37.

Sekolah usai dan kini aku seperti biasa hendak menunggu sopir didepan pintu gerbang. Karena sejak pagi hujan terus dan jalanan terlihat sangat basah walau sekarang sudah tidak turun hujan mungkin sopir ada kendala di jalan jadi aku memilih menunggunya. Sebab Sea hari ini masuk dan tidak terlihat ada masalah. Mungkin memang ada kendala dijalan semoga saja tidak terjadi kecelakaan.

Aku mondar-mandir tak jelas didepan gerbang karena sopir tidak kunjung datang. Saat aku menelpon terdengar tersambung tetapi tidak ada yang mengangkat. Kulihat didalam area sekolah disana sangatlah sepi karena semua murid sudah pulang semua. Minggu depan mulai ujian jadi banyak yang mendapatkan les tambahan diluar. Dan sekarang aku sangat prustasi sendirian didepan gerbang. Tidak ada yang menemani, sesekali melihat mendung berharap tidak turun hujan sebelum sopir datang.

Nathan mungkin sudah sampai rumah karena jam dikelas dia tidak sama dengan jadwal dikelasku dan tidak mungkin juga aku harus merepotkannya untuk mengantarkanku pulang. Jadi sekarang kuputuskan untuk berjalan sekitaran 500m untuk sampai dijalan utama sehingga aku akan lebih mudah mendapatkan taxi atau mungkin bus umum yang lewat.

Aku mencoba menelpon ibu, mau bertanya kenapa sopir tidak datang tapi sama juga ibu tidak mengangkat. Sebenarnya apa yang dia pedulikan, aku sungguh bingung. Dia datang kerumah besar syarat akan kasih sayang lebih dari om bahkan dia sangat kaya tetapi kenapa ibu terus saja bekerja dan malah mengabaikanku. Aku mencoba menelpon Adam, aku bisa saja langsung pergi tapi entah kenapa aku ingin mencari tahu dulu kenapa sopir tidak datang sebab aku tidak ingin tiba-tiba pulang kerumah dan malah membuat sopirku mendapatkan masalah. Karena hal terakhir kemarin aku harus berakhir mengikutinya dan menemukan bahwa Sea adalah puteranya. Kalau aku mengadu sebab aku tidak diantar sampai gerbang sekolah mungkin sopir akan dipecat saat itu juga. Maka dari itu aku ingin sedikit basa-basi bertanya dulu.

Tapi Adam tidak mengangkat telponku tapi memilih mengirim sms,

"Dean, kakak sedang ada kelas tambahan jadi nanti ya,"

Jadi tanpa aku bertanya lebih aku memilih tidak membalasnya lagi dan kini memilih menelpon si om. Tadi pagi om yang mengantar mungkin siangnya dia ingin menjemput tapi lupa jadi aku sengaja menghubunginya siapa tahu ada kesalahpahaman.

"Ada apa dengan orang-orang sich?" gerutuku tak percaya, semuanya aktif tapi tidak ada yang mengangkat telpon. Aku terus saja memainkan ponselku dan kini tidak sengaja menelpon ayah.

"Hallo Dean, kenapa sayang, sudah pulang sekolah?" tanya ayah dia terdengar riang karena aku menelponnya. Mungkin kalau aku mengadu ayah pasti langsung menyusulku.

"Iya, sudah dulu sopir datang." balasku dan buru-buru menutup telponku. Walau itu sangat jahat tapi aku belum cukup berdamai dengan ayah. Masih ada perasaan kecewa walau tak separah harus membencinya.

Kalau Adam ada pelajaran tambahan pasti Tristan juga, jadi aku memilih duduk di halte bus sembari menunggu bus lewat saja atau mungkin taxi lewat. Sebab aku tidak ada aplikasi taxi bahkan cara memesan lewat online. Dulu aku cukup berjalan sudah sampai disekolah, sekarang ada sopir jadi aku tidak pernah memikirkan untuk membeli aplikasi taxi online.

Lama.....

Aku lapar bahkan hujan sepertinya akan turun lagi.

Ting

Ting

Suara klakson mobil menghampiri dan kini terlihat di jok belakang ada seorang pria paruh baya hendak keluar dengan membuka payungnya. Gerimis sudah mulai turun untuk membasahi mobilnya.

"Om,"

"Sendirian, menunggu siapa?" tanya om Tanu dan dia sendiri berjalan kearahku sembari menawarkan payung.

"Sopir," balasku lagi karena hanya itu alasan yang bisa kuucapkan.

"Ikut dengan om saja, akan turun hujan jadi Dean bisa kirim pesan ke rumah biar om yang antar," tawar om dia tahu cuaca lagi gak bagus.

"Tapi om," aku sedikit memikirkan apa yang pernah dibilang Nathan padaku pagi tadi. Tidak boleh main-main siapa tahu om Tanu hanya ingin mempermainkan keluarga om Airlangga. Secara aku bisa saja jadi sasaran empuk mereka. Aku tidak mau mengiyakan begitu saja tumpangan yang dia berikan bahkan menawarkanku untuk mengantarkanku sampai rumah pasti ada yang salah.

