BAGIAN KETUJUH S2: MENYAMAR
Sekarang kami berdua sedang berjalan-jalan menikmati kota negara asing ini. Banyak sekali orang-orang bertampang bule di sini dan tinggi-tinggi. Ternyata memang benar, orang barat itu memiliki tinggi yang luar biasa. Bahkan perempuannya saja kebanyakan tingginya hampir sama sepertiku.
"Lu- Maksudku, Rebecca. Apa kau baik-baik saja?"
Kami sudah menyamar dengan sihir penyamaranku. Kami sekarang menjadi orang bule dengan penampilan yang tidak terlalu modis sehingga tidak menarik perhatian. Ini juga menjadi alasan aku mengubah penampilan kami menjadi seperti warga sekitar, karena dengan penampilan yang berbeda malah menjadi pusat perhatian. Untuk Lulu-san, aku mengubah wajahnya saja, karena sejak awal penampilannya seperti orang barat.
Oh iya, bukan hanya penampilan saja yang kami samarkan. Nama kami pun disamarkan. Kalau ada yang dengar nama asing, pasti menjadi perhatian. Selain itu untuk menyembunyikan keberadaan Lulu-san dari orang yang mengenalnya di sini.
"Ti-Tidak apa-apa..." jawab Lulu-san.
Kurasa alasan dia melihat sekitar dengan waspada adalah untuk memastikan tidak ada yang dia kenal di sini. Padahal sudah kusamarkan, tapi dia masih saja mencemaskan itu.
"Tenang saja, tidak ada yang akan mengenalimu. Aku kan sudah mengubah wajahmu."
"Be-Benar juga..." jawabnya dengan nada seperti meragukan.
"Sudahlah, ayo kita pergi!"
Aku langsung menarik tangannya. Akibatnya, Lulu-san yang sedari tadi menundukkan kepala langsung mengangkat kepalanya karena terkejut dan melontarkan kata-kata permintaan agar dilepaskan atau menyuruhku berhenti. Tapi aku mengabaikannya dan terus membawanya pergi.
Rencanannya aku akan melakukan kencan dengan Lulu-san. Seperti yang diketahui, dia adalah Fiksi jadi aku harus menyegel kekuatannya. Untuk sekarang, aku ajak dia jalan-jalan saja dulu. Kalau aku menemukan tempat bagus, maka langsung diajak ke tempat itu.
"Rebecca, apa kau punya rekomendasi tempat yang bagus untuk kita kunjungi?" tanyaku.
"Itu... aku tidak tahu..."
Ah, kalau dia menjawab dengan sedih begitu, berarti keputusanku untuk bertanya kepadanya adalah kesalahan. Berarti, aku harus yang menemukan tempatnya!
Aku pun menghentikan langkahku. "Bagaimana kalau kita masuk toko ini?" tanyaku sambil menunjuk bangunan di samping kanan kami.
Bangunan yang aku tunjuk adalah toko hewan peliharaan. Seperti namanya, di sana banyak sekali hewan-hewan yang bagus untuk dipelihara. Seperti anjing, kucing, burung, dan sebagainya. Tokonya kurasa tidak terlalu besar, tapi aku tidak tahu di dalamnya apakah luas atau tidak.
"Di sana pasti banyak sekali kucing dan hewan lainnya yang imut-imut!"
"Oke. Tapi, lepaskan tanganmu dulu."
Aku langsung melepaskan genggaman tanganku. "Oh, maaf. Apa itu sakit?"
"Tidak... aku baik-baik saja..."
"Kalau begitu, ayo!"
Dengan langkah sedikit cepat, aku berjalan menuju toko dan kulihat Lulu-san mengikuti dari belakang. Saat membuka pintu toko, suara bel pintu terdengar dan beberapa suara hewan juga. Selain itu, kami langsung disambut ramah oleh pelayan toko.
Aku langsung kagum senang setelah melihat dalam toko ini. Banyak sekali hewan-hewan yang berkeliaran, tentu saja hewan yang cocok untuk dilepas seperit kucing dan lainnya. Dapat dilihat, para pengunjung mengelus-ngelus atau bermain dengan hewan-hewan di sini. Sepertinya toko ini tidak takut kalau hewan mereka bisa dibawa secara paksa oleh pengunjung yang berniat jahat.
Lalu, dengan isyarat tangan, aku mengajak Lulu-san agar mendekati anjing besar berbulu lebat bewarna coklat yang sedang berdiri memandang kami. Karena kalau aku memanggilnya dengan keras, maka beberapa orang akan mendengar kalimatku berbahasa Jepang dan menjadi pusat perhatian. Makanya, aku bersuara hanya untuk berbicara dengan Lulu-san. Sesampainya di depan anjing tersebut, aku jongkok untuk mengelusnya.
