Bagian 15 ~ Laki-laki

Bagian 15


Laki-laki

*
*
*

Mumta tidak menyangka, reaksi tenang akan diberikan Adam setelah mendengar segunung harapan yang ia tautkan padanya. Laki-laki itu hanya menatapnya, menyorot permintaan maaf, sedang Mumta meronta-ronta menahan sakit.

Baru kali ini, Mumta berani, memproklamirkan cinta di depan banyak orang. Tak peduli status yang menjeratnya dengan sang cinta.

"Kamu tahu, malam itu, di saat kamu ingin mengikat janji dengan orangtuaku atas putrinya, harapanku semakin menerawang tinggi ke langit. Berhembus doa-doa yang sebelumnya berdiri sebagai halusinasi. Lalu, saat tanggal ditetapkan, setelah kita sah di segi apapun, dengan satu rasa, rasa percaya yang tidak akan goyah, kita bisa bersama saat sakit, bersama saat bahagia, aku harap kita bisa berbagi. Semuanya sudah aku rancang dalam harapanku, Dam."

Beberapa waktu berlalu. Perempuan berjilbab hitam masih berdiri tegak. Mata bulatnya tampak mengamati begitu dalam telaga meneduhkan di seberang, seakan mengulik bahwa cinta masih ada untuknya di mata lelaki itu. Namun Mumta hanya menemukan rasa bersalah, tidak ada selain itu.

"Bahkan sebelum semuanya dimulai, kamu menusukku dengan kejam. Sampai membuat hati ini ketakutan untuk kembali percaya, ada cinta yang tersemat untukku di dunia. Aku salah apa Adam? Bukan aku yang meminta untuk dinikahi, tapi kamu yang datang sendiri, kenapa kamu malah menyakitiku?"

Suasana membisu, berpasang bibir mengatup ketat, menahan gelegak air yang ingin meledak. Mumta masih setia menghunus wajah Adam yang menawan, setelah ditebas berkali-kali, jatuh bangun untuk lari dari jeratannya ...

"Aku masih cinta," Mumta mendekat. Menipis jarak dan mengangkat tangan ke udara, mendaratkan telapak tangannya di wajah bercahaya Adam yang terpejam. Mengusap pipi yang menggantungkan air mata.

Mumta benar-benar diuji oleh cintanya. Sesakit apapun yang cintanya lakukan, Mumta tidak bisa membenci laki-laki itu. Sekuat apapun dia mencoba, harapan yang pernah Adam semai, mengakar kuat di taman hati Mumtahanah.

"Kata orang, laki-laki tidak boleh menangis, nanti gantengnya hilang."

Mumta mematri senyum, yang terukir tulus, dari hatinya yang cacat, kemudian memunggungi Adam, menyempatkan mengusap pipi berair Adam sebelum menutup pintu kamar Elbiyan dengan pelan. Menarik napas berkali-kali, sebelum tubuhnya menempel dengan lantai, dan bersedu-sedan.

Tidak ada yang menenangkan selain menangis saat hati terluka.

*****

Kini Elbiyan sadar. Mengapa wanita harus menjaga diri baik-baik, menjaga hati baik-baik, dan melindungi unsur terpenting kehidupan: cinta. Sebab, sesuatu yang pernah terjerat di hati, akan susah dilepaskan.

Cinta akan menggerus kehidupan, meremas hati dengan harapan semu. Tidak ada kepastian, hanya permainan yang coba dijalankan sebaik mungkin.

Saat makhluk bernama perempuan sudah melabuhkan kapal dan menenggelamkan jangkar begitu dalam ke dasar laut, kekuatan mereka untuk kembali berlayar telah habis, hanya untuk menarik jangkar ke atas, dan memulai lagi petualangan. Sebab mereka baru sadar, pelabuhan yang disinggahi ternyata sudah memiliki penumpang lain.

Mungkin itu juga alasan, mengapa di setiap hubungan, perempuanlah yang lebih banyak berkorban. Perempuan yang lebih banyak mengeluarkan keringat untuk mempertahankan, perempuan yang selalu mengalah demi terciptanya kesejukan, dan perempuanlah yang lebih banyak menangis demi mengosongkan hati untuk menampilkan segurat senyum tipis. Semuanya kembali lagi untuk satu alasan paling miris: laki-laki.