"Tapi om," balasku takut. Aku masih berusaha menghindar dan mencoba menelpon terus sopir yang biasa mengantarku.

"Apa papahmu sudah menceritakan siapa om?" suara om Tanu langsung membuatku kaku. Kenapa dia langsung kepada intinya padahal aku takut bilang nanti bisa saja aku menyinggungnya.

"Ha," aku mendongak kearahnya tidak percaya bahkan aku juga tidak mengerti kenapa harus segampang itu menceritakan tentang ketidakcocokan mereka.

"Om memang tidak cocok dengan keluarga baru Dean. Tapi om tidak akan mencampur adukkan masalah itu. Disini Dean sendiri dan om merasa bertanggungjawab untuk mengantarkan Dean untuk sampai dirumah. Membawa Dean ketempat aman, apa Dean tidak menghubungi Tristan?" tanya om Tanu kenapa aku tidak meminta bantuan pada Tristan.

'Dia ada jadwal tambahan," balasku padahal itu alasan dari Adam dan aku memang belum menelpon Tristan.

"Ah, anak itu. Harus diberi pelajaran karena meninggalkanmu sendiri disini," om Tanu menyeringai siapa yang tiba-tiba tak takut, pasti dia ingin memukul Tristan.

"Jangan memukul kakak, kalau Dean sampai lihat om memukulnya lagi, om akan kupukul!" ancamku tetapi om Tanu malah tertawa yang membuatku makin bingung.

"Ya ampun, manisnya anak satu ini pantas saja Tristan terus saja menceritakan tentangmu," om malah duduk disampingku. Hujan sangat lebat apa dia berniat untuk menunggu bersamaku alih-alih pergi ketempat yang memang ingin dia kunjungi.

"Apa kakak sering menceritakan tentangku?" tanyaku ingin tahu. Wah, perasaan apa ini? Tiba-tiba aku merasa jadi seseorang yang dirindukan.

"Ah, lupakan kalau om cerita ke Dean, Dean pasti akan menanyakannya lagi pada Tristan dan disitulah Tristan akan merasa tidak nyaman. Ini sudah hampir setengah jam sampai kapan Dean mau menunggu, dan om mendengar kalau cacing diperutmu sudah minta makan," tunjuk om langsung kearah perutku. Sumpah om Tanu tidak pernah berbasa-basi.

"Tapi om,"

"Udah, kalau takut dengan papahmu, nanti om panggilin taxi untuk sampai kerumah tapi sekarang Dean harus makan dulu jadi tidak boleh menolak," ajak om dan kini langsung menyeretku untuk ikut dengannya.

.......

Aku duduk anteng disamping om Tanu untuk menuju restoran. Aku tidak bisa memilih restoran yang  biasa kukunjungi jadi aku hanya diam agar tidak menyinggung orang yang mengajakku.

"Hanya sekali-kali tidak akan bermasalah untuk diriku," batinku meyakinkan diriku kalau aku pasti baik-baik saja.

Dan sekarang mumpung berdua dan aku ingin tahu tentang beberapa hal jadi aku ingin bertanya dan mengabaikan himbauan Nathan.

"Om tahu tentang gedung yang isinya penuh harta karun itu kan? Kenapa tidak dibuka lagi?" tanyaku ingin tahu. Sayang aja kalau perhiasan yang sangat cantik itu hanya disimpan padahal dulunya mungkin itu adalah sebuah toko. Gak mungkin juga hanya disimpan sebagai aset secara lokasinya pun tidak memungkinkan. Gedung itu sangat tua dan bisa saja sewaktu-waktu roboh.

"Itu peninggalan mamah Tristan hanya Tristan yang berhak untuk memilih dibuka lagi atau dihancurkan. Om sudah tidak ada hak disana," jelas om. Dan kesimpulan yang kudapat berarti mamah Tristan sudah meninggal lalu hal kemarin?

"Peninggalan? Bukannya kemarin kakak bilang bersama mamahnya," aku bergumam sendiri tapi sepertinya om Tanu menyadari apa yang sebenarnya ingin ku tanyakan lebih.

"Mamah Tristan meninggal digedung itu saat Tristan baru saja berusia 10thn, karena tiba-tiba ada perampokan dan menewaskan mamahnya mungkin karena itu Tristan sering berbicara seolah-olah mamahnya masih hidup. Jadi, om minta jaga Tristan untuk om. Didalam hatinya sangat rapuh' om memegang tanganku. Sangat lembut hangat seperti yang biasa dilakukan Tristan. Kalau anaknya rapuh kenapa dipukul terus, benar-benar aneh om Tanu itu.

"Maafin Dean karena membuat sedih," aku meminta maaf karena seolah-olah membuka luka lama. Terlihat om sangat tegar dan tidak ada ekspresi sama sekali.

