50.
Karena aku makin khawatir karena tidak mendengar kabar dari ayah dan kini dalam kesempatan saat suster membawakanku sarapan aku pergi untuk menyelinap keluar dengan lebih dulu menyalakan kran didalam toilet agar suster pikir aku berada didalam. Berjalan terburu-buru agar aku tidak ketahuan dan kini aku bersembuyi didalam ruang ganti petugas rumahsakit dan mengambil jaket sebelumnya dengan perlahan aku membuka jarum infusku dan aku plaster yang kebetulan dalam ruangan ganti ada beberapa peralatan obat-obatan. Aku mengambil topi serta masker dan kini aku keluar dari rumahsakit dengan melewati tangga darurat.
Tak perlu waktu lama karena nyatanya didalam jaket ada dompet sang pemilik yang membuatku bisa pergi dengan memakai bus. Setelah beberapa saat aku sampai dibengkel ayah. Hal yang tidak menyenangkan terlihat, ada garis polisi disana dan aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Rasa khawatirku serasa mencekikku dan kini aku langsung berlari menuju rumah.
Dan yang kulihat tidak bisa kupercayai. Foto ayah berada diruang tengah dan Nathan yang orang lain tengah repot untuk upacara kematiannya. Dimana ibu dimana om? Kenapa aku tidak tahu dan ini terjadi kapan? Karena sepertinya pemakaman sudah selesai peziarah sudah tidak ada yang berlalu lalang dan Nathan terlihat kaku saat melihatku datang.
"Dean apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya langsung memintaku duduk karena kakiku terasa lemas dan tanganku gemetaran.
"Apa yang terjadi kepada ayah. Dia....." aku tidak percaya dengan apa yang kulihat dadaku terasa sesak tiba-tiba dan aku kesulitan untuk bernafas.
"Dean tenang, bernafaslah pelan-pelan. Dean......." Nathan berusaha untuk membuatku tenang dan memintaku untuk bernafas perlahan. Tapi aku tidak mengerti dengan apa yang kulihat.
"Om kecelakaan kerja dan dia meninggal ditempat," jelas Nathan dan aku tahu dia berusaha menipuku. Tidak mungkin kecelakaan kerja seperti pada umumnya karena aku melihat garis polisi dan itu pasti sebuah kasus.
"Jangan berbohong padaku, yak......." pekikku terus memukul mukul kepalaku tidak bisa menerimanya. Om Airlangga kemarin mengancamku apa ini semua berkaitan dengannya.
"Dean tenang, Dean jangan seperti ini," Nathan terus membuatku tenang dan kini penyesalan yang harus aku terima. Aku berjanji untuk pulang dan membawa ibu tapi sekarang melihat ayah meninggalkanku lebih dulu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa menerimanya bahkan alasan tentang kematiannya.
"Kenapa tidak ada yang memberitahuku, dimana ibu?" aku menarik kerah baju Nathan ingin sebuah penjelasan kenapa ibuku bahkan tidak datang. Walaupun pemakaman sudah selesai setidaknya dia masih ikut berduka dan harusnya membantu Nathan untuk membersihkan rumah.
"Dia tidak datang," balas Nathan dengan nada rendah dan itu langsung membuatku makin marah. Kenapa dia begitu tidak peduli. Ayah tidak punya sanak saudara bahkan sekarang harus merepotkan Nathan. Setidaknya ibu harusnya punya rasa kasihan. Memberitahuku atau mau repot sedikit saja.
"Dan saat aku ingin mengabarimu untuk upacara pemakaman aku tidak mendapatimu mengangkat ponselmu jadi maafkan aku Dean karena harus segera melakukan pemakaman," Nathan meminta maaf, tapi bukan itu alasan aku marah. Bukan karena aku tidak hadir tetapi kenapa ibu menutup mata. Aku putra ayah bahkan aku belum sempat meminta maaf karena dosa-dosaku pernah membencinya. Hal terakhir yang kuingat saat dia memberikan sarung tangan hangatnya padaku dan sekarang aku melihatnya tersenyum dibalik foto terbingaki kaca.
"Kenapa ini begitu kejam?" tanyaku kepada Nathan masih didalam isak tangisku. Nathan hanya diam dan menepuk pelan punggungku.
"Nathan, aku merasa aneh, hatiku sangat sakit. Aku tidak tidak punya energi sama sekali sekarang, aku tidak bisa berteriak karena keadaan sulit seperti ini. Aku sangat rusak tidak berdaya semua mempermainkanku, dadaku terasa penuh, rasanya sangat sesak dan aku tidak tahu harus bagaimana?" Aku menatap mata Nathan, dia pernah kehilangan orang yang paling dicintai dan kini dia hanya melihatku agar aku lebih tegar. Dia tidak berbicara apapun dan hanya mencoba mendengarkanku.