Kemudian Allah ciptakan tanggung jawab pada tangan seorang lelaki agar tidak sembarangan mempermainkan makhluk indah tak bersayap bernama perempuan. Namun, kelebihan itu justru disalahgunakan.

Elbiyan malah mempermainkan, mengolok-olok bahwa perjuangan merebut cinta adalah kebodohan, karena tak jarang laki-laki memanfaatkannya untuk dimainkan. Hingga berujung pada taruhan juga kematian.

Dicintai, dulu Elbiyan kira itu adalah sebuah kehebatan, ketampanannya mampu membuat perempuan-perempuan bertekuk lutut, berjuang untuknya seolah dia pantas. Namun, setelah merasakannya sendiri, dia jadi paham, cinta tidak serendah itu untuk dimainkan.

Dan seharusnya perempuan paham, mereka punya kodrat tinggi di mata Allah.

Melihat Mumta begitu bijaksananya melukai hati, sampai mau merendahkan diri menghapus air mata yang menetes di wajah Adam, dan memainkan ketegaran hati dengan sandiwara. Seharusnya Mumta berontak, memasang wajah tegas, memasang tatapan tajam, dan sekuat tenaga melayangkan tangan di pipi bajingan yang berkedok di baju koko biru dengan kuat. Kalau bisa sampai rahangnya geser seperti orang stroke. Bahkan, lebih buruk dari itu.

Namun ditengah kemarahan yang menggebu, Elbiyan jadi memikirkan masa lalu buruk yang sampai sekarang masih menghantui. Berlenggak-lenggok di pikirannya setiap kali melihat perempuan menangis, seolah menyombongkan diri karena penyesalan yang menimpa polisi itu.

Apa kabar dia sekarang? Masihkah tersenyum seperti dulu meski sudah ia permalukan di tengah lapangan?

Perempuan bodoh yang membungkus hidup masa kini Elbiyan dengan karma: berjuang untuk cinta dan ... penyesalan.

Rambut berkepang dua, kacamata bulat besar menjadi hiasan mata, serta gigi berkawat, masihkah berdiri di tubuh yang kala itu hanya sebatas bahu Elbiyan dan terbalut seragam putih abu sehingga menampilkan kesan cupu? Penampilan yang menjadi olok-olok teman dan paling kejam oleh Elbiyan dan kawan-kawan.

Keberanian itu, kepercayaan diri yang masih membumbung tinggi meski sudah ia patahkan berkali-kali, dan tetap memasang senyum setelah Elbiyan mempermalukannya, masihkah melekat dalam diri pejuang cinta yang sayangnya terlihat sebuah kebodohan di mata Elbiyan?

Dia rindu ... untuk meminta maaf.

"Bang,"

Ashma menepuk bahu laki-laki yang merunduk di sofa tamu. Putranya masih di posisi yang sama setelah menyaksikan drama menyedihkan yang berlangsung di kediaman mereka.

"Kenapa?" Ashma bertanya saat Elbiyan mengangkat wajah dengan sempurna. Di sana, di wajah yang mereplika hampir sepenuhnya wajah laki-laki yang masih bersemayam di hati walaupun telah tiada sejak lama, ada mata yang memerah, dengan wajah kusut dan rambut yang tak teratur.

Cinta kepada Mumtakah yang membuat putranya tampak hancur seperti ini?

"Nggak apa-apa, bunda."

Elbiyan menyandarkan punggung. Menyelipkan tautan jari ke belakang kepala dan menengadahkan wajah ke atas.

"Cinta banget, ya, kamu sama Mumta sampai ikutan nyesek kayak gitu?"

Elbiyan tersenyum miring. "Memangnya bunda gak nyesek lihat anak gadis orang yang seperti putri kandung sendiri mewek kayak tadi?"

Ashma menghela napas. Ikut menyandarkan punggung di sebelah putra semata wayang.

"Bunda juga pernah kehilangan orang yang dicinta, tapi tidak sehancur Mumta. Ketika kehilangan ayah."

Ashma melarikan kesadaran ke masa lalu. Di detik ketika suami yang sudah menemani bertahun-tahun, meminta maaf karena akan melepaskan genggaman di antara mereka. Meninggalkan tanggung jawab besar, mendidik seorang anak sendirian.

