🥀Home 13🥀
"Kata 'andai' itu cuma bikin kita gak bisa lebih leluasa menerima kenyataan dan menyesali sesuatu yang semu."
🥀🥀🥀
PADA AKHIRNYA, FAY memilih keluar dari warung Teh Nana. Memang sih, walau tak pernah dikeluhkan, kerja paruh waktu sampai malam itu butuh banyak tenaga. Apalagi jarak untuk sampai di rumah cukup jauh, membuat tenaganya benar-benar terkuras habis setiap harinya.
Sebagai ganti, Fay diterima menjadi karyawan baru di tempat jahit Bu Asih. Jam kerjanya juga lebih fleksibel, terlebih dekat ke tempat tinggalnya sekarang.
"Neng, gak apa lembur, tah? Bukannya besok masih UTS?" tanya seorang ibu yang duduk di samping Fay.
Mereka sama-sama pekerja buang benang. Kurang lebih ada 12 orang dan semuanya ibu-ibu, sebelum masuk peserta ketiga belas yang masih anak SMA.
Fay hanya menggeleng dengan senyum tipis. Tangan kanannya tampak tak selincah ibu-ibu dalam mengggunakan gunting kecil khusus untuk buang benang. Karena konveksi ini rumahan, sistem kerjanya pun borongan. Setiap hari ada beberapa kodi bahan yang masuk, dari untuk bikin celana, gamis, sampai atasan.
"Kamu mah pekerja keras, Neng. Ibu doain, kamu jadi anak sukses yang bisa banggain orang tua kamu," imbuh wanita berdaster yang lain.
Kalau gak punya orang tua, gimana, tuh? Seketika senyum Fay luntur saat mendengar kalimat itu. Kenapa kesuksesan harus dikaitkan dengan orang tua? Sementara nasibnya, justru tak pernah dianggap oleh kedua orang berlabel orang tua itu.
"Neng Fay ada di sini?"
Tiba-tiba sebuah suara wanita terdengar dari ambang pintu yang menyambungkan dengan ruangan lain.
Fay refleks menoleh sambil mengernyit. "Ada apa, ya?" tanyanya dengan kernyitan yang makin dalam. Rasa penasaran makin membuncah tatkala wanita itu tampak sedikit salah tingkah.
"Ada yang nyariin kamu, katanya ibu kamu," jawabnya.
Sari, pasti wanita itu yang dimaksud. Ada apa lagi? Suasana hati Fay langsung memburuk setelah mendengar jawaban itu.
"Bu, saya pamit pulang lebih awal, ya," pamit Fay pada Bu Sari yang juga sedang melakukan pemantauan.
Wanita itu mengangguk ramah. Fay pun akhirnya meninggalkan gudang dan berjalan di tengah gelapnya malam. Waktu baru memasuki jam 20.00, masih ada aktivitas para penduduk di sepanjang jalan gang yang diterangi lampu oranye temaram itu.
Tebakan Fay ternyata benar. Di sana sudah menunggu Sari yang tampak resah. Wanita itu terus berjalan bolak-balik sambil menggigiti kuku. Sekiranya sudah setengah jam dia di sini, digigiti udara dingin dan digerogoti emosi yang merampas kewarasan.
Dia pikir keputusannya untuk melepas Fay sudah benar. Dia kira anak itu tak akan sungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Fay!" bentak Sari begitu melihat kemunculan putrinya yang tampak lusuh.
Fay mendekat dengan langkah-langkah pelan dan kecil. "Ngapain Ibu ke sini?" tanyanya sinis.
Tanpa menjawab terlebih dahulu, Sari langsung saja menarik kasar tangan Fay. "Pulang!"
Satu kata itu rasanya membuat Fay ingin tertawa keras-keras.
"Dasar anak tidak berguna!" maki Sari dengan emosi.
Fay mengentakkan tangan kirinya sampai genggaman sang ibu terlepas. "Lalu kenapa aku diajak pulang? Dan memangnya rumahku di mana?" Dia membalas dengan suara tak kalah tinggi.
Biarlah, biar mereka jadi tontonan para tetangga yang belum tidur. Fay sudah muak dengan bungkam selama bertahun-tahun. Kesabarannya juga punya batas.
"Ck! Ngelantur kamu. Ya rumah kamu itu di tempatku!" jawab Sari gemas. "Ck! Kamu sok-sokan ngontrak, cari perhatian banget. Biar apa? Biar orang-orang ngira saya sengaja nelantarin kamu?"
