BAGIAN KEENAM: ARTIS ATAU GADIS LUGU?
Kami bertiga pulang bersama, Bell-san tidak ikut karena beda jalur. Di perjalanan, Yukimura dan Ran-chan tidak adu mulut lagi, karena ada penengahnya, yaitu Aya-chan. Tanpa kusadari, aku tersenyum di belakang mereka.
"Oi, Ouka." Senyumku langsung berubah menjadi cemberut.
"Ada apa?"
"Besok, kau harus menemui Bell-chan lagi."
"Aku tahu." Dia tidak membalas lagi. "Ka-Kalian, pulang saja duluan, aku mau pergi dulu."
Mereka terlihat bingung, tapi Aya-chan mengetahui kemana aku akan pergi. "Jangan terlambat, ya," teriaknya.
"Oke."
Dengan setengah berlari, aku menuju toko pudding langgananku. Biasanya sih Aya-chan selalu membelikannya, tapi karena aku ingin makan pudding sebelum makan malam, jadi aku beli sendiri.
Setelah selesai membeli empat pudding kesukaanku, aku berjalan menuju rumah. Tapi, saat aku keluar toko. Aku melihat gadis kecil berseragam dengan rok pendek, tapi kakinya ditutup oleh stocking hitam panjang, berambut merah diikat dua dengan pita, dan dia terlihat seperti mencari sesuatu.
Dia menyadari keberadaanku, lalu mendekatiku. "Apa kau lihat kacamataku?"
Aku bisa melihat mata merahnya, dan kacamata yang tergantung di atas kepalanya. "Coba kau pegang keningmu."
Dia mengikutinya, dan jarinya berhasil menyentuh kacamatanya. "Oh, ternyata di sini." Dia memakai kacamatanya. "Terima ka..." Tiba-tiba wajahnya menjadi kaget, mungkin kacamatnya rusak. "Kau!" Dia langsung menunjukku dengan wajah kaget.
"Apa kita pernah bertemu?"
Dia kelihatannya sedikit bingung, tapi langsung kembali lagi normal. "Bukan apa-apa, sepertinya aku salah orang. Oh iya, namaku Airi Agaki."
"Genoji Ouka."
"Dilihat dari seragamnya, kau siswa SMA, ya?"
"Iya."
"Aku masih SMP, dan kelas tiga. Aku berencana masuk ke SMA Ouka-san."
"Begitu, ya... Nanti sapa aku kalau kebetulan bertemu, Agaki-san."
"Panggil saja aku Airi. Kalau begitu, aku permisi."
"O-Ouka-san." Aku berbalik untuk melihat yang memanggilku.
"Oh, Nami-chan." Dia memasang wajah gugup. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku mengira dia sedang mendapatkan masalah. "Kenapa kau ada di sini?"
"A-Aku tadi disuruh Hido-nii untuk membeli pudding di toko ini. Kalau Ouka-san?"
"Aku tadi membeli pudding."
"Be-Begitu, ya... Kebetulan, ya... Ano... Ouka-san, bisa kau tunggu aku dulu?"
Setelah menunggu beberapa menit, Nami-chan keluar. "Lalu, ada apa?"
"Eto... Kita cari tempat yang bagus untuk bicara..."
Akhirnya, aku memutuskan untuk duduk di taman. Dengan suasana sore yang indah ini, mungkin orang-orang akan beranggapan kami adalah pasangan yang sedang kasmaran.
"Tolong bantu Claire-san!" Tiba-tiba dia menundukkan kepalanya ke arahku. Kalau orang lain melihatnya, mungkin mereka mengira aku sedang ditembak.
"Claire... Maksudmu, Bell-san?"
"Iya, dia adalah teman sekelasku. Di kelas dia selalu menyendiri, bahkan waktunya dihabiskan untuk menjaga perpustakaan. Kami pernah berbicara, tapi dia sepertinya lebih cocok menjadi penjawab daripada penanya." Aku setuju. "Setelah aku mengetahui kalau dia adalah Fiksi, artis model, dan menggunakan sihirnya untuk merubah penampilannya... Aku merasa dia memiliki masalah... Aku tidak ingin mencampuri masalahnya, tapi... tapi... entah kenapa aku ingin sekali membantunya! Aku tidak bisa membantunya, tapi kau bisa, Ouka-san! Maka dari itu, tolong bantu dia, aku mohon!" Sekali lagi dia menundukkan kepalanya.
