15.
Dean pov.
Aku duduk dibawah air shower dan kini berfikir keras bahwa aku harus melupakan kejadian semalam.
"Ayolah, itu bukan sebuah kejahatan kalau pergi mengencani seseorang kenapa harus menatapku dengan perasaan bersalah."pikirku kesal karena aku harus mengingat ekspresi terakhir ayah.
"Kalau tahu itu salah kenapa harus melakukannya?"pekikku menyayangkan kenapa diriku harus membuang tenaga dan berteriak semalam.
"Pasti sangat bengkak," aku meraba kantung mataku disana. Memang terasa berisi dan itu pastinya terlihat mengerikan.
Kini aku merebahkan diriku diatas lantai kamar mandi sembari menatap langsung keatas. Air shower jatuh tepat diwajahku.
"Sebuah kotak kecil, berwarna merah muda bergambar strobery, seorang wanita acak-acakan menyambutku." Membayangkannya kembali membuatku menggelengkan kepalaku cepat. Aku bukan pria bodoh tetapi aku tahu apa yang mereka lakukan kenapa harus berbohong.
"Katakan saja, dia kekasihku."Urusannya beres kenapa harus pura-pura jadi malaikat. Aku masih tersenyum disana.
"Bahkan Adam mengorbankan semuanya, mempermalukan dirinya sendiri saat berada dimeja kasir, bahkan? Ayolah muntahan itu menjijikan sekalipun itu adalah muntahan seorang bayi. Kenapa harus bersikap baik-baik saja. Aku lebih suka dia mengumpat."Aku masih bicara sendiri dengan diriku. Mengulas kembali kebodohanku serta menertawakan orang-orang disekitarku yang mencoba yang terbaik untuk menolongku.
"Aku hanya butuh tali untuk melilit tenggorokanku, apa kalian bisa memberikannya untukku."Menatap air yang membuat mataku perih. Kalau saja yang jatuh adalah pecahan kaca mungkin aku akan merasa lebih baik.
Sungguh aku merasa penat untuk menilai semuanya. Apa perlu aku bilang kalau ibu kini bisa saja mendapatkan rangking karena ayahkulah yang ternyata menjadi pembohong. Sembari memberikan piala oscar kepada ibuku dengan penghargaan sebagai wanita teraniaya dan membuat pilihan yang tepat.
"Selamat ibu, karena kamu menikah lagi dengan pria baik jadi kamu bisa tersenyum mengolok mantan suamimu."Aku menggigit kuku jempol tanganku dan masih meminta airmataku jatuh kembali. Karena rasanya kering dan perih.
"Ayah, kamu sangat keren. Melihatmu membawa pria kecil yang terus menjilat lehermu membuatku ingin bertanya? //Apa itu sungguh menyenangkan. Tidak cukupkah bermain-main dengan wanita bahkan teman satu kelasku kamu ambil juga. Ayah, aku akan bicara padanya saat sampai disekolah nanti. Bertanya apa semenyenangkan itu//" dan praktisnya aku ingin melakukannya juga. Sebagai panutan harusnya tahu kalau putra yang baik akan menirukan semua sikap yang tak hanya baik yang tak pantaspun akan menjadi salah satu note untuk arahan hidup. Baiklah aku akan kembali dengan penilaianku kali ini.
Dan sepertinya aku harus ikhlas mendapat nilai merah karena terus berusaha menutup mata atas kejahatan ayahku. Bahkan Nathan dengan lantang memperingatiku. Aku tak bisa berfikir jernih saat ini dan akupun tidak mau membuat keputusan untuk membenci seseorang.
"Aku bukang anak durhaka, sudah sering aku mengolok ibuku yang jelas surga ada ditelapak kakinya. Tapi aku tak takut dan terus mengumpat. Dan kini aku masih tak ingin dikutuk jadi batu,"aku menoleh sejenak karena mataku sudah mulai perih. Melihat air mengalir ketempat yang paling rendah.
"Air saja tahu dimana dia harus berakhir."Aku tersenyum tipis.
Yang sudah terjadi biarlah dan kini kuputuskan untuk pergi berjalan maju. Walau itu sulit aku pasti bisa melewatinya.
"Aku tidak pergi untuk melarikan diri. Aku sudah cukup untuk menyakinkan diriku sendiri."aku menepuk dadaku kasar. Rasa sesak itu ingin kurasakan kembali, dimana kerongkongan itu tertarik dan dadaku terasa tertusuk pisau belati yang tajam. Aku tidak ingin ditolong karena memang aku tidak sedang minta pertolongan. Aku ingin lepas dari rasa yang mencekik diriku.
Aku bangun dari rebahanku dan kini duduk sembari melihat lutututku. Aku sudah meminta Adam untuk memberitahu ibu bahwa aku memilih untuk kembali ke sekolah lama. "Jadi, Dean kamu harus memukul balik dengan prestasimu bukan skandal yang orangtuamu tulis di koran." Aku sarkastik. Aku terus meyakinkan diriku untuk pergi kedalam neraka yang dibuatkan oleh kedua orangtuaku.
"Perlukah aku membawa seember air es untuk mengatur suhu dingin," membayangkan semua wajah seluruh sekolah menatapku nyalang.
