31.

Kami pun selesai makan malam dan Nathan malah memeriksa Dean apakah ada memar karena terjatuh. Berlebihan menurutku. Mungkin kalau Dean berdarah seperti kemarin bakal membuat diriku mati lemas. Bisa-bisanya aku mendorong Dean dan membuatnya hampir celaka.

"Ada yang memar?" tanya Nathan melihat dikaki Dean bahkan tangannya. Kulitnya putih pucat mata minuspun pasti langsung bisa melihatnya. Nathan nya aja yang ingin pegang-pegang.

"Apaan sich, jangan pegang-pegang, pelecehan tahu. Abis ini langsung pulang Dean tidak perlu main kerumah Nathan lagi," aku mengusir tangan Nathan yang tengah memeriksa keadaan Dean. Ini nich yang paling aku gak suka di diri Dean, dia itu kayak bocah gak tahu kalau ini pun termasuk pelecehan.

"Hohoho, kenapa harus menuruti kakak ternyata disini nyaman. Ada kereta lewat, suasana asri bahkan rumah yang hangat," Dean melihat disekeliling. Ini kali pertama dia pergi main ditempat Nathan dan seperti perasaanku yang memang tidak dipungkiri rumah Nathan sangatlah nyaman.

"Pindah saja kalau begitu Dean, lumayan kan kita bisa pergi belajar bareng buat ujian," Nathan makin menjadi akupun geram dan meletakkan sumpitku diatas meja.

"Tidak akan," aku menggoyangkan jari telunjukku kearahnya tanda tidak setuju.

"Sudahlah jangan berdebat, perutku sakit," keluh Dean dan kini langsung meletakkan sendonya diatas piringnya dan pergi rebahan diatas sofa disamping. Karena kita tadinya pergi makan diruang tv.

"Oho, apa kalian bercanda?" gumamku dalam hati karena melihat Tristan menepuk pelan perut Dean sembari memberinya minyak angin. Tangannya masuk didalam kemeja seragam Dean.

"Jangan berfikiran kotor, dia hanya masuk angin mungkin," cibir Nathan karena melihatku tak berkedip dan kini memilih menonton tv.

"Bagaimana kalau kita menginap disini?" tanya Dean tiba-tiba. Hal yang belum pernah kulakukan seumur hidupku dengan gampangnya Dean meminta. Mom pasti tidak setuju bahkan papah. Apalagi ada Tristan auto langsung dibawakan intel untuk datang.

"Aku tidak yakin boleh," balasku malas dan kini memilih mengemasi bekas makan kita untuk kubuang ditempat sampah.

"Tentu boleh, tunggu!" Dean tiba-tiba semangat dan kini malah video call dengan papahnya. Ya ampun, ini sudah gila dan aku memilih menunduk lesu menyembunyikan wajahku.

....

Tring...

"Malam Dean, waktunya makan malam lho apa kamu akan pulang terlambat?" tanya papah dibalik telpon dan dia terlihat masih berada diruang makan mungkin papah tengah menunggu kami yang tidak ada kabar. Bahkan mom memasang wajah khawatir.

"Dean sudah makan, hari ini Dean akan menginap dirumah teman ada kakak bahkan yang lainya,"  Dean sengaja menunjukkan siapa-siapa yang ikut menginap. Jantungku rasanya ingin terlepas dari tubuhku.

"Nathan om," Nathan langsung menunjjukkan sikap ramah kesan anak baik-baik. Bahkan dia tersenyum lebar.

"Dia kak Tristan teman kak Adam, cakep kan om. Dia juga akan menginap jadi tidak perlu khawatir sopir juga masih didepan suruh mereka pulang biar bisa istirahat kalau Dean yang minta mereka tidak akan mau menurut," Dean dengan santainya membicarakan hal yang tidak pernah terjadi sejak umur ku 5 thn. Dengan moment teraneh bahkan menakutkan Tristan pun mendongak dan melihat papah disana.

"Malam om," Tristan tersenyum kaku dia tahu akan mendapatkan masalah setelah ini.

"Baiklah, nikmati waktu kalian dan tidak boleh begadang, berikan ponselmu kepada kakak," pesan papah.

"Siap om," Dean ala-ala hormat seperti prajurit dan kini papah meminta aku untuk menerima telpon agak jauhan dari Dean. Ini yang kumaksudkan, kenapa tidak ngomong langsung dan memilih mengancamku, aishhhhh Dean juga perlu tahu kalau ada masalah diantara dua keluarga itu.

"Iya pah, Adam ada dibalkon," bisikku dan aku memang berada dibalkon rumah Nathan sangat jauh dari Dean yang lainnya. Dan aku sudah mengganti mode video call dengan telpon biasa.

"Apa Adam sengaja membuat Dean dalam situasi kacau yang kita miliki, ayolah Adam Dean terlalu rapuh untuk menerimanya papah tidak mau Dean menangis seperti tempo hari. Hanya hari ini, dan bila papah sampai tahu kalau Adam mengajak Dean bertemu lagi dengan Tristan papah tidak segan mengirimmu keluar negeri yang Tristan tidak akan bisa menemukanmu. Papah akan kirim penjaga untuk jaga-jaga didepan kirim alamatnya!!" ancam papah dan itu sungguh membuatku takut, walau dia tidak berteriak atau memakai tetapi dengan intonasi yang jelas dan penekanan kata yang tepat suara pelan itu serasa menggema didalam telingaku. Kenapa papah begitu sayang kepada Dean bahkan mengiyakan segalanya yang dia mau. Arghhhhhh, aku kesal dan hendak membanting ponsel nya Dean. Tetapi Tristan kini mencoba membuatku tenang.

