Aku, Sisa Yakitori dan Gadis Patah Hati

By Niiza E

Aku Saki Sakuragi, duapuluh dua tahun, karyawati perusahaan swasta. Empat bulan sudah aku tinggal di Tokyo. Memalukan sih, tapi jujur sampai sekarang aku masih belum kerasan. Maklum saja, aku lahir dan besar di Biei, Hokkaido. Suasana kota yang serba canggih, ramai dan cepat sungguh jauh berbeda dengan suasana bukit-bukit di Biei yang asri, tenang dan damai. Belum lagi kalau bicara soal atmosfir di tempat kerja, persaingan ketat dan tekanan tinggi. Aku tahu tak akan mudah menyesuaikan diri di ibu kota, tapi siapa sangka akan sesulit ini.
Ah, aku ingin pulang. Aku rindu Biei.
Demi mengobati kerinduan dan demi mencari secuil motivasi, aku memutuskan untuk mengunjungi satu izakaya terkenal di daerah Shibuya. Patroli ke tempat-tempat minum seperti ini, terlebih ke wilayah seramai Shibuya, sama sekali bukan hobiku. Tapi izakaya ini istimewa. Kenapa? Ya, karena notebook SMA-nya yang fenomenal itu.
Di izakaya ini terdapat semacam 'buku tamu' dengan label sekolah-sekolah menengah atas dari segala penjuru Jepang. Pengunjung dapat mengambil buku dengan label SMA-nya untuk kemudian menulis 'pesan dan kesan' di sana. Tertata rapi di rak-rak besar, ratusan buku-buku hitam itu seolah menjadi bukti bahwa Tokyo adalah tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai daerah dan generasi. Aku sudah pernah melihatnya di televisi, tapi melihatnya langsung sungguh menakjubkan. Mataku sampai berkaca-kaca.
Ya, tujuanku ke izakaya ini adalah untuk mencari notebook dari SMA-ku. Setelah dengan cepat menghabiskan segelas bir dan dua porsi sashimi dan yakitori, aku langsung bergegas ke ruangan khusus buku-buku itu disimpan. Awalnya aku harap-harap cemas karena sekolahku bukan sekolah favorit di kota, tapi aku dapat menghela napas lega saat akhirnya kutemukan nama sekolahku terselip diantara sekolah-sekolah lain dari Hokkaido.
Ah, sungguh mengharukan.
Hanya sedikit yang menulis disana -yang berarti tak banyak alumni SMA-ku yang mampir ke tempat ini. Karena hanya beberapa lembar, aku mencoba membacanya dari awal. Aku membalik halaman demi halaman dengan senyum mengembang. Ada yang menulis tentang diri mereka, ada yang menulis tentang kehidupan di Tokyo, ada yang menulis kenangan waktu sekolah, dan banyak yang mengaku rindu Biei sepertiku. Lalu aku sampai di tulisan terakhir..
AKU BENCI HIDUPKU. AKU INGIN MATI.
Deg! Aku kaget melihat tulisan terakhir itu. Siapa? Kenapa menulis seperti itu? Tak ada nama, tak ada catatan tanggal ditulis.
Tanpa sadar, aku sudah dengan panik membawa buku itu dan menunjukkannya pada seorang juru masak di balik counter.
"Permisi. Aku ingin menunjukkan ini," kataku sambil memperlihatkan halaman terakhir buku itu padanya. Laki-laki itu menghentikan aktivitasnya membolak-balik tusuk yakitori, mengusapkan tangan ke celemek putihnya lalu meraih ujung buku dan mendekatkannya ke wajah.
"Seseorang menulis 'aku ingin mati'. Ini gawat. Apa kau tahu siapa yang menulisnya?"
Dahi laki-laki itu berkerut. "Kami tidak tahu, Okyaku-san. Banyak sekali yang datang kemari dan banyak sekali buku."
"Oh, tentu saja," aku menggigit bibir. "Maksudku, apakah kita bisa melakukan sesuatu? Dia tampak butuh bantuan."
