🥀Home 10🥀
"Kamu dan aku itu beda dunianya. Kamu punya rumah yang hangat meski sekarang hidup tanpa ayah, sementara aku tak punya rumah meski saat ini hidup bersama ibu dan ayah."
🥀🥀🥀
SEHARI TANPA KEMUNCULAN Disya ternyata membuat perasan Fay lebih baik, menurutnya.
Tak ada yang mengganggu, tak ada pula yang sok perhatian, berisik bahas ini-itu sampai dia tak punya kesempatan untuk bengong.
Namun, saat mengingat momen terakhir selumbari, ada rasa tak nyaman yang menggerogoti hati Fay.
Apa dia sudah salah kata, sampai membuat Disya meneteskan air mata? Namun, salahnya di mana? Bukankah apa yang dia katakan adalah apa yang dia alami? Sesuai fakta lapangan.
Kirei Liora
Berhenti chat-chat deh.
Aku malu kalo calonku tahu soal keluargaku yg ga bener itu.
Sepasang mata Fay yang pedih karena kurang tidur itu terus menatap layar ponsel. Itu chat yang masuk sejak semalam dan belum Fay balas sampai sekarang. Dia bingung mau balas apa. Permintaan maaf? Pertanyaan?
Percuma. Akunnya sudah diblokir.
Fay menghela napas.
"Eh, Sya, Disya!"
"Diysaaa, akhirnya kamu masuk!"
Teriakan heboh dari rombongan cewek yang duduk di sebelahnya membuat Fay sedikit kaget. Saat menengok ke arah pintu masuk kelas, ternyata ada Disya yang berjalan santai sambil pasang senyum manis.
Fay diam-diam menyimpan ponsel ke saku tas, kemudian mengambil buku dan pura-pura sibuk menulis.
Kemunculan Disya langsung menarik perhatian cewek-cewek kelas. Mereka langsung heboh, saling lempar pertanyaan, saling sahut, sambil tentu saja sesekali tertawa.
Mereka tampak asyik, hubungan pertemanan yang hangat. Munafik sekali Fay pernah berharap menjadi bagian dari mereka setelah merasakan dan menerima kebaikan Disya.
"Masuk, masuk! Bu Heni datang!"
Teriakan heboh cowok-cowok yang berlarian masuk ruangan seketika membuat seisi kelas sibuk merapikan diri, termasuk Fay. Guru wanita yang selalu berpakaian super rapi itu memasuki ruangan, pertanda pelajaran akan dimulai.
***
"Aku minta maaf, ya. Kata-kataku waktu itu mungkin menyinggung kamu."
Itu bukan Fay, melainkan Disya.
Justru Disya yang meminta maaf lebih dulu. Saat bel jam istirahat berbunyi dan seisi kelas mulai berhamburan meninggalkan kursi masing-masing, cewek bergigi kelinci itu justru melawan arus demi mencapai tempat duduk Fay.
"Ya," jawab Fay cuek.
Disya melangkah mendekat dan akhirnya duduk setelah mengambil kursi yang kosong dari meja samping.
"Tapi, Fay, aku boleh ngomong gak?" sambung Disya dengan senyum manis yang tak kunjung luntur
Fay mengangguk.
Izin itu jelas membuat senyum Disya makin melebar. Memang ada hal yang ingin dia sampaikan, tetapi itu sebatas karena dia peduli pad Fay, teman barunya.
"Fay, kamu tahu gak, kenapa kemarin aku sampe nangis?"
Lagi-lagi Fay hanya menggeleng menanggapi ucapan Disya.
Disya maklum. "Itu karena hal yang pengin kubahas sekarang." Suaranya memelan, senyumnya juga meluntur.
Hening sesaat. Mendadak Fay bisa melihat lebih jelas suasana kelasnya yang hening. Seisi kelas telah keluar kecuali mereka. Memang jam istirahat itu paling asyik dipakai buat isi perut atau kunjungan mendadak ke kelas lain.
"Fay, maaf sebelumnya, tapi ...." Ucapan Disya menggantung begitu saja lantaran hati cewek itu mendadak diliputi keraguan. "Fay ..., aku emang gak tahu kisah hidup kamu, aku juga gak tahu bagaimana hubungan keluargamu, tapi ... ada ikatan yang gak bisa diputus dengan cara apa pun. Itulah ikatan keluarga."
Fay masih diam menyimak, tetapi kepalanya mulai menebak-nebak apa yang akan dibahas cewek beraroma stroberi di sampingnya ini.
"Ayah, ibu, kakak, adik ... mereka terikat darah dengan kita. Jelas apa pun yang menimpa kita akan menimbulkan goresan di hati meski hanya sebentuk kecil," sambung Disya.
"Termasuk kalau mereka gak bertanggung jawab sejak kecil?" sahut Fay yang pada akhirnya mulai konek.
Lebih tepatnya hatinya serasa tercubit usai mendengar ucapan pelan Disya.
"Ya."
Fay memilin pulpen hitamnya di atas meja.
"Aku cukup kaget mendengar ucapanmu kemarin, Fay. Menurutku ... itu salah ...." Senyum getir Disya terbit, kedua matanya juga mulai berkaca-kaca.