"Tidak menutup kemungkinan saat kamu bisa lari, suatu saat kamu dihadapkan dengan jalan yang sama. Apa aku harus repot-repot lari lagi. Jadi lebih baik berperang sekarang dan menyatakan kemenangan," mengusap wajahku kasar dan aku menyunggingkan senyumanku. Aku harus menghadapi neraka itu. Bila aku tidak tahan tinggal aku menenggelamkan diriku sendiri tanpa harus merasa menyesal.
Aku mengusap rambutku kebelakang, melihat wajahku yang sungguh menggelikan disana. Tiba-tiba aku tertawa melihat diriku yang sekarang.
"Hahhahah,"aku tergelitik dan ingin terus tertawa. Aku sampai harus memegang perutku karena disana terasa kaku. Aku mengusap lagi rambutku kali ini aku menggunakan kedua tanganku. Sembari melihat kearah kaca besar yang menyelidik apakah aku akan memecahkannya dengan tanganku.
"Hahahhahah,"aku masih ingin tertawa lagi dengan keras tapi aku tahu Adam masih ada dikamarku jadi aku memilih menyumpal mulutku dengan kaos yang masih aku pakai, aku tidak ingin mengeluarkan suara selain gemercik air. Lidahku terasa mati rasa karena merasakan air yang meresap kedalam kaosku.
Melihat diriku lagi didalam kaca yang basah. Lirikanku tajam sembari mengusap kaca itu dengan telapak tanganku.
"Aku ingin hidup."
........
Aku menari dibawah guyuran air. Melompat riang sembari mengangkat kedua tanganku. Membayangkan kalau aku tengah berada diantara hamparan bunga yang indah dan tidak ada siapapun yang melihat. Aroma harum bunga membuatku ingin terbang.
"Aku tidak perlu bersikap bodoh."Aku mematikan shower itu dan kini melepas kaosku yang basah dan keluar dari kamar mandi. Disana aku tidak melihat Adam tapi aku mendengar keributan dilantai bawah.
"Pasti dia datang."Aku tidak peduli dan kini memilih berkemas dan memakai baju seragamku. Mencari kaos kaki yang memang maid menata dengan rapi disana. Pergi menyisir rambutku dan kini aku melihat diriku didalam cermin.
"Ayolah Dean kamu tidak perlu menjadi buruk."Memuji diriku sendiri dan kini aku bersiap untuk pergi kesekolah. Tapi aku melirik kearah kaca jendela yang aku oecahkan semalam aku mendekat dan kini melihat dengan jelas perubahan yang sempat aku minta. Ada sebuah lapangan basket disana. Itu nyata dan bukan main si om bersikap cepat untuk memenangkan hatiku.
"Oh, "aku mengingat sesuatu, tentang sapu tangan dengan bordir yang tidak biasa. Aku kemarin merusak sapu tangan Adam dan karena noda darah itu tidak bisa lepas walau dicuci sangat sering karena Adam tetap menyimpannya membuatku merasa terganggu. Aku ingat mempunyai sapu tangan yang mirip dan kini aku sengaja membungkusnya. Aku akan bicara dengan pemilik sapu tangan itu, memintanya untukku dan aku akan memberikannya pada Adam. Kini aku menyimpan sapu tangan itu dalam tasku dan berharap aku bisa bertemu dengan pria yang kemarin.
"Baiklah Dean, mari sambut harimu dengan senyuman."Aku kini bersiap untuk turun. Tanpa beban sama sekali.
........
Dilantai bawah yang tadinya sangat riuh karena saling berdebat kini tiba-tiba senyap saat mereka melihatku turun dari tangga. Seolah-olah saling memberikan kode kalau tidak boleh ada pertengkaran saat ini. 'Bertengkar saja nanti setelah Dean pergi" mungkin, hanya itu yang kupikirkan saat ini. Tapi menurutku tidak pergi sungkan, toh itu biasa dilakukan orang dewasa kenapa harus memperhatikan perasaan ku. Dari awal saja saat memutuskan bercerai itu saja sudah salah, dan mencoba mengingat kembali dari awal apa kesalahan itu. Tidak perlu merasa bersalah padaku dan saling menyalahkan. Aku bisa menerimanya dan jangan bertengkar.
"Kenapa kalian berhenti?'Tanyaku dan masih memberikan senyuman pagi yang cerah.
"Hmmm, tidak perlu meminta maaf karena itu tidak mudah dimaafkan. Jadi aku tidak apa-apa, aku tidak akan meminta kalian untuk rukun."aku membungkuk sopan dan kini pergi meninggalkan mereka. Aku tidak perduli dengan apa yang mereka perdebatkan selanjutnya dan apa yang akan mereka bicarakan lagi setelahnya kala menyadari kalian juga sudah lelah. Saling mencibir, saling menyalahkan, merasa benar atau menjadikan diriku sebagai alasan sehingga harus berdebat seperti ini aku sudah tidak peduli. Dan yang aku ingin sekarang menikmati masa mudaku saja, toh ini hidupku.
"Oh iya, kakak aku mengambil kartumu. Kirimkan nomer pinnya agar bisa aku pakai."pesanku terakhir menoleh kearah Adam dan kini aku benar-benar meninggalkan rumah besar itu.
Aku pergi dengan sopir karena jarak nya cukup jauh dan aku tidak tahu harus pergi dengan bus mana agar sampai di sekolah.
"Pergi sekarang pak,"perintahku kepada sopir dan kini aku yang duduk dijok belakang memilih melihat jalanan yang mulai ramai.
......
....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top