Ia memandangiku keheranan seakan aku lebih aneh ketimbang tulisan di buku itu. "Rasanya tidak mungkin."
Bahuku melorot.
"Kami rasa itu cuma iseng."
Aku mengangkat alis. "Iseng?"
"Benar. Beberapa orang kadang menulis sesuatu sekedar untuk lelucon," katanya.
"Lagipula, seandainya pun dia serius, tetap saja tak ada yang bisa kita lakukan. Kalau saja ia menuliskan alamat atau kontak yang bisa dihubungi mungkin kita bisa membantunya," lanjutnya menjelaskan sambil tersenyum sopan. "Tidak usah khawatir, Okyaku-san. Kami yakin itu cuma iseng."
Aku memandangi tulisan itu sekali lagi lalu mengangguk. "Ya, mungkin kau benar."
Aku setuju, tapi tetap saja aku tidak bisa berhenti mencemaskannya. Maka sebelum mengembalikannya ke rak, aku meninggalkan pesan di bawah tulisan itu:
Hai, salam kenal. Aku Saki alumni ke-23. Baru-baru ini aku pindah ke Tokyo. Omong-omong, apa kau sedang ada masalah? Aku akan dengan senang mendengarkan kalau kau butuh teman curhat. (
***
Aku Arai Akihiko, duapuluh tiga tahun, mahasiswa pascasarjana ekonomi, lajang. Laki-laki yang duduk di sebelahku, dan di sebelahnya lagi, lalu juru masak yang tampak masih muda itu -pokoknya semua laki-laki yang mengelilingi counter izakaya ini dengan wajah kesepian -semuanya pasti baru ditinggal kekasih, berstatus duda, atau suami dengan istri cerewet.
Ah, tapi ini bukan tentang aku atau tentang para pria-pria kesepian itu.
Ini tentang seorang gadis aneh yang baru pertama kali ini kulihat di izakaya langgananku itu.
Sebenarnya aneh bukan kata yang tepat. Hanya saja, baru kali ini aku melihat seseorang sampai panik melihat tulisan iseng di notebook SMA.
Gadis itu berposter mungil, dengan rambut ikal lebat yang diikat satu ke belakang. Poninya rapi menutupi dahi, matanya terhitung besar untuk porsi wajahnya yang kecil. Wajahnya minim sekali make-up membuat hitam di kantung matanya terlihat cukup jelas. Meski begitu ia terlihat sangat manis. Aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya.
"Seseorang menulis 'aku ingin mati'. Ini gawat. Apa kau tahu siapa yang menulisnya?" katanya dengan wajah pias pada juru masak di balik counter.
Aku dapat menangkap nama sekolah di buku itu, sebuah sekolah dari Biei. Hokkaido, ya? Melihat setelan kantoran yang dipakainya waktu itu, aku taksir dia seorang yang baru pindah dari Hokkaido untuk bekerja di Tokyo.
Ia terlihat kecewa saat si juru masak mengatakan tak ada yang bisa mereka lakukan tentang note itu. Aku jadi tambah penasaran. Kenapa dia sekhawatir itu?
Diam-diam, entah atas dorongan apa, kuiikuti ia sampai ke rak buku. Kulihat ia menulis sesuatu di sana, lalu pergi meninggalkan izakaya. Ya, kau benar, aku lalu mengintip apa yang ditulisnya di sana.
Dan gawat, rasanya aku jadi jatuh hati.
***
Saki Sakuragi, 22 tahun, karyawati.
Semenjak kedatanganku yang pertama sebulan lalu, aku sudah beberapa kali kembali mendatangi izakaya ini. Seperti biasa, malam ini aku memesan segelas bir -meski akhir-akhir ini tidak puas hanya segelas -dan yakitori. Tidak seperti meja-meja lain yang berisi paling tidak dua atau tiga orang, aku duduk sendirian di meja pojok, membiarkan tiga kursi lainnya kosong.
Pemandangan yang cukup aneh sih, tapi mau bagaimana lagi, tidak ada rekan kerja yang bisa menemaniku.
