44.
Kita akhirnya tiba dikantor polisi dan sampai saat ini tidak ada yang menelponku dari orang rumah. Ini sudah lewat jam makan malam. "Apa mereka sungguh peduli denganku?" bahkan saat sampai di kantor polisi dan aku menelpon kembali tidak ada yang mengangkatnya. Kemana pergi semua orang dan parahnya aku tidak menyimpan nomer telpon rumah. Hanya nomer pribadi om, ibu, sopir dan Adam. Dan pantas saja sopir tidak bisa mengangkat telponya dia saja tertangkap. Tapi apa kesalahannya sehingga dia ditahan bahkan kalau tidak dengan bantuan om, sopir tidak bisa keluar dengan mudah.
Om sedang membantuku untuk berbicara dengan petugas polisi dan kini aku duduk diruang tunggu bersama Sea.
"Tetap disampingnya Tristan, Dean tidak boleh terkejut lagi!" pesan om sebelum pergi dan kini Tristan memberikan selimut karena dia tidak mau aku mimisan kalau kedinginan.
"Apa yang terjadi Sea sehingga papahmu harus tertangkap?" tanyaku dan Tristan masih disampingku.
"Dia mencuri, memang sudah kebiasaan tapi aku tidak mengerti kenapa harus surat-surat penting nya juga. Karena itu papahmu tidak terima dan pasti hukuman yang papahku terima tidak akan sebentar." Sea memberitahuku tapi aku bingung. Kenapa harus mencuri, gaji besar dan Sea tidak terlihat selalu meminta uang kepada papahnya. Malah diawal aku berfikir kalau Sea yang memang menjadi biang masalahnya. Menyulitkan orangtuanya dan terus saja pergi bermain. Lagi-lagi aku terlalu bodoh untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
"Papah itu penjudi, dan waktu kemarin dia pergi mencariku bahkan menyeretku agar dia lepas dari para rentenir yang akan memotong tangannya. Sebenarnya aku lelah seperti ini Dean, tapi mau bagaimana lagi dialah keluargaku satu-satunya," keluh Sea, aku tidak pernah melihatnya serapuh ini dan aku hendak pergi memeluknya agar dia lebih bisa menerima kenyataan ini, bersabar lebih tepatnya. Tetapi Tristan memang seorang yang pecemburu dan dia menahanku.
"Dean," suara Tristan mampu membuat siapapun tahu kalau aku harus menjaga sikap bahkan orang lain yang ada didekatku.
"Pacarmu, kukira kamu pergi jalan dengan Nathan?" tanya Sea tiba-tiba, karena dia awalnya mempercayai kalau aku tengah dekat dengan Nathan disekolah sehingga teman yang berniat melukaiku mengurungkan niatnya.
"Jadi selama ini. Ku kira aku melihat permainan disini," Sea tengah membuat masalah makin runyam dia berbicara seolah-olah kalau aku disekolah lebih dari teman bila bersama Nathan. Oleh karena itu membuat Tristan akhirnya mengucapkan hal yang pernah ku ingin tentang kepemilikan walau aku bukan barang aku senang bila Tristan bilang aku miliknya.
"Dean tidak akan pernah pergi dengan Nathan. Dia milikku, apa ada pertanyaan lain?" Tristan memang tidak tahu tempat dan langsung pergi memelukku mengabaikan Sea yang punya raut wajah yang kaget. Dan Sea pun menanggapinya tidak berlebihan dan memberikan senyuman untukku. Walau Tristan tidak sedang memberi lawakan garing tetapi Tristan mampu mencairkan suasana.
.....
Om sepertinya sudah selesai dan sopir kini juga diperbolehkan pulang dengan jaminan. Om Tanu yang menjaminnya semata-mata agar aku tidak kepikiran.
"Untuk masalah berkas-berkasnya yang sudah jatuh ketangan perusahaan lain itu memang perlu proses nanti tetap saya bantu jadi jaga sikap sampai masalahnya selesai karena ini tidak mudah. Airlangga tidak akan begitu saja melepaskanmu!" pesan om Tanu dan kini Sea serta papahnya berterimakasih dan pergi pamit.
Mudahnya bagi om menyelesaikan masalah. Mungkin karena itu om Tanu dan om Airlangga tidak pernah akur. Mereka sama-sama kuat dalam bisnis mereka dan memang terlihat dengan sekali laporan om Airlangga langsung membuat sopir tidak bisa berbuat apa-apa dan sekarang om Tanu hanya dengan sedikit koneksi langsung bisa menyelesaikan masalah walau tetap saja butuh proses.
Tapi kenapa ada orangtua yang masih saja suka membuat anaknya sengsara? Sea pergi untuk menjajakan dirinya untuk menutupi semua hutang papahnya. Dan......argh aku tidak mengerti dengan apa yang lihat sekarang? Prasangka buruk tentang Sea kini terbantahkan.
