13. Mengetahui Segalanya
'Jika inginmu memang hati lain, maka kejarlah, bantu aku untuk tak terlalu sakit jika memang kita bukan akhir dari perjalanan ini.'
Al-Khawarizmi & Humairah
~Thierogiara
***
Usia kandungannya masih cukup muda, Aira tak akan menumpukan harapan apa pun pada janin di kandungannya, dia hanya terus berdoa pada Allah agar anaknya terlahir sehat jasmani dan rohani, menjadi penyejuk hati orang tua dan menjadi pengerat hubungan Aira dan Al. Sekarang Aira sudah mengerti kapan dia akan mual dan kapan dia bisa makan, jadwal mualnya biasanya di pagi hari dan malam sebelum tidur, siang hari seperti ini dia bisa menjalani kehidupan seperti biasa.
Hari ini kebetulan dia sangat ingin makan salad buah, karena asisten rumah tangganya sedang membereskan taman samping, maka Aira tak mau merepotkan nya, dia memotong sendiri buah-buahan yang ia peroleh dari kulkas.
Al masuk ke dalam rumah, dia meninggalkan begitu saja kopernya di ruang keluarga setelah itu berjalan menuju dapur, mendengar suara pisau dengan talenan dia yakin Aira ada di sana, karena tadi sempat melihat asisten rumah tangga ada di luar rumah.
Al langsung memeluk tubuh Aira dari belakang, menyelipkan kedua tangannya di balik lengan wanita itu.
"Mas?" Aira langsung berbalik.
"Kok pulang nggak bilang-bilang?" Kini posisi mereka berhadapan dengan Aira yang masih berada di dalam pelukan Al.
Al tak menjawab hanya mendaratkan ciuman di kening istrinya itu, satu hal yang selalu ia syukuri, masih bisa bertemu dengan orang yang dia sayang selepas pulang bekerja. Al benar-benar tak melepaskan Aira, dia bahkan semakin mengeratkan pelukannya.
Aira heran, hari ini pulang kerja Al mengenakan kaos dan celana training, padahal biasanya masih memakai seragam lengkap. Aira menelan ludahnya sendiri, dia ingin tetap berpikir positif, namun keadaan mamaksanya untuk tak begitu.
Aira mendorong tubuh Al.
"Aku mau selesaikan potong buah dulu." Lalu Aira langsung berbalik.
"Aku bantu." Al mengambil alih apel dan mangga kemudian mengupas kulitnya, sesekali dia memperhatikan Aira namun Aira malah tampak sangat fokus memotong buah.
Beberapa kali Aira menarik napas berusaha mengenyahkan segala pikiran buruknya, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan percaya pada Al, bahwa dia akan percaya pada Allah karena Al adalah doa yang sudah lama Aira panjatkan. Sesekali Aira melirik suaminya itu, kecurigaan ini sangat mengganggu hatinya karena bagaimanapun semua ini bukan yang pertama kalinya.
Aira menghadap Al.
"Mas kalau aku tanya sesuatu kamu mau jawab jujur nggak?" Sangat tiba-tiba dan Al langsung menelan ludahnya dengan susah payah.
"Tanya apa?" Al ikut menghadap ke Aira.
Aira memejamkan matanya sejenak, siap jika mungkin jawaban yang keluar dari Al bukan sesuatu yang ia inginkan.
"Kamu benar pulang kerja? Dari awal pernikahan kita, baru kali ini aku lihat kamu pulang nggak pakai seragam." Aira memusatkan perhatian pada manik mata coklat gelap milik Al, dia hanya ingin memastikan bahwa tidak ada kebohongan di antara mereka. Bagaimanapun rumah tangga ini bukan dijalankan hari ini dan besok, mereka sudah berjanji akan hidup berdua selamanya, sudah berjanji untuk menua bersama, jadi kejujuran adalah salah satu tiang yang akan terus menopang dan membuat keduanya menjadi kuat.
Al meletakkan pisau dan buah yang ada di tangannya. Dia memegang kedua bahu Aira.
"Maaf kalau aku nggak pernah jadi suami yang baik."
"Dari awal kita nikah sampai sekarang aku bahkan nggak menemukan celah pada diri kamu, semua yang ada di diri kamu adalah kebaikan dan aku selalu bersyukur dengan itu." Aira menjelaskan, Al adalah imam yang paling tepat dan membuat Aira merasa beruntung setiap harinya.
Al menggeleng. "Maafin aku."
"Maka jelaskan kenapa aku harus memaafkan kamu?" Meski mungkin itu akan menyakiti dirinya sendiri tapi Aira benar-benar ingin tahu, tak ada kata maaf yang tak beriring dengan sebuah kesalahan, Al meminta maaf pasti karena dirinya bersalah.
"Aku..." Al merasa tak sanggup melanjutkan kalimatnya, apa Aira akan tetap sama, apa Aira akan tetap menjadi istrinya yang selalu menyambutnya dengan senyuman jika dia tahu yang sebenarnya?
Aira masih menatap Al, menunggu kelanjutan kalimat suaminya.
"Hari itu calon suami Syifa nggak datang dan aku menggantikannya mengucap ijab qabul, sekarang Syifa juga istriku."
Bak disambar petir di siang bolong Aira seketika mematung. Fakta macam apa ini? Yang sedang mereka bicarakan Syifa yang datang tempo hari? Lantas Aira mengucap selamat atas pernikahan suaminya sendiri dengan wanita lain?
