Bagian 1 ~ Mumtahanah
Bagian 1
Mumtahanah
*****
“Ada yang memberikan ini.”
Jemari Mumta menjepit map coklat pemberian Kak Hasnah, murobbinya di kampus. Dia memandangi kertas itu sebentar sebelum menatap Kak Hasnah yang sudah tersenyum sambil menyentuh pundaknya.
“Meminta segera jawabanmu.”
Kak Hasnah meninggalkan Mumta yang tengah menerka-nerka isi surat yang baru saja dia berikan.
Mumta menarik kertas yang ada di dalam map tersebut perlahan.
Skripsinya telah selesai, sidang di depan para dosen juga sudah terlewati, apa ini surat panggilan wisuda? Hatinya berdebar campur heran.
CV ta’aruf.
Deg.
Mata Mumta langsung membulat membaca judul surat yang tersembunyi di balik map coklat yang diberikan Kak Hasnah padanya. Gugup langsung melanda tubuh mungil dengan tinggi tidak lebih dari 155 senti itu.
Mumta tidak percaya ini, apakah ada seseorang yang menginginkannya untuk hidup bersama? Dengan perempuan berkulit kuning langsat dan wajah yang tidak terlalu menarik seperti teman-temannya yang lain, tapi selalu disebut manis oleh teman-teman orang tuanya?
Mumta mengedipkan mata beberapa kali sebelum kembali menarik kertas itu lebih jauh dan melihat identitas seseorang yang berhasil membuat jantungnya berdebar kencang. Dia mengatur napas yang mulai acak-acakan dan kembali terpaku saat matanya mengeja satu persatu kata yang menyusun sebuah nama.
Adam Ghifari.
Tanpa sadar ataukah karena terkejut, Mumta mencampak tawaran untuk membangun rumah tangga di pahanya.
Perempuan penggila bakso itu menutup mata kuat-kuat, menggeleng-gelengkan kepala.
Masih sama!
Nama yang tertulis di bagian biodata masih sama. Adam Ghifari, laki-laki yang dia juluki cowok masjid ... melamarnya?
Mulut Mumta sampai terbuka saking tidak percayanya dengan permainan takdir kali ini. Sosok yang hanya mampu dia dekap dalam doa, hamba allah yang selama ini hanya bisa dia impikan menjadi imamnya, benar-benar akan terwujud?
“Mumta.”
Sentuhan di pundak yang bereaksi karena keterkejutan atas pengajuan ta’aruf ini membuat Mumta tidak mampu mengontrol tangannya. Kertas yang menyampaikan kabar bahagia kembali melayang di atas lantai masjid.
“Eh, maaf, maaf, kalau aku mengejutkan kamu. Efek lupa bilang salam.” Asa, teman satu jurusan tersenyum kepadanya.
Mumta menggeleng.
“Nggak, akunya yang lagi gak konsen.”
Karena kebahagiaan yang aku kira mustahil akan terwujud.
“Nggak pulang? Biar bareng.”
Asa melipat lutut dan duduk di sebelah Mumta. Matanya sekilas melirik kertas yang cepat-cepat Mumta sembunyikan di balik tubuhnya.
“Bentar, ya, aku beresin barang-barang dulu.”
“Aku tunggu di tangga masjid, ya?”
Mumta mengangguk. Dia merapikan bawaannya sambil tersenyum. Kebahagiaan yang sedang memayunginya terasa meneduhkan.
Sekarang Mumta tahu apa arti garis bibir yang mendadak Adam pamerkan dari panggung teater kemarin untuknya. Arti dari pandangan yang menatapnya penuh binar. Salah tingkah Mumta saat menerima itu akhirnya terjawab. Hal yang tidak mungkin baginya sekarang akan benar-benar terjadi.
Ini bukan mimpi yang Mumta bangun di alam bawah sadarnya. Adam benar-benar membawa orang tuanya untuk membuktikan keseriusan yang dia tulis di CV ta’aruf itu.
*****
Mumta masih ingat dengan jelas kebahagiaan yang terpancar di wajah Adam ketika datang kerumahnya untuk melamar. Dari tatapan mata itu, Mumta tahu Adam sangat menginginkannya untuk dipersunting. Adam serius ingin menjadikannya satu-satunya wanita dalam hidup laki-laki itu sampai akhir.