"Yos... anak baik," ucapku sambil mengelus anjing ini. "Hei, Rebecca, cobalah."
"Ti-Tidak perlu..."
"Sudahlah. Coba saja!" Aku langsung menarik paksa tangan kanannya agar menempel ke kepala anjing ini.
Lulu-san tidak melawan saat kutarik, malah dia mengerti dan langsung jongkok di sebelahku. Setelah telapak tangannya menempel di atas kepala anjing itu, aku melepaskan tangannya. Kemudian, Lulu-san mengelus kepala anjing itu. Dia terus mengelus anjing itu dengan lembut dan perlahan senyuman kecil terukir di wajahnya.
Sepertinya memang benar, melihat hewan yang imut dapat menenangkan hati seseorang. Keputusanku untuk mengajaknya kemari adalah keputusan yang tepat. Dan sepertinya, Lulu-san memang menyukai hewan.
Tiba-tiba anjing itu maju ke depan dan menjilat wajah Lulu-san. Tentu saja hal itu membuatnya kaget, sehingga tubuhnya tersentak ke belakang dan berakhir dengan duduk. Bukan ekpresi marah yang ditunjukkan Lulu-san kepada anjing itu, malah dia terlihat senang dan tertawa karena geli.
"Hahahaha, geli. Hentikan~"
Aku yang melihat hal itu, hanya tersenyum senang. Tidak habis pikir, wanita yang terlihat dingin bisa menunjukkan ekpresi senang seperti ini. Terlebih, ekpresinya ini bisa dibilang moe.
Setelah puas bermain dengan hewan-hewan di toko ini, kami pun keluar. Saat di luar, aku dapat melihat ekpresi senang masih terukir di wajah Lulu-san. Sepertinya keputusanku ini benar-benar tepat sekali.
"Sepertinya kau sangat menyukai hewan," ujarku.
"Iya. Karena mereka selalu membuatku ceria."
Wahhh, kalimatnya begitu mendalam sekali. Sepertinya memang benar, dia memiliki kenangan buruk di sini. Aku harus berjuang keras untuk membuatnya bahagia!
Selanjutnya kami melakukan perjalanan lagi, sambil aku mencari tempat yang cocok untuk memperbaiki suasana hati Lulu-san. Setelah beberapa saat kami jalan-jalan, kami menemukan bangunan seperti rumah kaca di mana di dalamnya banyak sekali berbagai macam tumbuhan. Ini bukan kebun miliki pribadi, tapi taman rumah untuk umum. Jadi, saat masuk kami harus membayar biaya masuk.
Saat di dalam, kami dapat melihat banyak tumbuhan yang indah dan terlihat segar tertata rapih di kedua sisi kami. Seperti bunga-bunga, tanaman gantung, bonsai, dan tanaman hias lainnya. Di sini tidak terlalu banyak pengunjung, jadi kami tidak perlu berdesakan atau takut menabrak orang saat terhanyut melihat tumbuhan-tumbuhan indah ini.
"Indah sekali!" kagumku.
"Iya, indah sekali," timbal Lulu-san dengan nada pelan.
"Rebecca, bagaimana kalau kita ambil gambar kita dengan tanaman di sini?"
"Tidak perlu. Aku tidak mau foto denganmu."
"Dinginnya..." gumamku. "Kalau begitu, aku akan foto kau dengan tanaman. Bagaimana?"
"Kenapa kau ingin sekali memiliki foto aku?"
"Yah... tempat ini sangat indah sekali, mungkin di daerah tempat tinggalku tidak ada. Sayang kalau tidak diabadikan."
"Kenapa tidak kau sendiri saja yang foto dengan tanamannya?"
"Tentu saja aku akan melakukan itu. Tapi, rasanya tidak enak kalau hanya aku saja yang memiliki foto dengan pemandangan indah ini. Makanya tadi aku mengajakmu untuk foto bersama atau aku yang akan memfotomu agar kau juga punya kenangan di tempat indah ini."
"Kenapa kau sangat peduli kepadaku? Kita ini kan musuh..."
"Musuhku hanyalah Vaan, bukan kau. Kau hanyalah orang yang kebetulan terseret dalam masalah kami. Memang benar saat itu aku sempat kesal kepadamu, tapi bukan berarti aku membencimu sehingga menanggapmu musuhku. Lagipula, kekesalanku saat itu muncul hanya karena kau menawan adikku dengan pisau."
Lulu-san tidak mengatakan apapun setelah mendengar pernyataanku. Malah, dia berjalan mendekati jejeran bunga putih yang indah dan berdiri menghadapku.
