Bagian 16
Assalamu'alaikum, orang-orang baik kuuu 😊😊😊
Hani ada info terbaru loh tentang cerita Al Mumtahanah iniiiii.
Tapiii, sebelum itu, Hani mau mengucapkan banyak-banyak terima kasih buat kalian. Kesetiaan dan keantusiasan kalian sama cerita sederhana ini 🤗🤗🤗
Hani nggak nyangka bangettttt kalau kalian akan sesenang itu sama cerita iniiiii. Pengen nangis 😭😭😭
Tahu gak, ketertarikan kalian sama cerita ini, komen-komen kalian di cerita ini terasa lebih berarti dari chat doi ☺️☺️(Etdah, cem punya doi aja 😂)
Tapi seriusan, setiap detik, menit, jam, hari, depa waktu, Hani selalu buka tutup wattpad buat lihat komentar terbaru di tiap part cerita Al Mumtahanah ini. Karena komentar kalian berarti bangettttt buat akuuuu (Ehm, maaf lebay 😔😔😔)
Daaannnn, Hani boleh request gak untuk komen di setiap paragraf yang ngena di hati kalian atau keseluruhan kayak biasa aja juga gak apa-apa. Gak dipaksakan 🤗🤗🤗
Anddd, takutnya kebanyakan bacot kalian jadi ilfil sama author nya 😁😁😁
Untuk ke depannya, cerita Al Mumtahanah pindah jam update yaaa 🙃🙃🙃 Menjadi Selasa dan Jum'at. Diingat yaaa, kalau boleh dibuatin alarm biar gak kelewat 🤭🤭🤭
Masya Allah 😍
Sekali lagi terima kasih untuk kebaikan kalian dan kedatangan kalian di cerita ini. Semoga betah, menghibur, dan bermanfaat yaaaa 🤗🤗🤗
Wassalamu'alaikum, para luv kuuu 😘😘😘😘
.
.
.
Bagian 16
Luka Yang Membiru
*
*
*
Ini sudah kesekian kali.
Helaan napas keluar gusar dari hidung mancung laki-laki yang sedang kalut. Sudah hampir dua minggu, keadaan di antara mereka belum juga membaik.
Hawa, perempuan dengan perut sedikit menyembul masih menghindar, membeberkan berbagai alasan agar tidak mengobrol panjang dengannya.
"Mi," panggilnya. Hawa tetap sibuk melakukan kegiatan. Padahal, dokter mengingatkan agar perempuan hamil itu tidak boleh kelelahan, trimester pertama kehamilan rentan keguguran.
Atau batin Hawa yang lelah karena diteror oleh rasa bersalah sehingga dia pingsan kemarin sore?
Adam menghembuskan napas lagi. Kenapa semuanya semakin rumit untuk diselesaikan?
Adam berdiri, menggamit lengan sang istri dan mengambil potongan baju dari gendongan Hawa, meletakkannya di lemari dan menatap lembut ibu dari calon anaknya.
"Dokter bilang kamu harus bedrest, kan?"
"Aku bosan di ranjang terus, bi."
Hawa ingin melepaskan diri, tapi Adam mengunci kedua pundaknya. Memperlihatkan telaga yang memancarkan binar mengagumkan.
"Memaafkan itu butuh proses, mi, gak instan," katanya lembut.
Hawa menunduk. Tapi, sampai kapan?
"Aku sayang kak Mumta, bi."
"Semua orang sayang Mumta, tidak ada yang nggak. Tapi, sekarang dia sedang tidak baik-baik saja, berikan dia waktu untuk sendiri dulu."
"Mau baik ataupun tidak, kak Mumta tetap membenciku. Dan masalah ini, semakin menutup hatinya untuk menyayangiku, bi."
"Kalian lahir dari rahim yang sama, orang tua yang sama, mustahil tidak saling menyayangi, sayang. Mumta sayang kamu, hanya saja tertutup oleh sikap dinginnya."
Benarkah?
Tapi kenapa Mumta terlihat ramah dan terbuka ketika bersama orang asing ketimbang keluarga sendiri? Bahkan, saat berpapasan pun Mumta tidak mau menampilkan senyum untuk adiknya sendiri, itukah sayang? Dimananya?
Tinggal serumah, makan selalu semeja, tidak ada tegur sapa kecuali Hawa yang bersuara. Itu juga dibalas tidak bersahabat oleh Mumta.
