BAGIAN KEENAM S2: TEMPAT ASING
Maaf kalau update cerita ini sangat lama sekali. Bahkan, untuk selanjutnya tidak menentu update-nya. Terima kasih sudah setia membaca cerita ini, walau beginilah keadaannya. Langsung saja, silahkan dinikmati.
#########################################################################
"Kau tahu tempat ini?" tanyaku.
"... Kau tidak perlu tahu..." jawabnya datar.
Sepertinya dia tahu tempat ini, mungkin tepatnya tahu sekali tempat ini. Selain itu, rasanya ada kesan tidak enak saat dia melihat tempat ini. Mungkin ada kenangan tidak menyenangkan selama dia berada di tempat ini sebelumnya.
"Cepat bawa aku pergi dari tempat ini!!" bentaknya keras.
"Aku tidak bisa melakukannya, karena aku kekurangan tenaga!" balasku.
Sebenarnya bukan itu alasannya, tapi aku ingin tahu apa hubungan perempuan ini dengan tempat ini. Entah mengapa juga, rasanya aku harus terlibat dengan masalahnya. Hitung-hitung untuk menyegel kekuatannya juga dan dia tidak bisa membantu Vaan lagi.
"Sudah lakukan saja, walau ke tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat ini!"
"Sudah kubilang, aku kekurangan tenaga. Walau dekat pun tidak akan bisa."
Tiba-tiba, dia mencengkram kerah bajuku. Wajah merah yang mengukirkan kekesalan, ditambah sedikit air mata dapat kulihat di depan wajahku. "Sudah, lakukan SAJA!!"
Berkat bentakan yang lebih keras dari sebelumnya itu, beberapa orang di sekitar kami memperhatikan kami. Lulu-san pun melepaskan cengkramannya dan lari menjauh dengan tangisan yang sudah tidak terbendung. Tentu aku langsung mengejarnya. Mungkin di pandangan orang lain, kami terlihat seperti pemain film cinta-cintaan yang sedang main kejar-kejaran.
Dia lari dengan cepat sekali, bahkan sampai sering menyenggol orang-orang yang berlalu-lalang. Untungnya tidak membuat kecelakaan atau ada yang terluka. Aku cukup kesulitan mengejarnya, karena dia memilih rute pelarian yang terus menyambung tanpa terjebak rute yang salah. Berarti memang benar dia mengetahui tempat ini.
Pada akhirnya aku berhasil memegang lengannya dan menghentikan larinya. Selama aku mengatur napas, aku melihat kami berada di taman bermain yang sedang sepi.
"Hei... kau mau ke mana?" tanyaku yang masih mengatur napas.
"Kau... tidak perlu tahu... Ini bukan urusanmu... Lagipula aku ini musuhmu."
"Yah, memang kau musuhku. Tapi, entah kenapa aku ingin mengetahui masalahmu dan menolongmu."
"Aku tidak perlu bantuanmu. Tidak ada yang perlu dibantu."
"Baiklah... Oh iya, apa kau lapar?"
"Aku ti-" Kalimatnya terhenti karena suara gerutu perutnya. "Itu bukan aku..."
"Kalau aku lapar. Bagaimana kalau temani aku mencari tempat makan?"
"Baiklah, kalau kau memaksa..."
"Kalau begitu, ayo kita pergi!" Aku pun jalan sambil menarik Lulu-san.
"Hei, lepaskan!"
"Kalau aku lepaskan, nanti kau lari lagi."
"Aku tidak akan lari... dan lagi ini sakit sekali, jadi tolong lepaskan..."
"Eh, ah, maaf!" Aku langsung melepaskan lengan Lulu-san. "Ayo!"
Kami berdua pun berjalan ke luar taman untuk mencari tempat makan. Dengan Lulu-san yang memimpin di depan, aku menikmati pemandangan di sekitar tempat ini. Selain itu, aku melihat banyak sekali orang-orang berambut pirang berlalu-lalang dan tidak sengaja mendengar sedikit percakapan menggunakan bahasa asing. Sepertinya memang benar ini di luar negeri.
Kami pun sudah di dalam sebuah restaurant yang terlihat mewah sekali atau mungkin memang beginilah gaya restaurant ala barat, bahkan kursinya ini seperti kursi para bangsawan yang selalu aku lihat di film. Kami duduk di kursi luar di lantai dua, dari sini kami bisa melihat pemandangan kota.