"Apa aku perlu berpose?" tanya Lulu-san.
Aku pun mendengus kecil, senang. "Itu terserah padamu."
Lulu-san pun mengangkat tangan kanannya dan memasang peace di sebelah wajahnya, dengan wajah datar. Aku langsung bersiap dengan kamera handphoneku. Setelah memberikan aba-aba dan menghitung mundur, aku menekan tombol untuk mengambil gambarnya.
Setelah itu, Lulu-san berjalan mendekatiku dan berdiri di sampingku untuk melihat hasil jepretannya. Hasilnya terbilang biasa saja, tapi aku merasa senang karena Lulu-san terlihat senang. Padahal tadi ekpresinya datar, namun ternyata ujung bibirnya sedikit terangkat sehingga terciptalah senyuman kecil.
"Hasil yang bagus," gumamku senang. "Nah, sekarang giliranku. Potretnya yang bagus, ya."
Aku langsung menyerahkan handphoneku ke Lulu-san dan berlari kecil menuju tempat jajaran bunga putih itu. Kemudian, aku menghadap Lulu-san dengan pose peace tangan kanan yang di angkat ke depan dan senyuman lebar.
Setelah itu, kami kembali lagi berjalan melihat tanaman-tanaman lain. Saat kami merasa puas, barulah kami keluar dari tempat ini. Hari pun sudah sore, jadi kami putuskan untuk mencari penginapan.
Akhirnya kami menemukan penginapannya, tepatnya hotel. Tentu saja kami memesan dua kamar, satu untukku dan satunya untuk Lulu-san. Saat memasuki kamarku, aku langsung terjun ke ranjangnya. Sangat empuk dan nyaman sekali. Memang tidak salah hotel bintang lima, begitu berkelas.
"Sekarang bukan saatnya bersantai!" teriakku hampir terlarut dalam kenyamanan dan berakhir tertidur. "Aku harus bisa menyegel kekuatan Lulu-san sebelum besok!"
Benar sekali, batas waktuku adalah besok pagi. Karena aku sudah telanjur bilang kalau energiku cukup untuk melakukan teleport setelah tidur, maka aku tidak bisa membuat alasan agar Lulu-san tetap di sini.
Aku terpaksa menggunakan cara sedikit kasar agar Lulu-san mau membukakan hatinya untukku dan akhirnya kusegel kekuatannya. Kurang yakin bisa berhasil, sih. Tapi, kesempatan untuk bisa menyegel kekuatannya hanya saat ini.
Tapi, tunggu dulu... Kalau semisalnya aku berhasil menyegel kekuatan Lulu-san, apa yang akan terjadi kepadanya setelah kembali ke Vaan? Apa mungkin dia akan dicampakkan karena tidak berguna lagi bagi Vaan?
Kalau memang akan begitu, berarti aku harus bilang ke Itsuka agar mengurus kebutuhan Lulu-san nantinya. Aku tidak mau Lulu-san ditelantarkan akibat keegoisan laki-laki rambut putih itu! Aku pasti akan menolong Lulu-san!
Sekarang aku sudah ada di depan pintu kamar Lulu-san. Langsung saja aku masuki dan berjalan ke dalam sambil memanggil namanya.
"Lulu-san!" panggilku. "Loh, tidak ada. Apakah dia pergi ke luar?"
Aku melihat sekeliling kamar ini, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Lulu-san. Aku putuskan menuju balkon. Sesampainya di sana, tidak ada juga. Aku pun kembali masuk dan tidak lupa menutup kembali pintu kacanya.
Setelah berbalik, aku melihat ada daun pintu putih terbuka cukup jauh di depan. Padahal seingatku daun pintu itu tertutup, saat aku masuk kamar ini dan berjalan beberapa langkah pintu itu ada di samping. Hendak aku ingin menutup daun pintu itu, tapi langkahku terhenti karena ada seseorang yang keluar dari balik daun pintu itu.
Orang itu berambut pirang panjang, hanya memakai sehelai handuk putih untuk menutupi tubuhnya dari dada sampai cukup jauh di atas lutut sehingga aku dapat melihat beberapa titik keseksiannya. Pertama, belahan dada besarnya yang sangat jelas sekali. Kedua, seluruh kakinya yang ramping. Ketiga, seluruh lengannya yang putih mulus sedang terangkat karena menggosok rambutnya yang panjang dengan handuk kecil.
Aku ingin sekali memalingkan wajahku dan segera lari ke balkon untuk bersembunyi sebelum dia membuka matanya dan melihatku, tapi tubuhku tidak mau mengikuti pikiranku. Selain itu, mataku juga tidak mau teralih dari pandangan indah itu.
