28. Karena Semua Harus Selesai Di Sini
'Bukan aku yang memilihmu, tapi Allah yang merestui kita.'
Al-Khawarizmi & Humairah
~Thierogiara
***
Kehebohan terjadi saat Aira pendarahan, semuanya terjadi secara tiba-tiba, Al langsung sigap membawanya ke rumah sakit, tidak ada masalah besar Aira hanya tak boleh stress. Tapi bagaimana mengatur dirinya untuk tidak stress jika setiap hari ada saja kejutan dalam rumah tangganya?
Al menggenggam tangan itu untuk kesekian kalinya, bahkan dia ingin selalu menggenggam tangan itu, ada perasaan kecewa dalam diri sendiri sebab belum bisa menjaga Aira dengan baik.
Dengan mata sendunya Al menatap Aira. “Please jangan kayak gini.”
Sementara dengan bibir pucatnya Aira berusaha tersenyum. “Maafin aku Mas,” ucapnya, dia selalu merasa salah dengan apa yang dia lakukan, Al terlalu baik dan dia masih saja menjadi sosok merepotkan.
Al menggeleng membawa tangan wanitanya lantas memberikannya kecupan. “Kalaupun ada yang harus minta maaf maka itu aku, aku mohon Ra, tetaplah baik-baik saja karena ini semua sungguh menyiksa.”
Bulir bening lolos dari sudut mata Aira, bagaimana dia bisa baik-baik saja saat ada sebuah hati yang tengah hancur lebur karena keberadaannya? Perasaan Syifa bukan sebuah candaan dan Aira juga perempuan, dia bukan tipe yang bisa hidup tenang setelah menoreh luka, tentu semua yang terjadi mengganggu pikirannya.
“Anak kita nggak apa-apa kan Mas?” tanya Aira, dia tak akan pernah memaafkan diri sendiri jika sampai melukai anaknya.
“Kamu harus istirahat, jangan pikirin apa pun, semuanya biar aku yang selesaikan,” jelas Al, selain Aira mungkin dia yang paling kecewa dengan keadaan jika sesuatu terjadi dengan anak mereka, lebih lagi jika Aira juga kenapa-napa, mungkin Al akan membenci diri sendiri.
Aira mengangguk, sudah tak ada waktu lagi untuk keras kepala, Aira tak boleh membuat Al tersiksa dengan pemikiran khawatirnya. Sudah cukup mereka hanya harus saling menguatkan sekarang.
“Mas udah makan?” tanya Aira, lihatlah bahkan di saat paling lemah dirinya masih menanyakan soal orang lain.
Al bahkan kenyang dengan segala hal yang terjadi. Tak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri, dia lebih ingin memastikan bahwa Aira baik-baik saja.
Laki-laki itu kembali mencium punggung tangan istrinya. “Udah sayang.” Rasanya tak masalah berbohong demi kebaikan, Aira tak boleh banyak pikiran. Dokter bilang yang terjadi karena Aira terlalu stress.
Ponsel milik Al berdering, sebuah panggilan masuk dari orang tua Syifa. “Aku angkat telepon bentar ya,” izin Al.
Aira mengangguk. Suaminya itu bangkit dari duduk lantas berjalan keluar dari ruang rawat Aira.
“Hallo Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” balas Joko.
Al diam menunggu kalimat apa yang akan Joko sampaikan, tentu semuanya berkaitan dengan yang terjadi antara dirinya dan Syifa.
“Bisa temui Bapak hari ini Al?” tanya Joko memastikan, menantu atau mungkin sosok yang sekarang sudah menjadi mantan menantunya itu sibuk, jadi harus mencari waktu untuk menemuinya.
“Bisa Pak, siang ini Al ke rumah ya, ada yang mau Al sampaikan juga,” ujar Al masih berusaha bertindak sesopan mungkin karena memang dia tak ada alasan untuk tak sopan ke orang tua Syifa.
“Jangan bawa istri kamu ya.”
“Istri saya drop dan masuk rumah sakit, saya akan datang sendiri Pak.” Al sedikit menjelaskan agar Joko juga tahu bukan hanya anak perempuannya yang terluka, ada anak perempuan lain yang juga harus rela pikiran dan fisiknya menjadi korban keadaan.
“Baik Bapak tunggu ya.”
“Hmm.”
Lalu setelah itu Joko mengucap salam kemudian sambungan terputus, helaan napas berat terdengar dari bibir Al, mau tak mau dia pasti akan sampai di titik ini, berada di persimpangan luka, terluka karena melukai Aira juga terluka karena mengorbankan Syifa. Tapi mau bagaimana lagi? Jika lanjut juga tak ada yang menjamin luka itu akan sembuh, malah mungkin akan semakin menganga lebar.
