23.
Adam pov,
Kenapa Tristan harus membolos, dan ponselnya pun tidak dapat dihubungi. Aku merasa khawatir dan masih menunggu balasan darinya. Jam terakhir sudah usai dan seperti biasa aku akan pergi ketempat les. Aku masih menunggu balasan darinya dan itu sungguh membuatku merasa sangat gelisah.
"Tristan kamu dimana?" perasaanku tak tenang dan kini aku clingukan di depan tempat les. Sampai kelasku selesai Tristan tak kunjung memberiku kabar. Aku melihat jam tanganku dan memang ini sudah sangat sore.
"Apa dia sakit, apa mungkin papahnya memukuknya lagi. Tristan ayolah angkat ponselmu," aku masih mondar mandir didepan tempat les. Seharusnya aku langsung menuju rumahnya Nathan tetapi aku masih ingin mendapatkan kabar dari Tristan.
"Den, pulang sekarang?" sopir menghampiriku.
"Kita kerumah temanku dulu," dan kini aku mengikuti sopir untuk masuk kedalam mobil.
Dengan perasaan ragu kini akupun pergi ketempat Nathan tanpa Tristan. Meminta sopir untuk mengantarku ke bar Q.
"Serius teman aden tinggal disana. Kalau tuan besar tahu pasti dia marah den."sopir hendak menahanku pergi. Memang lingkungannya punya aura yang tidak bagus bagi yang pertama kali masuk apalagi papan nama didepan terlihat dengan jelas bertuliskan bar Q, mendengar namanya saja pasti orang akan berprasangka negatif.
"Bukan teman sich, Adam hanya pergi mengajari putera mereka. Lumayan untuk mengulas materi yang pernah aku pelajari," alasanku agar sopir tidak khawatir.
"Serius apa itu tidak berbahaya ditempat seprti ini," sopir sedikit meragukanku.
"Makanya aku ajak bapak kalau memang aku dalam bahaya bapak bisa langsung menolongku," cengirku. Padahal awalnya aku ingin merahasiakannya saja dan pergi diam-diam bersama Tristan seperti biasanya.
"Hmmm tunggu dimobil saja aku akan segera kembali," dan kini aku berlari untuk naik kelantai dua. Bar terlihat sepi, sepertinya Nathan serius untuk tutup sementara dan pergi belajar agar nilai ujiannya tidak mengecewakan. Hahah, sungguh menggemaskan.
Aku mengetuk pintu dan Nathan membukanya. Apa dia harus telanjang dirumah, walau tinggal sendiri itu bukan kebiasaan baik.
"Kamu tidak punya baju apa?"" tanyaku karena Nathan pergi keluar membuka pintu tanpa memakai baju. Walau otot-otonya belum terbentuk sempurna tetapi terlihat kalau Nathan memang rajin berolahraga.
"Belum dicuci, cucilah dulu sana!" perintahnya langsung dan dia acuh tak bergeming karena aku ada.
"Kamu tidak ada satu baju sama sekali, dasar!" umpatku kasar karena aku melihat ada dua keranjang baju kotor yang sangat penuh. Dan akupun tidak mau mataku terkontaminasi dengan melihat Nathan mondar mandir dengan tidak memakai baju dan kini aku memilih pergi untuk mengambil baju ganti yang ku punya didalam mobil.
"Mau kabur kamu," Nathan mencibirku. Karena baru saja melihat tumpukan baju kotor dan malah berniat langsung keluar rumah.
"Aish, hanya sebentar aku bukan pria pecundang," balasku dan aku bergegas turun. Segera berlari menuju mobil dan mengambil baju gantiku. Saat aku hendak naik lagi dilantai atas suara motor terdengar.
Aku turun lagi dengan perlahan. Senyumku merengkah karena ternyata yang datang Tristan. Aku memilih turun lagi dan menghampirinya.
"Kenapa kamu tidak membalas telponku bahkan mengabaikan smsku, darimana saja kamu, apa papahmu memukulmu lagi, apa kamu terluka, coba bilang mana yang luka, apa kamu merasa sakit," aku terus memberondong pertanyaan yang ada dalam otakku bahkan aku menempelkan telapak tanganku ke dahinya untuk melihat apakah dia sedang demam.