Lalu, seperti yang kuduga. Orang itu... tepatnya Lulu-san, akhirnya membuka matanya sehingga mata kami saling bertemu. Dia menatapku dalam diam dengan ekpresi terkejut dan matanya terbelalak. Sedangkan aku, tidak berusaha untuk menutup mata dan tetap terfokus ke arah tubuhnya, terutama belahan dadanya.
Kemudian, entah kenapa, handuk yang menyelimuti tubuhnya tiba-tiba lepas sehingga aku bisa melihat tubuh telanjangnya. Perut tidak buncit, dada mungkin D-cup, paha tidak terlalu besar, dan pinggang ramping. Itulah yang kulihat dari tubuh telanjang Lulu-san yang sekarang wajahnya memerah.
"Te-Terima kasih atas pemandangannya..." gumamku.
"KYAAAAAA!!"
***
Sekarang aku sedang duduk menekuk dua kakiku dan menundukkan kepala yang sudah membenjol akibat gelas yang dilempar Lulu-san. Di hadapanku, Lulu-san yang sudah memakai pakaiannya berdiri memandangku dengan tatapan tajam dan penuh amarah.
"Jadi, kenapa kau datang ke kamarku, Tuan Mesum?" tanya Lulu-san mengintrograsi.
"Itu... ada sesuatu yang ingin aku tanyakan..."
"Apa?"
"Apa kau yakin ingin bekerja dengan Vaan?"
"Hah, apa maksudmu? Tentu saja aku yakin!"
"Apa kau tidak merasa tega melihat orang yang bernasib sama denganmu, menjadi Fiksi, diincar olehnya?"
"Memangnya aku peduli!"
Mendengar jawabannya itu, bahkan tidak ragu-ragu, emosiku tiba-tiba memuncak. Aku langsung berdiri dan menatap tajam Lulu-san dengan penuh amarah.
"Tentu saja kau harus peduli! Mereka yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba diincar olehnya, bahkan sampai dibunuh! Dan kau memilih membantu dan tidak mempedulikannya? Memangnya kau tidak punya hati nurani?!"
"DIAM!" teriak Lulu-san keras. "DIAM! DIAM! DIAM!" lanjutnya sambil menundukkan kepala dan menutup telinganya.
"Dia itu mengincar Fiksi, berarti dia juga akan mengincarmu! Jadi, kau harus berhenti bekerja dan menjauhinya!"
"TIDAK! Tuan Vaan tidak akan memburuku!"
Mendengar pernyataan itu, aku mulai menenangkan diri. Sebenarnya, aku seharusnya tidak menghadapinya dengan penuh emosi seperti ini. Seharusnya aku bicara dengannya baik-baik. Kalau begini, bisa-bisa dia kehilangan kendali diri dan kekuatannya akan lepas kendali.
"Maaf, aku malah jadi membentakmu..." ujarku dengan nada rendah. "Aku hanya ingin mencoba membantumu agar tidak diburu olehnya. Aku bisa membantu dan melindungimu agar terjamin kese-"
"Tidak perlu," ujar Lulu-san memotong kalimatku. "Aku tidak perlu bantuanmu. Kau hanyalah musuh Tuan Vaan, jadi wajar saja di pikiranmu hanyalah sisi negatif Tuan Vaan. Kau tidak bisa menghasutku!"
"Dengarkan aku dulu, Lu-"
"Keluar dari kamarku!" bentak Lulu-san. "Ini sudah malam, sebaiknya kau tidur agar bisa mengisi kekuatanmu dan mengirimku kembali."
Aku memilih untuk mengikuti keinginannya kali ini, karena akan gawat bila terus dilanjutkan dengan kondisi seperti ini. Ternyata memang sulit kalau menggunakan cara buru-buru.
"Baiklah. Maaf mengganggumu, selama malam."
Aku pun berjalan keluar dari kamar Lulu-san dan memasuki kamarku. Langsung saja aku membaringkan tubuh ini dan menatap langit-langit kamar dengan perasaan sakit hati.
"Sialan!"
Keesokan harinya. Seperti janjiku, aku pun melakukan sihir teleport. Entah dibilang beruntung atau sial dan aku harus bahagia atau tidak. Kali ini teleport-ku berhasil di tujuan yang aku pikirkan, yaitu ruang kerja Lulu-san, markas Vaan.
"Wah-wah, ternyata kau pergi bersama dengan musuhku, Lulu."
Sontak kami berdua kaget mendengar itu, terutama Lulu-san. Kami pun melihat ke arah orang yang mengatakan itu. Kemudian, aku melihat Lulu-san. Wajahnya begitu kaget bercampur ketakutan.
"Tu-Tuan Vaan..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top