12. Bukan Pelukan Hangat itu

'Semesta punya rencana dan semua hal tak akan selalu berjalan sesuai inginmu.'

Al-Khawarizmi & Humairah

~Thierogiara

***

Konyol, dunia kadang memang tak tertebak dengan segala yang terjadi. Tiba-tiba saja Al menikah dengan Aira, selanjutnya mereka akan memiliki anak, lalu setelah itu Al malah menjadi suami Syifa, Al bahagia, namun juga tak mengerti bagaimana harusnya ia mengekspresikan bentuk kebahagiaannya. Lucu sekali, dia berpamitan pada Aira, namun kini pulang dengan Syifa karena perempuan itu menjemputnya. Ingin bertindak sama seperti sebelumnya pun rasanya susah karena memang keadaan sudah berbeda, mereka bukan lagi berstatus sahabat.

Al mengulurkan tangannya saat Syifa juga mengulurkan tangannya untuk bersalaman, dia sudah terlalu lelah untuk mengingatkan Syifa bahwa mereka harus kembali seperti dulu.

Al hanya diam, memasukkan kopernya ke dalam mobil setelah itu duduk tenang di kursi penumpang. Syifa tersenyum tipis, meski lelah wajah suaminya itu selalu tampak tampan.

Al memejamkan matanya dalam-dalam seolah ingin mengenyahkan segala pikiran dari kepalanya. Jujur sosok yang ia rindukan adalah Aira, namun juga terlalu malas memaksakan kehendak di saat seperti ini. Akan berdosa jika Al malah dzalim ke Syifa, bagaimanapun Syifa juga istrinya Al harus adil.

Tentu saja Syifa tidak akan mengantarnya ke rumahnya dengan Aira, wanita itu membawanya pulang ke rumah orang tuanya. Al benar-benar sedang sangat malas, rasanya tenaganya akan terbuang percuma jika dia mendebat Syifa, dia bahkan sudah melarang Syifa menjemput sebelumnya, namun karena memang Syifa keras kepala dia tetap melakukannya.

Syifa membuatkan teh untuk Al, kemudian memegang bahu Al memintanya duduk dulu.

"Aku siapin air hangat."

Rasanya Al sangat ingin mengumpat meski sebenarnya dia tak pernah begitu, kembali ia menarik napas menenangkan dirinya sendiri. Oke, sekarang mungkin memang dia harus memberi ruang pada Syifa melakukan tugasnya, lagipula di rumah Aira pasti sedang lelah, Aira harus banyak istirahat mengingat ngidamnya sangat tidak biasa.

Al tetap meminum teh buatan Syifa, setidaknya kehangatan dari teh tersebut mampu membuat kepalanya sedikit lebih dingin. Dia menjadi lebih relax, akan sampai kapan begini? Merindukan Aira namun berpura-pura baik-baik saja di hadapan Syifa.

Sepasang bola mata itu menatap ke layar benda pipih berwarna hitam legam yang ada di genggaman, Al sedikit meremas ponselnya, setiap melihat wajah bahagia Aira dalam foto pernikahan sederhana mereka rasanya Al sedang menyakiti diri sendiri. Perlahan-lahan, kini segala luka yang Aira terima membuatnya juga tersakiti.

Al berjalan naik menuju kamar Syifa, dia harus mandi sekarang, setelah itu mencari cara untuk pulang ke rumah Aira, memeluk wanitanya dan menyalurkan rindu yang tertabung selama tiga hari ini.

"Udah siap." Syifa memberikan senyuman terbaiknya namun Al memutuskan abai karena memang dia tidak sedang butuh itu. Dia hanya butuh menyegarkan dirinya dan menemui Aira dengan keadaan yang lebih baik.

***

Al sudah rapi dengan kaos dan celana training panjangnya, perlahan memang fashion kawula muda telah beralih dari celana jeans ke training, karena menurut Al celana training cukup stylish untuk dikenakan ke manapun, selain itu bahannya juga nyaman. Dia memasukkan seragamnya ke kantung tempat baju kotor untuk dibawa pulang, biar dicuci di rumahnya saja.