Aku mengangkat tangan kananku, dan mengelus kepalanya. "Kau memang gadis yang baik, Nami-chan. Kau pasti ingin menjadi temannya, kan?"
Dia mengangkat kepalanya, dan aku bisa melihat air matanya. "Iya."
"Kalau begitu, aku akan membantmu. Entah kenapa, aku tidak bisa diam kalau melihat wanita yang sedang dapat masalah."
"Te-Terima kasih, Ouka-san!" Dia tersenyum, senyumannya terlihat cukup manis.
"Kalau begitu, ayo kita pulang."
***
Sekarang, aku sedang ditatap oleh dua orang gadis manis, tapi kalau sedang menatapku seperti ini kemanisannya berkurang. Mereka adalah Yukimura dan Ran-chan. Kenapa aku bisa ditatap oleh mereka? Jawabannya adalah karena aku telat datang makan malam. Alasan yang kuberikan adalah karena mengantar adik Itsuka yang ternyata tidak terlalu mengenal daerah itu. Kupikir dengan memberikan alasan itu mereka bisa reda, tapi kenyataanya tatapan mereka lebih tajam.
"Aku tidak masalah kau mau pergi dengan wanita lain dan pulang terlambat. Tapi, kau membuat Ayase-chan bersedih lagi!" bentak Yukimura.
"Genoji-kun, kenapa kau selalu melupakan perutmu untuk seorang wanita?" tanya Ran-chan.
"Se-Sebelum kujawab, bisakah aku duduk biasa?"
"TIDAK!!"
Sekarang aku sedang duduk dengan posisi menekuk kedua kakiku, dan menjadikan tulang keringku sebagai bantalannya. Aku tidak masalah kalau hanya satu menit, tapi ini sudah lima menit. Lalu, datanglah bidadariku.
"Sudah-sudah, kasihan Geno-kun."
"Tapi, Ayase-chan..."
"Sudahlah, lagipula dia berniat baik untuk mengantarkan wanita yang tidak tahu jalan, kan? Jadi, dia tidak perlu dimarahi seperti itu."
"Aya-chan..." Ahhh... Bidadariku ini memang sangat baik sekali.
"Tapi, Ayase-chan, apa kau yakin memaafkannya begitu saja?" tanya Yukimura.
"Hmm... Tidak juga, aku hanya menyuruh kalian untuk tidak memarahinya saja. Tapi, hukuman tetap dijalankan. Geno-kun, sebagai hukumannya, kau tidak boleh makan pudding kesukaanmu sekarang dan besok." Sebuah panah menusuk batinku. "Dan, kau tidak boleh makan malam dan sarapan." Dua buah panah menusuk batinku lagi.
Bi-Bidadariku sekarang berubah menjadi iblis karena hasutan dari iblis itu sendiri, yaitu Yukimura. AAAHHHHHHH!!
Di malam hari, malam yang menyiksaku, karena tidak makan malam dan makan pudding kesukaanku. Aku menyandarkan tubuhku di atas ranjang. Sebenarnya aku ingin tidur, tapi karena lapar, aku tidak bisa tidur. Lalu, sebuah ketukan pintu membangunkanku. "Genoji-kun, kau masih bangun?"
"Iya, silahkan masuk." Lalu Ran-chan masuk melalui pintu yang sudah diubah menjadi pintu kemana saja.
"Ge-Genoji-kun, maaf soal tadi..."
"Ti-Tidak apa-apa, aku juga yang sa..."
"Tidak, kau tidak salah, akulah yang salah!"
"Ran-chan..." Dia berjalan mendekatiku, dan duduk di atas ranjang, tepatnya di sampingku.
"Genoji-kun, kau tahu... Kenapa aku dan Yukimura selalu bertengkar?"
"Karena perbedaan pandangan tentang samurai?"