Mumta terlihat menghindar, takut sekali membawa teman-temannya ke rumah. Menyendiri ketika keluarga besar berkumpul. Selalu akrab dengan para sepupu dan lari ketika Hawa ikut bergabung.
Apa salahnya? Dia tidak melakukan apa-apa. Dia ikut diam saat Mumta diam, tapi semakin hari benci semakin mekar di hati perempuan yang setahun lebih tua darinya.
Pernikahan ini?
Tanpa dibilang pun, Hawa tahu ini kesalahan besar yang pernah ia lakukan seumur hidup. Tidak akan bisa diampuni.
Di awal mendukung pernikahan Mumta, tapi sekonyong-konyong malah dia yang mendampingi Adam di pelaminan.
Pantas, Mumta membentangkan bendera permusuhan di antara mereka dan membangun benteng kuat untuk menolak perdamaian.
Sekarang, bagaimana caranya dia bahagia jika ada seseorang yang menderita karenanya?
Mengandung anak Adam seperti bukti jelas pengkhianatan yang dia lakukan.
"Dia benci aku, bi, itu bukan sayang. Sudah jelas, tidak ada tatapan ramah dimatanya," tutur Hawa lemah. Kakaknya itu, entah kapan bisa melihat sisi baik dirinya sedikit saja.
"Kamu menyesal?"
Tidak butuh waktu bagi Hawa untuk memunculkan senyum miring.
"Menurut kamu?"
Genggaman Adam di kedua pundak mengendur. Tangannya menggantung lemas di sisi badan. Menatap tak percaya perempuan yang berkata dengan mudah.
"Tapi, kita bahagia."
"Bahagia yang kita jalani itu siksaan untuk orang lain. Bukan bahagia namanya kalau berjalan di atas penderitaan orang lain. Tapi, kejam, bi."
Adam terhuyung, untungnya masih bisa berdiri tegak. Satu anak panah melesat sempurna di hati yang dilingkupi rasa bersalah.
"Coba aja kamu jujur dari awal, dan tetap melanjutkannya, itu lebih baik untukku."
*****
Mumta makan tanpa banyak bicara. Mengunci mulut, meski telinganya menangkap berpasang-pasang suara bercengkrama. Satu dua derai tawa terdengar. Mumta hanya tersenyum tipis, mungkin lebih tepatnya segaris. Tidak ada nafsu untuk melakukan apapun. Kegiatan mengajar ini dilakukan karena sudah mendapatkan surat peringatan dari kepala sekolah. Guru honorer, baru pula, tapi sudah menciptakan jam bolos yang mengalahi para siswa.
Mentang-mentang bergelar penyelamat, dia jadi seenaknya saja.
Komentar pedas guru lain, saat dia menginjakkan kaki di ruang guru hari ini.
"Sudah gak usah didengarkan, manusia hasad ya seperti itu. Tidak tahu sebab dan akibat, malah menduga yang berkesan fitnah tanpa bertanya. Astaghfirullah!" Hanum menggelengkan kepala. Satu sendok bakso kuah melesat di tenggorokan. "Bu Mumta, masih sakit, ya? Aku lihat dari tadi lemas terus," bibir merahnya bergetar karena pedas sambal yang dituang menggunung.
Mumta memasang senyum, kemudian menggeleng. Makanan favorit pun tidak mampu menarik gairah untuk menyantap lahap seperti biasanya.
Adam.
Kenapa cepat sekali berpindah hati? Sampai Mumta tidak mampu lagi melihat ada sisa ruang untuknya kembali. Semuanya telah penuh, diisi oleh pengkhianat perebut kebahagiaan orang.
Ruhnya terasa melayang sehingga ketika menjalani hidup, Mumta seperti mayat hidup yang tak tahu tujuan.
"Kasihannya."
Mumta tersentak. Wajahnya menegang. Apa Hanum menyadari dukanya? Padahal, dia belum pernah bercerita satu patah kata pun mengenai hidupnya yang malang.
"A-apanya, Num?"
"Itu, bakso kamu. Dia pernah hangat, tapi malah kamu diamkan. Kasihan, kalau dingin, jadi gak enak." Sudut bibir Hanum turun ke bawah, diikuti garis matanya yang sendu. Bibir bawahnya melengkung ke bawah. "Benda mati kayak bakso juga bisa nangis kalau gak dimakan. Pernah dengarkan, nasehat orang tua kalau buang makanan, nanti diakhirat mereka nangis?"