Dan soal pesan aneh di notebook tempo hari itu, percaya atau tidak, aku mendapatkan balasan!
Aku yang menulis pesan sebelumnya. Maaf waktu itu aku sedang mabuk, jadi aku menulis yang aneh-aneh. Kau juga dari Biei, ya? Wah, lama sekali sejak ada pelanggan baru yang datang kesini. Salam kenal, ya. Aku Kanzaki, alumni ke-20. Aku pindah ke Tokyo waktu kuliah dan kini aku bekerja disini.
Semenjak itu, aku jadi lebih sering datang ke izakaya demi menulis pesan untuk Kanzaki-san. Setiap kali aku mengecek notebook, selalu sudah terdapat balasan. Kami menulis tentang pekerjaan kami -ia bekerja di bank, tentang kampung halaman kami di Biei, nostalgia tentang sekolah kami, dan saling menyemangati satu sama lain. Kanzaki-san banyak memberiku nasihat-nasihat untuk bertahan hidup di Tokyo. Setelah mengenalnya, ternyata ia lebih positif ketimbang tulisannya yang dulu.
Hei, apa menurutmu kita bisa bertemu? Langsung, bukan lewat note.
Itu pesannya yang terakhir, membuatku jadi gugup. Aku harus balas apa? Bertemu dengannya? Tentu saja aku ingin. Tapi lalu bagaimana kalau kami sudah bertemu nanti? Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan. Bagaimana kalau dia ternyata bukan laki-laki seperti yang kubayangkan selama ini melainkan perempuan? Ah, tidak mungkin, dia pernah menyebut bahwa dia bermain pitcher di klub baseball SMA. Bagaimana kalau aku tak seperti yang ia sangka? Bagaimana kalau kami tidak sesinkronis seperti di buku?
Panik menyergapku. Siapapun, tolong aku!
Aku mendongakkan wajah, mengedarkan pandangan ke seisi izakaya itu, seakan-akan ingin meminta saran pada seseorang. Saat itulah kulihat seorang laki-laki melihat lurus ke arahku, lalu berjalan mendekat. Ia memakai kemeja putih, rambutnya agak berantakan, satu tangannya menenteng tas kantor sementara sepotong jas hitam tersampir di tangannya yang lain.
Laki-laki itu berhenti di seberang meja dan senyum terkembang di bibirnya.
"Maaf, apa kau Saki Sakuragi-san dari Biei?"
Aku terkejut, ragu untuk menjawabnya.
"Ha-hai. Bagaimana Anda.."
Oh, jangan-jangan..
"Ah, syukurlah aku tidak salah orang!" senyumnya semakin melebar. Tuhan, senyumnya manis sekali. "Aku Kou Kanzaki, akhirnya kita bertemu juga, Sakuragi-san."
Eh?
EH?!
Aku berdiri tiba-tiba, membuat suara berisik yang menyebabkan pelanggan-pelanggan lain melihat ke arahku.
"Ka-kanzaki-san? Senang bertemu denganmu," kubungkukkan badan.
"Ah, jangan formal seperti itu, santai saja," katanya melambaikan tangan. "Apa aku boleh duduk disini?"
"Ya, boleh sekali. Um, maksudku, silakan," ucapku gugup.
Dan itulah pertemuan pertama kali. Rupanya sebelum ini Kanzaki-san pernah melihatku menulis di notebook SMA kami. Sejak itu dia sudah menyangka bahwa aku adalah gadis yang bernama Saki, tapi ia tidak berani menyapaku hingga sekarang.
Malam itu aku merasa malu, gugup, tapi juga amat senang. Siapa sangka Kanzaki-san ternyata persis seperti yang aku bayangkan: sopan, ramah, tampan pula. Kecuali bahwa ia tampak lebih muda dari yang aku bayangkan, seperti fresh graduate yang baru berburu lowongan kerja.
Ia memesan sebotol sake dan seporsi Yakitori. Kami menikmati minum tanpa banyak bicara. Sesekali kami akan bertemu pandang lalu tersenyum satu sama lain. Ah, sungguh memalukan sekali. Tapi tak ada yang ingin kami bicarakan. Rasanya, hanya duduk berdua dalam diam, saling menemani seperti ini saja sudah cukup.