"Memang benar, tapi bagiku bukan itu masalahnya." Dia menundukkan kepalanya. "Aku bertengkar dengan Yukimura karena keinginanku sendiri, tapi jangan salah paham. Aku bertengkar dengannya untuk mengisi hatiku yang kosong ini. Dulu, saat aku kecil, aku tidak punya teman, karena kebaikanku ini. Walau begitu, aku tidak menyerah, aku berusaha untuk mencari teman... Sayangnya, aku tidak mendapatkannya juga. Akhirnya, aku mencoba mencari masalah supaya ada orang yang memperhatikanku! Tapi... Mereka malah semakin menjauhiku. Aku memutuskan untuk kabur, dengan peralatan yang sebelumnya kau lihat. Dan entah karena memang takdir atau apa, aku bertemu dengan Yukimura di dalam hutan. Dia berpakaian samurai yang sebelumnya pernah kau lihat. Dalam keadaan sedih, tiba-tiba dia menyerangku. Aku hanya menghindarinya, tanpa berniat untuk membalasnya. Lalu, dia berkata "Kau melecehkan samurai!" Awalnya aku tidak mengerti, tapi setelah melihat penampilanku, tepatnya pedangku. Aku beranggapan dia berpikir aku adalah seorang samurai yang berpenampilan tidak sesuai. Karena ada yang memperhatikanku, aku melawannya, dan selalu bertengkar dengannya. Aku aneh, ya...?"
Sekarang aku tahu, kalau kau bertipe extrim. Kau mencari perhatian seseorang dengan cara yang extrim, walau nantinya kau akan mati. "Tidak juga. Dari yang kulihat, kau sedang berjuang untuk mencari seorang teman, walau caranya cukup extrim. Tapi, sekarang kau tidak perlu lagi mencari masalah, kau kan sudah punya teman." Aku menaruh tanganku di kepalanya.
Dia melihat ke arahku. "Kau benar. Terima kasih, Genoji-kun. Kalau saja saat itu kau tidak menciumku, mungkin aku sudah menjadi monster."
"Sama-sama." Dia kembali menundukkan kepalanya dan mulutnya seperti mengatakan sesuatu. "Kau mengatakan sesuatu?"
"Ti-Tidak, bukan apa-apa. Sebaiknya aku segera ke kamarku!" Dia langsung berdiri dan pergi.
Hendak aku ingin membaringkan tubuhku, sebuah ketukan terdengar lagi. "Ge-Genoji, apa kau sudah tidur?"
"Oh, Yukimura. Belum, silahkan masuk."
Dia membuka pintunya. "Genoji, ada yang ingin aku tanyakan." Dia menatapku dengan tajam, tapi aku sudah biasa menghadapi tatapannya. "Apakah Claire-chan adalah Fiksi?"
"Eh?"
Dia berjalan mendekatiku. Sekarang dia ada di depanku, berdiri dengan tangan dilipat di bawah dadanya. "Apakah Claire-chan adalah Fiksi? Jawab dengan jujur!"
"I-Iya!"
"Begitu, ya... Tolong dia, ya."
"Hah?"
"Aku bilang, tolong dia. Lakukan seperti kau menolongku dan Ran. Tapi, jangan sampai menciumnya." Dia mengalihkan pandangannya.
"Kau cemburu, ya?" Lalu sebuah katana sudah ada di depan mataku.
"A-A-Aku tidak cemburu! Hanya saja, aku tidak ingin dia dicium oleh pria menjijikan seperti kau! Aku tidak ingin dia mengalami mimpi buruk!"
Wanita ini benar-benar tidak ada manis-manisnya. "Mau bagaimana lagi, itu caranya untuk menyegel kekuatannya!"
"Bohong! Kau pasti hanya ingin merasakan bibir wanita, dasar serangga tengik!"
"Kau ini datang malam-malam begini hanya untuk mengancamku!?"
Entah kenapa, dia langsung menyimpan katananya di sarungnya. "Tidak, aku hanya ingin memberikan peringatan kepadamu. Aku memperbolehkan kau mencium mereka hanya untuk menyegel kekuatannya saja! Karena saat aku melihat kau dan Ran berciuman, aku merasa ce..."
