Bagian 13 ~ Cangkang Yang Retak

Bagian 13


Cangkang Yang Retak

*

*

*

Ini bukan penyakit kronis. Tidak ada diagnosa penyakit mematikan merayap tiap tubuh Mumta. Tubuhnya sehat, hanya sedikit flu ketika dingin datang. Selebihnya, tidak ada.

Tapi, rasanya setiap sendi retak ketika digerakkan, nyeri menyerang bertubi-tubi di bagian dada. Berkali-kali menarik napas, berkali-kali pula sesak semakin memenuhi.

Mumta kembali meringkuk kesakitan. Seprai tidur berwarna dongker telah kusut akibat geliatnya untuk mencari ketenangan. Sakit ini, sesak dan nyeri terasa lebih menyengat daripada melihat binar bahagia Adam ketika melepas lajang bersama ... .

Allah, kenapa sesakit ini jatuh cinta? Inikah hukuman untuk orang-orang yang tidak pandai menjaga hati?

Engkau rajam dengan sakitnya kegagalan sampai menangis dan berteriak pun menjadi sia-sia. Langkah pun terasa berat untuk menjauh dari luka lama. Hingga bayangan untuk sembuh tampak seperti khayalan belaka.

Lutut semakin rapat pada perut. Jemari Mumta semakin erat tertaut. Tangis? Jangan tanyakan lagi. Mumta seolah menjadi perempuan yang disemat ratu tangis oleh takdir. Tiada hari tanpa air mata.

Bahkan, persidangan yang di gelorakan, mendesak Elbiyan sebagai tameng di depan hakim, hingga berhasil memasung ayah Ambar di balik besi tidak meninggalkan kesan apapun di dalam hati. Hanya kelegaan yang berhembus dibalik bungkus duka penolakan Adam untuk kedua kali.

Lagi-lagi bahagia Mumta disalip adik sendiri.

Mengenaskan.

Langkah Mumta tercegat untuk segera masuk mobil dan membawanya pulang. Apresiasi para guru dan wakil kepala sekolah atas keberanian membela kebenaran hanya Mumta balas senyum. Tidak ada gairah di hatinya untuk melompat girang atas kemenangan yang diraih. Semuanya lebur dalam satu kali hembusan ... penolakan.

"Bu Mumta."

Kaki Mumta tetap melangkah lamban. Pandangan kosong ke depan. Mumta seperti mumi yang kehilangan tujuan. Rumahnya untuk pulang sekarang berubah rumah duka.

Elbiyan yang melihat hanya bisa menghela napas. Ini dampak patah hati. Semakin banyak kata diucapkan sebagai penguat, tidak berpengaruh apa-apa. Kata yang keluar tidak akan meresap di hati, justru menyerap sebagai bumbu luka.

"Mum,"

Barulah pandangan perempuan di depannya menoleh, begitu sayu dilengkungi noda hitam di bawah kelopak mata. Kehancuran kembali terpancar di wajah lemas Mumtahanah.

"Bu Asiyah," sapa Mumta pelan. Bibirnya melengkungkan senyum kecil. Perempuan perkasa itu sudah sehat, hanya menyisakan sedikit luka biru di wajah dan pipi yang menggantungkan air. Padahal sudut bibirnya naik membentuk senyum.

"Terima kasih."

Jemari Mumta dibungkus dengan erat. Kehangatan menjalar disekitarnya.

Mumta mengamati wajah itu. Dia mengucap terima kasih, berarti merasa ditolong olehnya, namun mengapa tidak melaporkan langsung tindak kekerasan yang dia terima?

"Boleh saya bertanya?"

Bibir Asiyah hendak terbuka, mengucapkan beberapa patah kata lagi sebelum melepas guru baik yang didatangkan pada putrinya. Namun urung dilanjutkan. Sebuah pertanyaan membutuhkan jawabannya segera.

"Ya?"

Mumta melihat ke belakang, seorang laki-laki ditarik paksa keluar dari ruang sidang. Tangannya sudah dipasung borgol mengerikan. Menatap ke arahnya penuh tidak suka.

"Kenapa tidak dari dulu ibu lapor kekerasan yang ibu terima pada tetangga atau sanak keluarga? Biar mereka membantu membawanya ke polisi?"

Mata Asiyah turun ke bawah. Bibirnya bergetar. Tangan yang saling menggenggam mengendur.

"Cinta, Bu," tuturnya lemah. Seakan malu untuk mengungkapkan alasan perlakuan kasar yang dia terima dari seseorang yang seharusnya melindunginya. "Saya kira ketulusan yang saya berikan akan mengubahnya menjadi suami yang penyayang. Tapi ternyata ...,"

Semakin memperburuk keadaan. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melakukannya.

Ternyata dia memiliki teman. Tidak sendirian dikhianati saat mencintai dengan tulus. Masih ada lelaki bodoh selain Adam di dunia ini. Kenyataan itu sedikit membuat Mumta senang.