Itu bukan pertemuan pertama dan terakhir kami tentu saja. Kami cukup sering bertemu lagi setelah itu. Seperti biasa, kami akan duduk bersama di meja pojok. Memesan beberapa gelas minuman dan beberapa piring sashimi dan yakitori. Menikmati makan dalam sunyi di tengah keramaian pengunjung lain dan wangi panggangan yang memenuhi ruangan.
Kanzaki-san kadang membawa notebook SMA kami ke meja, menuliskan sesuatu disana lalu memintaku membacanya. Bukan hal-hal penting, hanya sekedar 'bagaimana hari-harimu belakangan?' atau 'sake merek ini nikmat, ya?' atau 'kau tampak lebih ceria hari ini' dan semacam itu. Aku akan dengan senang hati membalasnya. Kami sungguh mirip dua bocah SD yang sedang terjerat cinta monyet. Kekanakan sekali, tapi juga romantis. Kebanyakan laki-laki akan malu melakukan ini, tapi Kanzaki-san sama sekali tidak. Kadang ada laki-laki dari meja seberang yang mencuri-curi pandang ke arahku, membuatku tak nyaman. Seakan tahu ada yang menggangguku, Kanzaki-kan akan menggeser kursinya sedikit untuk menghalangiku dari pandangan orang lain. Ah, aku jadi semakin menyukainya!
Jika ia ke izakaya tapi tak bertemu denganku, ia akan meninggalkan pesan di buku. Aku juga begitu. Buku tamu itu jadi seperti buku komunikasi pribadi kita. Tak terasa tiga bulan sudah sejak kami pertama bertemu. Ini sudah masuk akhir Desember.
Suatu malam, saat kami makan bersama lagi, Kanzaki-san tampak tidak seperti biasanya. Bagaimana ya menjelaskannya? Ia tampak gelisah, tapi beberapa saat kemudian tampak tenang, lalu gelisah lagi, dan sesekali wajahnya tersipu merah.
"Tahun baru nanti aku berencana pulang ke Biei. Apa kau juga akan pulang?" tulisnya di notebook.
Ah, apa berlebihan kalau aku berpikir Kanzaki-san ingin mengajakku pulang bersama?
"Sayang sekali tidak, aku tidak libur." Padahal aku juga ingin pulang menyaksikan Aoi Ike -danau biru -diselimuti salju dan dihias cahaya lampu di musim dingin.
Kanzaki-san tampak kecewa membaca balasanku itu.
"Sakuragi-san, ada yang ingin kukatakan padamu," tulisnya lagi.
"Apa?" balasku singkat, meski dalam hati aku sudah berharap yang tidak-tidak.
Ia meraih kembali buku itu, menulis sesuatu disana, lalu menutupnya tanpa menyerahkan padaku untuk kubaca.
"Aku rasa aku harus pulang sekarang," katanya bangkit dari kursi tiba-tiba. "Sakuragi-san, sampai jumpa lagi."
Laki-laki itu melangkah buru-buru, meninggalkan meja tanpa menghabiskan setusuk yakitori terakhir. Ah, dia memang selalu menyisakan yakitorinya.
Aku termenung memandanginya hingga tak tampak lagi sebelum aku ingat pada sesuatu yang ditulisnya di buku tadi. Degdegan kubuka buku itu, dan..
"Sakuragi-san, maukah kau jadi kekasihku? Kalau iya, sekembaliku dari Biei nanti, tanggal 3, pergilah kencan denganku. Aku akan menunggumu disini jam 7."
Aku harus menahan diri untuk tidak berteriak histeris.
***
Sabtu, hari ke-tiga Januari, seperti yang dijanjikan, aku datang ke izakaya sore-sore. Aku berdandan cantik dan memakai baju musim dingin terbaikku, bukan dengan pakaian kantor dan sehabis pulang kerja seperti biasanya.