Aku mengambil buku menu yang diberikan oleh sang pelayan yang baru saja datang. Seketika, aku langsung terkejut saat melihat isi buku menu. Selain karena satuan harga yang tidak kupahami, tulisannya benar-benar tidak aku pahami. Dari yang kuketahui, ini adalah tulisan bahasa Inggris. Tapi untungnya ada gambar makanan dan minumannya, jadi aku bisa memilih berdasarkan insting yang kelihatan enak.
"Lulu-san, kau juga pesan."
"Tidak perlu, aku tidak lapar..."
"Sudahlah, pesan saja sesukamu. Aku yang teraktir. Lagipula aku enggak enak makan sendiri, apalagi sampai ditatap olehmu saat makan nanti."
"Baiklah, ka-kalau kau memaksa..."
Dia pun mengambil buku menu satu lagi dan bersamaan dengan itu sang pelayan datang. Kemudian, aku pun mendengar kalimat yang tidak kumengerti dari pelayan itu. Sepertinya dia menanyakan apa yang kami pesan.
Sebenarnya aku sudah memesan apa yang kuinginkan, tapi masalahnya aku tidak tahu bagaimana membacanya. Terlebih akan memalukan saat membacanya nanti, di depanku ada perempuan lagi.
"Biar aku saja yang katakan, kau pesan apa?" tawar Lulu-san.
"Eh, makasih. Aku pesan ini." Aku pun menunjukkan gambar pesananku.
Setelah kutunjukkan semuanya, Lulu-san langsung bilang sesuatu ke pelayan itu. Kedengarannya dia pandai sekali berbahasa Inggris. Setelah cukup lama Lulu-san mengeluarkan kalimat bahasa Inggris, pelayan itu langsung pergi meninggalkan kami.
"Kau hebat juga!" kagumku. "Untung saja aku mengajakmu kemari, heheheh."
"Tepatnya memaksaku dibawa ke tempat ini."
"Heheheh, aku kan terpaksa me- Ah!"
"Kau kenapa? Kenapa memasang wajah kaget begitu?"
"Eh, e-enggak apa-apa! A-Aku mau ke toilet dulu!"
Aku langsung pergi ke toilet. Untungnya saat naik ke lantai atas, aku melihat ada tanda toilet, jadi aku tidak perlu bertanya. Saat sampai di toilet laki-laki, aku langsung duduk termenung di toilet duduk. Memikirkan betapa bodohnya diriku ini sampai kelupaan hal yang sangat fatal... Aku tidak punya uang negara ini!!
Mungkin bisa saja menukarnnya di bank, tapi aku harus keluar dari restaurant ini yang berarti aku meninggalkan Lulu-san. Selain itu, mungkin saja akan lama dan membuat Lulu-san terpaksa menjadi pekerja di sini agar bisa membayar. Itu juga bisa membuat harga diriku sebagai laki-laki jatuh. Tapi, kalau aku tidak melakukan itu malah kami yang akan menjadi pekerja di sini.
"Aku harus bagaimanaaa?!"
(Woi, Ouka!)
"Eh, Itsuka? Itu kau, Itsuka?!"
(Tentu saja ini aku. Akhirnya aku bisa menghubungimu. Kau ada di mana?!) ucapnya kesal.
"Yah, itu..."
Aku pun menceritakan tentang keberadaan dan kondisiku saat ini. Awalnya Itsuka kaget karena aku bersama Lulu-san, tapi setelah mengetahui kalau dia tidak bersama dengan Vaan keadaan membaik.
(Jadi, kau sekarang tidak punya uang?)
"Tepatnya tidak punya mata uang negara ini."
(Aku akan meminta pemerintah untuk mengirimu uangnya. Mau berapa?)
"Setidaknya cukup buat kencan di negara ini."
(Baiklah. Sekarang kau kembali ke sana, dia pasti menunggumu. Jangan sampai gagal.)
"Oke. Tunggu, bagaimana caranya aku mengambil uang itu? Apa kau akan mengirimnya kemari?"
(Tentu saja kau ambil sendiri. Kalau aku yang mengirimnya, nanti bakal lama.)
"Eh, bagaimana caranya aku mengambilnya?"