"Tinggalin di sini aja, biar aku cuciin." Syifa memberitahu, di rumah itu juga ada asisten rumah tangga.

"Nggak perlu." Al menjawab singkat, bukannya apa-apa, asisten yang bekerja di rumahnya sudah lebih tahu bagaimana memperlakukan seragam Al dan ya untuk sesuatu yang Al sayangi dia tak akan pernah sembarangan.

Hati Syifa sakit, dulu Al tak pernah sedingin ini, dia selalu sehangat mentari pagi yang memiliki perpaduan luar biasa dengan embun. Syifa menghela napas, dia tidak ingin ada yang berubah, namun nyatanya rasanya tetap tak sama.

Al memasukkan kantung berisi pakaian kotornya ke dalam koper kemudian bangkit dan menggeret kopernya. Syifa langsung mengunci pintu kamar, Al menatapnya datar, sampai saat ini pun dia masih tak mengerti entah kenapa dia selalu kesal jika melihat wajah Syifa padahal tidak seperti itu sebelumnya.

"Gue mau ketemu Aira," ujar Al tanpa menatap wajah Syifa, dia terlalu lelah untuk bertengkar sekarang.

"Kamu paham kan Kaw, aku juga istri kamu, kamu harus adil." Syifa menatap sang suami dengan mata nanar, dia bukanlah wanita kuat, sekarang dia hanya sedang berusaha menguatkan diri sendiri dan menahan diri untuk tidak marah-marah.

Al menghela napas.

"Dan lo sendiri tau, gue melakukan ini semua karena menolong keluarga lo, tugas gue udah selesai dan sekarang ada seorang istri yang harus gue bahagiakan." Sebisa mungkin Al menahan diri agar tidak luluh. Dia paling tidak bisa melihat air mata Syifa, maka sebisa mungkin ia tak melihatnya.

"Kamu nggak boleh pergi."

"Tapi sejak awal gue memang nggak pernah tinggal di sini."

Syifa memejamkan matanya, dia bisa terima sikap Al belakangan yang sama sekali tidak ia kenal. Namun mampukah ia bertahan?

Sepersekian detik keduanya hanya saling menatap, Al berusaha untuk mendobrak pertahanan yang Syifa buat agar dia bisa keluar dari sana, sementara Syifa berusaha bertahan sekuat tenaga dan meyakinkan Al jika dia juga merupakan tempat pulang.

"Kamu yakin nggak cinta sama aku? Apa sayang yang dulu pernah ada pas kita jadi sahabat benar-benar udah hilang Kaw? Kamu benar mas Al nya Aira sekarang?" Syifa sudah lebih tegar sekarang, lagipula jika dia terus lemah maka dia akan selalu kalah dengan semesta.

Al menatap Syifa, rasanya dia ingin meneriakkan jawaban di telinga Syifa bahwa iya! Dia memang mencintai Syifa, tapi sudah terlambat untuk merealisasikan cinta itu, keadaan berubah banyak, beberapa jiwa sudah ikut terlibat dan Al tak akan pernah menyakiti jiwa-jiwa yang telah terlibat dalam hubungan rumit ini, terutama Aira.

"Gue mau pulang, gue punya rumah." Al yang memang sudah lelah sebelumnya berkata dengan tidak semangat.

"Kamu lupa kalau aku juga rumahmu."

"Sadar Fa!"

Syifa berjalan mendekat lantas mengangkat tangan Al di mana di jari manis tangan kiri laki-laki itu ada cincin pernikahan mereka.

"Kamu yang harusnya sadar!"

***

Kembali kalah, kembali ia berlindung di balik selimut yang sama dengan seorang wanita yang tak pernah ia inginkan berada di situasi yang sama dengannya. Al akan pulang pagi ini, sebelumnya karena merasa sudah sangat lelah Al memutuskan untuk tetap tinggal, setidaknya sampai mentari kembali menyapa bumi.

