14. Membicarakan Soal Rumah Tangga Kita
'Ada banyak kejutan saat aku mulai hidup bersamamu dan yang paling membuat terkejut adalah perihal perasaanmu yang ternyata bukan hanya untukku.'
Al-Khawarizmi & Humairah
~Thierogiara
***
Aira menggenggam tangan Al. "Kejar cinta kamu Mas, mumpung kesempatannya sebesar ini."
Al menatap Aira dengan mata berkaca-kaca, bukan kalimat itu yang ingin ia dengar, ia malah ingin Aira marah padanya memintanya untuk memilih kemudian merebutnya dari Syifa. Al menggeleng, dia tak akan pernah mengejar sesuatu yang sudah sempat ia lepaskan.
Al menarik Aira ke dalam pelukannya, rasa nyaman ini yang selalu ia rindu, peluk nyaman ini yang selalu ia inginkan. Al hanya butuh Aira, dia hanya butuh sosok itu berada di sisinya, dia tidak butuh yang lain.
"Jangan beratkan langkahmu. Hanya karena aku mengandung anakmu, bukan berarti hatimu untukku." Terasa menyakitkan memang, tapi itulah kenyataannya, justru jika segala kebohongan yang sempat Al lakukan menambah kebohongan lain, rasanya pasti akan semakin menyakitkan.
Al menggeleng. "Aku sayang sama kamu."
"Sayang itu kayak perasaan kamu ke Umi, Abi, ke Zahra, ke orang-orang yang ada di sekitar kamu mengisi beberapa hal dalam hidup kamu. Aku sama sekali nggak spesial Mas kalau ternyata di hati kamu bukan aku, sebatas sayang kamu bisa sayang pada siapa saja. Tapi kalau cinta? Cinta selalu terpatri pada sosok yang benar-benar kamu inginkan." Aira menelan ludahnya dengan susah payah, bulir bening mengalir membasahi pipinya. Hatinya terasa sesak dan Aira sedang tidak bisa berpura-pura.
Al semakin mengeratkan pelukannya, setiap kata yang keluar dari bibir wanitanya bak belati yang siap mengulitinya, rasanya sungguh menyakitkan.
"Jangan pernah meminta aku pergi dari sini."
"Nggak ada yang meminta kamu pergi, aku cuma mau kamu nggak menyesal karena menghabiskan sisa hidup dengan orang yang nggak kamu cinta." Aira ingin lebih sadar diri, di mana posisinya saat ini.
Al kembali menggeleng. "Sejak aku menikahimu, nggak ada satu kalipun aku merasa bahwa kamu adalah pilihan yang salah. Aku akan berusaha mencintaimu."
Aira melepas pelukan itu, dia menatap manik mata milik Al. Tangannya terangkat memegang pipi kanan Al. "Cinta yang tumbuh untuk dia itu secara alami, rasanya pasti beda dengan yang dipaksa." Fakta bahwa ada pernikahan antara Al dan Syifa membuat Aira terus berpikir dua kali, termasuk soal mempertahankan rumah tangga.
Al menggeleng, dia sedang berupaya untuk mengenyahkan segala perasaan untuk Syifa, dia menemukan berbagai hal dalam diri Aira yang tak pernah ia temukan di dalam diri wanita lain dan itu cukup bagi Al merasa bahwa dia beruntung, merasa bahwa Aira adalah sosok yang pas untuk bersamanya menjalani hari tua.
Jatuh cinta tak pernah salah, Al yang salah karena banyak berbohong dengan dirinya sendiri.
***
Setelah pembicaraan penuh air mata tersebut, Al kekeuh kalau dia tak akan pernah berpaling dari Aira. Sepanjang malam laki-laki itu tidur sambil memeluk erat tubuh ringkih berisi dua nyawa yang sangat ia sayangi tersebut. Hal itu bukannya membuat Aira merasa nyaman, tapi malah overthinking, apa Al juga memeluk tubuh Syifa dalam tidurnya?
Apa yang sudah Al lakukan selama dirinya tidak pulang dan menghabiskan waktu bersama Syifa? Semua itu menghantui Aira karena bagaimanapun ada akad antara suaminya dengan wanita lain. Aira tetaplah seorang wanita, semua ini menyakitinya. Ia kira berlandaskan kepercayaan, dia akan tetap tenang meski Al tak pulang dalam tiga hari, seminggu atau bahkan sepuluh hari.
Namun kini rangkaian kepercayaan itu hancur dengan sebuah fakta yang tak pernah Aira sangka-sangka sebelumnya. Dia langsung hamil selepas mereka menikah, selama ini Aira memenuhi kebutuhan Al lahir dan bathin, dia juga berusaha untuk menjadi istri yang baik semampunya, berusaha mengurus rumah sebaik mungkin agar Al tetap menjadikan tempat itu tempat pulang ternyaman. Ternyata semua itu tak menjamin bahwa dia akan menjadi satu-satunya selamanya. Di pernikahan yang baru seumur jagung, dia harus dihadapkan dengan sebuah kenyataan bahwa dia harus berbagi suami dengan wanita lain.
