21.

Dean pov.

Aku pergi dengan sopir seperti biasa untuk pergi kesekolah. Namun perasaanku mengganjal karena sedari tadi sopir seperti kehilangan fokus dan hampir beberapa kali menabrak mobil yang didepan.

"Hati-hati pak,"pintaku karena tidak perlu terburu -buru untuk sampai sekolah. Kalaupun dia tidak enak badan kan bisa absen tidak seperti ini membahayakan pengendara yang lain.

"Maaf den, bapak lagi banyak pikiran. Anak bapak tidak pulang semalam."keluh sopir mungkin karena itu membuatnya kurang konsentrasi.

"Kalau begitu bapak turunin Dean saja didepan. Dean bisa pergi menggunakan bus."pintaku karena mungkin perasaan sopir sangat ketakutan disana. Anaknya tidak pulang siapa yang tidak khawatir.

"Tapi den,"sopir ragu karena dia juga tidak mau kehilangan pekerjaan kalau sampai ketahuan tidak menjalankan pekerjaannya dengan baik dan malah meninggalkanku untuk naik bus.

"Udahlah tidak apa-apa, Dean tidak akan bilang ke om bahkan ibu jadi tidak perlu khawatir."pintaku karena semakin lama sopir semakin ngawur bawa kendaraannya.

"Terimakasih ya den,"sopir akhirnya menepikan mobil dan memberhentikanku di halte bus. Aku tersenyum kearahnya dan agar dia merasa aku tidak keberatan. Dan kini aku memilih duduk dan menanti bus datang.

Lama....

Sangat lama....

Bahkan.....

Sepertinya aku merasa ada yang tidak beres.

Ting

Ting

Motor sport berhenti tepat dihadapanku.

"Dean, menunggu siapa?"seseorang yang mengenalku berhenti dan bertanya. Dia masih memakai helm dan terlihat seragam SMU nya.

"Siapa ya?" Tanyaku karena aku tidak dapat mengenali pria yang ada didepanku. Dia terlihat tinggi dan kini membuka helmnya.

"Kak Tristan,"panggilku dan dia tersenyum kearahku.

"Menunggu siapa?"tanyanya dan aku berlari datang menghampirinya tidak enak ngobrol sambil teriak-teriak karena jarak kita lumayan jauh.

"Menunggu bus datang,"tunjukku pada halte bus yang ada dibelakangku. Ya memang aku sedang menunggu bus dari setengah jam yang lalu. Dan kurang 15menit pasti aku akan terlambat kesekolah. Aku melirik jam tanganku dan benar aku terlalu lama tadi menunggu dan tidak berinisiatip untuk memanggil taxi.

"Apa kamu bercanda. Halte bus itu sudah lama tidak digunakan. Kalau mau naik bus seharusnya menunggu didepan sana!"Tunjuk Tristan kearah kiri dan terlihat jauh disana.

"Ah, begitu ya..." Aku menggaruk tengkuk leher tak percaya. Pantas saja tidak ada orang lain yang ikut menunggu bus bersamaku sedari tadi dijam sibuk seperti ini.

"Ini baru pertama kali aku didaerah sini. Tadi..." Aku tidak mau membicarakan tentang sopir yang meninggalkanku disini. Toh itu permintaanku tadi jadi aku hanya bersikap tak berdaya saja agar Tristan tidak berfikiran buruk.

"Pergi naik, aku akan mengantarmu ke sekolah."Tristan memberiku kode untuk naik keatas montornya, dia berniat untuk mengantarku ke sekolah. Aku melirik lagi pada jam tanganku. Kalau aku menolak tumpangan yang ditawarkan Tristan aku akan terlambat jadi akupun memutuskan untuk naik dan Tristan mengantarkanku kesekolah.

Tristan membawa montornya dengan cepat dan akupun berpegangan erat agar tidak jatuh. Mungkin Tristan punya seseorang yang akan ikut bersamanya karena dia membawa helm cadangan dijok belakang motornya.

Pacar? Mungkin, atau temannya. Hahahha, aku tidak mau terlalu ingin tahu sampai akhirnya aku mengenali seseorang yang ingin kucari lebih lanjut dengan apa yang sedang dia lakukan disana.

"Kak berhenti!!!" pintaku menepuk-nepuk dengan cepat bahu Tristan.

"Kenapa, apa aku terlalu cepat mengemudikan motorku?" Tristan kebingungan karena aku terus memaksanya untuk berhenti dan itupun belum sampai di depan gerbang sekolah.

"Itu, kenapa dia naik di mobil itu," tunjukku merasa khawatir. Disana Sea terlihat sangat kacau dan malah dipapah oleh pria dewasa yang kukenal.