Jangan tanya aku segugup apa hari ini. Aku bahkan terpaksa berlatih apa yang akan kukatakan nanti saat bertemu Kanzaki-san. Pertama-tama aku akan bilang, "Selamat tahun baru. Maaf, apa kau sudah lama menunggu?"
Lalu ia akan menjawab, "ah, tidak sama sekali."
Tapi..
Tidak ada jawaban itu.
Tidak ada Kanzaki-san disana.
Yah, tadi aku hanya mengasumsikan bahwa laki-laki akan jadi pihak yang menunggu di kencan pertama. Tapi tak masalah juga kalau aku yang harus menunggu sebentar.
Maka aku menunggu..
Dan menunggu.
Aku sudah duduk manis di meja pojok sejak izakaya ini dibuka. Langit di luar semakin gelap, pengunjung semakin banyak berdatangan, yakitori yang kupesan sudah dingin dari tadi. Tapi Kanzaki-san belum juga datang. Aku tetap menunggu, hingga jarum jam di tangan menunjuk angka delapan, lalu sembilan, lalu sepuluh. Tiga jam sudah aku menunggu. Orang-orang mulai mencuri-curi pandang ke arahku. Terutama seorang lelaki di meja sebelah. Aku mulai tak nyaman.
"Mungkin..ada sesuatu yang mendesak," kataku pada diri sendiri sembari memungut tasku dan beranjak dari meja. "Aku akan tinggalkan pesan kalau-kalau dia kesini besok atau lusa."
Kanzaki-san, kemarin aku datang tapi karena kau tak ada jadi aku memutuskan pulang. Apa kau ada urusan mendesak? Semoga urusanmu lancar. Lain kali aku akan datang lagi.
Bohong kalau aku bilang aku tidak kesal. Jujur aku kesal dia tak datang meski dia sendiri yang membuat janji. Tapi aku tak ingin kemarahan menguasaiku. Aku memutuskan untuk bersabar sampai ia memberi penjelasan nanti.
Beberapa minggu berikutnya aku datang lagi, tapi aku tak pernah bertemu dengannya, pun tak pernah ia membalas pesanku di buku tamu.
Kanzaki-san, apa kau telah kembali dari Biei? Aku mencemaskanmu. Semoga kau baik-baik saja.
Rasa marahku berubah jadi khawatir. Bayangan bahwa sesuatu yang buruk telah menimpa Kanzaki-san dalam perjalanannya ke Biei menari-nari di benakku.
Aku mencoba bertanya pada juru masak dan pelayan-pelayan di izakaya ini, apakah mereka pernah melihat laki-laki yang sering duduk bersamaku. Aku kira mereka pasti hafal wajah kami karena kami sering kesini. Tapi para pelayan itu hanya menggeleng tidak tahu.
Ah, andai saja aku punya nomor telepon atau alamat e-mail Kanzaki-san!
Kanzaki-san, kapanpun kau membaca tulisan ini, kuharap kau membalasnya. Aku ingin tahu kau baik-baik saja.
Lewat sebulan, pesanku tetap tak terbalas. Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Apa Kanzaki-san benar-benar tak pernah datang ke izakaya ini lagi? Apakah sebenarnya dia datang tapi sengaja tak membalas pesanku?
Suatu hari empat muda-mudi berisik yang nampaknya anak-anak kuliahan menguasai meja pojok yang biasanya kutempati, aku terpaksa duduk di meja sebelahnya. Menatap lesu otōshi, gelas bir besar dan sepiring yakitori di depanku yang belum tersentuh.
"Yang benar saja, apa dia bodoh?"
Suara cempreng dari salah satu perempuan di meja pojok itu mencuri perhatianku. Aku menoleh ke arah mereka dan betapa syoknya aku ketika kutangkap tulisan 'Biei' di buku tamu yang sedang dipegangnya.
"Benar. Jelas laki-laki ini mempermainkannya, tapi dia masih saja menunggu," timpal perempuan yang lain.
"Tapi omong-omong, hebat ya bisa saling berkirim pesan seperti ini lewat buku tamu," kata laki-laki berkacamata.