Saat akan berbalik seseorang memanggil, Al menoleh dan mendapati keluarga istrinya berjalan ke arahnya. Sekarang apa yang akan ia jelaskan pada orang tua Aira? Ah mau gila rasanya.
***
Dengan berat hati Al terpaksa meninggalkan Aira, memang ada Zahra dan adik perempuan Aira yang menemani tapi tetap saja sebagai sosok yang menjadi alasan istrinya itu harus dilarikan ke rumah sakit Al merasa bersalah karena harus mengurus hal lain saat sang istri sangat membutuhkan dia berada di sisinya. Dengan penuh pengertian Aira melepas kepergian Al, dengan keluasan hati dia mengirim salam untuk kedua orang tua Syifa dan meminta Al menyampaikan maafnya pada Syifa.
Al sampai di kediaman keluarga Syifa sekitar jam satu siang, sengaja dia makan siang dulu di rumah sakit karena sungguh tak ingin berlama-lama, dia dan Syifa hanya menikah di atas tangan, semuanya bisa selesai tergantung Al. Dia sudah bulat dengan keputusannya melepaskan Syifa. Selain karena menghindari luka yang mungkin akan semakin dalam mendera sahabatnya itu juga karena menurut Al Syifa berhak atas kehidupan yang lebih baik.
Lepas dari sosok calon suami yang sebelumnya, maka Syifa harus mencari pria lain yang tentu lebih baik dari Al maupun calon suaminya yang sebelumnya.
Al menyalami tangan kedua orang tua Syifa, di sofa tunggal Syifa duduk dengan pandangan mata kosong, Al seperti flashback ke masa di mana dia harus mengambil alih akad nikah untuk menyelamatkan nama baik keluarga Syifa, saat itu Syifa juga tampak hancur, tapi hari ini sepertinya lebih hancur dari sebelumnya.
“Maafkan saya, tapi saya sudah punya istri sebelumnya Pak, saya merasa tak bisa melanjutkan semuanya dengan Syifa,” jelas Al tanpa basa-basi, lagi pula jika bukan dia yang membuka suara maka mereka semua hanya akan saling diam.
Joko mengangguk. “Saya paham tapi kenapa secepat ini?”
“Karena istri saya meminta cerai dan saya tidak ingin menceraikannya, saya tak ingin melukainya lebih dalam lagi. Dia adalah wanita baik, dia tak pernah marah pada saya, untuk sampai di titik dia berani mengungkap kata pisah itu artinya hatinya benar-benar sakit.” Al menjelaskan, karena ini bukan hanya perihal dirinya dan Syifa, jadi orang tua Syifa juga harus tahu keadaan Aira sekarang.
“Tapi anak saya juga terluka.” Mama Syifa angkat bicara.
“Tapi saya memulai semuanya dengan Syifa tanpa keinginan dari saya sendiri,” ujar Al, andai sejak awal Syifa menerima perasaannya, mungkin Al juga tak akan pernah menoreh luka di hati perempuan itu.
“Apa tidak bisa lagi kamu pertimbangkan?”
“Kalau saya pertimbangkan, maka saya akan sangat melukai hati istri saya, hati Syifa juga. Ibarat selingkuh ini versi halal Pak, semisal saya selingkuh istri saya berhak marah pada selingkuhan saya, berhak menjambak, berhak menampar dan behak melakukan apa pun. Tapi kalau ini? Dia harus memendam kemarahannya karena bagaimanapun sempat ada akad antara saya dan Syifa, Syifa halal untuk saya sebelumnya dan itu cukup menyiksa batinnya.” Al menjelaskan lagi, orang-orang harus paham posisinya, bukan perkara mudah berdiri di antara dua sisi positif, karena keduanya sama-sama baik sulit menentukan pilihan harus ke mana melangkah.
“Jadi?” tanya Joko pasrah, memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan?
“Saya mengembalikan anak kalian, maaf atas segala kesalahan yang mungkin sengaja atau tidak sengaja.”
Joko mengangguk.
“Sekalian saya ingin meminta maaf yang sedalam-dalamnya ke Ibu yang mungkin merasa kecewa ke saya, maaf juga untuk Syifa, sekaligus mewakili Aira, aku minta maaf atas segalanya,” ucap Al sarat akan rasa bersalah, tentu saja ada perasaan bersalah dalam dirinya. Tak mudah menyakiti sosok yang sudah bertahun menjadi bagian dari hidupnya.
“Maaf untuk semuanya.”
Memulai semuanya tanpa keinginan namun harus meminta maaf dengan sangat tulus, Al berusaha menjadi sosok terbaik versi dirinya hari ini, jangan sampai ada yang menyimpan dendam.
“Semoga Syifa mendapat imam yang jauh lebih baik dari saya.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top