"Anggap ini bonus agar kita bisa berdua sepanjang malam. Berterima kasih kepada Dean karena yang dia tidak tahu apa-apa membuat kita ada disituasi ini. Ayolah Adam jangan cemberut," Tristan menyentuh bibirku agar aku tidak terlalu banyak berfikir dan kini harus lekas masuk karena diluar sangat dingin.

Aku tersenyum kearah Tristan karena hanya dirinyalah yang tahu apa yang aku ingin. Aku kini masuk dan nyatanya Dean pergi mandi.

"Dimana Dean?" tanyaku kepada Nathan yang tengah menyiapkan kasur tidur darurat disamping kasurnya yang ada dikamar.

"Mandi," balas Nathan santai dan kini dia memilih tidur dibawah. Tidak terlalu mengerikan karena kasurnya pun tebal.

"Kenapa kita tidak pergi kedepan saja lebih luas," aku menunjjukkan ruang tv yang bisa kita gunakan untuk meletakkan kasur darurat.

"Diluar sangat dingin dan aku tidak punya mesin penghangat ruangan. Hanya ada dikamar jadi jangan banyak berfikir dan pergi tidur," Nathan memilih melewatiku yang berdiri diambang pintu. Nathan sudah selesai dan memang terlihat dia sangatlah rapi. Banyak perabotan olahraga yang dia punya dan bahkan Nathan punya papan surfing.

.......

Setelah selesai mandi kecuali Nathan kami mengobrol lagi diruang tv. Menikmati popcorn sembari menonton film. Hey, kenapa harus thriller psikopat sadis. Aku ngeri melihatnya.

Tristan memegang tanganku kuat agar aku tidak begitu ketakutan dan lihat Dean, dia duduk paling depan seantusias itu.

Dua jam berlalu dan aku merasa senang hari ini. Moment dimana aku ingin pergi menonton film akhirnya aku lakukan bahkan Tristan mendekapku.

Setelah film selesai dan Dean mematikan tvnya kita berniat untuk melakukan permainan kloter kedua. Nathan ada kartu dan kita akhirnya bermain kartu untuk mengisi malam sembari bercengkerama.

"Terimakasih karena sudah membantu Dean tadi, maafkan aku karena kecerobohanku. Tetapi tidak perlu dengan aksi superhero kan?" tanyaku karena menurutku Nathan bertindak berlebihan. Dia malah menjatuhkan dirinya diatas pecahan kaca untuk menopang Dean. Sigap sekali menurutku dia sangat tahu dengan apa yang akan terjadi. Percayalah kalaupun Dean yang jatuh dia tidak akan mati toh Nathan terlihat baik-baik saja kan?

"Kamu itu benar benar ya...." Nathan kesal dan kini dia ingin sekali melemparkan asbak kearahku. Dia seakan kesal karena aku seolah-olah ingin Dean saja yang terluka tadi.

"Udah abaikan, kakak gak perlu tahu juga. Btw terimakasih ya Nathan besok aku traktir direstoran mahal," cengir Dean, dia tadi sudah makan tetapi kenapa dia masih pergi ngemil. Bahkan dia memakan natto, dari teksturnya yang lengket bahkan berbau. Ya ampun.....

"Iya harus restoran !!" balas Nathan serius dan kini dia memberikan selimut kepada Dean.

"Kukira tadi kamu punya restoran jadi aku putar balik aja meminta membungkus makanan sebagai ganti. Kamu kasih pinjam tempatnya aku yang traktir pas kan," Dean masih dengan tingkat polosnya tidak tertandingi kalaupun Nathan punya restoran kenapa dia harus membungkus makanan, bisa saja kan makan ditempat Nathan.

"Bar....Dean bar!!" Tristan dan Nathan bersamaan untuk memberitahu kenyataan kalau Nathan itu membuka sebuah bar bukan restoran.

"Ya, buat aja restoran jual makanan lezat dan sehat, jangan hanya menjual minuman," Dean masih dengan tingkahnya.

"Emang bisa," Nathan menanggapi rencana Dean. Hal konyol yang dipikirkan Dean nyatanya membuat tertarik Nathan.

"Bisa lah, aku akan jadi kokinya," cengir Dean lagi dan dia mulai mual. Dari tadi makan mulu sich, dan dirinya buru-buru kewastafel didapur dan Tristan yang malah mengikutinya. Kulihat Tristan membantu untuk mimijat tengkuk leher Dean. Dan Nathan sibuk untuk mengambilkan lap untuk Dean. Pemandangan yang sangat memuakkan. Karena aku sendiri terjebak dengan kakiku.

"Bakalan mati semua," cibirku karena ku pikir Dean tidak akan bisa melakukannya bisa habis itu bahan makanan dimakan sama dia.

"Sudah mendingan?" Tanya Tristan dan kini berjalan disamping Dean. Dean duduk kembali ke sofa. Menyilangkan kakinya dan bersandar. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan.

"Ayo lanjutkan permainannya, aku sudah terbiasa mual, aku mau rebahan disini," balas Dean dan malah tiduran diatas sofa.

"Kalau begitu aku tidur dulu, disini sangat dingin......," aku merinding dan kini memilih berlari untuk pergi tidur lebih dulu.

......

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top