Namun, senyum Adam saat menunggu Hawa datang setelah sah jadi istrinya, mencium kening Hawa, kenapa terasa cinta itu cepat sekali berubah tempat?
Sekali lagi air jatuh menuruni pipi perempuan yang sedang terluka hatinya tanpa hambatan. Mumta membiarkan wajahnya basah karena sakit di dada begitu luar biasa.
“Mum,” Elbiyan memberikan selembar tisu. Dia tidak ingin lagi melihat perempuan menangis karena laki-laki. Masih banyak laki-laki lain untuk dijadikan pasangan hidup. Tapi, untuk Mumta, tidak ada laki-laki yang boleh mendekati atau didekatinya, kecuali Elbiyan.
“Perasaan itu sifatnya semu, Mum, bisa berubah kapan aja. Sesuka hati dan semena-mena, kadang juga tanpa alasan yang jelas. Aku yakin kamu juga gitu, Mum.”
Mumta berdecak dan menatap tajam laki-laki di sampingnya.
“Gak usah ngomong. Kata-kata kamu gak bisa memotivasi. Dan satu lagi ... aku bukan Fir’aun yang bisa dipanggil mumi.”
Elbiyan sontak tertawa. Tangannya memutar stir mobil dan menarik tuas transmisi.
“Masih sempat-sempatnya protes, ya?”
Mumta menyanggah kepalanya di jendela. Bukannya menenangkan, kehadiran Elbiyan semakin menambah beban di pundaknya.
Jalan yang panjang ini justru semakin mengingatkan gadis itu pada kemeriahan pesta yang apakah masih berlangsung setelah dia menunjukkan batang hidung?
Meski sudah pergi jauh dari keluarga, sesak di dada Mumta belum juga hilang. Tidak ada yang berubah seberapa jauh jarak yang terbentang antara dia dan keluarganya. Mama dan papa pasti akan selalu membela Hawa lebih dari apapun.
Hawa yang selalu dipuja-puja sejak kemunculannya di permukaan bumi ini. Hawa yang merampas perhatian dan semua yang Mumta miliki. Termasuk Adam, satu-satunya orang yang Mumta percaya akan membawanya pergi dari rumah untuk dibahagiakan. Namun nyatanya, Adamlah orang yang paling besar meninggalkan bongkahan luka terbesar di hati Mumta yang sudah banyak sayatan.
Mata perempuan itu kembali basah. Isaknya tertahan di tenggorokan.
Mumtahanah? Kenapa nama itu harus dipilih orang tuanya untuk anak pertama mereka? Mumta lebih menyukai nama Siti atau nama jadul lain daripada nama yang mengandung doa menyakitkan.
Apakah orang tuanya tidak tahu kalau Mumta bukanlah manusia sekuat nabi yang sanggup menahan beribu ujian di pundaknya? Bahkan untuk mengurus sendiri sebuah makalah dia belum tentu sanggup apalagi ujian dari Allah?
Kenapa harus Mumtahanah? Tanya yang selalu muncul saat dia bersedih.
“Mum,” Elbiyan meminggirkan mobil dan menghadap perempuan itu. Tangannya memegang pundak yang menolak untuk dikuatkan.
“Aku tahu rasanya sakit, tapi tolong jangan menangis.”
Bodoh! Kalau bukan air mata yang menjelaskan rasa sakit lalu apa lagi? Caci Mumta dalam hati.
“Sudah, deh. diam aja.”
Mumta semakin memalingkan wajah. Dia tidak ingin wajahnya yang menyedihkan mendatangkan tatapan kasihan orang lain. Mumta benci dikasihani karena itu tidak mengubah apa-apa dalam hidupnya justru membuatnya semakin tertekan dalam kesedihan.
Elbiyan menghela napas. Dia membenarkan kalimat yang mengatakan bahwa orang-orang yang sedih tidak perlu kata-kata, mereka butuh pundak untuk bersandar dan didengarkan.
Andai Elbiyan diizinkan menyerahkan bahunya untuk tempat Mumta menangis, dia akan melakukannya sampai Mumta tertidur sekalipun.
Tidak ingin menambah kegelapan di hati perempuan itu, Elbiyan kembali melajukan mobil menuju rumahnya lagi. Ada rasa bersalah terbesit setiap kali dia memandang wajah Mumta.