Omelan Sari kali ini ditanggapi dengan hati yang menggelegak. Rasa takut telah lenyap dari diri Fay. Sepasang matanya yang biasa hanya menatap ke bawah itu kali ini dengan berani menantang sang ibu.
"Itu bukan rumahku!" Fay membentak tanpa ragu, lantas kembali melanjutkan ucapannya begitu melihat Sari akan bicara. "Lagi pula bukannya aku ini anak pembawa sial? Anak tak tahu diuntung? Dan lagian, memangnya di sana aku dianggap anak? Bukannya aku gak lebih dari sampah, pembantu, dan kotoran menjijikan yang selalu kalian perlakukan dengan gak adil?"
Satu tamparan mendarat ke pipi Fay dengan waktu cepat. Tangan Sari tampak gemetar, bibirnya juga. Sepasang matanya tambah tajam saja saat menatap Fay, penuh intimidasi dan ancaman.
"Jag-"
"Aku udah gede, Bu. Dan lagian emangnya dari kecil Ibu ada partisipasi dalam hidup aku?" sela Fay tanpa menggubris rasa panas di pipinya. "Bukannya Ibu sama Ayah tuh sama aja, ya?"
Kata-kata tajam Fay berhasil membungkam mulut Sari. Untuk beberapa detik, wanita itu hanya mengepalkan kedua tangannya yang gemetar.
"Jaga mulut kamu!" kata Sari akhirnya.
"Apa?" Namun, Fay dengan berani balas menatap tajam tatapan ibunya. "Aku gak akan pulang! Rumahku di sini!"
Setelah mengatakan itu, Fay berbalik dan hendak pergi. Sari langsung menahannya, tetapi Fay menepis genggaman wanita itu.
"Andai kalau bisa, aku mau minta sama Tuhan buat gak usah lahir ke dunia sekalian! Atau kalaupun harus lahir, aku mau lahir dari ibu yang lain, bukan wanita yang ada di depanku ini!" pungkas Fay yang membuat Sari akhirnya kehilangan kata-kata.
***
UTS memasuki hari ketiga, tanda bahwa soal-soal ujian memusingkan yang kadang jauh dari materi ajar itu akan segera enyah dari kepala mereka. Fay tentu menjalani UTS dengan biasa-biasa saja. Dia tak pernah belajar, apalagi seambis anak-anak lain. Tak ada materi pelajaran yang disuka atau dibenci juga.
Itulah alasan yang membuat Fay sekarang merasa muak dengan segudang pertanyaan Disya. Cewek itu duduk di depan barisannya, membuat mereka jadi bisa lebih leluasa berinteraksi.
Fay hela napas, cuma bisa pura-pura tuli menghadapi segala bentuk perhatian dan kekepoan Disya.
"Kantin, yuk!" ajak Disya. Padahal ajakan itu selalu ditolak Fay.
Fay menggeleng, lagi.
"Gak laper kah? Aku bawa bekal, sih."
Fay lagi-lagi menggeleng.
Belum selesai dengan satu cewek yang berisiknya minta ampun, tiba-tiba datang kehebohan dari ambang pintu ruangan. Rombongan Disya datang. Mereka langsung menuju meja Fay.
"Hai, Fay!" Keempatnya juga menyapa dengan ramah.
"Kami tadi habis war jajanan!" celetuk Sila sambil mengeluarkan isian kresek hitamnya.
"Iya, tapi dempet-dempetan dulu dah. Cape banget," timpal Upi yang kebagian membawa minuman mereka.
Fay hendak berdiri, tetapi Disya dan Ren langsung menahannya. Dia mencoba lagi dan kembali ditahan. Fay hela napas. Dia tak nyaman ada di situasi ini.
"Aku mau ke luar!" kata Fay dengan penegasan.
"Makan dulu, lah. Isi perut sama kami, biar lebih seru," bujuk Nana.
Hela napas terdengar. Fay tampak ancang-ancang sebelum bicara dengan serius.
"Jangan bertindak sok peduli padaku. Aku benci orang-orang munafik yang lain di kata lain di hati. Dan satu lagi, aku gak butuh dikasihani!" pungkas Fay dalam satu tarikan napas.
Lantas, dia berjalan ke luar kelas sambil memainkan ponsel.
🥀🥀🥀
Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top