"Hey, hentikan aku tidak akan pernah meninggalkanmu jadi jangan seperti ini pelan-pelan tanyanya. Apa aku membuatmu khawatir?" Tristan menatapku dan bertanya apakah aku khawatir, jelas aku sangat khawatir hampir seharian dia tidak membalas pesanku siapa yang tidak khawatir. Mau pergi kerumahnya aku tidak bisa. Karena aku tidak mau menambah masalah nantinya.
"Iya aku sangat khawatir, aku memanyunkan bibirku karena ternyata orang yang kukhawatirkan malah meledekku.
"Aku baik-baik saja, aku tadi pergi dengan pria kecil yang sempat ku ceritakan, hanya saja aku ketiduran. Saat aku ingin memeriksa ponselku ternyata ponselnya mati. Ya sudah aku memutuskan untuk pergi ketempat lesmu, ternyata kamu sudah tidak disana jadi aku langsung menuju kesini," alesannya.
"Jangan marah Adam, wajah cantikmu akan menghilang," Tristan menangkupkan telapak tangannya dipipiku.
"Makannya lain kali itu bawa charger atau bawa powerbank bersamamu," aku masih menggerutu dan Tristan malah mencubit hidungku.
"Ya ampun, kenapa kamu harus semarah ini. Iya-iya maafin aku karena terlambat memberi kabar. Lalu apa yang kamu lakukan dengan baju yang kita beli kemarin?" tanya Tristan karena aku membawa baju yang pernah aku beli dengan Tristan waktu lalu.
"Memberikannya pada Nathan, bisa-bisanya dia sesantai itu berkeliaran dengan tidak pakai baju. Jadi aku tidak ingin melihatnya," aku memberi tahu kenapa aku perlu memberikan baju couple yang kita punya.
"Dasar berandal kecil, perlu diberi pelajaran," Tristan kesal dan ingin buru-buru naik. Tapi aku mencoba menahannya. Maklumin saja dia tinggal sendiri dan tidak ada maid yang membantunya.
"Sudahlah, jangan marah. Apa kamu sudah makan?" tanyaku karena Tristan terlihat baru saja bangun tidur.
"Sudah, pria kecil itu memberiku sandwich bahkan susu hangat," senyumannya terlihat karena rasa terimakasih untuk pria kecil yang merawatnya membuatku sedikit terluka. Seharian sampai membolos hanya untuk pergi dengan pria kecil yang mungkin sangat disukainya.
......
Aku memberikan baju ku agar bisa segera dipakai Nathan.
"Apa kamu tidak ingin melihat pemandangan indah ini, ayolah anggap saja bonus untuk hari pertamamu bekerja," Nathan makan apa ya, sampai harus bersikap senarsis itu.
"Pemandangan indah apanya," Tristan kini sengaja membuka baju seragamnya dan memperlihatkan sixpak yang dia punya. Tristan sudah punya sejak lama jadi tidak ku pungkiri yang terlihat sekarang sungguh indah dan membuat tamparan keras untuk Nathan yang sangat pamer tadinya.
"Diatas langit masih ada langit. Kecuali kamu hanya melihat atap," aku mencibirnya dan memilih untuk pergi meninggalkan Nathan untuk mencuci. Aku tidak ingin melewatkan makan malam bersama papah dan yang lainnya dan terjebak lama disini.
"Aish dasar!!' Nathan marah dan kini dia segera memakai baju yang kuberikan dan pergi mengulas tugas yang kukerjakan kemarin. Sepertinya dia mulai dengan serius.
Tristan membantuku bahkan kami tidak henti bercanda,
"Bagiamana ditempat les?" tanya Tristan seperti biasa. Dia akan menanyakan semua kegiatanku. Dan aku akan senang untuk menceritakan semuanya.
"Ditempat les baik, apa perlu aku menambah jadwal lagi ya?" aku sedang memikirkannya.
"Hentikan, kamu harus memilih apa yang kamu suka dulu baru pergi belajar. Terus belajar tidak akan membantumu, aku mau kamu memikirkan tujuan yang kamu ambil baru menambah sesi belajar," Tristan pergi menjemur baju dan aku kini mengeluarkannya satu persatu dari mesin cuci.
