🥀Home 7🥀

"Kita mungkin merasa iri pada milik orang lain, tetapi itu bukan tanpa alasan. Orang lain mungkin akan menyuruh bersabar dan bersyukur, tetapi dia belum tentu mengetahui apalagi mengerti duka serta kehilangan yang kita alami."

🥀🥀🥀



JARAK DARI SMA YPD Wisteria ke kediaman Fay itu kurang lebih 40 menit dengan jalan kaki, tetapi bisa lebih singkat kalau memakai kendaraan. Sesuai ucapan Disya-meski mulanya Fay menolak keras-mereka akhirnya pulang dengan naik ojek.

Di perjalanan, Fay sudah berpikir keras mencari cara sekaligus membayangkan reaksi Sari begitu melihat dia pulang bawa teman. Masalahnya, dia sudah pulang agak terlambat dari jam yang seharusnya dan tadi Sari mengirim chat berisi omelan.

Ini akhir pekan, seharusnya Fay sibuk bantu-bantu rumah sehabis pulang sekolah. Lalu, terkait dirinya yang memilih kerja paruh waktu sehabis Ashar, Sari juga sempat murka. Bahkan, semalam Fay tak dibukain pintu, sebelum akhirnya Kevin pulang dan Sari terpaksa mengizinkannya masuk.

"Neng, ini di mana?" Pak Ojek bertanya begitu mereka melewati kantor Desa Malasari.

Fay tersadar dari lamunannya. "Masih jauh, Pak. Nanti saya berhentiin kalau udah dekat," jawabnya dengan sedikit berteriak.

Saat menoleh ke belakangnya, Disya melambai kegirangan. Fay hanya menelan ludah dan menghela napas. Entahlah, semoga "rumahnya baik-baik saja" nanti saat mengajak Disya bertamu.

Lima menit berikutnya, mereka pun tiba. Disya tampak mengamati rumah yang cukup megah itu. Fay mendorong kuat gerbang besi yang dicat hitam, mempersilakan Disya masuk dengan satu kata singkat.

Tampak Sari tengah menyapu. Begitu mendengar gerbang terbuka, dia langsung melempar pandangan ke arah gerbang, siap menyambut anaknya dengan omelan. Namun, begitu melihat kemunculan seorang cewek yang lebih tinggi dan terawat dari Fay, terpaksalah dia menerbitkan senyuman.

"Eh, ada teman Fay," sambutnya sambil berjalan mendekat. Seraya terus memasang senyuman manis, dia mengusap kedua pundak Fay, membuat putrinya itu memelotot kaget.

"Tante, assalamualaikum, selamat sore." Disya menyapa dengan ramah. Dia juga mencium punggung tangan Sari.

Tindakan itu membuat senyuman palsu Sari makin lebar saja. Dia melirik singkat pada Fay, memberi kode yang tak dimengerti cewek itu. "Ayo, masuk!"

"Baik, Tante," jawab Disya, mengangguk singkat.

Ketiganya kemudian memasuki halaman rumah. Disya disambut dengan baik, Fay bersyukur akan hal itu meski tahu bahwa Sari tengah berakting. Dia lalu segera ke kamar sementara Disya dibawa ke ruang tamu. Lalu, saat kembali dari kamar, dia berpapasan dengan Sari di lorong dapur.

"Bagus! Ajak temen ke sini, kayak gak punya malu aja," sindir wanita itu.

Fay tak merespons, sudah terbiasa dengan sikap ibunya. Dia hanya berjalan menuju ruang tamu. Di sana ternyata sudah ada beberapa camilan yang tersaji di meja kaca bertaplak kain renda cokelat.

"Aku udah ngobrol sama mama kamu," kata Disya begitu melihat kemunculan Fay.

"Apa?"

Maksud Fay, apa yang dikatakan ibunya saat tahu dia akan pergi ke rumah teman untuk pertama kalinya.

Disya meminta izin terlebih dahulu untuk mencomot camilan kue kering di meja. "Tadi aku minta izin sama mama kamu buat bawa kamu ngerjain tugas kelompok di rumahku. Terus karena kamu kan bakal kerja dulu, jadi kamu otomatis akan nginep di rumahku."

Mendengar kata 'menginap' rasanya Fay ingin protes. Padahal tadi dia hanya sepakat untuk nugas bareng, tidak sampai menginap.

"Kok nginap?" protes Fay pada akhirnya.

Disya melebarkan senyum sampai sepasang gigi kelincinya terlihat. "Kan, tugasnya dikumpul lusa, Fay, kita harus kebut naskah dramanya. Mana idenya aja belum ada," katanya membela diri.

