49.
Om Airlangga mengancamku. Nyatanya orang tenang seperti air tidak menutup kemungkinan kalau dia lebih jahat dari dugaan. Mudah sekali berubah dan kini aku melihat sendiri apa yang ada dibalik topeng. Dia siap menenggelamkan orang yang menghalangi tujuannya.
"Bawa ibumu kembali kalau dia menangis," itu pesan ayah saat aku datang dan sekarang aku yakin kalau perasaan khawatir orangtua nyatanya tidak bisa diabaikan. Karena bukan ibu yang menangis tetapi aku. Ibuku menjadi monster, membuatku yakin ibu tidak akan pernah kembali saat dia menangis karena kutahu nyatanya ibu pun menikmati semuanya. Aku melihat langit yang gelap dibalik jendela yang sengaja terbuka. Begitu gelap dan itu seperti gambaran hatiku bahkan Adam pun sepertinya siap menjelma menjadi petir untuk menghancurkan semuanya. Dia menyukai Tristan? Dan bahkan menyombongkan bagaimana dirinya dulu terus bersamanya dalam waktu lama. Menyembunyikan dari orangtuanya yang begitu membenci, aku meragukan cinta itu karena mungkin Adam hanya ingin memukul orangtuanya. Dia tidak punya apa-apa untuk dikatakan. Berjuangpun dia tidak lakukan. Disaat aku mulai berfikir untuk menyelesaikan masalah yang mungkin menyakiti Tristan ada seseorang diluar yang mengendap-ngendap untuk masuk.
Aku mendengar suara pintu tergeser spontan aku meliriknya karena ibu baru saja pamit untuk pergi mengecek pasien lain. Dan aku harus menunggu om atau Adam kembali karena keduanya pun sedang dalam keadaan tidak baik. Sebenarnya akupun tengah menunggu kabar dari ayah. Sedari tadi ponselnya tidak aktif. Aku merasa ancaman om tidak boleh diabaikan.
"Malam sayang," Tristan datang mengunjungiku tengah malam. Dia sengaja menyelinap untuk menjengukku. Matanya berkaca-kaca setelah melihatku.
"Kakak," aku kaget serta sangat senang. Akupun menyambutnya karena akupun sangat rindu. Dia datang mengecup keningku dan langsung duduk disampingku memelukku erat.
"Apa kamu terluka lagi. Kenapa ada perban dilenganmu?' tanyanya menginterogasi.
"Tergeser saja tidak apa-apa kak," jawabku agar dia tidak terlalu khawatir.
"Lain kali hati-hati eoh. Aku tidak bisa menjagamu 24 jam disini. Mereka terlalu ketat," keluh Tristan yang harus pergi diam-diam untuk menjengukku. Aku mungkin tidak menyesal karena memilih ikut dengan ibu dan akhirnya bisa mengetahui hal buruk karena aku bisa bertemu Tristan. Tapi tragedi yang akan menimpa Tristan aku tidak bisa menerimanya. Pasti ada alasan dibalik itu semua bahkan Tristan pun melupakannya pasti itu sangat melukainya.
"Sekarang ada ponsel kakak jadi tidak perlu khawatir karena menungguku berkirim surat. Kakak harus segera pergi sebelum yang lain tahu kalau kakak datang, Dean akan hati-hati jadi kakak juga harus menjaga diri kakak jangan terluka seperti pesan om Tanu," aku hendak mengusir Tristan karena aku tidak ingin kata-kata menyakitkan keluar dari mulut orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Terlebih om bahkan Adam kemungkinan akan datang sewaktu-waktu.
"Sebentar saja, aku mengkhawatirkanmu serta sangat merindukanmu," Tristan memegang tanganku dan kini menepuknya lembut. Matanya sangat hangat dan aku senang saat ini. Kepenatan dalam hati ini sungguh terobati.