"Kadang, manusia itu tidak tahu dihargai. Mereka lebih memilih kerikil ditengah tumpukan berlian. Tertipu kilau berlian yang memantul ke arahnya. Sayang sekali."

Mumta berdecih. Menyeringai kebodohan Adam yang memilih Hawa daripada dirinya.

Sedang Elbiyan yang melihat, sedikit terkejut, menyaksikan seringai itu muncul di bibir indah Mumta. Ada harapan di hatinya, Mumta tidak berubah karena sakit hati yang mendera.

*****

Semangat mengajarnya tidak menggelora seperti sebelumnya. Meski Ambar telah kembali sekolah, dan menampilkan senyum yang lebih cerah dari sebelumnya, seharusnya itu bisa menjadi alasan untuk ceria. Tapi, bibirnya juga tidak mau mengukir senyum.

"Assalamu'alaikum, Bu Mumta."

Asiyah tampil lebih cerah dari biasanya. Penampilannya tidak lagi kusut, terpahat segaris senyum di wajahnya yang anggun, lalu kaki yang tertutup kaus kaki melangkah mendekat. Memeluk Ambar yang berlari.

Kebahagiaan kini terpancar terang di wajah ibu dan anak itu, tidak tersendat seperti sebelumnya.

"Walaikumsalam."

Kemudian, Mumta melihat keharmonisan hubungan orang tua antara Ambar dan ibunya. Mengilukan di hulu hati ketika sadar dia tidak punya kenangan seperti itu. Ah, mungkin lupa lebih tepat untuk menggambarkannya.

Ambar yang bermanja di pinggang sang bunda, Asiyah yang menatap penuh cinta putrinya. Tatapan yang dihasilkan seolah menjadi kehangatan di hari yang mendung.

Manisnya.

Apakah nanti akan meresap seperti itu juga ketika Mumta kembali diperhatikan oleh Tantri dan Jauhari? Meskipun sampai sekarang Mumta masih merasa itu sebuah kemustahilan. Saat orang tuanya lebih condong kepada putri sulung.

"Bu Mumta."

Mumta tersentak. Senyum Ambar yang merekah bersama gigi kelinci yang menambah tingkat gemas menjadi objek pertama yang terlihat saat dirinya sadar dari luka batin.

"Salam," kata Ambar lucu dan mengecup punggung tangannya.

"Kami duluan, ya, Bu."

Mumta melambaikan tangan, melepas kepergian sepeda merah muda keluar dari gerbang sekolah, dan melihat kendaraan roda empat terparkir di pinggir jalan.

"Tunggu bentar, ya. Aku antar buku ini dulu ke meja guru."

Elbiyan menghirup napas berat. Lubang-lubang kesedihan nyatanya belum tertutup sempurna, meski Mumta sudah berhasil memenjara ayah Ambar. Tidak bisa memulihkan hati Mumta dalam sekejap.

Laki-laki itu, entah apa yang sudah dia lakukan sampai membuat anak orang terlihat begitu kehilangan.

"Mau makan dulu sebelum pulang?" Elbiyan sudah mengayun pintu penumpang, membukanya untuk perempuan yang tiba-tiba mematung, menatap lurus ke belakangnya. Elbiyan menggerakkan sendi leher, dan melihat seonggok perempuan lain tengah berdiri menatap mereka ... dari seberang. Perempuan yang sama yang dia lihat di pusat belanja tempo hari.

Tubuhnya terayun-ayun, ingin melangkah, tapi sepasang mata menatap perempuan bergamis biru dengan sinis, penuh ancaman.

Lengan Elbiyan mencegat langkah Mumta yang bergerak penuh tekanan. Matanya menggebu mengisyaratkan siap menyerang lawan. "Kalau kamu melakukannya di sini, kamu gagal menjadi seorang guru." Elbiyan memperhatikan sekitar. Area sekolah masih ramai oleh para siswa, meski satu persatu sudah dijemput orang tua.

Banyak caci dan maki yang ingin Mumta tembakan pada wajah penuh dusta Hawa yang meneteskan air mata buaya. Namun, saran Elbiyan berhasil hatinya pertimbangkan.

Jika keributan tercipta di lingkungan sekolah, maka habis sudah ajaran baik yang Mumta turunkan pada murid-muridnya. Sebab, mereka melihat guru mereka mencontohkan yang sebaliknya.

Dengan perasaan yang meledak-ledak, Mumta menutup diri masuk ke mobil dan melihat Hawa masih berdiri di tempatnya saat mobil membawanya pergi.

*****

Habis.

Kesempatan Hawa untuk menjelaskan dan memperbaiki hubungan yang membentang permusuhan sudah tidak ada lagi. Kakaknya, kini semakin melebarkan bendera permusuhan lewat tatapan mata yang mengerikan. Kepalan tangan yang terbentuk di samping badan semakin memperkuat dugaan Hawa.

Tidak ada lagi kata persaudaraan di antara dia dan Mumtahanah.

Semua salah dia, itu yang Hawa lihat di sorot wajah Mumta sebelum memasuki mobil hitam bersama lelaki yang tidak dikenal.