(Tentu saja gunakan alat pengubah pintu milikmu.)
"Memangnya bisa? Aku kan di luar negeri."
(Yah, coba saja dulu. Kalau gagal, gunakan sihir teleport-mu.)
"Heheheh, aku lupa karena terbawa suasana pura-pura belum bisa teleport lagi."
Untung saja Itsuka berhasil menghubungiku di saat yang tepat, kalau tidak entah apa yang akan terjadi kepada kami. Aku pun kembali ke tempat Lulu-san menunggu. Sesampainya di sana, aku bisa melihat makanan pesanan kami sudah sampai.
"Kenapa kau lama sekali?" tanya Lulu-san.
"Maaf, aku harus bermeditasi dengan baik di sana."
Tidak bertanya lagi, Lulu-san melahap makanan pesanannya. Sedangkan aku langsung duduk dan mengamati baik-baik makanan pesananku. Beberapa potongan daging yang dilapisi saus hitam dan beberapa sayuran sebagai hiasan yang bisa dimakan, itulah pesananku. Lalu aku melihat garpu dan pisau di atas tisu, di sampingnya.
"Bagaimana cara memakainya? Apa tidak ada sumpit?"
Aku langsung melihat ke sekitar untuk mencari sumpit. Tapi tidak ketemu juga. Saat aku melihat ke arah Lulu-san, aku bisa melihat dia memakai garpu dan pisau saat memakan makanan hidangannya. Aku putuskan untuk mengikuti caranya, walau beda makanan tapi kategorinya sama, yaitu daging.
"Loh, rasanya sedikit berbeda dengan daging sapi," gumamku setelah satu potongan kecil berhasil kumakan. "Lulu-san, apa kau tahu ini daging apa?"
"Itu bukan daging, tapi torpedo banteng."
"Ohh... Eh, apa?!" Aku langsung batuk-batuk, mengambil minuman pesananku yaitu susu coklat, dan langsung meminumnya dengan diteguk tanpa peduli sedotan yang ada. "Torpedo?! Maksudnya 'itu'-nya banteng?!"
"Iya. Bukankah sudah jelas dituliskan di buku menu?"
"Aku tidak tahu itu! Aku kan tidak mengerti bahasannya!"
"Hihihihi, dasar aneh. Kau memesan itu asal? Kenapa tidak coba tanya aku dulu."
"Yah... kau tahu, laki-laki itu punya rasa percaya diri yang tinggi dan insting yang baik. Jadi, aku percayakan kepada insting perutku!"
"Hihihihi, alasan apa itu? Aneh sekali, hihihihi!"
Aku hanya bisa tersenyum malu dan senang. Malu karena dipermalukan oleh kesalahan sendiri dan senang karena bisa melihat Lulu-san tertawa senang. Dia tidak memasang wajah suram seperti sebelumnya, ini benar-benar sebuah kemajuan.
(Oi, Ouka. Uangnya sudah terkirim,) ucap Itsuka tiba-tiba.
"Eh, iya, aku akan segera mengambilnya," balasku pelan. "Lulu-san, maaf, aku mau ke toilet lagi."
Setelah Lulu-san menjawabnya dengan anggukan pelan, aku langsung pergi ke toilet. Sesampainya di sana, aku langsung menempelkan alat pengubah pintu ke daun pintu bilik toilet. Selesai mengatur alatnya, aku membuka kembali daun pintunya. Setelah terbuka, aku langsung berada di markas LoF.
"Yo, Ouka," sapa Itsuka yang berjalan mendekatiku dari samping. "Sepertinya berhasil."
"Iya. Ternyata alat itu bisa mengubahnya walau jangkaunnya jauh sekali, bahkan beda negara sekalipun."
"Tentu saja. Pintu ke mana saja yang ada di film bisa membawa seseorang ke luar negeri, masa alat buatan kami yang sama fungsinya tidak bisa melakukannya juga."
"Hahaha, benar juga. Lalu, di mana uangnya?"
"Nih." Itsuka menodongkan sebuah kartu kredit dan sebuah kertas. "Setiap ada masalah keuangan untuk para Fiksi kau tinggal hubungi aku, nanti pemerintah akan langsung mengirim uangnya ke rekening ini. Tapi ingat, jangan gunakan uang dari rekening ini untuk urusan pribadi, karena ini uang dari pemerintah yang dipercayai untuk kedamaian dunia ini."
