah."
"Kamu gak salah, Mumta. Aku penjahatnya di sini." Mumta semakin menjerit. Perhatian satu kafe mengarah pada tangisannya. Istri yang kasihan, begitulah isi kepala para pengunjung.
"Seharusnya aku menjalani apa yang sudah aku mulai, bukan mengubah haluan di tengah jalan. Dan mengambil keputusan sepihak."
Setitik air ikut jatuh, ketika Mumta mengangkat kepala dan memperlihatkan raut muka yang berantakan. Adam memejamkan mata dan menunduk, dia tidak sanggup melihat kehancuran yang dia sebabkan.
"Maaf, Mumta."
Kata sialan itu lagi, kehadirannya tidak bermakna sekarang. Tidak bisa memperbaiki apa-apa. Hanya semakin memperumit keadaan.
"Itu gak guna, Dam. Gak berguna sama sekali."
Mumta semakin merasakan nyeri di dada ketika isaknya tertahan. Memukul-mukul dada seperti biasa tidak lagi mempan. Justru menambah level kesakitan.
"Seandainya kamu jadi aku, bagaimana rasanya? Jika hari-hari biadab itu, kamu yang menjalaninya?"
Adam diam. Tidak harus mengubah posisi, dia juga ikut terluka.
"Kalau kamu saja hancur, bagaimana aku? Hatiku seakan ingin meledak menahan semua ini."
Adam tidak bisa berkata. Marahnya perempuan tidak bisa dibantah. Sebab, kata-katanya keluar dari hati. Mencintai versi mereka menggunakan keyakinan, yakin lelakinya akan setia, yakin lelakinya hanya akan mencintainya, hingga berakhir keyakinan yang dipatahkan.
Seringkali begitu.
Adam tidak menyukai laki-laki yang mempermainkan hati perempuan, baginya itu sama saja menyakiti hati Asiyah. Namun, sekarang dia seperti ditebas bumerang. Melakukan sendiri apa yang diharamkan.
"Kalau aku jadi kamu, aku akan mencintai kamu, Adam."
Sayangnya kini sudah tidak bisa. Adam sudah melingkarkan cincin di jari manis perempuan lain. Laki-laki itu sudah memilih tempat berhenti.
Membuat harapan Mumta pupus, untuk kembali bersama.
*****
Ashma masih menginjak ubin yang sama. Mondar-mandir di ruang tamu menunggu kepulangan seseorang. Malam kian beranjak, hawa dingin juga semakin menusuk kulit. Kantuk sudah menyerang mata.
"Katanya sebentar, tapi kok belum pulang?"
Cemas di dada semakin berputar-putar. Membentuk beliung yang menakutkan. Ponsel ia genggam erat-erat. Entah sudah berapa kali panggilannya tidak dijawab oleh Mumta. Perempuan yang mendadak pamit, bahkan belum satu jam dia pulang.
Lima belas menit berlalu, hanya angin yang mengetuk-ngetuk pintu. Tidak terdengar derap seseorang, sampai ... .
"Assalam-"
Ashma mendesah kecewa. Langkah cepatnya bertemu dengan Elbiyan, bukan Mumta.
"Bunda kenapa?" Elbiyan membuka sepatu dengan raut bingung. Tidak biasanya Ashma belum masuk kamar di jam segini. Dilihatnya anak gadis orang tidak berkeliaran. "Mumta mana?"
"Dia gak ada hubungi kamu, bang?" tanyanya risau.
"Bukannya udah Iyan antar pulang?"
"Iya, habis itu pergi lagi. Sampai sekarang belum pulang."
Elbiyan mengecek ponsel, kali saja dia yang tidak mendengar dering telpon. Tapi, layar ponselnya kosong. Hanya menampilkan foto Ashma yang memeluknya saat kelulusan dulu.
"Memang dia kemana, bun?"
Ashma berdecak. "Kalau bunda tahu sudah bunda suruh kamu jemput."
Ashma menempelkan ponsel di telinga. Masih suara operator yang setia menjawab. Tepat saat ponselnya dijauhkan, dering ponsel lain berbunyi nyaring.
Adam.
Kening Elbiyan berkerut. Heran langsung menyergap.
"Halo?" Suara dingin dan tak bersahabat dia pertahankan. Laki-laki itu tidak perlu dibaik-baikkan.
Mumta sudah sampai rumah?
Barulah cahaya terang menyala di kepalanya.
"Kalian bertemu?" Suara Elbiyan keluar terkejut. Di sebelah, Ashma semakin gundah.
"Ya, dia mengirim pesan-"
"Kamu menceritakan semuanya?!"
Adam tidak langsung menjawab. Dia menggantung panggilan.
Ya, jawabnya singkat di seberang sana.
