40.
Apa kau tahu kerusakan yang paling pedih adalah ketika kamu mulai tidak percaya kepada apa yang kamu lihat, Adam Airlangga
........
"Bagaimana dengan pelajaranmu?" tanya papah tiba-tiba dia ingin mengubah suasana agar tidak canggung.
"Baik, dan Adam masih diperingkat satu," balasku karena kenyataannya memang seperti itu. Nilaiku tetap yang paling tinggi disekolah.
"Anak pintar, papah bangga padamu dan jangan terkecoh dengan apa yang di ucapkan Tristan tadi. Papah tidak mau Dean terlibat dengannya jadi bantu papah," papah nyatanya pro denganku dan berniat memisahkan keduanya. Dalam hal ini aku sangat mendukung.
"Iya," balasku senang. Tapi saat hati benar-benar terbang jangan lupa kamu harus sedia untuk menyiapkan parasutnya.
"Ajari Dean berenang dihari luangmu, toh itu tidak akan mempengaruhi nilaimu. Kata mom berenang cukup bagus untuk terapinya," papah lagi-lagi menyebut nama Dean di moment hangat diwaktu dingin seperti ini.
"Argggh" gumamku kesal dan aku masih menyembunyikan rasa tidak sukaku.
"Nanti Adam coba bicara padanya," balasku agar papah tidak khawatir.
"Terimakasih sayang," papah mengusap pundakku untuk berterimakasih. Padahal dalam kenyataannya rasa sukaku untuk Dean diawal karena aku menginginkan seorang adik kini berubah jadi kebencian semata.
........
Aku dan Tristan tidak sampai disekolah dalam waktu yang bersamaan. Kini aku sengaja menunggunya didepan kelas untuk memastikan kalau omongannya tadi hanyalah ingin membuat papah marah saja. Tapi kenapa harus, bukan diri Tristan harus memberontak seperti itu.
Selang beberapa waktu akhirnya Tristan datang tapi dia sangat basah. Hujan memang sangat lebat dan apa dia tidak memiliki payung?
"Apa kau tidak pergi dengan taxi?' tanyaku karena dia kini pergi ke loker miliknya sengaja mengganti bajunya dengan kaos olahraga agar dia tidak masuk angin. Sikapnya santai dan Tristan tak pernah menyalahkan siapapun.
"Kamu tahu sendiri kan jam segini cari taxi susah apalagi sedang hujan. Aku pergi berlari mencari halte terdekat," balas Tristan yang tiba-tiba mengganti bajunya didepanku. Spontan aku berbalik dan menatap langit-langit sekolah.
"Tapi kan.....?" masih ada alternatif lain. Tapi aku sendiri bingung mau mulai dari mana. Tadinya aku pikir mau marah karena sikap Tristan tapi melihatnya seperti ini dalam keadaan basah dan kedinginan aku bisa apa?
Aku memilih meninggalkannya dan kini duduk dibangku ku.
"Apa paman marah?" tanya Tristan dan dia mengusap rambutnya dengan handuk. Karena diluar hujannya sangat lebat guru yang biasa mengajar memilih meliburkan diri dan membagikan nilai ujian kemarin. Memberikan ulasan bagi yang nilainya kurang dan harus segera memperbaikinya bila ingin saat kelas tiga tidak mendapatkan masalah dalam nilai.
"Papah tidak membahasnya setelah kamu turun tadi," balasku dan kini saat aku hendak memberikan nilai punya Tristan saat itulah emosiku tiba-tiba meledak kembali. Seolah-olah keinginanku untuk pergi ke Amerika kemarin hanya sebuah lelucon bagi Tristan. Walau nilai dibidang olahranya mampu mengcover semua nilainya tetap saja dia akan kesulitan kalau pergi ke Amerika. Nilai bahasa inggrisnya hanya merah dan memang dia sedikit lemah untuk mengejar. Tristan tak pernah mau menambah jadwal belajarnya.
"Bisa kamu jelaskan tentang ini?!" tunjukku pada nilai merah dimana ekspresi Tristan malah jadi sesantai itu.
"Ayolah masih ada satu tahun lagi Adam kenapa kamu harus seserius itu. Kata papah kalau kita pergi kesana otomatis bahasa kitapun akan mudah berubah," Tristan menggampangkan apa yang selama ini kutakutkan. Bagaimana bisa setenang itu, niat kita pergi kesana untuk lepas dari dukungan kedua orangtua.
"Aku bisa bahasa Jepang sebagai bahasa ibu papah jadi amanlah kalau kita pergi kesana," Tristan tidak fokus dan lagi-lagi dia malah pergi rebahan karena malas.
Apa? Amerika - Jepang itu sangat jauh kenapa bisa Tristan jadi tidak bisa membedakan hal semudah itu.
"Kamu tidak sedang bercanda kan?" tanyaku sembari melipat kedua tanganku didada. Mendengus kesal dan masih minta pertanggungjawabannya.
"Kenapa kamu jadi emosian sich Adam, aku hanya bercanda. Aku tetap akan mengejar jadi kasih aku waktu. Hanya belajar bahasa inggris kan? Dean fasih jadi aku akan belajar darinya," masih dengan nada yang tidak bertanggung jawab. Bagiku dia sangat tidak serius. Kenapa harus melibatkan Dean kalau aku bisa. Selama ini dia pun belajarnya bersamaku.