Tak ada jawaban yang bisa diucapkan Fay. Dia pasrah. "Terus?"

"Terus apa?" Tangan Disya terulur, mengambil segelas jus jeruk dingin yang langsung menyegarkan kerongkongan begitu diteguk.

"Diizinin?" tanya Fay takut-takut.

Disya mengangguk dengan semangat. "Jadi, ayo sekarang siap-siap berangkat lagi. Kamu harus kerja dulu, kan? Aku tungguin, malah ntar kubantuin juga. Aku kenal lho sama Teh Nana-nya, pemilik Warung Warna itu," cerocosnya.

Sejujurnya Fay risi dengan semua tingkah Disya, tetapi entah kenapa dia tidak bisa marah pada cewek itu.

Beberapa menit berikutnya, Disya masih mencerocos, menceritakan banyak hal. Fay yang memang pada dasarnya pasif, hanya jadi penyimak setia. Sampai kemudian, tiba-tiba pintu dibuka dan muncullah seorang cowok.

Kevin baru saja pulang dengan setelan basket sedikit berantakan dan badan berkeringat. Cowok itu dengan cuek bersiul. Sampai kemudian, suara siulannya terputus begitu sepasang mata cowok tinggi itu menemukan keberadaan Disya.

Kedua matanya membola, memuja wajah cantik cewek yang duduk di depan saudara tirinya. Lalu, dia melihat badannya sendiri, mencium aroma bau acem yang membuatnya langsung merasa gugup.

Di depan cewek cantik masa bau dan berantakan, cuy!

Kevin pun setengah lari untuk segea ke kamarnya.

"Abangmu?" tanya Disya.

"Saudara tiri," jawab Fay jujur.

"Tiri?" Kedua alis Disya tampak naik, diikuti mata yang memelotot. Lalu, anggukan Fay membuat keterkejutannya makin menjadi. Rasa penasaran muncul begitu saja di dalam hatinya, tetapi dia memilih untuk tak bertanya karena sungkan.

Namun, Fay sepertinya sadar akan ekspresi cewek itu. "Aku tiga bersaudara, cewek semua, tapi kami gak serumah. Dan di sini adalah saudara tiri, kecuali yang masih bayi." Tatapannya beralih pada boks bayi berisi seorang balita yang tampak sudah wangi dengan baju rapi. Boks itu ada di dekat jendela kaca ruang tengah.

"Oh ...." Untuk pertama kalinya, Disya merasa tak enak hati. Terlebih saat Fay untuk pertama kalinya berbicara panjang lebar, justru mengungkit hal yang sensitif. "Maaf," sesalnya.

"Gak apa," jawab Fay.

Terdengar suara Sari yang datang dari arah dapur. "Gih, siap-siap, Fay. Kasihan teman kamu disuruh lama nunggu," katanya sambil melempar tatap pada Fay.

Diam-diam Fay merasa ngeri melihat Sari yang tiba-tiba baik dan lemah lembut padanya. Namun, dia tak memikirkan hal itu lebih lanjut, justru bergegas ke kamar untuk membawa beberapa buku dan mengisi tas dengan benda-benda lain. Sementara itu, Disya kembali mengobrol santai dengan Sari. Tak ada yang mencurigakan, obrolan itu seperti agenda hangat antara ibu dan anak kebanyakan.

***

Warung Teh Nana atau disingkat Warna sore ini lebih ramai dari biasanya, maklum malam Minggu. Jadi, banyak anak muda yang datang berkunjung. Seblak Warna adalah salah satu menu best seller di sana sehingga pesanannya selalu membludak.

Warna adalah warung yang menarget kalangan tua dan muda. Desain tempat itu dominan berwarna merah dan oranye. Area luarnya cukup luas, diisi dengan bangku-bangku panjang dan meja kayu. Ada lampu-lampu hias yang menjadi penerangan. Sebenarnya warung itu belakangan ini sedang direnov untuk diubah menjadi kafe.

Fay jadi satu-satunya pegawai paruh waktu di sana. Selain dia, ada tiga pegawai tetap yang semuanya sudah dewasa.

"Selamat datang di rumahku!"

Pukul 22.00, Fay dan Disya akhirnya tiba di Cangkuang, tepatnya di depan sebuah rumah gedong bercat putih. Ada sebuah motor hitam yang terparkir di halaman depan, juga beberapa pasang sandal yang tersusun rapi-entah disengaja atau memang yang meletakannya teramat disiplin.

"Asalamualikum!" teriak Disya begitu membuka pintu.

"Waalaikumsalam. Ya Allah, Neng anak Mamaaa! Akhirnya kamu pulang, Sayang," sambut seorang wanita bertubuh gemuk yang memakai daster motif janda bolong ungu.