Mumta memperhatikan mangkuk di hadapan. Punya Hanum telah kering bersama kuah-kuahnya. Sedangkan, mangkuk pesanannya masih penuh dengan gumpalan daging yang terendam dalam kuah.
Mumta mengangkat pandang, Hanum masih memandang sedih mangkuknya.
"Mau?"
Dua detik, binar mata Hanum terpancar. Segurat senyum ditampilkan di wajah bulat perempuan itu sehingga menimbulkan kesan baby face. Selaras dengan perilaku yang sedikit kekanakan.
"Boleh?"
Suka rela, Mumta menggeser mangkuknya. Tersenyum kecil melihat Hanum begitu lahap memakan bakso ronde ke dua.
"Dasar ratu alibi!"
"Hehehe."
Dengan bibir menggembung, Hanum menyengir.
*****
Mumta kembali kehilangan pelangi. Cahaya yang bersinar belum lama ini terenggut kembali oleh luka.
Ketika melihat Mumta mengajar dengan wajah bengkak, hatinya tak tega. Cinta yang tumbuh bergerak-gerak ingin merengkuh.
Sampai benaknya mengira, mungkin saja Mumta sedang menumpahkan isi hati di depan para siswa dan mendengarkan kejujuran dari mulut mereka yang belum terjamah kebohongan. Atau mungkin saat ini Mumta sedang berdiri di kamar mandi, menutup wajah, menggigit bibir, dengan mata yang mengeluarkan air dan menahan isak di tenggorokan.
Seolah semua kemungkinan itu tergambar di lembaran kertas putih di atas meja kerja Elbiyan sekarang.
Brak.
Segumpal kertas lain menggebrak meja coklat, juga kesadarannya. Ali sudah memasang wajah kusut.
"Lu, ya, bos," katanya geram. "Gara-gara penyakit bucin lu gue harus lembur. Gak ada jatah malam minggu sejak lu bucin sama tuh anak gadis orang."
Elbiyan menutup dokumen berisi catatan kriminal. Memijit kepalanya pelan. Drama Alibaba Syaifullah akan dimulai. Dia harus menyediakan ruang di kepala untuk menontonnya.
"Lu enak bisa menyegarkan pikiran karena serumah sama Mumta, lah, gue? Lu kira gue komputer, yang malam minggunya cuman ditemani kata-kata dan kertas putih? Mana enak, Yan. Gue, kan, juga manusia, punya hasrat juga. Kayaknya ini nih resiko jadi orang baik. Rela mengedepankan kebaikan orang lain daripada kebaikan diri sendiri. Toxic!"
Alibaba menjatuhkan diri dengan kasar di atas kursi, melihat Elbiyan yang tak berdaya di depannya.
"Kenapa lagi lu?" Kekesalannya buyar, berganti prihatin.
"Kayaknya kesempatan gue buat bersatu sama Mumta sudah gak ada lagi."
Mengingat bagaimana curahan itu terlontar dari hati, bagaimana tatapan Mumta memohon kasih, bagaimana tiap katanya keluar mengatakan betapa cintanya terlalu dalam, Elbiyan merasa celah untuk memasuki ruang hati Mumta dan menggeser posisi Adam sudah pupus.
Kini, status untuk menjadi 'lebih' tidak bisa lagi dia perjuangkan. Hubungannya dengan Mumta tidak lebih dari penyelamat.
"Kenapa gitu? Emang lu Tuhan?"
"Semalam ... ."
Lalu, mengalirlah cerita yang menyesakkan. Bagaimana Mumta mengeluarkan ratapan cintanya yang tergores dengan jelas di kanvas hati. Dengan warna yang cerah, namun harus memudar dan menciptakan lukisan abstrak membingungkan karena hujan malam itu.
"Seharusnya itu bisa dimanfaatkan jadi kesempatan. Tunjukkan kesetiaan lu secara tersirat, tapi jelas. Cairkanlah sedikit ekspresi supaya Mumta sadar perhatian yang lu berikan itu cinta, bukan lambang permusuhan."
Pikiran Elbiyan lari ketika dia mengajak Adam bertemu, mendengar penjelasan yang membuatnya naik pitam.
"Kalau aku memberitahunya alasan Adam begitu mudah berpaling, apa Mumta semakin tersakiti?"
Alis tebal Ali bergerak menyatu. Matanya menyorot penasaran.
"Apa?"
