🥀Home 11🥀

"Kalau tak ada rumah yang bisa menerimamu lagi, carilah rumah baru meski itu berarti kamu akan sendirian ke depannya."

🥀🥀🥀

"DASAR ANAK PEMBAWA sial! Tidak berguna! Anak haram!"

Sari terus mengeluarkan kalimat-kalimat makian bernada tinggi sambi menunjuk-nunjuk muka Fay yang duduk bersimpuh—dengan bergeming—di hadapannya. Cewek itu duduk di tanah halaman depan, di malam dingin yang untungnya hari ini cerah. Perutnya lapar, tubuhnya lemas karena lelah, tetapi bahkan saat ini semua hal itu tak lagi terasa.

Sejak tadi, tak ada kalimat yang berhasil menggores hatinya, tetapi kali ini berbeda. Begitu mendengar umpatan terakhir, pandangan kosong cewek itu akhirnya terangkat. Dalam kebisuan yang menenggelamkan, bibir yang terkatup rapat kuat, ada segudang tanya yang tervisualisasi hanya dalam kerutan kening.

"Apa?" Sari memelotot galak, seperti paham dengan pertanyaan tak tersirat anaknya. "Kamu memang anak haram, pembawa sial! Andai dulu papa kamu itu gak tahu perselingkuhan dengan ayah kamu, hidup Mama mungkin masih enak sampai sekarang!" makinya dengan emosi yang makin tak terkendali.

Mendadak angin seperti lenyap tak berembus lagi, suara-suara di sekitar juga menjauh dengan cepat. Napasnya tertahan begitu saja.

"Jangan bohong ...." Setetes air mata jatuh menuruni pipi Fay.

"Aku gak bohong!" bentak Sari. "Meski ini spekulasi Mama, tapi kalau hitung dari kelahiran kamu, waktu itu papamu tugas ke luar negeri berbulan-bulan. Saat dites usia kandungan, Mama ingat waktu itu sudah ditinggal papamu. Mama yang kesepian akhirnya minta ditemenin mantan mama, ayah kamu!"

Ini lebih dari bak petir di siang bolong. Selama ini, Fay selalu mengecap bahwa ibunya penjahat utama yang menghancurkan keluarganya. Lalu, kalau tahu ternyata dialah penyebab itu, rasanya hati Fay perlahan-lahan retak.

"Andai Mama gak lahirin kamu! Andai waktu itu kamu berhasil diaborsi! Andai papa kamu gak mergoki perselingkuhan Mama, pasti sekarang Mama masih berstatus sebagai istri dari pengusaha kaya raya Jepang!" lanjut Sari tanpa berusaha memelankan suaranya.

Seluruh kata yang hendak dilontarkan oleh Fay lenyap begitu saja. Tak ada air mata mesk sekarang hatinya teriris pedih yang teramat. Tak ada jeritan protes meski sekarang kepalanya terasa mau meledak.

"Sekarang aku juga hampir diusir karena kamu, anak sialan! Coba aja kamu jadi anak tuh guna dikit, gak mungkin ayahmu sampai semarah itu!" Setelah mengatakan itu, Sari kembali mendekati pintu, mengetuknya sambil terus mengeluarkan kalimat permohonan.

Ah, hidup memang tak pernah berjalan dengan baik-baik saja. Padahal hari ini hati Fay tengah berbunga-bunga karena baru saja menerima gaji pertamanya. Jadi, harus ke mana dia sekarang? Akan tidur di mana?

***

Ada alasan kuat kenapa sampai Disya merasa marah pada Fay, tetapi sekarang dia meyakini hatinya tengah kecewa sepenuhnya. Bagaimana bisa cewek selugu Fay mengucapkan kalimat yang teramat lancang begitu?

"Kenapa deh bengong terus? Padahal mah harus fokus belajar karena mingdep UTS," tegur Sila yang tak tahan melihat Disya bengong terus-terusan.

Disya menghela napas berat. "Apa aku yang salah, ya?" celetuknya, tak menjawab pertanyaan Sila, yang justru membuat teman-temannya menengok kebingungan.

"Hmm, pasti soal Fay," terka Upi setengah yakin setengah sangsi.

Namun, tebakannya tak keliru. Memang sejak tadi Disya terus memikirkan cewek itu. Ini hari kedua Fay bolos tanpa keterangan, padahal sedang ada agenda penting di sekolah. Saat dicari ke warung Teh Nana juga tak ada informasi yang membantu.

"Kenapa deh kamu peduli sama anak songong itu, Sya?" Sila bertanya sambil mencocol saus dengan cireng hangat.

Hela napas lagi-lagi terdengar keluar dari mulut Disya. "Karena aku tahu, dia butuh teman," jawabnya tulus, tetapi sambil pasang senyum hampa.

"Tapi kayaknya dia gak butuh teman, tuh." Pendapat Nana diangguki Upi dan Sila.