Al menoleh, sosok yang tertidur pulas di sebelahnya ini masih sama dengan sahabat yang ia kenal sejak duduk di bangku SMA, sosok yang sama yang sejak tiga tahun belakangan masuk ke dalam daftar wanita idamannya, sosok yang sama yang mampu membuat Al jatuh hati pada mahluk bernama wanita. Syifa adalah cinta pertama Al, namun tak berhasil membuat Al merasa bahwa sekarang dia beruntung karena menikah dengan sosok yang memang ia cintai.

Sepasang mata di kegelapan malam itu memejam sejenak, dia mungkin masih memiliki perasaan untuk Syifa namun kini pikirannya hanya dipenuhi oleh Aira, Aira dan Aira. Setiap hari Al berusaha mengenyahkan perasaannya terhadap Syifa dan berusaha menumbuhkan rasa cintanya untuk Aira.

Al menatap ke ponselnya, pesan terakhir dari Aira membuatnya terjaga malam ini meski sebenarnya ia sangat lelah.

Aira :

'Aku tidur duluan ya Mas, tadi sempat mual, kayaknya si baby kangen abinya deh🤭 uminya juga😗'

Tawa kecil lolos dari bibir Al, istrinya itu sudah mulai berani ternyata. Mentari semakin menyingsing, kamar itu benar-benar dikunci dan Al tak bisa keluar dari sana jadi pagi ini dia terpaksa salat subuh di rumah.

Al bangkit, mencari keberadaan kunci yang Syifa simpan, bagaimanapun dia harus pulang, satu fakta bahwa Aira merindukannya sangat menganggu pikiran Al.

"Cari apa?"

"Biarin gue pulang."

"Ini rumah kamu."

Al memejamkan matanya. "Aira ngidamnya nggak biasa, dia sempat kekurangan cairan, dia mual dan muntah setiap pagi dan malam sebelum tidur. Dia butuh gue, untuk yang kali ini gue mohon pakai perasaan lo sebagai sesama wanita." Al benar-benar habis kesabaran.

Syifa terdiam, Aira adalah gadis baik, bahkan Syifa menyesali keadaan, kenapa harus sosok sebaik Aira yang harus terlibat dalam hubungan rumit ini?

"Kamu cinta kan sama aku?"

"Iya, gue sempet punya perasaan buat lo dan sekarang perasaan itu masih sama, tapi lo sendiri yang membuat keadaan kita jadi begini, lo sendiri yang ngebuat gue akhirnya mantep buat nikah sama orang lain. Lo sendiri yang terus berlindung di balik topeng bernama persahabatan, lo yang membatasi gue untuk tetap berada di tempat gue sebelumnya. Kita nggak lebih dari sahabat Fa, inget itu, itu yang lo dulu selalu bilang! Keadaan udah beda! Gue punya Aira dan calon anak gue, gue nggak mau egois, memperjuangkan cinta sementara harus ada hati yang terluka. Gue banyak melakukan kesalahan di dunia ini dan gue nggak mau melakukan kesalahan ke Aira."

Syifa meresapi setiap kata dan kalimat yang mengalir lancar dari sosok di hadapannya. Benar, semua yang Al katakan benar dan Syifa memang pernah sebodoh itu.

Tanpa kata Syifa bangkit dari tidurnya, dia berjalan menuju pintu kemudian membuka pintu kamarnya membiarkan Al keluar dari sana, berusaha mengikhlaskan segala luka hati yang terjadi karena perbuatannya sendiri.

***

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Mohon maaf lahir dan bathin semuanyaaa!

Selamat berlebaran, selamat berkumpul dengan keluarga tersayang.

Semoga amal ibadah kita di bulan suci ini diterima oleh Allah SWT.

Tak lupa pula kita doakan saudara-saudara kita di Palestina semoga semuanya diberikan kekuatan dan ketabahan menghadapi semua ini.

Semoga ramadhan ramadhan berikutnya kita semua menjadi lebih baik lagi dan keadaan dunia juga menjadi lebih baik lagi.

Sekian.

Jangan lupa vote & comment!

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top