"Mungkin dia tengah pergi dengan si om itu. Kenapa? Apa kamu mengenalnya." Tristan melihatku dengan perasaan curiga karena aku sebegitunya ingin tahu disana. Ada seorang pria dewasa tengah memapah pria kecil seumuranku dan dia bawa paksa masuk kedalam mobil. Ya, aku mengenalnya dia sopirku bahkan yang digandengnya itu adalah temanku. Walau aku tidak perlu ikut campur dan Sea pernah bilang tidak perlu ikut campur dengan kehidupannya. Tapi aku merasa ada yang salah. Kenapa harus meninggalkan sekolah, apa dia sangat butuh uang. Dan sopirku kenapa dia sangat tidak bertanggungjawab.

Aku merasa telah dibohongi, ingin sekali melapor kepada si om kalau sopir barunya itu melalaikan pekerjaan dan berbohong. Aku kini memilih untuk memotretnya sebagai bukti. Aku melepas helmku paksa tak percaya dengan apa yang kulihat.

"De.....,"panggil Tristan. Karena aku sibuk dengan ponselku dan memata-matai sopirku disana.

"Nanti terlambat. Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tristan mencoba menyadarkanku karena aku terlalu sibuk dengan ponselku. Bahkan merekam untuk keperluan yang sebenarnya aku tidak memikirkan kegunaannya seperti apa nanti.

"Dia sopirku tadi meninggalkanku di halte depan. Apa yang sedang dia kerjakan sekarang," aku geram dan ingin sekali mengacaukan kencan konyol itu.

"Hahahah," Tristan malah tertawa dan kini memberikan helm itu kepadaku lagi karena tadi sempat aku lepas. Dia memasangkan klip pengamannya dan meminta aku naik lagi diatas montornya.

"Aku harus mengejar mereka, kakak bisa meninggalkanku disini," aku hendak melepas helm ku karena aku juga tidak mau merepotkan Tristan dan menundanya untuk pergi kesekolah.

"Meninggalkanmu disini, jangan bercanda. Cepat naik aku akan mengantarkanmu untuk mengikuti mereka," tunjuk Tristan karena mobil sudah melaju. Aku tidak mau banyak berfikir dan kini naik lagi keatas motor Tristan dan kami berdua mengikuti mobil didepan.

Jauh, sampai kita masuk kedalam gang. Mobil sudah terparkir dan kita tidak mendapati keduanya ada. Tetapi aku dihadapkan dengan sebuah motel yang sangat kumuh. Aku melongo dengan apa yang kudapati.

"Aku akan meminta om memecatnya," aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Berbohong memberiku alasan kalau putranya tidak pulang dan kini pergi menyerer temanku didalam motel karena dia sudah tidak tahan dengan nafsunya. Sudah hilang akal itu orangtua.

"Tunggu,"Tristan menahanku karena aku ingin masuk kedalam motel. Ya mungkin secara langsung dengan seragamku aku tidak pantas masuk tapi demi bukti aku akan bertindak walau itu terkesan konyol.

Tristan tidak membiarkanku masuk sendiri dan kini menggandeng tanganku dan kita masuk kedalam motel itu bersama. Sesampai didalam Tristan bertanya dengan pria yang sempat aku video.

"Apa kalian ingin menyewa kamar sepagi ini?"tanya pemilik motel yang mencurigai kita berdua yang pagi-pagi sudah pergi ke motel.

"Aku hanya sedang mencari seseorang,"aku menunjukkan video yang sempat aku rekam tadi.

"Apa pria ini ada di dalam?" Tanya Tristan karena seolah-olah pemilik motel ingin menjaga privasi pelanggan. Karena berbelit-belit Tristan tak sabar dan kini mengeluarkan kartu atm didalam dompetnya.

"Ambil semaumu!" Pinta Tristan dan pemilik motel tersenyum sarkas. Dia terlihat baru saja menemukan pundi-pundi uang yang tidak terduga.

"Baiklah, mereka tinggal di lantai atas gedung motel. Pergilah keatap!" merasa cukup menguras uang milik Tristan pemilik motel memberiku akses untuk pergi menemui Sea bahkan sopirku.

Aku berlari menuju atap seperti kehilangan akal. Kita tak perlu keluar gedung dan nyatanya tangga yang digunakan untuk naik keatas ada didalam gedung. Karena itu aku berkesimpulan kalau keduanya tengah menyewa kamar. Tetapi perasaanku ragu setelah sampai dilantai tiga dan hendak membuka pintu besi.

"Kenapa ragu, lakukan sampai akhir dan kirimkan bukti kepada om yang kamu bicarakan tadi."Tristan memilih memegang tanganku yang sedari tadi berhenti tidak bergeming saat memegang knop pintu.

Sstttt

Aku melihat pemandangan langit dilantai tiga. Disana ada sepetak rumah yang tidak terlalu besar. Dan kudengar samar pertengkaran antara sopir dan Sea.