"Hebat? Bisa saja dialog-dialog ini cuma rekayasa orang yang cari sensasi," ujar pemuda yang lain.
"Benar juga, ya?"
"Haha."
"Menggelikan sekali."
"Harusnya kalau mau cari sensasi jangan di SMA udik seperti itu, cari SMA yang terkenal supaya banyak yang baca."
"Hei, jangan menghina sekolahku, ya?"
"Ups, maaf, maaf."
Kualihkan pandanganku. Aku tak sanggup lagi melihat mereka.
"Tapi seandainya ini nyata, perempuan ini gampangan sekali.."
Kututup kupingku dengan kedua tangan. Aku tidak ingin mendengar mereka!
"Mudah sekali percaya dengan laki-laki asing yang ia temui di tempat minum.."
"Wajar saja kalau akhirnya dipermainkan.."
"Aku jadi kasihan.."
Aku tidak tahan lagi! Kutinggalkan selembar uang seribuan di atas meja, lalu bangkit meninggalkan izakaya itu buru-buru. Air mata tak dapat kubendung lagi.
Aku pasti jadi pusat perhatian orang-orang di jalan tapi aku tidak peduli. Aku terus berjalan. Tak peduli arah, pokoknya aku ingin jauh-jauh dari izakaya itu.
Hingga tiba-tiba orang-orang di sekitarku memekik histeris, dan ketika kucoba menoleh, sesuatu yang sangat keras menghantamku dari samping.
Tubuhku terpental. Lalu segalanya di sekitarku berubah gelap.
Rasanya setelah itu aku tertidur lama sekali.
***
Hai, ini Arai Akihiko lagi. Masih ingat?
Oh, tidak. Kali ini aku tidak lagi duduk di belakang counter bersama pelanggan-pelanggan kesepian lainnya. Sudah beberapa kunjungan terakhir ini aku mengambil tempat duduk di meja untuk pengunjung berkelompok meski, yah, aku tetap sendirian. Alasannya? Apalagi kalau bukan karena aku penasaran dengan gadis yang datang kesini tempo hari.
Rupanya, laki-laki yang menulis pesan 'AKU INGIN MATI' waktu itu bernama Kou Kanzaki. Darimana aku tahu? Tentu saja dari percakapan Saki Sakuragi -nama gadis itu -dengannya di buku tamu. Aku terus mengintip isi buku tamu SMA dari Biei itu -silakan saja panggil aku stalker. Semenjak itu Sakuragi sering mengunjungi tempat untuk membalas pesan laki-laki bernama Kanzaki.
Isi percakapan mereka sungguh manis, mereka saling mengenal satu sama lain, saling menyemangati, mengingatkanku pada koleksi manga shoujo milik adikku. Aku berharap akulah yang berada di posisi Kanzaki, bisa berbalas pesan dengan perempuan cantik itu. Aku sering berpikir untuk menyambangi mejanya di pojok -tempat favoritnya -dan mengajaknya kenalan. Tapi..
Baru-baru ini aku merasa ada yang ganjil dengannya.
Ini berawal ketika dia tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya, aku yang saat itu duduk di meja sebelahnya sontak menoleh ke arahnya. Kulihat ia tiba-tiba membungkukkan badan, seperti baru menyapa seseorang meski tidak ada siapapun di depannya. Itu membuatku heran, jadi kuperhatikan dia terus. Ia memesan sebotol sake dan porsi yakitori tambahan. Anehnya ia menyisihkan sake dan yakitori itu ke sisi meja yang lain, seakan-akan menyuguhkannya untuk orang yang duduk di depannya. Padahal tentu saja, tidak ada siapa-siapa di depannya.