"Baiklah, aku mengerti." Aku mengambil kartu kredit itu. "Oh iya, apa mereka semua tahu tentang keberadaanku?"
"Tentu saja. Kalau mereka tidak tahu akan gawat sekali."
"Kalau begitu, sampaikan kalau aku mungkin akan lama pulangnya." Aku langsung pergi kembali.
Sesampainya di kursiku, aku melihat ada makanan baru di atas meja. "Itu daging sapi yang aku pesankan untukmu," ucap Lulu-san. "Sepertinya kau tidak akan memakan itu, jadinya aku pesankan makanan yang mungkin kau mau memakannya. Tenang saja, aku yang akan membayarnya."
"Eh, makasih. Tapi, aku saja yang membayarnya."
"Oh iya, memangnya kau punya uangnya? Ini di luar negeri, loh."
"Tenang saja, aku punya ini," ucapku sambil menunjukkan kartu kerdit dari Itsuka.
"Memangnya di tabungamu ada uang dollar?"
"Tenang saja, tidak perlu dipikirkan. Ayo kita makan lagi."
***
Kami sekarang sudah ada di taman bermain tempat aku berhasil menghentikan Lulu-san. Kami berdua duduk di kursi taman, sambil melihat beberapa anak-anak sedang bermain. Kami berdua terdiam tanpa bicara sedikit pun, malah aku diam karena melihat wajah senyuman kecilnya yang sedang mengarah ke anak-anak yang sedang bermain.
"Ahhh, kenyang sekali!" ucapku. "Bagaimana makanannya, Lulu-san? Apakah enak?" tanyaku untuk memulai percakapan.
Lulu-san tidak menjawabnya, malah dia menundukkan kepalanya. Lalu, dia melihat ke arahku dengan tatapan serius. "Apa sekarang energimu cukup untuk melakukan sihir teleport?" tanyanya.
"Eh, yah... Energinya tidak akan terisi hanya oleh makanan, aku harus istirahat. Mungkin besok aku bisa menggunakan sihir teleport lagi."
"Begitu, ya..." Lulu-san langsung menundukkan kepalanya.
Lulu-san terlihat sangat sedih sekali. Sepertinya memang benar kalau dia punya kenang buruk dengan tempat ini. Ingin rasanya aku menolongnya, tapi aku tidak bisa memaksanya untuk menceritakan masa lalunya atau permasalahannya. Jadi, aku putuskan untuk diam dan berpikir untuk langkah selanjutnya.
Setelah termenung cukup lama, akhirnya aku mendapatkan ide bagus. "Lulu-san, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Tidak, aku tidak mau."
"Tenang saja, aku bisa menggunakan sihir pengubah penampilan."
Lulu-san langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. "Sihir pengubah penampilan?"
"Iya. Dengan begitu, kita bisa menyembunyikan wujud kita yang sebenarnya. Kau pasti malu kalau nanti kita jalan-jalan bertemu dengan orang-orang yang kebetulan melihat kita saat itu, mereka pasti akan membisikkan hal-hal tidak menyenangkan." Aku langsung berdiri di depannya. "Mungkin di tempat ini ada tempat yang bagus untuk kita kunjungi, pasti sangat menyenangkan. Terlebih, kita harus mencari tempat penginapan untuk malam ini." Aku mengulurkan tanganku.
"Tidak perlu, kau sendiri saja."
"Hei, kalau aku sendiri yang ada aku tersesat. Aku kan tidak bisa bertanya kepada orang-orang, nantinya malah semakin tersesat. Lagipula akan membosankan kalau diam terus di sini."
Lulu-san melihat ke arah uluran tanganku dengan tatapan ragu-ragu. "Tunggu, kalau kau bisa menggunakan sihir pengubah penampilan, berarti kau punya energi yang cukup untuk mengeluarkan sihir."
"Yaaah... sihir pengubah penampilan dan sihir teleport itu berbeda. Energi yang diperlukan untuk sihir pengubah penampilan lebih kecil dibading sihir teleport."
Lulu-san kembali melihat ke arah ulurantanganku dengan ragu-ragu. "Baiklah, kalau kau memaksa."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top