Aira tak pernah membenci poligami karena bagaimanapun itu adalah sunnah yang Rasulullah jalankan. Namun dia tak pernah menyangka kalau dia akan menjadi bagian dari ibadah tersulit ini. Sedangkan dia bukan Aisyah yang mungkin memiliki keikhlasan lebih luas dari samudera, dia justru berharap bahwa dirinya akan berakhir seperti Khadijah yang menjadi satu-satunya bagi Rasulullah sampai akhir hayatnya. Karena Aira tetaplah wanita akhir zaman, dia tidak sekuat itu menerima jika suaminya harus berbagi kasih sayang dengan wanita lain yang bukan dirinya.
Suasana pagi di rumah sederhana itu tak terlihat sehangat biasanya. Bahkan atmosfer yang ada cukup membuat kulit tersengat sangking dinginnya.
"Kamu nggak harus masak Yang." Al baru turun dan mendapati Aira sudah sibuk di dapur, dia ingin bertindak seperti biasa namun Aira sepertinya enggan melakukan hal yang sama.
"Nggak apa-apa Mas, aku juga lagi pengen bubur ayam kok." Tapi Aira masih sangat sopan dan menghargai keberadaan Al.
Al mendekat lantas mencium pipi wanitanya. Dia menyandarkan diri ke tatakan kompor lantas memperhatikan Aira. Aira tersenyum diperhatikan seperti itu, mungkin jika dia masih belum mengetahui semuanya, dia akan merasa menjadi manusia paling di cintai di muka bumi ini.
"Kalau pengen bubur ayam seharusnya aku bisa bangun lebih pagi dan cariin buat kamu di belahan dunia mana pun."
Aira tetap terkekeh mendengar bualan Al, sudah berbulan-bulan dan suaminya itu masih tak kehabisan bahan untuk menggombal.
"Emangnya Mas mau anaknya makan yang nggak higenis? Kalau masak sendiri, selain aku bisa makan sepuasnya, kebersihannya juga terjamin." Aira menjelaskan, di suasana yang baik ini mungkin perasaan ingin membenci dan memaki Al harus dienyahkan dahulu. Aira harus bisa menyamai dan mengikuti permainannya.
Al mengelus perut sang istri yang sudah sedikit menonjol. "Beruntung banget anak aku, karena ibunya kamu."
Aira hanya menipiskan bibirnya kemudian kembali mengaduk kuah bubur ayamnya. Al masih setia memperhatikan gerak-gerik istrinya dalam jarak yang sangat dekat. Dia mungkin tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika dia menyakiti wanita ini.
"Mas duduk aja, nanti kalau udah mateng aku hidangin."
Al menggeleng. "Aku nggak mau melewatkan kesempatan ngelihat wajah cantik kamu kalau lagi serius begini."
"Nggak yakin deh kalau selama ini Mas nggak berpengalaman dalam dunia mendekati perempuan!"
Dan Al benar-benar terbahak mendengar penuturan istrinya itu.
***
Aira menghabiskan waktu membaca buku parenting sementara Al menghabiskan waktu dengan menempel di manapun Aira berada.
"Ra..." Al memanggil, padahal dia tepat berada di samping Aira.
"Hmm?"
"Sepuluh, dua puluh, lima puluh atau bahkan seratus tahun lagi aku masih mau begini sama kamu."
Aira jadi teringat dengan segala kebohongan yang Al tutupi darinya. Mampukah mereka? Aira tak akan pernah berangan-angan. Dia tak akan lagi berharap, karena sama seperti kata sahabat nabi Ali bin Abi Thalib, "aku sudah banyak mengalami kepahitan di dunia dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia."
"Kamu yakin mau melakukannya sama aku?"
"Al mengangguk, aku mau tetap berada di sisi kamu selamanya. Selama aku masih berada di dunia ini dan Allah masih memberikan pernapasan yang baik untukku."
"Maka jangan lagi pernah berbohong, rumah kehilangan tiangnya jika kamu berbohong. Bantu aku menopang atap kita dengan tetap jujur apa pun yang terjadi."
***
Uwawww
Ya begitulah ya guys!
Wanita-wanita kayak Aira ini nggak bakal ada di dunia nyata, di indosiar mungkin wkwkwkwk.
Tapi ternyata memaafkan orang lain adalah bagian dari membuat diri sendiri menjadi lebih baik.
Jangan lupa vote & comment!
See you...
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top