Aku Mencintainya
Sore itu di teras depan rumahku yang kini sudah sangat sepi, suamiku duduk termenung di kursi rodanya. Tangannya memegang gelas berisi setengah air jeruk hangat. Minuman yang dulu sangat jarang ia nikmati, tapi tidak hari ini. Hari ini genap satu tahun suamiku hanya bisa terduduk di kursi rodanya, tanpa bisa berjalan normal seperti sebelumnya.
Ingat saat kejadian naas itu terjadi, saat itu suamiku sedang bersama seorang gadis muda yang cantik manakala mobil yang mereka naiki mengalami kecelakaan hebat hingga menyebabkan kaki suamiku lumpuh. Gadis muda itu adalah orang ketiga dalam pernikahan kami. Dia begitu sangat berbeda denganku yang terlihat begitu kumal dan tidak menarik. Salahku juga yang tidak bisa dan tidak punya waktu luang untuk sekedar merias diri, sekedar mandi bersih seperti saat aku masih belum seperti ini, saat aku masih belum punya anak-anak balita. Aku memang tidak percaya dengan orang lain sehingga tidak membiarkan anak-anak kami diasuh orang lain, termasuk orang tua kami sendiri. Aku ingin sepenuhnya menjadi ibu untuk mereka. Tapi justru inilah awal ujian rumah tangga kami dimulai.
"Besok aku ada event di luar kota, jadi mungkin aku nginep tiga hari.” ujar suamiku sambil merapikan kemejanya di depan kaca rias kamar kami.
“Event apa, kok dadakan?” tanyaku agak kurang percaya.
“Ya ada wedding di puncak.” jawabnya singkat.
Agak aneh aku mendengarnya, tapi ya sudahlah namanya juga suamiku kerja cari nafkah untuk kami di rumah. Aku bersyukur dalam hati karena suamiku semakin hari semakin di lancarkan rezekinya. Mungkin salah satu sumbernya adalah do'a yang tidak putus-putusnya dariku setiap saat.
Sore itu suamiku pergi ke puncak mengendarai mobil. Mobil sederhana yang berhasil kami beli dengan usaha yang sangat keras. Begitu lama kami menabung untuk membeli rumah dan mobil sederhana ini. Karena pekerjaan suamiku yang penghasilannya tidak begitu besar. Teringat saat kami terpaksa menunggak uang kontrakan semasa awal pernikahan, semasa balita kami ada tiga orang. Betapa kami harus menahan keinginan untuk memiliki baju-baju baru seperti orang lain. Betapa saat itu bayar sekolah anak-anak yang masih TK pun kami sering menunggak. Tapi kini sudah sangat berbeda keadaannya, suamiku sudah bisa memberikan segala yang kami inginkan. Usahanya sudah semakin maju, namun waktu kebersamaan kami makin lama makin berkurang. Suamiku sering tidak pulang, alasannya lembur event penting.
“Bunda, aku mau ulang tahun nanti bisa merayakannya sama Ayah, kita makan malam bersama.” pinta si sulung esok hari di meja makan saat kami sarapan bersama.
“Insyaallah ya nak, berdoa saja Ayah bisa makan bersama di hari ulang tahunmu nanti.” jawabku menenangkan hatinya.
“Ayah kemana sih Bun, kok nggak ikut sarapan?” tanya si tengah di sela-sela makannya.
“Ayah ke puncak sayang, ada acara penting katanya.” aku menjawab sambil tersenyum.
“Kapan pulang?” tanya si bungsu yang sedang asyik melahap nasi goreng seafood kesukaannya.
“Mungkin Senin pagi sayang, sabar ya nak Ayah kerja capek dan jauh dari rumah itu untuk kalian anak-anak Ayah yang sangat Ayah sayangi, jadi kalian harus selalu berdoa semoga Ayah dilancarkan kerjanya dan dilimpahkan berkah sehat.” tanganku menyendok nasi goreng di piring yang sudah hampir habis.