"Ce...?" Dengan secepat angin, kakinya sudah ada di depan mataku. "AAAAA!!"
Karena tendangannya Yukimura, aku berhasil untuk tidur dan bangun pagi hari. Seperti yang dikatakan oleh Aya-chan, aku tidak mendapatkan sarapan. Aku memutuskan untuk pergi sekolah duluan, untuk makan di kantin. Tapi, mereka masih tutup. Entah kenapa, kakiku melangkah ke perpustakaan. Aku melihat Bell-san sedang duduk membaca buku, tapi sekarang dia langsung melihatku. "Selamat pagi, Ouka-senpai."
"Selamat pagi."
Dia berdiri dan berjalan menghampiriku yang sudah duduk di bangku. "Ouka-senpai, kelihatannya kau lemas sekali. Ada apa?"
"Bukan apa-a..." Lalu perutku mengeluarkan pendapatnya.
"Kau lapar?"
"Ti..." Sekali lagi perutku mengeluarkan pendapat.
"Bagaimana kalau kau makan bekalku? Oh, seharusnya aku tidak mengatakan itu. Seharusnya aku langsung memberikannya kepadamu."
"Ti-Tidak perlu, nanti kamu tidak bisa ma..." Aku melihat wajah datarnya itu seperti kehilangan harapan. "Baiklah, tapi nanti kau harus makan bekalku juga."
"Baik." Dia mengambil bekalnya di tas yang diletakkan di dekat bangku tempat biasa dia duduk. Dia menyimpan bekalnya di meja, lalu membukakannya. Aku bisa melihat nasi dan ikan rebus saja. "Maaf, aku hanya bisa memberikan ini saja."
"Ti-Tidak apa-apa, ini sudah cukup. Terima kasih."
Lalu, dia duduk di dekatku. Dia mengambil sumpitnya, mengambil daging ikannya, lalu mengarahkannya kepadaku. "Aaaaa..."
"Be-Bell-san, kau tidak perlu menyuapiku."
"Tapi, menurut buku yang aku baca, seorang laki-laki akan senang bila disuapi oleh wanita." Dia kembali memasang wajah datar yang kehilangan harapan.
"Baik! Aaaaa..." Dia langsung memasukan daging ikannya. "Enak."
"Benarkah, syukurlah. Kalau begitu, nasinya. Aaaa..."
"Enak juga."
"Oh, Origami-senpai. Selamat pagi."
"Eh?" Aku langsung melihat ke sampingku, dengan kepala yang bergerak seperti robot yang hampir rusak.
"Oh, jadi alasanmu ingin ke sekolah sepagi ini karena ingin disuapi Claire-chan?"
"Ra-Ran-chan, ini tidak se..."
"BAKAAAAA!!" Dia meluncurkan pukulannya.
"AAAAA!!"
***
"Jadi, semua ini gara-gara kau?"
"Maaf, kalau aku tidak memberitahukan kau di perpustakaan, parameter Origami-chan akan menurun."
"Sudah membuatku dipukul, sekarang kau menyuruhku membolos?"
"Tenang saja, aku akan memberikan alasan yang bagus. Dan tentu saja, mereka bertiga tidak akan mengetahui kencan kalian berdua."
Sekarang aku sedang di toko buku. Aku dan Bell-san disuruh untuk mengambil buku pelajaran yang sudah dipesan. Sambil menunggu buku itu datang, kami berdua duduk membaca buku. Aku sempat ragu untuk bolos, karena wali kelasku sekarang adalah Zek. Tapi, karena ini adalah pekerjaan, kurasa tidak apa-apa.
"Ouka-senpai, kau berbicara dengan siapa?"
"Bukan siapa-siapa, aku hanya sedang menghafal pelajaran matematika."
"Ouka, aku tidak bisa membantu. Jadi, aku serahkan semuanya padamu. Semoga beruntung."
"Oi!"
"Ouka-senpai..."
"Maaf, aku menggangumu, ya?"
"Tidak." Dia kembali membaca bukunya.
"Bell-san, kurasa bukunya masih lama. Bagaimana kalau kita ke luar dulu?"