"Nathan, apa menurutmu dunia ini indah? Aku punya pertanyaan yang selama ini menggangguku, bukannya diumurku yang sekarang harusnya aku bahagia dan tidak mencemaskan apapun, tapi kenapa ini begitu buruk?" Tanyaku lagi karena aku tidak mengerti, dulu aku membenci ibu dan berpihak pada ayah. Dan tiba saatnya aku mulai menyukai ibu dan membenci ayah. Tapi sekarang kudapati hal lain dimana rasa maafku nyatanya tidak didengar.
"Nathan, aku ingin berhenti. Aku sudah hidup untuk kedua kalinya tapi aku ingin menyerah lagi hari ini. Aku ingin berhenti pura-pura baik dan kuat. Padahal aku sudah bekerja keras selama ini tetapi kenapa dunia sangat jahat padaku?" aku menangis sesegukan dan Nathan kini masih setia mendengarkanku sembari mengusap airmataku.
"Aku sudah muak, mereka mempermainkanku. Berbicara seolah-olah semua untukku. Tapi kenapa aku harus bersedih, aku tidak mau. Aku ingin bahagia, coba katakan kalau aku seharusnya bahagia dan ini tidak benar karena menimpaku. Katakan Nathan....." aku berteriak dan kali ini Nathan langsung memelukku agar aku lebih tenang.
"Aku ingin bahagia, ini terlalu sakit, hiks....hiks...." tangisku lagi didalam pelukan Nathan.
"Kalau kamu tidak tahan larilah, kejar kebahagianmu sendiri tinggalkan mereka dan katakan jangan kalau kamu tidak ingin, Dean harus bahagia, Dean layak untuk bahagia," Nathan menepuk pelan punggungku dan kini aku melihat sosok yang ingin kutemui selain ayah. Tristan datang dengan senyumannya. Mungkin Nathan memanggil nya alih-alih meminta Adam.
Tristan langsung berjalan kearahku dan kini pergi untuk memelukku menggantikan Nathan.
"Jangan pikirkan apapun Dean, aku sudah ada disini untukmu," bisik Tristan dan kini mengecup keningku. Aku merasa lelah aku tidak punya tenaga lagi untuk meronta dan menangis. Tapi didalam dekapan Tristan aku seolah hidup kembali. Tetapi hal mengerikan lainnya harus datang dirumah. Dimana rasa sopan santunnya?
Om datang dan kini melempar semua bukti tentang insiden penembakan 7thn lalu. Berkas usang itu sengaja dia tunjukkan kearah Tristan. Sebegitu bencinya dia dengan Tristan.
Apa om waras? Tanah pemakaman ayah belum kering dan lihat apa yang di lakukannya. Dia menyeringai dihadapanku dan dibelakangnya masih setia ibu untuk mendampinginya. Setidaknya terlihat sedih untuk beberapa jam saja alih-alih terus memperdebatkan Tristan adalah seorang pembunuh. Meminta Tristan ditangkap? Ayolah kalian sungguh tidak manusiawi.
Tristan kaku karena dia melihat apa yang ingin diperlihatkan om Airlangga padanya. Foto foto dari rekaman cctv dengan cetakan paling bagus terlempar tepat didepannya dan kuyakin Tristan pun melihatnya dia memegang pistol dan mamahnya terjatuh bersimbah darah.
"Apa om tidak punya hati nurani?" tanyaku marah dan kini memilih menggandeng Tristan untuk menjauh dari orang-orang yang tidak punya perasaan. Berjalan cepat melewati gang-gang agar lekas sampai dijalan besar dan aku bisa membawa Tristan pergi sejauh mungkin agar om tidak bisa mengejar.
Tapi sampai dijalan besar Tristan berhenti dan aku tidak bisa membawanya berjalan lagi. Aku melihat matanya yang masih terlihat sangat kosong.
"Kakak," aku mengusap pipinya agar dia melihat mataku.
Jlammmmd
Aku melihat mobil mini cooper melaju cepat kearahku. Dan sepertinya pengemudi sengaja untuk mencelakai orang lain karena dia pun sempat menabrak pemotor dan masih melaju kencang. Mendengar suara keras Tristan tiba-tiba bergetar dan menangis. Apa mungkin dia akhirnya mengingatnya? Tapi hal yang perlu kulakukan sekarang adalah menyelamatkannya alih-alih bertanya keadaannya.
Aku hendak menarik Tristan menyingkir tetapi dia terlalu kuat. Aku mencoba mendorongnya tetapi aku tidak punya tenaga.
"Tolong......!!" teriakku karena aku melihat Nathan berlari kearahku. Memintanya agar segera datang dan membantuku untuk membawa Tristan pergi. Karena laju mobil terlalu cepat bahkan tidak terdengar sekalipun orang itu menginjak rem kini aku memutuskan untuk memeluk Tristan. Berharap ada hari lain yang lebih indah untuk kami berdua. Karena tidak ada dosa yang tidak bisa dimaafkan.
Chup
Aku mengecup bibir Tristan,
"Aku mencintaimu kak," bisikku ditelinganya dan kini aku memeluknya kembali.
Tubuhku terasa ringan dan melayang keudara, aku pun melihat Tristan terseret diaspal.