Selesai sarapan mereka bertiga berangkat ke sekolah, diantar supir pribadi. Anak sulungku duduk di kelas 6 , si tengah kelas 5 dan si bungsu kelas 3. Anak-anakku bersekolah di SD Islam terpadu dengan harapan anak-anakku kelak tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dari kami orang tuanya.
Seusai anak-anak berangkat sekolah, aku mulai merapikan meja makan, mencuci perabot dan piring kotor. Aku dengan senang hati melakukannya, sambil bersenandung kecil ku cuci semua perabot dan piring kotor itu.
Bulan mengambang di langit malam, putih sinarnya membelai wajahku yang sedang duduk di teras menunggu suamiku datang, terakhir dia memberi kabar kemungkinan malam ini dia akan pulang, tapi sampai hampir tengah malam suamiku belum juga datang. Aku mulai gelisah, ku mencoba menghubunginya lewat telepon seluler, tapi tidak aktif. Berkali-kali ku coba, belum juga aktif. Kegelisahanku makin bertambah. Ku coba menghubungi anak buahnya, tapi tak satupun menjawab telepon dariku.
“Bunda, ayo masuk, aku mau dikelonin. Aku nggak bisa tidur.” Si bungsu datang menghampiriku.
“Ayo sayang, kita ke kamar lagi ya, Bunda temani kamu tidur.” Aku menggandeng tangan si bungsu, lalu membawa ke kamarnya.
“Bun, kenapa Ayah belum pulang?” tanya si bungsu lagi sambil memelukku di tempat tidur.
“Adek tidur dulu ya, semoga besok pagi pas Adek mau sekolah Ayah sudah datang. Oke, sekarang berdoa dulu,” bujukku.
Pagi ini aku sangat menantikan kedatangan suamiku sebelum anak-anak berangkat sekolah, tapi sampai anak-anak berangkat, suamiku belum juga muncul. Di hubungi juga tak bisa. Begitu pula anak buahnya, tidak ada yang mau jawab panggilan telepon dariku. Kegelisahanku tiba-tiba hilang saat ku dengar suara mobil berhenti di depan rumah. Aku melihat suamiku keluar mobil membawa tas ransel besarnya. Wajahnya kusut, tak ada senyum di sana. Mungkin dia kelelahan, batinku.
“Mau mandi dulu atau makan dulu, Yah? Biar aku siapkan.” tanyaku setelah mencium tangannya dan mengambil alih tas ransel itu dari tangannya.
“Aku udah makan, sekarang aku mau tidur dulu. Nanti sore mau kerja lagi. Tolong Siapin kemeja ya. Oiya, bangunin jam 4.” jawabnya sambil berlalu ke kamar. Aku membuntutinya dari belakang. Suamiku langsung tidur, sepatunya pun masih menempel di kakinya. Aku berusaha memaklumi, karena aku pikir dia kurang tidur tiga hari ini. Aku lepaskan sepatunya, lalu kaos kakinya. Di saat aku bermaksud untuk pergi keluar kamar, tiba-tiba ada nada di handphone suamiku, aku takut itu pesan penting maka tanpa pikir panjang, aku langsung membukanya. Deg!!! Hatiku berasa di hantam batu karang yang begitu besarnya saat ku baca isi pesan masuk yang ternyata dari seorang wanita. Wanita muda. Aku menangis tak terbendung. Aku terisak, sakit. Sakit sekali rasanya. Penantian kami di sini, doa kami di sini selama ini, ternyata ini jawabannya.
Aku yang emosi langsung menepuk keras pipi suamiku. Ku bangunkan dia secara paksa. Aku ingin bicara, aku ingin selesaikan masalah ini, sekarang juga! Suamiku kaget dan langsung bangun. Ku tunjuk wajahnya dengan emosi memuncak.