Elbiyan ingin merutuki laki-laki yang begitu santai menjawab pertanyaannya. Setidakpenting itu Mumta di mata Adam?
Menunda-nunda hal baik itu tidak baik
"Brengsek! Justru itu tindakan bajingan."
Ashma langsung menahan lengan Elbiyan yang hendak pergi begitu memutus panggilan.
"Kenapa, bang? Mumta gak apa-apa, kan?" Air mata menyerobok ingin keluar.
"Semoga saja begitu, bun."
*****
Angin dingin semerbak menerjang tubuh Mumta. Gamis dan jilbab panjang yang dikenakan bergerak-gerak ingin lepas. Mumta memandang air jernih yang mengalir begitu tenang.
Mungkin hidupnya akan berjalan seperti itu kalau saja ... .
Semuanya sudah tidak bisa lagi diandaikan.
Adam telah berlayar dengan kapalnya, sedangkan Mumta masih berusaha untuk menarik kembali jangkarnya dan melanjutkan petualangan. Sayangnya, penambat kapal Mumta sudah tertanam begitu kuat di dasar perairan.
Persinggahannya salah sasaran. Pelabuhan yang tampak di depan mata ternyata bukan menanti kapalnya, melainkan kapal lain yang tidak Mumta lihat.
Hidupnya tidak berarti lagi. Tidak ada orang yang bisa dipercaya. Semua kebaikan, kepedulian, perhatian yang ada hanya tipuan.
Percuma.
Padahal dia tidak dilecehkan, tapi Mumta merasa tubuhnya kotor. Seakan sudah terjamah yang merenggut mahkota izzah dan iffah-nya. Tidak berarti apa-apa lagi.
Drrtt.
Matanya melirik. Satu nama menyala di layar ponsel. Seseorang yang dianggap tameng, tapi ternyata pedang yang menusuk dari belakang.
"Kamu dimana?"
Suara diseberang sana terdengar khawatir. Mumta memandangi sekitar.
"Di tempat dimana penderitaanku dimulai."
Satu tetes air menyatu dengan aliran tenang di bawah sana. Bayangan langit yang menggelap tergambar di bawah telapaknya. Mungkin hidupnya akan ikut tenang jika terbujur di sana.
"Itu dimana yang jelas!" Elbiyan berteriak.
"Semua sudah jelas, El. Gak ada yang buram lagi sekarang."
Di tempat lain, Elbiyan menahan napas. Jantungnya menggila. Pikiran buruk menyerang bertubi-tubi. Dia harus segera menemukan anak gadis orang. Kejadian itu tidak boleh terulang lagi.
"Mumta kita bisa bicarakan baik-baik. Sekarang katakan dengan jelas kamu dimana?"
Suara paniknya membuat Mumta muak. Kalau khawatir, kenapa mengkhianati? Buat apa? Untuk menusuk lebih dalam lagi?
"Ngapain kamu peduli? Ingin menyambung pengkhianatan lagi?"
Elbiyan memejamkan mata. Darahnya semakin berdesir cepat. Otaknya terus berpikir kemungkinan keberadaan perempuan yang hatinya tercabik.
Namun, tempat-tempat yang muncul di kepala serasa tidak mungkin didatangi Mumta.
Tempat dimana penderitaanku dimulai?
Ban mobil Elbiyan mendadak berhenti. Jejak hitam terbentuk beberapa senti. Tak dipedulikan klakson nyaring dari belakang sebagai protes pengendara lain karena penghentian mendadaknya.
Apakah mungkin ... .
Elbiyan memutus panggilan. Mobil kembali dilajukan dengan kecepatan tinggi. Dia tidak boleh terlambat. Sebab, sebuah nyawa akan merenggang sia-sia. Dan dia tidak mau diserang penyesalan untuk kedua kali.
Tidak lagi.
*****
Mumta menggantung tangan di sisi tubuh. Ponsel jatuh dari genggaman yang melemah penuh darah. Rasa nyeri di garis tangan tidak sesakit sayatan di dadanya.
Tidak ada sakit yang membinasakan selain penyakit hati.
Maka ini adalah akhir dari perjalanannya. Setelah itu, dia tidak akan merasakan sakit lagi. Setelah itu, dia akan bertemu Oma, memeluk, dan menceritakan kekejaman yang dilakukan takdir padanya.
Mumta menarik napas. Tangan dikepal erat.
"Melompat dari sana tidak akan membuat kamu mati, tapi melahirkan kecacatan di bagian tubuh."
Elbiyan berjalan mengendap-endap. Mewaspadai pergerakan Mumta yang berdiri di pinggir jembatan. Tempat dimana penderitaannya dimulai, juga tempat pertama kali ia bertemu Elbiyan dalam keadaan mata tertutup.