"Sayang, saat itu keluarga Syifa harus menanggung malu, undangan sudah disebar dan semuanya terjadi begitu saja, aku beneran sayang sama kamu, aku akan tetap di sini bersama kamu."
Aira melepaskan pegangan Al di bahunya. Dia menatap kosong sesuatu di belakang tubuh Al.
"Jadi kamu pulang ke rumah Mbak Syifa, Mas?"
Al mengangguk.
Aira juga mengangguk. "Aku mau istirahat dulu di kamar, Tiba-tiba rasanya capek banget." Aira ikut meletakkan pisau yang sebelumnya masih ada dalam genggamannya, beruntung dia tetap waras dan tak menusuk Al dengan pisau itu. Selanjutnya ia berjalan sembari mengelus perut menaiki tangga menuju kamar mereka.
Al mengacak rambutnya frustrasi, orang sesabar Aira juga pasti akan marah. Al mengembuskan napasnya gusar, sekarang Aira sudah tahu, Al mungkin hanya harus mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu didepak dari kehidupan istirnya itu. Sekarang Al benar-benar ingin memperjuangkan hidupnya dengan Aira, dia ingin lepas dari Syifa, semoga Allah memberi kemudahan.
***
Air mata Aira langsung tumpah begitu dia masuk ke kamar, dia memeluk erat dirinya sendiri di balik selimut, segala bayangan soal masa depan bahagia antara mereka dan anak mereka kelak pupus sudah, yang tersisa hanya sesak, sesak dan sesak.
Bagaimana bisa satu hati menampung dua cinta? Tidak akan pernah bisa dan Aira tak akan pernah siap jika harus berbagi suami dengan orang lain. Bayangan soal Al yang menginap di rumah Syifa benar-benar menyakiti Aira, mereka memiliki ikatan sekarang, Aira jadi sedikit menyesal karena menganggap persahabatan suaminya benar-benar murni.
Ya Allah...
Engkau selalu baik dengan rencana-Mu.
Mungkin aku harus kembali bersabar, mungkin memang aku harus terus memeluk luka-luka ini dan kembali mencoba berdamai dengan keadaan. Semuanya tidak mudah, tapi aku selalu yakin bahwa Engkau tak akan pernah memberi ujian melebihi batas kemampuan seorang hamba. Aku adalah hamba yang lemah, maka kuatkan aku ya Allah, tegarkan aku, yakinkan aku bahwa rencana-Mu selalu menjadi yang terbaik.
***
Sementara itu Al yang memang kelelahan ditambah tidak tidur semalaman, ketiduran di kamar tamu lantai satu, setelah dua jam tertidur akhirnya dia bisa membuka mata dengan sempurna. Al langsung berjalan cepat naik ke lantai dua, mungkin Aira sudah lebih tenang dan dia sudah lebih leluasa menjelaskan. Al membuka pintu kamar dan ternyata Aira masih membaca Al-Quran, lantunan ayat suci Allah itu memenuhi kamar. Al kembali menutup pintu dan memutuskan salat ashar terlebih dahulu.
Setelah selesai salat masih lengkap dengan sarungnya Al kembali menemui Aira, wanitanya masih duduk di atas sajadah sedang melamun, sekarang bebannya bertambah, Al tahu itu, dia lah yang menjadi sebab beban yang Aira miliki.
Al mengambil tangan Aira dan menciumnya. Dia hanya ingin menerangkan pada Aira bahwa dia benar-benar ada di sana untuk Aira.
"Aku menikah dengan Syifa tapi kamu harus tau bahwa tak pernah kamu pergi dari pikiranku setiap aku bersama dia. Aku murni hanya menolong keluarganya karena saat itu keluarganya meminta tolong, aku mengenal baik keluarga mereka dan sulit menolak permintaan itu. Aku nggak pernah bercanda sama pernikahan kita, kamu tetap satu-satunya untukku."
Aira menatap Al, masih bisakah dia mempercayai laki-laki itu setelah semua fakta yang terungkap hari ini?
"Maaf karena beberapa kali berbohong, tapi aku benar-benar takut kamu kenapa-napa, aku nggak mau kamu banyak pikiran."
"Itu karena anak kamu kan?" Dan pertanyaan itu Aira lontarkan sebab dia tak ingin besar kepala kalau Al masih menginginkannya.
"Karena kamu, Ra! Aku sayang banget sama kamu!"
"Tapi kamu cinta sama Mbak Syifa? Dari dulu aku nggak pernah percaya sama persahabatan antara perempuan sama laki-laki."
Al terdiam.
"Iya aku cinta sama dia." Al tidak mau lagi berbohong pada Aira. "Tapi seperti yang aku bilang aku serius sama pernikahan kita, saat melihat kamu aku yakin bahwa kamu adalah ibu yang tepat untuk menjadi ibu anak-anakku, aku yakin bahwa Allah Maha Baik karena mengirim kamu ke dalam hidupku. Aku selalu berusaha berhenti mencintainya dan menumbuhkan rasa itu untuk kamu. Sekarang aku bahkan sayang banget sama kamu."
Aira menggenggam tangan Al. "Kejar cinta kamu Mas, mumpung kesempatannya sebesar ini."
***
Duh! Itu hati apa baja sih Mbak Ai😂😂
Jangan lupa vote & comment!
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top