“Siapa dia?!” Aku melempar handphone-nya penuh emosi, dan mendarat tepat di pangkuannya.
Suamiku gelagapan. Antara mengantuk dan kebingungan menjawab pertanyaanku.
“Aku kurang apa, Yah?” nadaku melemah. Emosiku menurun. Berganti air mata yang makin deras. Suamiku mencoba menenangkan dengan berusaha memegang tanganku, tapi ku tepis.
“Maaf, aku khilaf.” jawabnya singkat. Terlihat penyesalan di matanya. Tapi aku tak peduli, aku masih saja melanjutkan tangisku. Tangannya terus saja mencoba meraihku. Namun aku menghindar, tak ingin di sentuhnya.
Aku berlari keluar kamar, suamiku membuntuti dari belakang. Berkali-kali dia mengucapkan maaf.
“Tidak, kesempatan itu hanya sekali.” cegahku sambil menepis tangannya yang terus menerus mencoba meraihku.
“Aku khilaf, aku manusia. Aku bukan malaikat, tolong maafkan aku, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku janji, aku akan perbaiki semua, kita mulai lagi dari nol ya, seperti dulu. Ya, aku mohon.” pintanya memelas. Hatiku yang terdalam tidak ingin berpisah dan jauh dari suamiku.
“Hanya ada satu lagi kesempatan, aku juga hanya manusia yang bisa sakit hati. Ini terakhir.”
“Iya, ini terakhir. Aku janji.” ucapnya gembira seraya memelukku erat-erat. Aku pun membalas pelukannya berharap kami bisa memperbaiki semua ini.
Hari ulang tahun si sulung, sampai tengah malam kami berdua menunggu sang Ayah pulang dan menepati janjinya untuk makan malam bersama. Si tengah dan si bungsu sudah tertidur karena lelah menunggu. Namun yang di tunggu tak juga datang. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi tidur.
Pagi harinya, ku dapati suamiku sudah tertidur di sofa. Wajahnya kusut, terlihat sangat lelah. Saat aku ingin menghampirinya untuk menyuruhnya pindah ke kamar, tiba-tiba telepon rumah kami berdering. Aku bergegas mengangkatnya.
“Halo ... “
“Maaf ya aku baru balikin suamimu, aku nggak mau suamimu pulang untuk anakmu yang ulang tahun. Makanya aku tahan dia, dan lihat, dia lebih memilih aku daripada kamu.” ucapannya sangat membuat aku marah dan sedih. Tapi aku coba tegar. Ku tata hatiku agar bisa berkata-kata.
“Maaf, kamu siapa, dan apa yang kamu mau?” tanyaku berusaha tenang.
“Kamu pasti tahu aku siapa, dan jelas yang aku mau hanya suamimu. Toh suamimu sudah bosan sama kamu, kamu itu kampungan, jelek, malu-maluin deh pokoknya, nggak cocok sama suamimu yang trendi itu.” hatiku benar-benar sudah hampir kehilangan kesabaran, tapi aku berusaha waras, sewaras mungkin, ku sebut nama Allah dalam hati, meminta kekuatan dari-Nya.
“Jika benar demikian adanya, baik, biar aku yang mengalah. Silakan kalian bersama asalkan kalian bahagia. Tolong jaga suamiku baik-baik.” ucapku terhenti oleh tangisku yang mulai meledak. Cepat ku tutup telepon. Aku berusaha sadar dan tidak gugup, aku sudah memutuskan untuk pergi dari rumah ini, suamiku sudah mengkhianati kepercayaan dan sucinya cintaku dan anak-anakku. Aku menangis sejadi-jadinya, seraya berkemas.
Aku pergi meninggalkan rumah dan suamiku, ku jemput anak-anakku. Aku pergi meninggalkan semua kenangan yang terus membayangi mataku yang makin kabur tergenang air mata.