"Ih, Mama mah lebay. Kan, tadi Neng udah bilang mau pulang telat." Disya melepaskan diri dari pelukan erat mamanya.

Wanita di depannya itu kemudian beralih pada Fay. "Eh, Neng, namanya siapa?" tanyanya ramah.

"Fay, Bu," jawab Fay pelan. Dengan ragu-ragu dia mencium punggung tangan wanita di depannya ini.

"Ih, anak manis. Temen baru kamu ya, Neng?"

Disya mengangguk menanggapi pertanyaan mamanya. "Pindahan semester ini. Sekarang kami ada tugas bareng, jadi dia bakal nginap di rumah Ica, Ma," jelasnya.

"Oalaaah. Ya udah atuh, ayo masuk, Neng!" Tasha mengulurkan tangan, memeluk pundak kiri Fay dan membawa cewek kurus kecil itu untuk masuk.

Hangat, itulah kesan pertama yang didapat Fay begitu menginjakkan kaki di ruang tengah. Dekorasi rumah ini tak megah, bukan pula menjadikan alasan kenapa hatinya merasa hangat. Ada seorang bocah laki-laki yang tampak tengah main PS bareng abangnya-mungkin laki-laki itu berusia 20-an-di sebelah televisi utama. Seorang pria juga tampak sibuk menyimak berita politik. Namun, perhatian mereka semua langsung teralih pada Fay yang baru saja tiba.

Tidak, Fay tidak merasakan kecanggungan atau ketakutan yang sangat seperti ketika mendapat tatapan penuh dari orang-orang selama ini. Mereka menatap sambil memberi senyum hangat, lantas berdiri dan menyambut kedatangan Disya untuk pertama.

"Neng, ayo sini duduk!" ajak ayah Disya sesaat setelah Fay menyalaminya.

"Ihhh, temen Teteh banyak euy! Yang ini siapa, ya? Teh, Teh, aku Adit, salam kenal!" Bocah laki-laki itu bicara dengan cerocosan yang bikin dia dapat tatapan teguran dari Tasha.

Wanita itu geleng-geleng. "Maaf ya, Fay, anak-anak Tante mah pada berisik," katanya canggung.

"Yah, Ma, kan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," celetuk si sulung sambil lalu. Dia dan Adit kembali ke depan televisi, lanjut main PS yang sempat di-pause.

Fay hanya terdiam melihat interaksi hangat itu. Ya, jujur dia merasakan sensasi lain di rumah ini. Orang-orangnya bisa dengan mudah saling bertegur sapa, menebar senyum, dan bercanda. Tak ada yang dibeda-bedakan, termasuk dirinya yang hanya tamu asing di rumha ini.

Kalau dipikir-pikir, beda sekali dengan keadaan keluarganya.

Keluarga? Ah, Fay kan bukan bagian dari mereka.

"Makan dulu, ya!"

Itu bukan pertanyaan, melainkan perintah. Soalnya Tasha ini tipe ibu-ibu yang susah banget ditolak permintaannya. Ekspresi kecewanya itu lho, jangan sampai menghiasi wajah cantiknya.

"Iya, Fay. Tadi kan kamu habis capek kerja, jadi butuh asup-"

"Apa? Neng Fay kerja?" potong Tasha sembari membulatkan kedua mata dan meninggikan suara.

Sontak saja reaksi wanita itu menarik tiga orang yang lain. Mereka kompak menoleh. Untuk kali ini, Fay akhirnya merasa sedikit canggung jadi pusat perhatian. Dia mengangguk kaku.

"Ya Allah, Neng ...." Tasha habis kata-kata. Namun, dia bergerak mendekat dan langsung menuntun Fay ke meja makan dengan lembut. "Ya udah, Neng makan dulu, ya. Makan yang banyak, Mama gak mau tahu pokoknya," pintanya.

Fay didudukkan di kursi dan diambilkan piring oleh Tasha. Tak hanya itu, Tasha juga mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk. Disya duduk anteng di sampingnya, dengan tenang mengambil piring.

Tunggu, tunggu! Bagi Fay ini terlalu berlebihan.

"Tu-"

"Dihabiskan, ya!" Lagi-lagi ucapannya dipotong oleh Tasya.

Suasana ini membuat Fay mati kutu. Meja makan selalu memberinya kenangan buruk tentang pengabaian dari keluarga. Lalu, saat ini dia duduk di sini, dihidangkan makanan lezat yang jarang sekali dia nikmati.

Justru hal itu terjadi oleh orang lain.

🥀🥀🥀

Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top