Dia memikirkannya dulu. "Boleh."
Lalu kami berdua keluar. Oh iya, toko buku ini sangat besar sekali. Letaknya di atas, jadi kami harus menaiki tangga dua kali. Tangga pertama menuju jembatan yang panjang dengan pemandangan yang indah kalau sore hari. Kami berdua berdiri menyimpan tangan kami di atas pagar, dan melihat aliran sungai.
"Bell-san, ada yang ingin aku tanyakan."
"Apa?"
"Kenapa kau mengunakan sihirmu untuk merubah penampilan, dan menjadi artis?"
"Heh? Apa maksudmu, Ouka-senpai?"
"Aku tahu kalau kau punya kekuatan sihir."
Dia terlihat terpojok, walau wajahnya datar, aku bisa tahu. "Aku lakukan itu untuk memenuhi harapan orangtuaku yang sudah meninggal. Mereka selalu memimpikan aku menjadi artis, tapi sayangnya aku terlahir dengan wajah seperti ini. Mereka tidak menyesal, dan tetap merawatku dengan kasih sayang. Walau begitu, terkadang aku tidak sengaja mendengar mereka membicarakan harapan mereka sebelum aku lahir itu di belakangku. Lalu, aku mencoba belajar berakting, bernyanyi, dan berpose yang bagus. Tapi, tetap aku tidak menjadi artis." Dia mengeluarkan air mata di wajah datarnya. "Setelah mereka meninggal, tiba-tiba tubuhku merasa tidak enak. Keesokannya tiba-tiba aku mendapatkan kekuatan sihir ini." Dia menunjukkan sebuah tangan yang diselimuti air. Lalu menghilang. "Aku mengambil kesempatan ini untuk mencapai harapan orangtuaku."
"Apa kau merasa senang menjadi artis?"
"Te-Tentu saja, aku sangat senang!" Entah kenapa aku merasa wajah datar yang dihiasi air mata itu memiliki arti lain dari perkataanya tadi.
"Lalu, apa kau yakin mereka senang?" Dia menundukkan kepalanya. "Bell-san..."
Dia mengangkat kepalanya, dan wajahnya berubah. Dia terlihat seperti artis di majalah yang pernah aku lihat. "Memangnya kau tahu apa tentang "membuat senang"? Kau hanya pembual!!" Dia mengarahkan tangan kananya kepadaku.
'WHUSSS' angin besar mendorongku cukup jauh. Punggungku menggesek jalan jembatan ini. Dengan susah payah, aku mengangkat tubuhku. Dari kejauhan, aku melihat Bell-san sudah berubah menjadi seorang penyihir, dengan gaun ala penyihir. Dia berjalan perlahan mendekatiku.
"Hei, kau Fiksi!" Teriakan itu terdengar seperti dari seorang wanita, dan aku sepertinya pernah mendengarnya. Lalu, Bell-san membalikan badannya. Aku tidak bisa melihat sosok yang berteriak itu, karena terhalang tubuhnya. "Karena kau sudah menyerang warga sipil, sesuai dengan peraturan KiF, aku akan membunuhmu."
Entah kenapa kalimatnya itu membuatku teringat dengan anime waktu aku kecil, aku lupa lagi judulnya... Yang pasti, dia mengingatkanku dengan tokoh utama anime itu. Oh iya, tiba-tiba Bell-san menghindar ke samping. Ternyata dia menghindari karena seorang gadis berpakaian seperti Ran-chan, hanya saja bagian badannya sedikit terbuka dengan memperlihatkan belahan dadanya dan perutnya, dia menyerang dengan pedang lasernya. Aku mengenal sesosok yang menyerang itu. "Airi?"
Bell-san membalas dengan tembakan api. Lalu sesuatu yang berwarna hijau melindungi Airi. Dia membalas serangannya, dan terjadilah pertarungan antara dua gadis yang mematikan.
Dengan susah payah, aku berdiri. Dan sekarang aku melihat Bell-san terpojok, Airi mengayunkan pedangnya. "Kau, kan... Ouka-san?" Aku berhasil menahan pedangnya dengan katana merahku.