"Batin om itu sudah sakit dari kecil jadi saat menceritakan hal seperti ini bahkan mengingat kenangan waktu lalu tidak pernah membuat hati om tersakiti. Jadi om bukan psikopat yang Dean maksud lho ya, hanya sakit disini" om Tanu memberitahuku kalau ada yang salah dihatinya jadi dia tidak punya perasaan apapun bahkan sulit mengontrol emosinya. Dan karena prasangka ku kemarin aku sok-sokan mendiagnosis om dan malah menyebutnya psikopat.

"Maaf om abisnya," aku hanya menggaruk garuk pasrah tengkuk leherku karena malu. Berburuk sangka itu sungguh tidak baik.

.....

"Lho kakak ada disini bukannya," aku kaget karena nyatanya Tristan sudah duduk anteng direstoran.

"Dean kenapa bisa bersama papah?" Tristan lebih bingung tiba-tiba aku ikut serta dengan om .

"Tristan papah gak suka ya kamu bilang ke Dean kalau ada pelajaran tambahan, Dean nungguin dari tadi di halte sendirian," ancam om Tanu lagi-lagi tangannya ingin memukul jadi spontan aku langsung berdiri didepan Tristan agar mengurungkan niatnya.

"Berterimaksihlah kepada Dean, karena menyelamatkanmu hari ini." om langsung duduk dan kini memesan beberapa menu.

"Tristan tak mengerti," aku yang salah karena aku tidak bertanya padanya dan hanya mengambil kesimpulan sendiri dan aku lupa kalau Adam itu memang gila dalam hal belajar.

"Tristan kamu meninggalkan Dean sendirian masih tak mengerti!!" om menginterupsi lagi.

"Sudah tidak apa-apa om, mungkin Dean yang salah paham, " aku tidak ingin keduanya bertengkar.

"Dean bisa kamu jelaskan padaku?" tanya Tristan dan aku tidak mungkin bicara secara gamblang dan membuat om Tanu makin membenci keluarga baruku jadi aku meminta Tristan untuk membaca sms yang dikirim Adam untukku.

"Oh ya ampun," gerutu Tristan dan kini memilih memintaku untuk menyimpan kembali ponselku.

"Firasat orangtua itu peka Tristan, papah melarangmu bukan semata-mata papah membenci tapi membuatmu siaga dan tahu apa yang mungkin dilakukan Adam bahkan orangtuanya padamu hanya untuk menyakitimu." pesan om Tanu karena merasa Tristan bisa kapanpun disakiti keluarga baruku tapi apa?

Dan beberapa menit kemudian menu yang dipesan om datang.

Aku siap menyantap makanan berkuah merah didepanku. Aku sangat lapar dan hampir saja melupakan menu dietku.

"Kamu tidak boleh memakannya!!" Tristan langsung menyambar sendokku dan dia langsung meminta pelayan untuk mendekat.

"Kenapa Tristan?" tanya om bingung.

"Dean tidak bisa memakan daging berlemak ini pah, bahkan kuah berminyak dengan serta pedas." Tristan menyayangkanku yang seolah-olah mengabaikan dietku. Pelayan restorannya pun datang dan kini Tristan memberikan permintaan.

"Minta soya hangat, tumis daging merah dengan kacang-kacangan pakai minyak zaitun," Tristan memberikan perintah dan pelayan buru-buru kedapur. Melihat Tristan yang begitu teliti om jadi bingung sendiri.

"Nyicip dikit boleh ya," sungguh aku ingin sekali makan. Aku sudah sangat lapar dan aku harus pergi menunggu lagi.

"Kasih saja Tristan," si om memang pro sama aku jadi dia tidak tega melihatku menunggu.

"No, sekali tidak tetap tidak!" Tristan benar-benar serius dan kini meminta pelayan untuk membuatkanku menu yang lain. Sungguh terlalu kau Tristan. Selagi menunggu Tristan malah pergi menunjukkanku tentang aku yang tidak boleh melanggar perintah.

"Sejak kapan kamu menyalinnya?" Tanyaku serius karena Tristan membawa catatan medis yang kupunya.

"Untuk belajar biar pinter awas aja. Aku sekarang mengawasimu," Tristan mengancamku dan om malah tersenyum disana.

"Jadi sekarang papah sita montormu pergi kesekolah dengan mobil," sepertinya om punya kesempatan buat menyita motor Tristan. Karena itu om tersenyum kearahku.

"Tapi pah," Tristan enggan melepas montornya.

"Bagaimana kamu bisa menjaga Dean kalau kamu saja tidak mau menjaga dirimu," keputusan om mutlak dan dia meminta kunci montornya Tristan. Disana terlihat sangat dilema jadi aku tidak tega.

"Dean akan hati-hati tidak makan sembarangan walau sedang ditraktir. Jadi tidak perlu mengambil montor kakak," aku memohon pada om agar tidak mengambil montor kesayangan Tristan.

"Bagaimana Tristan?" om menyerahkan semua keputusan kepada Tristan.




......

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top