Bukannya apa, selama ini mereka sudah melihat usaha Disya yang beneran full effort buat bantuin Fay, tetapi bukannya—minimal—mendapat balasan terima kasih, seringnya mereka berujung merasa kasihan karena usaha Disya terlihat tak dihargai oleh Fay.

"Gak gitu," Disya menggeleng, "Fay itu anak yang rumit karena konflik hidupnya lebih berat dari kita."

"Kok bisa ngomong gitu?" sambar Nana.

"Iya, mana pake adu nasib," timpal Sila tak terima.

Disya memberi senyuman pada teman-temannya. "Gak gitu juga, Sil, Na. Maksud aku, aku baru tahu kalau Fay itu anak broken home, keluarganya berantakan. Malah aku udah lihat satu demi satu apa aja luka dan beban yang ditanggung Fay." Dia berusaha menjelaskan setenang mungkin.

"Terus, kenapa kita harus peduli?" Pertanyaan yang diajukan Sila sontak membuat mereka berpikir keras, mengadu logika dengan hati.

Hening cukup lama, diganti dengan kebisingan kecil dari acara makan-makan di sela jam istirahat itu.

"Aku cuma ngerasa ... kayak aku harus jadi temen dia, jadi sandaran dia, bahkan jadi penyelamat dia dari rasa kesepian yang menyakitkan," celetuk Disya, tulus dari hati.

Ungkapannya jelas sudah bisa ditebak oleh keempat rekannya karena mereka sudah saling tahu kepribadian masing-masing.

"Aku gak pernah bayangin hidup tanpa orang tua, dan kalaupun ngalamin, kayaknya aku gak bisa bertahan hadapin kenyataan. Aku yang sampai sekarang aja masih suka kecarian Mama kalau Mama gak ada di rumah, gak bisa bayangin gimana rasanya ada di posisi Fay," sambung Disya. Kedua matanya sudah memanas.

"Emang Fay gimana?" tanya Upi sambil agak mencondongkan tubuh.

"Dari yang aku tahu, Fay itu ... punya papa tiri di sini, tapi ayah kandungnya kayak nelantarin dia, jadi sekarang Fay udah gak ada kontak dengan mereka. Tapi, Fay kayaknya gak punya hubungan yang baik dan sehat juga dengan ibunya." Saat mengatakan itu, Disya ingat betul perdebatan dengan Fay tempo hari. Hatinya pedih sekaligus bergolak.

Dia bertanya-tanya, kenapa ada orang tua yang sampai menelantarkan darah dagingnya sendiri, padahal anak itu tidak bisa meminta mau dilahirkan oleh siapa, kapan, dan di mana.

Saat berkunjung ke kediaman Fay juga, Disya sedikit menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan Sari. Dia bisa merasakan mana ibu yang tulus dan palsu.

"Masa, sih?"

Namun, pertanyaan Nana tak langsung bisa dijawab karena bel masuk sudah berbunyi. Terpaksalah acara gosip mereka diakhiri.

***

Warung hari ini lebih ramai, sampai-sampai Fay nambah jam kerja satu jam. Itu terhitung lembur dan kalau bisa, aslinya dia ingin lembur sampai subuh. Biar tidak usah pulang sekalian. Toh, ngapain pulang, dia juga cuma bisa tidur di teras belakang.

Nasib Sari sih lebih baik darinya. Wanita itu akhirnya diizinkan masuk, tetapi saat berhasil menemukan Fay, wanita itu justru melemparkan barang-barang Fay—yang tidak lengkap—sambil mengumpat.

"Hati-hati pulangnya, Neng," pesan Teh Nana setelah mengunci pintu warung.

"Iya, Teh," jawab Fay sambil senyum palsu.

Dia melirik pangkalan ojek. Masih ada Mang Ojak yang mangkal, yang sepertinya sengaja pulang telat hanya untuk mengantar penumpang terakhir, dirinya.

"Pulang, Neng?" sapa Mang Ojak begitu Fay berjalan mendekat.

Fay hanya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Dia pun naik ke jok belakang, lantas menikmati udara malam yang amat dingin. Mang Ojak membawa motor dengan kecepatan pelan, membuat pemandangan di sepanjang jalan makin leluasa dilihat.

"Mang," panggil Fay yang tiba-tiba ingin membahas sesuatu.

"Ya, Neng?" balas Mang Ojak, agak noleh.

"Di sini ada kontrakan yang murah gak, ya?" Fay bertanya dengan nada datar.

Mang Ojak tak langsung menjawab, pria itu tampak berpikir dulu. Keningnya berkerut, lantas kedua tangannya membelokkan stang, membuat motor meliuk mulus melewati aspal yang berlubang.

"Ada kayaknya, tapi emang buat apa?" Mang Ojak balik bertanya.

Fay hanya pasang senyum.

Baiklah, kalau dia sudah tak punya rumah yang mau menerimanya, lebih baik mencari rumah baru walau itu berarti dia akan sendirian ke depannya.

🥀🥀🥀

Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top