"Maaf, ya. Tapi jangan bunuh temanku ini!" Aku mengayunkan katanaku. Pedangnya secara ajaib terlempar cukup jauh.
Airi langsung berlari ke arah pedangnya. Ternyata, kesempatan itu diambil oleh Bell-san untuk meluncurkan serangan anginnya. "O-Ouka-san..."
Aku mendapatkan luka sayat yang cukup besar di badanku. "Kau tidak apa-apa, Airi?"
"Seharusnya aku yang menanyakan itu!"
"Bell-san, dengarkan aku. Kau bilang senang menjadi artis, tapi kenyataannya kau tidak senang! Aku yakin kedua orangtuamu tidak akan memaksakan harapan mereka itu! Karena orangtua akan memberikan yang terbaik untuk anaknya! Kalau kau merasa ingin mencapai harapan mereka, gunakanlah kekuatanmu sendiri! Kalau mereka sampai tahu harapan mereka tercapai bukan dari usaha mereka sendiri, mereka pasti akan sedih!"
"Diam, kau tidak tahu apa-apa tentangku!!" Dia kembali meluncurkan serangan tebasan anginnya. Sekarang aku mendapatkan dua luka sayatan besar.
"Aku memang tidak tahu apa-apa tentangmu! Tapi, aku hanya ingin membantumu! Apakah kau senang menjadi artis bukan dengan kekuatanmu?!"
"Diam!!" Dia memegang kepalanya, terlihat dia sangat kesakitan.
"Aku akan membantumu, Claire-chan!!" Dia semakin kesakitan. Kesempatan itu aku ambil dengan berlari mendekatinya. Setelah dekat, aku langsung menciumnya. Seperti biasa, penyegelannya berhasil dan dia telanjang bulat. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya, pingsan.
"Hentai!" teriak Airi. Dia sudah ada di sampingku.
"Tidak, kau salah paham! Ini bukan salahku!"
"Kalau begitu, jangan peluk dia!"
"Kalau aku tidak peluk dia, nanti dia akan jatuh!"
"Uhh... terserah... Sebenarnya, kau ini siapa? Kenapa saat kau menciumnya, bajunya menghilang?"
"Aku Genoji Ouka, manusia biasa. Tidak kurang, tidak lebih."
"Jangan-jangan kau salah satu anggota LoF? Ternyata benar menurut rumor, ada seorang pria yang bisa menyegel kekuatan Fiksi. Prinsip mereka tentang menyelamatkan dunia dari Fiksi tanpa membunuhnya bukan bualan belaka." Lalu dia pergi. Setelah beberapa langkah, dia berbalik. "Tapi, mungkin suatu saat nanti kekuatan Fiksi yang kau segel itu pasti akan terlepas. Ingat itu baik-baik."
Keesokan harinya setelah kejadian itu, tepatnya di perpustakaan sekolahku. Dia sudah terlihat sehat. "Ouka-senpai, apa benar kau akan membantuku?"
"Tentu saja. Laki-laki tidak akan mengikari janjinya."
"Kalau begitu, mulai sekarang, tolong panggil aku Ca-chan. Dan aku akan memanggilmu Genoji-senpai."
"Ba-Baiklah... Ca-chan."
"Hm, Genoji-senpai." Dia mengambil sesuatu di bawah meja, tepat di tempat dia duduk. "Sebenarnya aku tidak suka menjadi model, tapi aku akan menjadi artis melalui ini." Dia menyimpan wadah biola di meja, lalu membukanya. "Aku suka memainkan musik, terutama biola. Mau mendengarnya?"
"Boleh." Dia berdiri, menyimpan biola di pundak kirinya, lalu memainkannya.
"AAAAA!!" Tidak seperti yang kupikirkan, ternyata suaranya terdengar sangat buruk. Saking buruknya, ruangan ini terlihat seperti bergetar. Tubuhku tiba-tiba merasa sakit dimana-mana. "Hentikan, Ca-Chann!" Tapi suaraku tidak didengar, mungkin karena suaraku kalah dengan gesekan biola mematikan ini. "AAAAA!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top