Brak.....
Aku terhempas diatas atap mobil sebelum aku akhirnya terjatuh di aspal. Teriak orang-orang yang melihat sempat membuatku yakin kalau ini sangat nyata.
Sttttt
Aku bersimbah darah menatap Tristan, berusaha datang menghampirinya dengan sisa tenagaku. Merangkak agar lekas sampai untuk memegang tangannya. Tapi dengan susah payahpun aku tidak bisa menggapai tangannya. Dan sekarang aku hanya melihat langit begitu sangat gelap dan siap runtuh dihadapanku.
.....
7tahun lalu,
"Kenapa kamu harus ikut campur dalam bisnis papah?" tanya Airlangga kepada Tanu langsung dengan penuh amarah di toko perhiasan milik Ara adiknya.
"Aku tidak ikut campur, aku hanya menurutinya untuk mengambil bagian dan aku tidak percaya bahkan bisnis yang tidak aku kuasai pun nyatanya berpihak padaku," Tanu bersikap sombong pada awalnya. Dia tidak berniat ambil bagian dimana saham Ara isterinya Tanu gunakan untuk uji coba kemampuannya. Tapi karena Tanu sangat gigih dan kini usaha nya tidak sia-sia.
"Pergilah jadi dokter saja seperti apa yang kamu lakukan diawal. Jangan ikut campur dalam bisnis," pinta Airlangga karena tidak mau karier bisnisnya tergeser karena Tanu datang bahkan papahnya sangat percaya dengan apa yang dikerjakan Tanu dan seolah-olah membuat persaingan didalam keluarga yang sangat sengit dan akhirnya membuat salah satunya merasa dirugikan. Airlangga menuntut waris sampai akhirnya orangtuanya meninggal tapi yang dilakukan Tanu malah mengakusisi perusahan karena memang terancam bangkrut.
"Kakak, Tanu hanya berusaha agar perusahaan papah tidak bangkrut dan harus mengistirahatkan semua kariawan," balas Ara. Karena bila tidak dilakukan perusahan papahnya akan gulung tikar dan kariawan dipaksa berhenti. Tetapi karena diakuisisi nama perusahaan harus diganti agar para investor mau menanamkan saham jadi itu yang dilakukan Tanu untuk memperbaiki masalah.
"Kalau itu benar, berhenti sekarang biar aku yang ambil bagian" teriak Airlangga tidak terima dan kini mengambil kerah baju Tanu dan keduanya siap berkelahi. Airlangga pun punya bisnis yang juga tidak kalah besar. Dia menginginkan perusahan papahnya untuk saat itu. Memintanya langsung kepada Tanu tapi tidak dengan cara yang baik.
"Aku ingin melindungi keluargaku setidaknya Tristan tidak akan kesulitan saat besar nanti aku tidak mengambil bagianmu jadi kalau kamu ingin mengambilnya berusahalah pergi untuk lebih tinggi dariku, dan aku tidak akan meminta maaf karena aku tidak salah. Aku berusaha sendiri dengan saham bagian Ara tidak meminta dari papah dan waktu perusahan bangkrut bukannya kamu ada disana? Apa yang kamu lakukan, dasar tidak bertanggungjawab! Aku hanya berusaha bersikap selayaknya perusahaan rintisan jadi aku tidak akan memberikan perusahan padamu!" Tanu ingat dia punya putera yang perlu dijaga untuk kariernya dimasa depan. Karena Tanu tahu Tristan tertarik dibidang seni lukis seperti mamahnya. Karena Tanu tidak mau mengekang puteranya dia berinisiatif mengumpulkan semua pundi-pundi uang dan banyak saham agar puteranya tidak kesulitan finansial kalau apa yang disukai nyatanya tidak membuatnya berhasil. Hanya itu keinginan Tanu. Tetapi Airlangga tidak terima.
Airlangga melempar vas kearah Tanu dan disitu Ara berniat menyelamatkan suaminya. Perkelahianpun tidak terelakkan dan kepala Ara mengucur darah segar. Waktu itu Tristan kembali dari sekolah dan mendapati papahnya berkelahi dan mamahnya terluka. Tristan berlari hendak membantu tetapi dia didorong oleh papahnya untuk menjauh tetapi karena melihat papahnya terus dipukul Tristan mengambil pistol yang ada disaku satpam yang berusaha melerai. Dan.....
Dor
Satu tembakan melayang dan disana mamah Tristan sengaja berlari kearah suaminya dan kakaknya yang sedang bertengkar.
"Mamah......."
"Tidak apa-apa sayang, Tristan tidak salah,"
"Sayang bertahanlah kita kerumahsakit," Tanu hendak menggendong isterinya tapi Ara menolak.
"Jaga Tristan dan jangan buat pupus mimpinya. Aku baik-baik saja," keluh Ara disisa nafasnya dan kini Tristan pun yang mendapatkan guncangan langsung pingsan.
........
Aku membunuh mamah dan itu kenyataannya,
End......
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top