Sedih pasti, tapi ketenangan yang disiratkan dalam ucapan terakhir menjadi teman Ashma ketika sendiri.

"Kamu tahu, bang, dulu bunda takut sekali mati. Mendengar kisah dari nenek bagaimana sakitnya nabi mengalami sakaratul maut, bunda jadi takut untuk mati. Karena kita akhirnya akan sendirian, sakaratul maut sendirian, dan dikubur dalam tanah yang penuh cacing juga sendirian. Orang-orang yang mengaku sayang mustahil mau ikut mati juga, kan? Tapi, sejak ketemu ayah, semuanya berubah. Bunda masih ingat sekali kata-kata terakhir ayah sebelum menutup mata seperti ingin tidur malam."

Kenangan itu membawa wajah tampan yang mulai keriput seolah tengah duduk di depannya. Duduk seperti Elbiyan saat ini sambil memasang senyum yang biasa menjadi sapaan manis Ashma setelah membuka mata. Teman tidurnya yang sekarang mungkin saja sedang bercerita dengan mertuanya di atas sana. Cerita yang berhembus seperti dongeng sebelum tidur.

Ah, dia jadi merindukan momen itu.

"Ayah bilang apa, bun?"

Ashma melirik. Elbiyan sudah menegakkan punggung kembali. Dan dia membiarkan Ashma menangis kali ini. Sebab, rindu untuk orang yang sudah tiada kalau tidak berupa air mata, maka larut dalam sebuah doa.

"Saat ayah membohongi bunda dan mengatakan ingin tidur sebentar, ayah bilang, 'Kematianku atau kamu sebenarnya bukanlah perpisahan, bun. Tapi, pulang kampung. Dengan aku yang berangkat lebih dulu, dan akan menyambut kamu nanti. Atau kamu yang terpilih untuk menyambut kepulanganku di Mahsyar. Jadi, jangan takut dan sedih, sejatinya kepergian kita hanya untuk membuat kepulangan kita di Mahsyar nanti tidak dalam kondisi sendiri. Ada aku yang menyambut kamu, atau kamu yang menyambut aku.'"

Ashma mengangkat pandang. Bayangan laki-laki yang mengambil masa mudanya masih tergambar di depan sana. Suaminya masih tersenyum, seperti mengatakan bangga, dia berhasil mewujudkan pesan terakhir sang imam, untuk tidak sedih saat menghadapi kematian.

"Sekarang, bunda siap kapanpun malaikat Izrail mau menikahkan bunda dengan kematian, bang. Karena disana, bunda gak akan sendiri, ada ayah yang menyambut bunda dengan senyum lebar dan pelukan yang bunda rindukan. Terus bilang, 'Akhirnya sampai juga di kampung halaman. Gimana pertanyaannya? Gak menyendat perjalanan kamu sampai ke sini, kan?'" Ashma tertawa kecil. Bayangan suami di depan sana juga demikian. "Ayah kamu, kan, humoris, gak kayak kamu sinis terus sama orang lain. Kayak bayi tertukar di rumah sakit, entah gen siapa yang mengalir."

Kalau kejadian itu tidak terjadi, Iyan mungkin sudah kayak ayah, menjadi alasan bunda senyum terus tiap hari.

Air mata tidak bisa mengenyahkan senyum yang dikagumi Elbiyan pada wajah Ashma. Bundanya itu tetap terlihat cantik meski termakan usia di kepala lima. Wanita kuat yang mampu menopang rumah tangga sendirian.

"Bun,"

Ashma menoleh, dihiasi air yang masih mengepul di pinggir telaganya.

"Kalau Elbiyan berbuat seperti Adam, bunda kecewa besar, gak?"

Ashma hanya tertawa kecil. "Kamu ... pernah jatuh cinta rupanya selain dengan Mumta?"

Elbiyan tersenyum sinis, bunda meragukan.

"Karma kali tuh, bang, karena kamu mengecewakan banyak perempuan dengan menolak mereka mentah-mentah. Awas, loh."

Sudah terjadi, bun.

Hati Elbiyan berucap miris. Andai Ashma tahu kejadian sepuluh tahun lalu, mungkin dia sudah dirajam oleh wanita itu.