"Kalau sebenarnya-"
Penjelasannya terputus. Sebuah suara menginstrupsi dari pintu. Menampilkan sosok berseragam sama.
"Ali, dipanggil bos besar ke ruangannya."
Kemudian keluar istighfar dari bibir Ali.
"Astaghfirullah! Pasti nanya perkembangan kasus nih."
Laki-laki berwajah Arab imitasi itu segera mendorong kursi dan menutup pintu dengan gelisah.
Situasi kembali sepi. Elbiyan kembali kalut dengan pikirannya. Dia tidak menyangka ada laki-laki yang lebih kejam darinya. Lebih baik Adam menolak Mumta mentah-mentah, membiarkan wanita itu sakit di awal daripada harus menahan sakit berkepanjangan karena tindakan bodoh pria berbaju koko itu.
Kini, bukan hanya Mumta saja yang tersakiti, tetapi Hawa, orang tua mereka dan ... dirinya. Elbiyan tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Mumta jika sampai dia tahu kebenaran biadab itu.
*****
Daun pintu terbuka lambat. Mumta muncul sambil menggendong buku di pelukan.
"Assalamu'alaikum, bun."
Langkahnya berhenti. Ada orang lain yang mendiami rumah, wanita seumuran Ashma yang langsung berdiri saat bersitatap dengan Mumta.
Flatshoes ungu.
Duka hati membuat Mumta tak menyadari jika ada alas kaki lain yang mengisi rak sepatu di rumah ini.
Melihat Mumta yang mematung, Ashma seperti berada di antara titik tumpu yang sulit. Kenapa teman kajian harus terlibat dalam masalah rumit anak gadis orang?
"Eh, Mumta, udah pulang," sapanya. Mumta membalas senyum.
Asiyah memindai perempuan yang nyaris menjadi menantu dari atas hingga bawah. Ada syukur terucap ketika mendapati bahwa Mumta—diluarnya—benar-benar baik-baik saja.
Mumta memaksakan kaki untuk mendekat. Rasanya, ada duri yang menusuk kian dalam di tiap langkahnya.
Asiyah tersenyum. Meski terasa dipaksa, Mumta tetap menahan kesopanan kepadanya. Sebab, bisa saja perempuan ini memaki, menuntut pembuktian atas dukungan-dukungan yang dulu dia berikan.
Menjalar di kulit tangan sebuah kepasrahan saat Mumta mendaratkan kening di punggung tangannya. Bagaimana wajah yang lesu itu, mata yang menghitam dan bengkak, serta tubuh yang tidak bersemangat berdiri di depannya.
Badai apa yang dimainkan Adam pada hidupmu, nak? Bisiknya di hati.
"Apa kabar Mumta?"
Suara bergetar menahan tangis mengalun menyapa Mumta. Embun-embun air menggumpal di pelupuk mata yang mengeriput.
"Sangat tidak baik, umi."
Setelah itu, air jatuh satu per satu. Namun, Mumta tidak mampu memompa air untuk kembali mengaliri pipi. Tidak lagi.
Mumta hanya diam di tempat. Memandangi Asiyah yang menangis yang bisa saja sebuah drama untuk menghiburnya: kalau dia berpura-pura ikut terluka.
"Maafkan Adam, ya. Dia pasti sangat menyakiti kamu."
"Adam tidak menyakitiku, umi." Mumta mematri senyum tipis. "Tapi, membunuh kepercayaan diriku untuk bangkit."
Ashma menahan napas. Jangan sampai Mumta meledakkan semuanya di sini. Harap-harap cemas menghantui benaknya.
"Kalau umi kemari untuk meminta maaf, aku yang minta maaf umi, batinku capek. Maaf kalian gak membawa apa-apa untuk aku."
Asiyah mengangguk, bersamaan dengan air mata yang luruh. Dia juga tahu, tapi perempuan penyuka ungu itu tidak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki semuanya, sehingga hanya kata maaf yang terpikirkan untuk merakit jembatan penyelesaian.
"Aku butuh istirahat, umi. Tubuh aku sudah banyak banget mengonsumsi luka. Sampai kadang aku bingung, aku ini manusia atau kelinci percobaan?"
Mumta tersenyum miris. Kasih sayang yang dulu dia harapkan kini ikut andil memberi luka. Asiyah yang masa itu begitu mendukung putranya menikah dengannya, berubah menyetujui Adam mempersunting adiknya sendiri.