"Bagaimana om Tanu, apa dia baik?" tanyaku karena dia tidak dalam kondisi yang baik juga. Baru saja menyelesaikan masalah Sea kini harus menghadapi iparnya yang sangat jahat.
"Papah jangan ditanya, dia adalah pria paling kuat jadi dia sangat baik. Malah papah sedang menungguku diparkiran, dia tidak memperbolehkanku membawa montor," balas Tristan dan kini mengusap pipiku.
"Kakak juga harus menjaga diri kakak, Dean baik disini. Dan pergilah sebelum ada yang melihat," bisikku ditelinganya karena aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Itu pasti ibu atau Adam bahkan om.
Tapi belum sempat Tristan pergi nyatanya mereka lebih cepat dan kini masuk. Aku meminta Tristan untuk pergi bersembunyi di toilet yang ada dikamarku.
"Dean tidak tidur?" tanya ibu yang tengah membenarkan selimutku.
"Dimana ayah, apa ibu tidak memanggilnya?" tanyaku karena ayah tidak bisa dihubungi dan diapun tidak datang untuk melihatku.
"Coba nanti ibu lihat apa dia sedang sibuk bekerja," ucap ibuku agar aku tidak merasa khawatir. Tetapi setelah aku melihat tatapan om aku merasa pasti ancamannya tidak bisa diabaikan. Lalu apa yang terjadi pada ayah? Apa ibu juga pura-pura buta?
"Dean ingin ketoilet," aku menggeser tiang infusku dan kini aku pergi ke toilet yang Tristan pun ada disana.
.....
"Bagaimana cara kakak keluar?" aku bingung dan kini Tristan malah pergi memelukku.
"Jangan bergerak nanti selang infusnya terlepas lagi, aku senang akhirnya bisa memelukmu dengan nyaman seperti ini," bisik Tristan dan masih memelukku.
Tapi diluar tiba-tiba berisik karena Adam pun kembali dengan keadaan lebih marah dia tadinya tidak datang bersamaan dengan om bahkan ibu. Mungkin Adam masih tidak terima saat papahnya melarangnya dengan tegas dan akan mengurungnya jika perlu. Tapi yang kudengar nyatanya Adam memilih memberontak dan mengancam akan pergi ikut mamahnya pergi ke Jepang.
"Apa kau gila, apa jadinya kamu kalau pergi dengan wanita itu!!" terdengar om sangat marah dan tidak mengijinkan Adam pergi.
"Lalu kenapa papah tidak membiarkanku pergi dengan Tristan. Aku bisa pergi ke Amerika dan maafkan Tristan, ayolah pah lupakan masalalu itu. Toh Tristan tidak mengingatnya. Lantas papah ingin menghukum siapa? Bibi sudah tenang dan dia mungkin tidak akan menyalahkan Tristan," teriak Adam agar om melupakan kejadian itu. Bahkan tidak hanya dirinya yang merasa sedih telah kehilangan seorang adik tapi om Tanu kehilangan isterinya dan Tristan pun kehilangan mamahnya.
Mendengar Adam mulai membahas tentang insiden waktu lalu. Aku langsung menutup kedua telinga Tristan dengan telapak tanganku. Aku tidak ingin Tristan mendengar hal buruk yang pernah dia lakukan.
"Bagaimana Adam tahu, apa mamahmu memberitahumu?" tanya ibu. Kudengar suaranya sangat lembut tapi sangat mencekik.
"Adam tahu, aku membuka file yang disembunyikan papah," tegas Adam dan aku jadi panik sendiri agar Tristan tidak mendengarnya.
......
"Hey, aku tidak apa-apa Dean. Kalau memang aku yang menembak mamah aku hanya perlu buktinya agar aku bisa mengingatnya dan memohon ampunan. Tapi yang terjadi sekarang aku memang tidak mengingatnya," senyuman Tristan merengkah dan membuatku semakin tidak tega. Dia malah pergi memelukku lagi sembari mendengarkan perdebatan yang ada diluar. Dimana om menyayangkan kalau Tristan melupakan kejadian itu dan berlagak seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Aku harus keluar," aku tidak ingin mendengarnya lagi karena kutahu walau Tristan tidak mengingatnya tetapi tetap saja semua perkataan mereka sungguh kejam.