Kalau saja dia mengemudi lebih cepat, kalau saja egonya menyingkir sejenak, mungkin mereka bisa melewati kecelakaan yang terjadi di tengah perjalanan dan Mumta pasti sudah menikah dengan Adam. Dan tidak akan ada adegan menangis seperti ini. Keegoisan Elbiyan karena cintanya pada Mumta hanya membawa luka untuk anak gadis orang itu.
Mesin mobil sudah mati di pekarangan rumah sederhana.
“Walai—loh, Mumta,” seru Ashma begitu melihat seseorang yang beberapa jam lalu pamit pulang kembali menapakkan kaki di rumahnya. Ashma beralih kepada putra yang sedang menutup garasi.
Mendapat isyarat dari puteranya untuk jangan bertanya apa-apa membuat Ashma langsung menyuruh Mumta masuk dan duduk di ruang tamu.
“Kalian sudah makan?” Ashma menuang air untuk dia beri pada Mumta yang lemas di ruang tamu.
“Belum, bun.”
“Ya, sudah nanti beli sarapan aja, ya? Bunda belum ke warung.”
Ashma membawa segelas air hangat yang dia taruh di atas nampan. Untuk kemudian dia sodorkan pada Mumta yang terlihat tidak berdaya. Wajahnya langsung memasang raut khawatir melihat muka Mumta yang merah terlihat habis menangis.
Mumta hanya diam menerima perhatian yang kembali diberikan Ashma padanya. Rasa senang yang sebelumnya terasa kini harus tenggelam akibat kedukaannya karena gagal menjadi istri.
“Iyan ke kamar, ya, bun.”
Ashma mengangguk. Perhatiannya kembali jatuh pada perempuan yang dibawa pulang oleh putranya sebulan lalu. Entah apa yang terjadi sampai Mumta kembali lagi kemari.
Bukannya Ashma tidak senang, janda satu orang anak itu menangkap kegembiraan yang teramat saat Mumta bercerita mengenai tunangannya. Ingatan Mumta yang kembali perlahan-lahan membuat bibir perempuan itu tidak berhenti berbicara menceritakan betapa bahagianya dia dilamar laki-laki yang dicinta. Dan kembalinya Mumta kemari pasti menjadi pertanda sesuatu telah terjadi antara dia dan sang calon suami. Karena Ashma yakin, secinta apapun putranya pada Mumta, Elbiyan tidak akan berani membawa kabur calon istri orang lain.
Adzan subuh berkumandang. Ashma masih memakai kerudungnya saat seseorang mengucapkan salam ketika dia mengerjakan solat malam. Ashma sampai melupakan solat witirnya karena melihat kepulangan Mumta kembali.
“Sudah subuh, kamu solat dulu, ya? Setelah itu baru tidur. Akan bunda bangunkan untuk sarapan.”
Mumta menyentuh tangan perempuan yang hendak membantunya.
Menatapnya dengan mata berair.
“Boleh tidak Mumta gak solat bunda? Rasanya kecewa sekali ... di sini,” keluh perempuan itu dengan suara menahan tangis.
“Mumta,” Ashma menangkup wajah Mumta yang menyedihkan. “Solat itu kewajiban umat muslim. Gak ada alasan bagi kita untuk boleh meninggalkan solat.” Ashma mengusap pipi cukup berisi milik Mumta dengan lembut. Menyalurkan sifat keibuannya agar Mumta bisa merasakan kalau dia tidak sendirian. “Lagipula, kalau kamu memiliki masalah dengan manusia, kenapa Allah yang kamu jauhi? Hmm?”
Ashma memeluk Mumta saat tangisnya mulai turun. Menepuk-nepuk bahunya sampai perempuan itu tenang. Melihat ini Ashma semakin yakin kalau sesuatu tengah terjadi antara Mumta dan pernikahannya. Namun, dia tidak ingin bertanya karena itu akan semakin memancing kesedihan di hati gadis ini.
“Sekarang kamu solat, nangis puas-puas di atas sajadah. Dan rasakan bagaimana nikmatnya tertidur karena bercerita dengan Allah.”