"Apa yang kamu lakukan disana! Pergi belajar dan ayah akan menghasilkan uang untukmu." suara itu langsung membuat hatiku sakit. Aku sudah berburuk sangka tadi. Kakiku lemah tiba-tiba dan aku hampir saja terjatuh tetapi Tristan menopangku.

"Kita pulang saja,"Tristan berinisiatip untuk membawaku pulang. Toh ternyata yang kupikirkan salah dan memang disanalah hanya sedang terjadi pertengkaran antara ayah dan anak.

"......"aku mengangguk dan tidak mau merusak segalanya karena kehadiranku. Dan benar adanya lain kali berburuk sangka itu hanya akan meracuni hatimu.

Saat Tristan membuka pintu besi Sea menahan kami.

"Apa yang kamu lakukan disini Dean?" Sea melihatku dan membuatku ragu untuk melihatnya. Aku dua kali memergokinya dalam keadaan kacau. Sea yang seorang pria keren disekolah dengan semua barang yang dimilikinya yang selalu ingin kupunya juga dulu, Sea yang nyatanya suka pergi dengan seseorang dengan bayaran.

Sea mendorong Tristan menjauhkannya dariku dan kini meraih kerah seragamku. Sungguh aku tidak bermaksud.

"Sea hentikan dia anak majikan ayah,"sopir mencoba menahan Sea dan Sea terus saja mencengkeram kuat kerah bajuku dan menatapku dengan perasaan hancur.

"Aku akan merobek mulutmu kalau sampai teman disekolah tahu apa yang kau lihat sekarang, " Sea mencoba memukulku dan lagi-lagi Tristan ada dibelakangku untuk menolong. Menahan tangan Sea yang akan mendarat langsung di wajahku.

"Dan ayah, dari semua orang kenapa harus jadi sopir Dean. Aku tidak percaya dunia sesempit ini, arghhhhh," Sea mengacak rambutnya kasar dan pergi masuk kedalam rumah.

"Den Dean maafin bapak ya, "hanya itu yang dilakukan sopir kepadaku padahal aku yang salah disini. Kalau aku tidak terlalu ikut campur mungkin aku tidak akan merusak segalanya.

"Maafin Dean yang tidak percaya. Maafin Dean," aku juga meminta maaf karena aku juga salah disini.

"Aku akan membawa Dean pergi jadi bapak bisa bicara lagi dengan anak bapak."Dan Tristan kini membawaku untuk meninggalkan rumah Sea.

.......

Entah kenapa karena aku sedikit merasa kacau jadi Tristan malah memutuskan untuk menyewa kamar motel.

"Apa kau terobsesi dengan film detektif, kau sungguh membuatku takut," Tristan mengomeliku. Aku baru Saja merusak segalanya. Kehidupan orang lain yang tidak ingin diketahui malah aku dengan sengaja mengetahuinya.

"Kakak yang malah membuatku takut. Kenapa harus membawaku kesini," aku melihat disekeliling. Didalam kamar motel terlihat sangat gelap dan minim cahaya bahkan aku tidak menemukan lampu yang terang.

"Karena sudah terlanjur kita sekalian bolos saja, aku semalam tidak tidur jadi sedikit mengantuk," Tristan memilih merebahkan tubuhnya diatas kasur dan aku masih sibuk untuk melihat disekeliling dan kini ingin menghapus video konyol yang telah aku rekam.

Deleted

Hmmm, aku selesai. Dan aku hanya perlu menutup mulut nanti disekolah. Dan soal ketidak hadiranku kali ini disekolah apa yang harus aku lakukan.

"Bagaimana dengan absensiku?" Tanyaku kepada Tristan. Aku tidak pernah bolos dan terakhir aku ijin sakit.

"Aku akan memikirkannya untukmu, minta nomer wali kelasmu." Tristan meminta nomer wali kelasku dan dia kini menelpon langsung tanpa ragu. Dengan suara berat Tristan meminta ijin kalau aku hari ini absen karena urusan keluarga.

"Apa kakak sering melalukannya," aku merasa Tristan sangat lihai.

"Hey. Ini pertama kali aku belajar jadi wali hahaha," dia tertawa renyag padahal ini bukan sesuatu yang perlu ditertawakan.

"Jadi harus dinikmati. Tapi aku juga tak ingin menyulitkanmu. Dengan ijin resmi tidak ada yang akan mengomentarimu nanti," Tristan tersenyum kearahku dan kini mengembalikan ponselku setelah selesai menggunakannya untuk mencatat nomer wali kelasku untuk ditelpon dengan ponselnya.

"Aku yang sebenarnya menyulitkan kakak," kataku yang merasa sangat bersalah menyeret Tristan sampai disini.

"Sudahlah, mau berfoto. Harus ada kenang-kenangan," ajak Tristan dan kini menarikku sehingga aku terjatuh dikasur disampingnya.

Cheeseeee

.......

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top