"Meskipun bunda gak tahu kamu kapan nikahnya, tapi pasti itu akan terjadi. Bunda yakin kamu gak akan menghentikan generasi Firdausy." Ashma tersenyum hangat. Telapak tangan ia satukan dengan wajah tampan keturunan sang suami. "Tapi, sebelum kamu menyakiti perempuan, coba ingat ini baik-baik. Kamu punya seorang ibu, nanti pasti akan memiliki anak perempuan, istri juga. Bagaimana perasaan kamu kalau mereka disakiti oleh laki-laki? Dihancurkan hidupnya karena sikap tidak tanggung jawab laki-laki? Setidaknya kamu pikirkan orang tuanya, yang berusaha mati-matian untuk membuat dia bahagia."

*****

Sepuluh tahun lalu, masa remaja Elbiyan

"Cupu, cupu. Gak ada capek-capeknya, ya, ngejar bos kita."

Sekumpulan remaja berseragam tertawa sambil berangkulan. Mata mereka mengolok perempuan berpenampilan kolot, dengan tangan memeluk sekotak coklat, dan matanya takut-takut menatap dibalik kacamata bulat.

"Kepercayaan diri kamu besar juga. Pejuang cinta sekaleee."

Sekali lagi tawa ejekan itu menggema, dia melirik. Laki-laki tinggi yang berdiri beberapa langkah di depan, ikut menertawakan, cinta yang datang dari remaja polos.

Tidak ada pembelaan, tidak ada juga tatapan simpati. Hanya keangkuhan yang menjadi jawaban, perjuangannya direndahkan.

Tangannya terulur, mengangsurkan sekotak coklat, hasil kerja kerasnya semalaman. Dengan wajah tertunduk, bibirnya berucap.

"Coklat buat kamu. Aku yang buat semalam."

"Wow!"

Seruan girang yang mengolok itu tidak menggentarkan semangat untuk memperjuangkan cinta yang terpendam. Bentuk tanggung jawab karena tidak pandai menjaga hati, katanya.

"Cupu, lo gak capek melakukan hal bodoh gini?" Sosok laki-laki yang dicinta mengayun-ayun remeh pemberian penggemar yang tidak diinginkan. "Gue aja capek yang nerimanya."

Perempuan berkepang dua menunduk lemah. Tangannya saling bermain di depan perut. Sayang, cinta yang berkibar semakin mengepalkan kuat semangat perjuangan.

"Ini tanggung jawab."

Uhuk! Apa tadi katanya?

Lima detik setelah itu, tawa mengejek kembali berderai keras. Kali ini terdengar lebih ramai.

"Emang si bos ngapain lu, Cupu? Nyentuh lu aja kagak."

Remaja pria berbadan gembul, mengetukkan satu ketukan ibu jari pada keningnya yang bebas rambut.

"Jangankan menyentuh, lihat aja jijik."

Tawa menyakitkan kembali terdengar.

Matanya melirik laki-laki yang menerima kotak coklat pemberiannya, diam. Hanya senyum miring yang terlihat.

Cukup mengecewakan, tapi tak menyurut semangat untuk berjuang. Semua sudah terlanjur ia mulai, dan cinta harus dibalaskan.

*****

Cupu.

Senyum tipis muncul di wajah datar Elbiyan. Seakan ubin menggambarkan sosok remaja putri yang dulu mengejar-ejarnya.

Garis bibir yang menunjukkan gigi putih berkawat, rambut berkepang yang bergerak lucu layaknya ekor kuda, kemudian mata yang menyipit saat menyapa manis dirinya dengan senyum.

Masihkah tergambar seperti itu?

Elbiyan ingin sekali bertemu. Mengobrol sejenak, kemudian menyelipkan permintaan maaf yang tidak akan cukup untuk membalas semua kenakalannya dulu. Setidaknya remaja itu tahu, penyesalan membungkus hidup Elbiyan sampai sekarang.

Cupu ... .

Panggilnya sekali lagi. Masihkah dia mengamankan cinta untuk Elbiyan? Atau mungkin sudah mendapatkan gantinya?

Syukurlah, jika memang begitu, rasa bersalah Elbiyan sedikit berkurang, sekalipun tidak banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top