Dari sudut mataku, kulihat ia sebentar-sebentar melihat ke depan, lalu tersipu dan menunduk. Kunjungannya kali itu lama sekali. Sebelum meninggalkan meja, ia menenggak sake dan melahap porsi yakitori tambahan, hanya tersisa satu tusuk saja. Aku terheran-heran di tempatku, tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Itu terjadi tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku terus mengecek isi buku tamunya, datang ke izakaya tiap Jumat malam -hari biasanya gadis itu datang, dan duduk di meja sebelahnya untuk memperhatikan. Suatu hari ia membawa notebook SMA-nya ke meja, dan menulis banyak sekali di sana. Lalu seperti biasa ia memesan sake dan yakitori tambahan, menyisakan setusuk yakitori ketika ia pulang. Karena penasaran, setelah ia pulang aku mengecek apa yang ditulisnya tadi. Tebak apa? Percakapan antara ia dan laki-laki bernama Kanzaki bertambah banyak.
Minggu berikutnya aku datang lagi, kupastikan untuk mengecek tulisan terakhir di buku SMA itu sebelum Saki Sakuragi datang. Seperti yang kuduga, ia kembali membawa buku itu ke meja, menulisinya sambil minum-minum bir, memesan tambahan sake dan yakitori, tersenyum dan tersipu-sipu, lalu pulang dengan menyisihkan setusuk yakitori. Dan lagi-lagi, percakapan antara Saki Sakuragi dan Kanzaki bertambah, seakan selama makan malam itu, Saki saling berbalas pesan dengannya.
Aku tak bisa berhenti memikirkan tingkah aneh gadis itu.
Dan mau tak mau aku sampai pada satu kesimpulan: sosok Kanzaki itu hanyalah khayalannya. Saki Sakuragi berkhayal ketika bercakap-cakap dengannya di buku -bahkan kalau diperhatikan tulisan tangan mereka mirip sekali. Ia berkhayal ketika menganggap ada seseorang yang menyapanya. Ia berkhayal bertemu sosok Kanzaki di izakaya. Dan mungkin..
Dari awal, ia sendiri yang menulis pesan 'AKU INGIN MATI'.
Kenapa? Apakah ia mengalami depresi berat hingga berhalusinasi?
Keinginanku untuk mengenalnya semakin kuat, apalagi semenjak janji berkencan di tahun baru itu. Gadis itu benar-benar menungguinya. Tentu saja tak ada Kanzaki atau laki-laki manapun yang datang. Tapi kali ini, entah kenapa ia berhenti mengambil peran Kanzaki. Ia berhenti membalas pesannya sendiri sebagai laki-laki itu. Suatu hari, ia bahkan bertanya pada para pelayan soal Kanzaki. Tak ada yang tahu, karena tak ada yang pernah melihat ia duduk bersama laki-laki.
Tapi Saki Sakuragi tetap rutin datang ke izakaya ini, seakan berharap suatu hari Kanzaki akan muncul lagi.
Ah, gadis itu terlihat benar-benar patah hati.
Setelah memantapkan diri, akhirnya aku memutuskan untuk bicara dengannya. Waktu itu aku kembali tergeser ke counter - ramai sekali pelanggan, meja-meja telah penuh. Aku minum-minum sambil menungguinya selesai makan, berencana menyapanya nanti saja kalau ia sudah keluar dari izakaya ini.
Tapi rupanya aku keliru.
Entah kenapa tiba-tiba ia menghambur keluar dengan buru-buru, ia bahkan tidak berhenti di kasir. Pasti ada sesuatu yang tak beres dengannya. Cepat-cepat aku beranjak ke kasir untuk membayar lalu keluar menyusulnya. Ia berjalan cepat sekali, orang-orang yang lewat di sampingnya banyak yang menoleh.
'AKU INGIN MATI.'
Pesan itu terngiang di kepalaku. Apakah pikiran itu juga terbesit lagi di benaknya? Ah, jangan sampai.
Aku mempercepat langkahku. Kulihat ia mendekati perempatan lampu merah. Menyusup cepat di antara orang-orang yang mengantri untuk menyebrang sungguh pengalaman yang tidak menyenangkan. Kukira aku akan berhasil menyusulnya saat ia berhenti berjalan. Tapi ia tak berhenti. Langkahnya malah semakin cepat.
Hei, lampu untuk pejalan kaki masih merah! Sekelebat mataku menangkap minibus yang melaju dari arah kanan.
"Berhenti!"
Kumohon!
***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top