Tristan mencoba menghalangiku tapi aku mengancam akan mencabut selang infusku lagi dan kini meminta Tristan untuk menunggu didalam toilet.
"Apa kalian tidak mau berhenti?' tanyaku tidak percaya mereka bertengkar dirumahsakit.
"Menyiksa orang dengan pernyataan itu sama dengan membunuhnya," tegasku aku saja masih sakit melihat tentang ayahku dan masih mencoba berdamai, ibuku yang sangat menggelikan pergi menjual ginjal untuk hidup nyaman. Bahkan kedua pria yang terlihat baik diawal baru membawaku sebagai keluarganya tapi sekarang kulihat mereka pun menyerang.
"Dean tidak perlu ikut campur dan masuklah," pinta ibu tapi aku tidak terima. Itu terlalu menyakitkan, aku masih bisa melihat orangtuaku tetapi tidak untuk Tristan apa itu tidak kejam?
"Kenapa aku tidak boleh, om hendak menghancurkan kehidupan orang yang kucintai apa aku bisa menerimanya?"
"Dan ibu, tidak perlu ikut campur dengan masalah keluarga om. Pergi ikut mengancam itu juga tidak dapat dibenarkan. Lebih baik ibu melihat diri ibu sendiri apa yang sudah ibu kerjakan selama ini," ucapku lantang karena ibu pun sudah keterlaluan.
"Dean, jangan seperti itu kepada ibumu," om melayangkan tangannya. Iya aku memang terlalu ikut campur tapi melihatnya berani memukulku yang ayahku saja tidak pernah mencubitku aku hanya bisa melihat tangan besar itu hendak mendarat langsung di wajahku. Tapi nyatanya Tristan lebih cepat datang dan dialah yang menerima pukulannya.
"Kenapa harus memukulnya!!' Tristan kesal karena aku hampir saja mendapatkan pukulan.
"Tristan sejak kapan kamu disini?" Adam bingung karena Tristan tiba-tiba muncul dari dalam kamar rawatku.
"Ah, kalian nyatanya bermain dibelakangku. Sekali tidak tetap tidak!!' om terus memukul Tristan dan mengabaikan ku yang masih berada didalam pelukan Tristan.
Rasa kecewaku bertambah ketika mataku melihat ibuku yang memilih diam. Kenapa ibu hanya diam? Aku dipukul, kalau ayah melihatnya dia pasti tidak akan terima.
Tristan masih menerima pukulan yang bertubi-tubi dari om, Adam berlutut memohon agar melepaskan Tristan. Tapi itupun sia-sia tidak ada yang membantu sekalipun suara keributan memecah kesunyian malam sampai akhirnya om Tanu datang dan membuat om Airlangga berhenti.
"Dean masuk!!' perintah om Airlangga dan ibu menyeretku untuk masuk kedalam ruang rawatku dan kini menguncinya dari luar.
"Kumohon buka," aku meronta meminta agar pintu dibuka.
"Dean bertahan sebentar ya, aku baik-baik saja," aku mendengar suara Tristan yang nyatanya om Tanu memilih membawa Tristan pergi alih-alih membuat keributan yang lebih. Aku merasa lega karena Tristan tidak lagi mendengar kata-kata yang buruk tetapi kini yang aku dapatkan nyatanya tidak bisa aku terima. Aku yang menantikan ayah memanggilku karena aku meninggalkan beberapa pesan malah ibu pergi untuk mengambil ponselku.
"Apa dia benar ibuku? Kenapa aku harus dihukum karena kesalahan kalian?" rintihku menahan sakit dalam diriku. Dan aku sendirian didalam ruang rawatku.
........
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top