“Nak, kita hidup berempat ya, di sini. Kita mulai semua dari nol. Bunda tidak bermaksud menjauhkan kalian dari Ayah, tapi untuk saat ini lebih baik kita tidak lagi tinggal bersama Ayah. Bunda harap kalian mau mengerti dan memaafkan Bunda.” aku berusaha menjelaskan dengan bahasa sederhana agar mereka mengerti tanpa harus memaksa mereka berpikir terlalu jauh tentang keadaan ini.
“Kalau aku kangen sama Ayah, apa aku boleh ketemu Bun?” tanya si sulung.
“ Tentu boleh Nak, kalian tetap anak Ayah, dan berhak kapan saja ketemu Ayah.” ucapku lembut.
Si sulungku tersenyum walaupun aku tahu hatinya bertanya-tanya tentang keadaan ini. Aku berharap agar semua kejadian ini tidak berpengaruh terhadap nilai-nilainya di sekolah, apalagi dua bulan kemudian adalah Ujian Nasional.
“ Kalian harus selalu rajin belajar ya Nak, jangan khawatir Bunda akan berusaha mencukupi segala kebutuhan kalian.” aku berusaha tegar di depan mereka walau sebenarnya hatiku masih teramat sakit.
Aku memulai berjualan kue keliling demi menghidupi anak-anakku. Demi sekolah mereka. Ayahnya tak begitu rutin mengirim uang untuk membayar sekolah. Walaupun status kami masih suami istri namun aku tidak ingin lagi mengusik ketenangan suamiku dan wanita barunya. Entah hubungan seperti apa yang mereka jalani, aku tak ingin tahu.
Tahun demi tahun berlalu, usahaku semakin maju. Tak terasa hampir 6 tahun berlalu, Si sulungku sudah duduk di bangku kelas tiga SMA. Sebentar lagi Ujian Nasional. Siang itu aku habis mengantarkan pesanan kue ke rumah seorang pelanggan, saat tak sengaja aku melihat sosok yang aku kenal. Sosok itu berjalan tertatih-tatih di bantu tongkat kayu reot. Pakaiannya kumal, ku dekati sosok itu memastikan bahwa penglihatanku tidak salah.
“Maaf Pak ... “ sapaku ragu.
Lelaki itu menoleh, dan benar sosok yang aku lihat adalah sosok yang sangat aku kenal. Dia suamiku, suami yang telah menyakitiku dan anak-anakku. Dadaku sesak, sesak akan kecamuk perasaan yang sudah lama aku lupakan, tapi mendadak rasa itu kembali muncul. Aku menangis, entah apa alasannya, namun tak kuasa ku sembunyikan rasa sedihku melihat keadaan suamiku. Spontan aku memeluknya, aku terisak sejadi-jadinya.
“Maafkan aku ... “ sesal suamiku.
Hanya kalimat itu yang berulang kali aku dengar dari mulutnya. Dia menangis.
Kubawa dia pulang ke rumah kecilku. Dia bercerita tentang peristiwa yang telah terjadi semenjak aku pergi meninggalkannya. Dia ditinggalkan kekasih barunya saat dia lumpuh, dan hartanya sudah di kuras habis olehnya.
“ Tingallah di sini, kita mulai dari nol. Seperti dulu. Aku yakin kita pasti bisa. Anak-anak kita akan sangat bahagia. Mereka sangat merindukanmu.”
“Kok nangis? Kenapa?” aku datang dan melihat suamiku termenung memegang gelas berisi air jeruk yang tak lagi hangat. Matanya sembab, dia menangis.
“ Kamu udah pulang?” tanyanya mencoba tersenyum. Kuulurkan tanganku menghapus air matanya. Lalu ku cium tangannya, kemudian pipi kanan dan kirinya.
"Terima kasih banyak ya, untuk cintamu yang tidak pernah berkurang.” aku memeluknya. Aku mencintainya, dan beginilah caraku mengungkapkannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top