Part 2


Aku membungkus sebuah kotak berukuran sedang yang akan kukirim ke alamat yang telah kudapat hari kemarin, saat aku menelepon kekasihku.

Saat itu, aku merasa melayang. Dapat mendengar suaranya setelah satu tahun tak jumpa sungguh seperti mimpi. Kata-kata yang ingin kulontarkan seolah tertelan kembali ke dalam lambung. Aku terdiam untuk beberapa detik, membiarkan waktu berjalan memakan uangku, yang kupikirkan saat itu adalah suaranya yang kurindukan mengalun memanggil namaku. Namun kemudian aku sadar bahwa uang yang kubawa untuk bayar jasa telepon itu hanya pas-pasan hingga akhirnya kuolah kembali kata-kata dan mengeluarkannya, "Aku minta alamat bibimu."

Dan sekarang aku berdiri di depan kantor pos. Dengan sebuah kotak yang telah kubungkus secantik mungkin dalam dekapan yang akan kuberikan pada bibinya. Aku berjalan memasuki kantor pos, disambut dengan wajah hangat para petugas yang berjaga di balik meja panjang setinggi dada orang dewasa. Mereka menawarkan jasanya padaku.

"Ingin mengirim paket, Mbak?"

Aku tersenyum simpul. Kuletakkan kotak yang kubawa di atas meja.

"Iya."

Setelah mendengar jawabanku, petugas itu mengasongkan selembar kertas berisi formulir untuk mengirim barang. Nama pengirim, alamat yang dituju, kode pos yang dituju dan beberapa hal lain yang perlu kuisi.

"Silahkan diisi ya, mbak." Petugas itu mempersilakan sambil memberikan sebuah pulpen bertinta biru.

Setelah mengisi semua yang perlu di atas kertas itu, kuberikan kembali pada petugas. Petugas itu tersenyum.

"Terimakasih, kami akan mengirimnya sesuai permintaan. Pengiriman maksimal berjalan satu minggu. Selamat siang."

"Selamat siang."

Aku berjalan pulang menjauhi kantor pos dengan senyuman mengembang di wajahku. Langkahku terasa ringan.

***

Seminggu setelah pengiriman, dua hari sebelum aku berangkat untuk liburan. Malamnya, seseorang mengetuk pintu rumahku dengan tergesa. Mau tak mau aku pun berlari menuju pintu depan, saat kubuka aku mendapati seorang bocah dengan kaos oblong menatapku nanar.

"Mbak, di wartel ada orang yang nelepon buat mbak," ujar bocah itu dengan kepala menengadah menghadapku.

"Siapa?"

"Tidak tahu, mbak. Bilangnya butuh sama mbak, laki-laki suaranya."

Laki-laki? Ah, itu pasti kekasihku. Aku pun segera menutup pintu dan meminta bocah itu mengantarku ke warung telepon. Dalam benak aku berpikir, mungkinkah ini saatnya?

***

Kini aku berdiri di tengah taman kecil berbentuk persegi dengan pohon cemara di setiap pojoknya. Air mancur ada tepat di depanku, dengan sebuah patung yang seolah-olah tengah menari di bawah kucuran air. Bangku-bangku taman tersebar di beberapa titik yang diteletakkan cukup berjauhan satu sama lain. Aku menunggunya datang.

Malam itu, saat ia menelepon, ia berkata akan datang. Sebuah kejadian mengharuskannya datang kemari. Kalian pasti tahu bagaimana perasaanku saat mendengarnya, bahagia. Ya, tentu saja. Itu artinya kami akan bertemu, melepas rindu.

Dua hari setelah kedatangannya ke kota ini, kupikir cukup untuknya mengurus kejadian yang menjadi alasan datang kemari. Jadi, malam sebelum aku tiba, kuberi ia kabar agar kita bertemu di taman depan penginapan yang menjadi fasilitas liburan dari tempat kerjaku. Lima belas menit aku menunggu. Kembali kulirik arloji yang melekat di pergelangan tanganku. Jarum jam yang panjang mengarah pada angka lima dan jarum jam yang pendek mengarah pada angka satu. Aku menengadah, menatap langit yang mulai memancarkan lembayung senja. Memikirkan, apakah ia akan memenuhi permintaanku? Setitik air mata jatuh menuruni pipi.

Hingga akhirnya sebuah suara menyadarkanku dari kemuraman. Suaranya. Suaranya yang beberapa hari lalu hanya kudengar lewat warung telepon kini terdengar jelas dalam nyata. Aku menurunkan kepalaku.

"Lama tak jumpa, aku merindukanmu," ucapnya bak angin sepoi-sepoi di tepi pantai yang menyejukkan. Ia menatapku dengan matanya yang tajam, senyum manisnya yang selalu dapat membuatku ikut tersenyum. Terpaan angin di tengah musim panas membuat rambut gondrongnya melambai seolah menyambutku. Air mataku meleleh. Rasa rindu yang kutahan selama satu tahun terakhir kini terbayar. Aku bertemu dengannya. Aku kini dapat memeluknya, tak hanya dalam angan, aku memeluknya dalam nyata. Menghirup wangi tubuhnya yang memabukkan. Tiap tarikan napasnya terdengar indah mengalun dalam relungku. Aku menyentuhnya. Ia mendekapku. Seluruh gemuruh di dada kini meledak dalam haru. Dengan semua usahaku.

Ia membuka tangannya lebar, mempersilahkan padaku untuk jatuh dalam dadanya yang bidang. Ia memelukku, aku memeluknya, dalam nyata. Ini bukan lagi mimpi, ini nyata. Walau hanya untuk sekejap, aku bersyukur dapat melepas rinduku padanya. Walau dalam tudung duka, kami bahagia dapat bertemu.

Setelah ini, aku perlu mengunjungi makam bibinya. Untuk berterimakasih.

FIN

Astaga.... aku pikir selama ini AIB itu udh aku terbitin semua.... ternyata.... /sungkem
Maaf atas ketidaknyamannannya. Kritik dan saran akan bermanfaat untukku.

Sekali lagi maaf atas ketidaknyamannannya m(_ _)m

Terimakasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top