"Aku muak... Apa-apa Dean, semua tentang Dean. Lihat aku Tristan, aku disini untukmu aku pun hidup untukmu," gumamku dalam hati karena aku tidak ada keberanian untuk saat ini.
"Apa mamahmu menelpon?' tanya Tristan tiba-tiba, ingin tahu sesuatu.
"Tidak bisa. Semua telpon rumah disadap dan bila bukan mamah yang menelpon duluan aku tidak tahu nomer mana yang bisa dihubungi." balasku dan memang itu kenyataannya. Mamah memang WNA, tapi kenapa Tristan jadi penasaran dengan mamah? Walau sejatinya aku juga ingin menanyakan sesuatu padanya.
"Kenapa kamu jadi tertarik dengan mamah?' tanyaku ingin tahu.
"Hanya berfikir sedikit apa mungkin mamahmu berselingkuh dengan papah jadi masalahnya serunyam ini," nyatanya Tristan punya prasangka yang sama denganku tapi bukan itu. Sekalipun berselingkuh kenapa harus menghilang, papahpun sudah menikah lagi dan kemungkinan besar paman dan mamah bisa bersama tanpa harus takut ketahuan. Pasti lebih dari itu. Dan sampai sekarang masih menjadi rahasia.
"Semudah itu, kita bisa jadi saudara," gurauku dan itu sungguh tidak aku inginkan. Karena respon Tristan yang berbanding terbalik.
"Baguslah, jadi kamu adeknya hahahaa." dan Tristan malah tertawa nyaring. Apa itu lucu? Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya sekarang. Seharusnya kepalaku terasa dingin karena hujan tapi yang ada kepalaku rasanya terbakar karena mendengar lelucon yang diutarakan Tristan.
"Apa ini lucu, tertawalah kalau memang menurutmu hidupku kamu anggap sebagai lawakan!!" aku marah dan kini pergi meninggalkannya. Aku berlari menyusuri koridor sekolah, pergi naik kelantai paling atas dan sampailah aku diatap sekolah. Hujan yang deras tak mampu membuat kepalaku mendingin. Semuanya malah terasa tercampur aduk membuat hatiku makin ngilu.
......
Hujan membuat mataku terasa pedih dan kini airmataku seolah-olah ingin berlomba untuk memenangkan perlombaan yang memang tidak ada jurinya.
"Aku menyukaimu......yak........" teriakku lantang tak peduli ada yang mendengar, karena kulihat sebelumnya Tristan sama sekali tidak berniat untuk mengejar ku bahkan tertarik untuk mencari tahu apa yang kurasakan.
"Aku menyukaimu, hiks....hiks....kenapa harus dia kenapa bukan aku," aku meronta dibawah guyuran hujan. Aku marah serta kesal karena Tristan memilih Dean. Lagi-lagi itu untuk menutupi kebodohanku.
"Pergi dari sini nanti sakit!!" Tristan menyeretku untuk pergi masuk. Hujan yang begitu deras membuat kulitku tambah pucat.
"Aku minta maaf tidak bermaksud menertawakanmu Adam, jadi masuk hujannya makin lebat," Tristan masih memaksaku dan aku tetap berontak dan melepaskan pegangannya.
"Aku tidak mau!!" aku mendorong Tristan hingga jatuh dan aku masih menangis. Perasaanku meledak-ledak dan aku seolah ingin mencari pelampiasan. Tiba-tiba aku berlari tanpa tujuan dan kini aku berakhir dipinggiran gedung melihat kebawah dan itu sangat jauh. Seperti Tristan yang mulai menjauh dariku. Aku terus melihat kebawah seakan ingin ikut terseret oleh tetesan hujan.
Srrrrt
Aku hampir jatuh tetapi Tristan mampu menarik ku dan aku terlempar dilantai yang basah.
"Apa kau gila, apa yang sedang kamu pikirkan!!" teriak Tristan karena hujan yang sangat deras sehingga suaranya pun jadi tidak terdengar terlalu jelas. Jadi kupikir Tristan tidak mendengar apa yang kukeluhkan tadi.
"Kenapa kamu harus berbuat sejauh ini kamu tidak harus mati. Ayolah Adam kamu tidak boleh seperti ini," Tristan meyakinkan seperti biasanya yang dia lakukan tapi sekarang masih terasa kalau aku bukanlah prioritas utamanya lagi.
"Aku akan belajar dan kita pergi ke Amerika, mencari mamahmu serta lepas dari semua ini." Tristan memelukku. Semuanya tiba-tiba begitu mudah hatiku untuk menerimanya. Aku luluh kembali dan membalas pelukan Tristan.
"Kita pergi dengan Dean juga, jadi yakinkan paman untuk menginjinkankannya," pinta Tristan dan kini aku langsung melepas pelukannya. Kenapa Dean perlu ikut?
"Kamu tidak boleh berakhir seperti ini Adam," Tristan memaksa memelukku lagi. Tapi ucapannya membuatku yakin kalau aku tidak perlu mati karena aku sudah bertahan lama bahkan terlalu lama, dan orang yang seharusnya mati bukanlah aku tetapi Dean. Iya kan? Dia hanya orang baru dan Tristan akan lebih mudah melupakannya.
🤧🤧😢😢😢
.......
Adam ada apa denganmu?
Nb, vote and koment yooooooooo Terimakasih sudah mau mampir, love u pulllllll.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top