Manusia memang tidak ada yang bisa dipercaya.
Semua impian Mumta dalam jurnal yang sering dibawa nyatanya memberitahu jika dia adalah seseorang yang imajinatif. Perempuan yang melukai diri sendiri dengan imajinasi-imajinasi yang dia buat.
Benar kata Asma Nadia. Dongeng itu tidak pernah nyata. Hanya ada dalam kepala yang dituang dalam kata-kata. Sekuat apapun mencoba, dongeng tidak akan pernah terwujud.
Tanpa menunggu kepergian Asiyah, Mumta mengunci diri di kamar. Jika dulu jiwanya begitu nyaman berada di dekat Asiyah, kini yang terasa hanya kebohongan. Omong kosong.
Kedatangan luka yang lain membuat Mumta berakhir di tepi ranjang. Mengalirkan kehangatan sendiri sambil menatap nanar jendela yang menampilkan taman depan rumah. Dan membiarkan pikiran berkeliaran pada kepedulian tangan kecil siswanya yang memergoki air mata Mumta jatuh di dalam kelas.
"Bu Mumta kenapa?" Suara Ambar yang menyadarkan Mumta akan keberadaannya di dekat perempuan itu. Mumta mengusap pipi, kelas kosong bukan berarti para siswanya telah pulang, ternyata masih menyisakan beberapa. Dan Ambar mengetahui titik air yang merembes di wajahnya.
"Bu Mumta sakit?" tangan Ambar sudah menempel di keningnya.
Hidup ibu hancur, Ambar. Hati ibu menggelap.
Mumta menggigit bibir. Akan sangat memalukan kalau sampai dia cerita pada muridnya.
Mumta menarik napas. Berusaha mengeluarkan luka-lukanya bersama karbondioksida di paru-paru, lalu mengedip-ngedipkan mata seakan kelilipan.
"Kemasukan debu," dia tersenyum untuk memperbagus akting.
"Tapi, kok nangis?" Ambar masih tak menyerah. Dia terus mencecar Mumta untuk menemukan kebenaran.
Mumta diam. Dia tidak ingin bohong, kejujuran selalu dia ajarkan pada muridnya.
"Mungkin itu keringat, Ambar. Lihat, mataharinya terang sekali hari ini."
Ambar memiringkan kepala. Bibirnya monyong ke kanan.
"Tapi, mata Bu Mumta merah. Sama kayak bunda sewaktu ayah memukul nyamuk di badan bunda."
Mumta tergagap sebentar. Ambar murid yang bijak. Dia sudah menduga ini. Sulit untuk lepas dari kecurigaan Ambar. Dia akan terus bertanya sampai benar-benar menemukan jawaban.
"Oh ya? Berarti mata ibu masih sakit karena kelilipan."
Barulah Ambar menganggukkan kepala dan berhenti meneroror Mumta dengan pertanyaannya. Namun setelah itu, Ambar justru membuat tangisnya semakin berlomba untuk keluar. Maju beberapa langkah, Ambar melingkarkan tangan kecilnya ke leher Mumta. Menepuk-nepuk pundaknya, dan mengatakan, "Kata bunda, pelukan hangat bisa mengobati sakit. Terus ditepuk-tepuk biar tenang. Sudah gak sakit lagi, kan, Bu Mumta?"
Mumta semakin kuat menggigit bibir. Sesak di dada semakin menusuk tatkala tangisnya tenggelam dalam isak yang tertahan. Ambar tidak boleh melihatnya menangis.
Kenapa harus Ambar?
Kenapa harus Ambar yang memberikannya kekuatan?
Bocah kecil yang belum genap tujuh tahun, tapi pikirannya begitu bijak memperlakukan orang-orang sekitar. Mumta malu telah terseret arus kesedihan di depan Ambar. Hatinya begitu lemah menahan gelombang kesedihan yang mendobrak keras pintu pertahanan. Hingga berakhir pada tangis yang masih terlihat setelah kedatangan sepeda merah jambu dan membawa Ambar pergi dari pandangan.
Berkaca pada telaga jernih Ambar saat itu, pandangan Mumta kembali mengabur.
Seharusnya ...
Tidak!
Dia tidak boleh lagi berharap pada orang lain. Sudah terlalu banyak luka yang dia dapat dari harapan yang dia letakkan pada manusia.
Sekarang saatnya mengandalkan diri sendiri. Berharap pada manusia, tidak lebih dari luka yang dibuat sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top