Kelahirannya, dipermasalahkan Mumta atas ketidakadilan yang tidak seimbang antar dua saudara.

Dan sekarang ... asmara.

Kenapa rasanya Allah mempersulit dia untuk memperbaiki citra di mata Mumta? Dengan menikahi Adam, dan sebentar lagi memiliki pewaris, semakin memperburuk nama Hawa di mata Mumta.

Cinta yang dianugerahkan, kenapa harus pada satu nama yang sama?

Adam Ghifari.

Padahal mereka sudah lama tidak bertemu, nihil bertegur sapa berlangsung bertahun-tahun, tapi kenapa Hawa tidak menyadari jika rasa yang telah lama hilang nyatanya masih bersemayam di hati? Hingga membawa dia pada pertempuran sengit kakak dan adik.

Tidak.

Hawa selalu menghindari pertempuran untuk memperebutkan laki-laki. Memperebutkan manusia, apa manfaatnya? Melegakan nafsu? Itu bisa berubah sewaktu-waktu. Memperebutkan laki-laki hanya membawa lelah, dan mengikis kebahagiaan.

Cukup.

Hawa harus pandai memilih pijakan. Dia tidak mau pertempuran terjadi antara dia dan sang kakak hanya karena laki-laki. Bagi Hawa, tidak ada kompetisi di antara keluarga. Keluarga adalah keharmonisan, tempat pulang paling nyaman dan menenangkan. Memiliki adik, kakak, atau abang bukan garis untuk memulai perlombaan. Namun, untuk menjadi teman dan saudara.

Kini saatnya mengakhiri perlombaan yang dibuat Mumta diantara mereka.

*****

Entah sudah berapa banyak hembusan napas ia keluarkan dengan emosi. Sejak benda pipih itu berdering, menampilkan nomor tidak dikenal, dan membuat Mumta menyesal mengucap salam.

"Masih punya nyali untuk menghubungiku?"

"Punya atau tidak, aku tetap harus melakukannya."

Mumta berdecih. Percaya diri begitu kuat terasa di telinga. Salah satu karakter Hawa yang tidak pernah lekang. Mungkin itu sebabnya, adiknya itu begitu percaya diri mengacungkan diri menjadi pengantin pengganti.

Biadab, satu caci berhasil lolos dari bibir hatinya.

"Mama sakit, kamu tahu, kan?"

Mumta menaikkan sudut bibir. Justru pertanyaannya harus dibalik, apakah mamanya tahu Mumta menderita di sini?

"Sudah empat hari, kangen kamu, kak."

Mama bukan kangen anaknya, tapi merindukan untuk menyiksaku lewat ketidakpedulian.

Atau Tantri ingin memamerkan menantu barunya yang didapat dari pengkhianatan?

Mumta ingin menyangkal, tapi opsi kedua lebih kuat mengikat benaknya. Sampai tidak memberinya ruang untuk menciptakan kemungkinan lain.

"Aku yang salah, orang tua kita tidak tahu apa-apa. Pulang, kak, mama rindu kamu."

Pulang?

Mumta pernah pulang untuk menemui keluarga dan mencurahkan bagaimana robekan di hatinya menganga karena diledeki teman-teman kelas. Namun, sikap acuh dan abai yang diberikan meyakinkan Mumta kalau dia adalah anggota cadangan yang tidak dibutuhkan di keluarga Jauhariyah.

Satu yang membuat Mumta menjadi fokus keluarga: saat nilainya turun dan di hari pembagian rapor persidangan dengan Mumta sebagai korban diadakan.

Dan dari situ dia belajar, mungkin menjadi terbawah bisa membuat mama dan papa peduli sehingga memperhatikannya seperti dulu—yang rasanya sudah tidak mampu lagi Mumta ingat. Namun, dia justru semakin ditekan dengan kalimat kekecewaan, semakin dibandingkan dengan yang lain. Lalu, di saat Mumta memperbaiki, keberhasilannya malah diragukan. Membuatnya berdiri di persimpangan serba salah.

Lalu, apa maksud pulang yang disebut Hawa?

"Kamu tahu, alasanku enggan kembali pada orang-orang yang kamu sebut orang tua?" Cengkraman Mumta pada ponsel yang menempel ditelinga menguat. Jantungnya berdebar. "Adalah kamu. Anak yang lahir hanya untuk merebut kebahagiaan anak yang lain. Malaikat perebut kebahagiaanku."

Saat itu, Mumta melihat setitik air menetes di depan cermin, jatuh dari wajah yang merindukan kasih sayang.

.

.

.

Assalamu'alaikum orang-orang baik 🤗🤗🤗

Happy Eid Mubarak yaaa semuaaaa ❤️❤️

Part ini anggap sebagai THR Hani buat kalian yaaaa 🤭🤭🤭

Selamat Menjalankan kemenangan orang-orang baik 😘😘😘

Wassalamu'alaikum

Binjai, 3 Syawal 1442

R

aliaAkma_17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top