PROLOG

Umurmu berapa sekarang?

Umurku? Setidaknya saat menulis buku ini, aku hendak berusia 23.

Waw, cukup dewasa ... mungkin?

Namun, aku tak merasa begitu. Aku tak merasa telah menjadi dewasa. Aku hanya merasa bahwa aku adalah anak-anak yang terjebak di tubuh orang dewasa. Pikiranku masih terkerangkeng kenangan demi kenangan masa lalu yang belum usai.

Memang, hidupku pernah melaju secepat air yang terjun bebas dari ketinggian. Menikmati masa kanak-kanak yang penuh kenakalan, mengisi masa remaja dengan kisah kasih dan pertemanan, mengisi masa beranjak dewasa yang ternyata terlalu jauh dari khayalan.

Lalu, tiba-tiba hidupku seperti berhenti begitu saja. Roda yang kukayuh dengan penuh semangat mendadak selip, padahal di jalan datar. Angin yang kugunakan sebagai pendorong pun mendadak raib, tak berembus sedikit pun.

Aku ... sendirian, di tempat hampa ini, di tempat asing ini.

Kulihat, balon-balon penuh warna terlepas dari genggaman dan terbang begitu saja. Kutengok pun, orang-orang yang tadi mengayuh sepeda bersamaku, melaju dengan lebih cepat dan tak menoleh sedikit pun padaku yang tertinggal jauh ini.

Lalu, aku melirik ke belakang, pada sekelompok orang yang terus mengumpat sambil meneriakkan banyak sorakan.

"Kau gagal!"
"Kau tak berguna!"
"Kau mengecewakan!"
"Lihat, mereka sudah makin jauh darimu!"

Itu menyakitkan.

Apakah ini perlombaan?

Apakah hidup adalah perlombaan?

Apakah pencapaian adalah perlombaan?

Ah ya, pada usia 10 kira-kira, aku pernah berlomba meneriakkan cita-cita paling keras dengan teman-teman sekelasku; hanya untuk menjawab pertanyaan guru dan mendapat perhatiannya.

Pada usia 13, aku mulai berlomba dengan teman-teman perempuanku untuk menjadi siapa yang paling menarik; siapa yang paling cepat mendapatkan cinta pertamanya dan laki-laki idamannya. Lalu, kami bisa saling pamer kisah kasih cinta pertama yang manis.

Pada usia 15/16, aku kembali berlomba (kali ini lebih ketat) dengan teman sebayaku untuk berhasil menembus universitas impian. Ada juga yang memilih untuk langsung mengejar karier. Kami mulai terpisah, tetapi tetap saling berlomba agar menjadi yang paling cepat berhasil mewujudkan keberhasilannya.

Pada usia 17, 18, 19, 20, semua terasa lebih kompleks. Persaingan terasa makin kuat. Arena perlombaan terasa makin memanas.

Lalu, kegagalan terasa lebih menyakitkan, lebih memalukan, lebih menghancurkan.

Untuk itu, aku memilih beristirahat sebentar. Mungkin leha-leha sedikit tak akan berpengaruh. Toh, aku juga perlu refreshing pikiran dengan jalan-jalan ke tempat impian, atau me time bersama teman, atau ...

Waw! Ternyata ada banyak hal yang ingin kulakukan. Ini masa remaja, kan? Masa indah yang harus dinikmati. Masa yang harus dipenuhi beragam warna. Masa-masa yang paling tepat untuk mulai melakukan pemberontakan-pemberontakan kecil.

Namun, aku menyadari, aku tak seambisius itu. Aku memang berlomba, aku memang ingin menang, tetapi aku tak seambisius itu. Aku hanya ... mengikuti arus. Aku senang saat melihat teman-temanku sibuk belajar, jadi aku ikut belajar. Aku juga senang saat melihat teman-temanku romantisan bareng pacar, jadi aku juga langsung cari pacar. Aku iri pada teman-temanku yang bisa bebas main sepuasnya, jadi aku juga mulai nakal cari alasan agar bisa keluar hangout meski harus membohongi Mama-Papa.

Aku melupakan fakta penting, bahwa hidup adalah tentang roda yang berputar, tentang pergantian yang tak pasti, tentang kejutan-kejutan tak terduga yang terus menanti.

Pertemuan selalu diakhiri dengan perpisahan. Masa hidupku berganti, lingkungan indah itu pun hilang.

Sekarang yang tersisa justru kehidupan keras yang penuh siksaan. Fakta menyakitkan baru kutemukan saat hidupku tepat berada di ujung tanduk.

Aku gagal masuk universitas, tetapi aku tak menyesal. Aku justru sedih berkepanjangan saat putus dari pacar. Aku hancur, merasa diriku ini sudah tak berguna, jadi aku dibuang.

Aku ingin menyangkal seperti nasihat mereka. Namun, makin direnungi justru fakta itu makin terasa kuat.

Aku memang tak berguna.

Hari-hariku yang telah dilalui sudah lebih dari sepuluh ribu, tetapi apa yang kudapat sekarang? Harusnya ada banyak pencapaian. Harusnya hidupku ada peningkatan. Namun, ...

Tidak ada.

Benar-benar tidak ada.

Sekarang yang kutemukan hanyalah diriku. Benar-benar diriku yang sendirian.

Mama-Papa masih ada, tetapi mereka kelihatan jauh dan menatap dengan penuh kehampaan.

Teman-teman telah pergi entah ke mana. Sepertinya mereka sibuk dengan dunia masing-masing.

Lalu, tak ada tali-tali balon di tanganku. Ah, padahal balon-balon itu berisi kertas impian, cita-cita, dan tujuan hidupku.

Jadi, sekarang aku tak punya apa-apa. Dan aku benci ini.

Aku benci saat aku menyadari bahwa betapa aku ini tak berguna. Aku tak suka saat ternyata aku tahu bahwa diriku tak bernilai; tak lebih dari orang gagal yang masih diberi kesempatan hidup. Aku ingin marah saat menyadari bahwa aku telah banyak membuang waktu, menepikan diri dari zona produktif hanya untuk kesenangan sesaat.

Aku orang gagal?

Ya, dan aku membencinya.

Aku membenci diriku.

Aku amat membenci diriku yang payah dan bodoh ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top