"Tapi, bukankah ini adalah cara untuk lebih dekat dengan Allah?"
Mumta bergerak. Melihat seseorang berjalan perlahan ke arahnya. Berwajah panik dengan tangan menggantung di depan dada.
"Istighfar, Mumta! Itu bukan cara mendekatkan diri dengan Allah, melainkan kerak neraka-Nya!"
Elbiyan masih mencoba berjalan mendekat, tapi masih belum memungkinkan untuk melakukan penyelamatan.
"Mundur!" teriak Mumta. "Kalau kamu melangkah satu kali lagi, aku akan lompat dari sini!"
Elbiyan terkesiap. Langkahnya berhenti sebentar, di jarak yang belum memungkinkan.
"Kalau itu membuatku membaik, tidak lagi merasakan sakit, kenapa harus jadi masalah?" Air matanya bercucuran. Bahkan, Allah pun tidak peduli pada kesedihannya.
"Tindakan kamu sekarang akan semakin memperburuk kesakitan kamu, Mum. Turun sekarang kita bic-"
"Aku bilang mundur!" Langkah Elbiyan kembali tercegat. Mumta menyadari pergerakan diam-diamnya. "Aku nggak ada tempat pulang, El. Nggak ada! Bukankah akhirat tempat pulang yang kekal untuk manusia?"
Elbiyan menelan ludah. Kenapa dia jadi serba salah? Perkataannya seolah mendukung Mumta untuk ... . Menyebutnya saja Elbiyan tidak punya nyali.
"Bertemu Allah ... mungkin akhir dari kesakitan dan tujuan akhir yang kalian sebut pulang."
Bertemu Allah memang kepulangan terakhir manusia, tapi itu atas kehendak-Nya. Bukan disengaja.
"Adam sudah tidak menginginkan aku lagi. Papa, mama, mereka yang disebut orang tua menggadaikan aku dengan harga diri mereka. Lalu, kamu ... menjadi pedang yang ikut menebasku dari belakang. Kenapa?! Kenapa kalian suka sekali main belakang? Atau aku yang terlalu naif memandang semua orang?"
Elbiyan merasakan sesuatu menusuk dada. Mendengar itu, dia kembali merasa jahat. Mumta mempercayainya, tapi dia malah menyembunyikan kebenaran yang perempuan itu inginkan. Kenapa kejadian yang ingin dihindari justru begitu mudah mendatangi? Dan sialnya dia lagi yang mengalami.
"Mum, aku minta maaf kalau itu menyakitimu. Aku akan lakukan apapun-"
"Mundur, Elbiyan! Aku gak main-main kali ini!"
Mumta mendelik tajam pada seseorang yang tetap mendekat. Tidak peduli dengan peringatan yang ia keluarkan.
"Mum, tolong jangan lakukan ini. Aku mohon."
Angin berhembus kian dingin, semakin membuat situasi terasa mencekam. Mumta tidak main-main dengan ancamannya. Kakinya terus bergerak, hingga menyentuh pinggir jembatan.
"Buat apa? Hidup hanya untuk sakit, siapa yang tahan?"
Arus sungai di bawahnya tetap mengalir tenang. Seakan senang hati menjadi jembatan kematian seseorang.
Sekali terjun, bebatuan akan meretakkan tulang-tulang Mumta, membentur keras kepala dan mengalami pendarahan, tidak butuh waktu lama, malaikat Izrail akan mengulurkan tangan dan Mumta meninggal di tempat.
Mudah sekali untuk mengakhiri penderitaan hidup.
Kenapa cara ini tidak terpikirkan sejak awal?
Mumta menarik napas. Sungai tersenyum lewat bayangan bulan yang terpantul di air, mengulurkan tangan lewat arus-arusnya yang menenangkan.
Selamat tinggal, dunia.
*
*
*
M
umta!!!
Jangan!!
Nanti Elbiyan kehilangan sosok perempuan yang berhasil mendobrak benteng hatinya 😭😭😭
Bunda jadi kehilangan sosok putri 😢😢😢
Terutama orang tua kamu akan menyesal seumur hidup 😭😭😭
Jangan karena kamu disakiti sama orang-orang yang kamu percaya, terus kamu beranggapan gak ada orang yang sayang kamu, Mum 😭😭😭😭
Kami kamu anggap apa? 😭😭😭
Astaghfirullah, astaghfirullah astaghfirullah, jauhkanlah perkara itu dari kami, Ya Allah.
Maaf, ya. Mumtaaaa pamit temen-temen 😞😞😞
Maafkanlah dia. Mumpung masih suasana lebaran, jadi Mumta minta maaf lahir dan batin 😟😟😟
But, please, don't leave this story ( Eh, bener gak ya? 🤔🤔)
Wassalamu'alaikum,
Binjai, 1 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top