Aku masih sering melihat ponselku. Tidak ada yang menelponku sama sekali dan aku bingung harus pulang kemana? Mungkin kalau aku datang kerumah ayah aku pasti langsung disambut tapi aku tidak bisa datang begitu saja, aku masih trauma dengan malam itu. Dan bila aku pulang kerumah ibu aku pasti akan kesal dan berteriak.
"Kak, bisa panggilkan taxi? Dean tidak tahu caranya," pintaku karena aku tidak mau membuat perkara lain karena membawa om Tanu pulang. Aku ingin berjalan-jalan saja dengan taxi sampai ada orang rumah yang menyadari kalau aku belum pulang.
"Om yang akan antar. Om tidak bisa membiarkanmu pulang dengan keadaan seperti ini. Om perlu bicara dengan ibumu dan lihat, kenapa bisa mereka mengabaikanmu Dean. Ini sudah tidak benar!" om nyatanya lebih kesal dari dugaanku melihatku yang diabaikan. Dan kini om memilih mengantarkanku pulang. Tapi apa itu boleh?
.......
Sesampai dirumah ternyata ada kejadian yang tidak mengenakkan. Ada perempuan yang tak kupercayai kalau dia adalah mamahnya Adam. Dia sangat cantik dan begitu terlihat muda. Mungkin kalau dia dipakaikan seragam SMU masih terlihat pantas. Tapi kenapa suasananya tegang dia juga anggota keluarga kan? Dia mamahnya Adam. Atau mungkin karena aku bersama om Tanu jadi suasana makin tegang.
Saat melihat om Tanu, Rosa mamah Adam buru-buru ingin meninggalkan ruang tamu. Dan disitu terlihat juga om Airlangga yang baru turun dari tangga menginterupsi kalau Rosa memang tidak boleh ada disana.
Ada apa ini?
Ayolah aku sudah sering membenci ibuku. Tetapi kenapa seolah-olah mengajarkan Adam untuk membenci mamahnya. Aku tidak suka, karena terlihat sekali Adam begitu merindukan mamahnya.
Tetapi ada hal lain yang mengejutkan. Wanita cantik itu nyatanya tertarik padaku. Aroma wangi rose seperti namanya Rosa menyeruak didalam hidungku. Nafas beratnya menyentuh leherku dan aku mendengar sebuah rasa terimakasih yang amat dalam diucapkannya dengan tulus dan itu mendarat langsung untuk mencabik-cabik hatiku.
"Terimakasih karena membawa ibumu kesini, ginjal yang diberikan kepadaku sebagai ganti aku memberikan suamiku nyatanya membuatku hidup sampai saat ini,"
Apa itu benar? Ibu menghilang waktu itu meninggalkanku hanya untuk ini dan tidak memikirkanku sama sekali, menyelamatkan orang lain dan aku kini tengah menatap mata ibuku. Apa aku tidak berharga sama sekali untuknya? Sehingga mengorbankan jiwanya hanya untuk menjatuhkan diri mencintai orang lain. Kalau ibu mati siapa yang paling sedih? Apa om Airlangga, Adam bahkan Ayah. Kenapa harus seegois itu?
Aku hanya bisa terdiam untuk mencerna semuanya. Aku hanya butuh air untuk mendinginkan kepalaku.
"Iya aku hanya ingin air," gumamku dalam hati dan aku ingin pergi kekamarku sekarang.
Dan saat aku ingin meninggalkan ruangan kenapa pula om Airlangga harus membuat orang lain terluka. Om nyatanya sangat egois dan itu sungguh membuatku tidak percaya. Bagaimana dia bisa membuat Tristan bingung. Tentang kejadian 7thn lalu dan berarti saat itu Tristan masih berumur 10thn kenapa harus membuat luka lagi. Disini yang harus nya diperbaiki adalah kenapa ibuku harus begitu berkorban hanya untuk keluarga ini?
Tidak perlu mengorek kesalahan orang lain. Dan bahkan Tristan tidak mengingatnya.
"Aku tidak mengerti dengan apa yang om bicarakan. Jadi tidak perlu bersusah payah untuk membuatku terluka. Aku menderita Amnesia disosiatif, kalau ingin menceritakan lebih harusnya om memberikan informasi dengan bukti," suara Tristan mampu memecah keheningan. Om Tanu terlihat ingin menghajar om Airlangga tentang sikapnya yang kurang ajar. Dan karena semuanya tidak fokus lagi kearahku aku memutuskan untuk pergi kekamarku dengan cepat dan akupun sempat melihat mata ibu sekali lagi.
"Anggap saja tidak pernah memiliki Dean jadi tidak perlu bersikap seolah-olah kamu hidup untukku,"
........
Amnesia disosiatif dapat terjadi saat orang memblokir informasi tertentu, biasanya kejadian yang berhubungan dengan trauma atau stres. Hal ini akan membuat dirinya tidak mampu mengingat informasi-informasi pribadi yang penting. Kondisi ini berbeda dari kasus lupa yang wajar terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top