Iya juga kalau dipikir-pikir aku terlalu menyibukkan diri untuk belajar bahkan banyak menghabiskan waktu yang seharusnya gunakan untuk bermain. Selama ini aku pergi belajar tanpa berfikir akan pergi kemana setelahnya.
"Menjadi jaksa, diploma, pengacara, guru, atau....." aku sedang memikirkan apa yang aku inginkan tapi sampai sekarang aku belum memikirkan salah satu diantaranya. Bahkan saat pergi kuliah nanti akupun belum ingin memikirkan jurusan yang aku suka.
"Jadi pasanganku saja, aku akan pergi bekerja dan kamu menjaga rumah," tiba-tiba Tristan menyelaku dengan apa yang dipikirkannya saat ini. Memintaku terus bersamanya? Apa dia sudah gila dan disitu aku langsung merasa kaku. Apa dia sadang bercanda atau dia tengah mengujiku. Aku hanya diam untuk mencerna semuanya.
"Tapi sepertinya kita perlu meminum racun dulu," Tristan langsung tertawa disana. Aku tahu apa yang dia pikirkan, menjadi teman saja itu terasa sangat sulit apalagi menjadi pasangan. Tapi apa mungkin Tristan menyukaiku?
......
Aku pergi menyapu dan Tristan membantuku untuk membersihkan perabotan karena itu pekerjaan kami cepat selesai.
"Mau makan malam bareng?" tanya Nathan karena dia memesan makanan. Karena diantara kita bertiga tidak ada yang bisa memasak.
"Tidak bisa, aku harus pergi makan malam dengan adikku," balasku karena itu adalah kebiasaan dikeluarga kami wajib sarapan bareng makan malam bareng setelahnya bisa memilih kegiatan masing-masing dan akupun tidak yakin dengan keputusan Tristan karena Nathan merengek.
"Tristan kamu tinggal saja, biarlah Adam pulang disana ada Dean yang suka baperan," Nathan sedang membujuk Tristan.
"Aku juga tidak bisa aku harus pulang sebelum papahku pulang. Jadi makanlah banyak agar tidak perlu memikirkan tentang tubuh yang sebagus punyaku," Tristan menyindir Nathan. Rasa-rasanya akan terjadi pertempuran jadi aku memilih menggandeng Tristan untuk segera meninggalkan rumah Nathan.
.....
Kita terpisah dulu, Tristan mengemudikan montornya dan aku dengan sopir.
"Den," panggil sopir dan aku kini melihat kearahnya.
"Iya," balasku dan sepertinya itu sangat serius, aku tidak harus menutup mata kalau sopir juga pasti melapor tentang kegiatannku sehari-hari.
"Mungkin tuan besar akan mengerti kalau aden pergi mengajar di tempat yang tidak bagus seperti ini, tetapi kalau aden terus bertemu Tristan bapak tidak bisa membantu untuk terus berbohong," sopir menegurku untuk apa yang terjadi sekarang. Seolah-olah aku sedang membuat tempat pertemuan baru selain di sekolah bahkan tempat les. Papah tidak pernah suka aku terlibat dengan Tristan. Entah kebencian apa yang terjadi sampai sebegitunya mereka saling menyerang. Aku selalu ingin bersama Tristan, bahkan sekarang aku sangat menginginkannya lebih dari seorang teman. Aku sudah tidak bisa membohongi diriku tetapi aku juga tidak bisa mengatakannya.
"Iya, Adam akan lebih berhati-hati lagi," balasku agar sopir tidak merasa khawatir. Dan kini sopir pergi mengemudikan mobil untuk mengantarku pulang. Aku hanya melihat jalan dari jendela mobil. Membayangkan apa yang sebenarnya terjadi kepada orangtua kami jauh sebelum rumor tentang sengketa sampul majalah.
"Tidak mungkin mereka saling membenci hanya karena bisnis, mereka adalah sepupu, tetapi kenapa harus sejauh ini,' aku tidak bisa berfikir jernih dan kini hanya bisa pasrah dan berharap keduanya lekas akur, kita bisa melewatinya sampai hari ini dan Tristan selalu berakhir dengan terkena pukulan papahnya bila ketahuan. Aku masih beruntung karena papahku tidak pernah memukulku tetapi membayangkan mata kecewa sama saja membunuhku.
......
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top