*****
Elbiyan bertemu Mumta untuk pertama kali saat dia ditugaskan menangkap buronan di sebuah kampung. Narapidana yang telah menjadi buronan selama satu bulan menuntunnya menemukan Mumta di pinggir sungai. Kalau saja rasa penasaran tidak menggerakkan hati Elbiyan untuk berjalan menemui sebuah kain yang mengambang di atas air, pasti dia dan Mumta tidak akan satu meja makan seperti ini. Perasaan yang menggebu kepada perempuan asing yang mendadak bundanya sayangi juga tidak akan terbit.
“Manja.”
Ashma menyikut lengan putranya dan menyorot Elbiyan dengan tatapan tajam. Anak semata wayangnya itu tidak tahu situasi untuk mencari keributan. Ashma tahu jika pertengkaran kecil yang dimulai oleh Elbiyan adalah cara agar laki-laki itu bisa berbicara dengan Mumta. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat. Mumta sedang dirundung kesedihan yang teramat.
“Kamu ini,” geram bundanya.
Elbian kembali menyuapkan nasi ke mulut. Ternyata caranya tadi tidak berhasil. Mumta tidak terpancing untuk berdebat seperti pagi-pagi sebelumnya. Pernikahan Adam dengan perempuan itu benar-benar merobek mulut lancip Mumta dalam sekejap.
“Kamu harus makan banyak supaya ada tenaga untuk menangis satu hari satu malam. Kalau pingsan lagi, aku mungkin akan mengutang ke bank—“
Mumta sempat melihat Elbiyan kesakitan karena cubitan bunda di pinggangnya. Wajahnya masih diam tanpa ekpresi kesal berkoar di mukanya.
“Sudah kamu kerja sana! Jangan makan gaji buta!” seru bunda dengan wajah yang sudah berlipat.
“Aku ke kamar dulu, ya, bun.”
Mumta merasakan semua tatapan menuju ke arahnya saat kakinya lurus dan berjalan ke kamar. Dirinya masih belum bisa—atau tidak akan bisa—menerima semua yang telah terjadi.
Mumta tidak terima Hawa merebut Adam dari hidupnya. Mumta yang mendoakan, Mumta yang berharap, kenapa justru Hawa yang bersanding di pelaminan bersama Adam?
Apakah orang tuanya tidak pernah memikirkan perasaannya sekali saja? Ah, jangankan memikirkan dirinya, mungkin memiliki niat untuk mencarinya yang hilang selama sebulan saja belum tentu ada di hati mereka. Jadi wajar, jika papa dengan mudah menikahkan Hawa dengan Adam yang jelas-jelas melamarnya hari itu.
Bayangan-bayangan ketika mengurus pernikahan bersama calon mertuanya membuat Mumta semakin merasa kehilangan. Entah dimana lagi dia bisa menemukan calon mertua sebaik ibunya Adam. Apakah perempuan yang berbusana serba panjang seperti bunda masih pantas disebut baik ketika mendukung putranya untuk menikahi adik dari calon menantunya sendiri?
Mumta menyembunyikan wajah di balik lutut. Kenapa dia benar-benar merasa sendiri di dunia? Padahal keluarganya masih lengkap wal afiat. Kenapa orang-orang yang mengaku sayang menusuknya dengan dalam dari belakang? Mumta sudah berusaha menjadi orang baik. Dia menuruti kata-kata teman-temannya agar ditemani. Mumta juga menganggukkan kepala ketika orang lain membutuhkan dirinya. Bahkan Mumta juga merelakan kasih sayang dan cinta orang tuanya kepada Hawa supaya dipeluk ketika tidur.
Kenapa kebaikannya justru dibalas air tuba?
Mumta tidak sanggup memerankan tokoh Mumtahanah. Dia ingin terlahir kembali dan memiliki nama yang lain. Menjadi seorang Mumtahanah adalah tugas yang berat dan dia tidak kuat.
“Mumta.”
Mumta langsung menerjang tubuh Ashma ketika perempuan itu duduk di depannya. Ashma memberikan kehangatan yang dia punya untuk meredakan kesedihan yang ditumpahkan Mumta dipelukannya sekarang. Belum pernah ia lihat kesedihan seorang perempuan seperti ini sebelumnya.
Batin Mumta begitu terluka karena sesuatu yang belum dia ketahui. Dan pasti akan segera dia ketahui.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top