Rasa kehilangan yang masih menganga lebar atas meninggalnya sang ayah, rasa sesal lantaran merasa gagal sebagai anak, rasa rindu yang menggebu pada sosok yang tak lagi bisa dijumpai. Semuanya mencampur, membuat hati Disya bergolak dengan gila. Bahkan, air matanya nyaris jatuh kalau saja tak mati-matian berusaha ditahan.
"Ayah tetaplah seorang ayah, ibu tetaplah seorang ibu. Kita lahir karena mereka, kita tetap anak mereka sekalipun telah terucap kata menyakitkan."
Air mata Disya jatuh sudah, tetapi tangannya dengan cepat mengusir buliran bening itu.
"Jangan sampai kamu nyesel setelah kehilangan mereka, karena rasa sesal itu menyiksa dalam waktu lama dan kita akan kesusahan untuk mencari obatnya," sambung Disya.
Senyum miring Fay terbit, tatapannya juga terangkat, gerakan tangannya terhenti. "Aku sih lebih baik kehilangan ayah dan ibu sejak kecil," katanya dengan tenang.
Sontak Disya menoleh dengan kedua mata membola. "Fay!" Nadanya meninggi tanpa sadar, beruntung akalnya masih berfungsi sehingga amarahnya tak langsung diledakkan.
"Apa?" Fay bangkit berdiri, menatap penuh pada Disya. Untuk kali ini, dia memiliki keberanian penuh saat menghadapi Disya. Jelas, itu karena amarah. "Keluargamu itu keluarga cemara! Sejak kecil kamu terbiasa dengan kasih sayang kedua orang tuamu. Kamu juga punya saudara yang akrab dan selalu membelamu."
Suara Fay yang kental logat Jawa akhirnya memecah keheningan kelas. Disya kaget melihat reaksi itu.
"Berhenti sok peduli dan terus mencampuri hidupku! Kamu gak ngerti aku!" sambung Fay dengan tatapan menghunus Disya.
"Fay ...."
Fay menunduk, tubuhnya gemetar. "Lima tahun ... pada usia lima tahun orang tuaku cerai tiba-tiba. Padahal lima tahun sebelumnya hidupku baik-baik aja, banyak kenangan ...." Dadanya sesak bukan main, tetapi untuk kali ini saja, dia ingin mengungkapkan semuanya. "Banyak kenangan di masa kecil yang masih samar kuingat dan itu menyiksa."
Disya hendak menyela, tetapi dia sadar Fay belum selesai bicara.
"Lalu, setelah cerai, keluargaku berantakan. Aku terpisah dari adik dan kakaku, ibuku pun kabur dengan pria pacarnya itu. Aku ditelantarkan, adikku dibawa ayahku. Harusnya aku juga dibawa Ayah, tapi kata Ayah ... kata Ayah ...."
Lidah Fay mendadak pahit saat akan melanjutkan kalimatnya. Namun sekarang sudah telanjur, sudah cukup dia menahan semuanya sendirian. Dia juga ingin mengeluarkan unek-uneknya meski dengan cara begini.
"Kata Ayah aku ini merepotkan, kata Ibu pun sama. Aku ini merepotkan. Tapi kenapa cuma aku?" Tatapan tajam Fay kembali beralih pada Disya. Setetes air mata jatuh menuruni pipinya yang kering. "Kenapa cuma aku yang harus dibuang? Adikku dibawa, kakakku pun dibawa Om. Aku? Aku hidup dengan Nenek, tiap hari kena buli, dianggap aneh, dapat tatapan mencemooh ...."
Tangis Fay pecah, tubuhnya gemetar, tetapi dia belum puas mengeluarkan unek-uneknya.
"Satu-satunya alasanku bertahan sampai sekarang adalah Nenek, tapi Nenek juga udah pergi. Aku akhirnya dipungut Ibu. Dipungut ... ah kayaknya itu terlalu bagus buatku," sambung Fay terbata-bata.
"Jadi, berhenti nasihatin aku, mencampuri urusanku, apalagi sok peduli padaku. Terlambat, aku udah kuat sekarang, aku udah gak butuh bantuan siapa pun ...." Lidahnya getir saat mengatakan itu.
"Kamu dan aku itu beda dunianya. Kamu punya rumah yang hangat meski sekarang hidup tanpa ayah, sementara aku tak punya rumah meski saat ini hidup bersama ibu dan ayah," pungkas Fay.
Dia lalu mengambil langkah pertama dan lari meninggalkan kelas.
***
Hari yang buruk itu ternyata belum selesai. Saat sampai di rumah pukul sepuluh malam, Fay menemukan rumahnya berantakan. Berantakan dalam arti sesungguhnya.
Ada keramaian dari dalam sana. Tentu saja sumbernya Sari dan Anto. Namun, sekarang terdengar tangisan Sari. Tangisan yang meraung-raung disela oleh beberapa kalimat.
"Aku talak kamu! Kamu itu gak becus jadi istri!" bentak Anto sambil mengempaskan tubuh Sari yang memeluk kedua kakinya.
"Yah, jangan ceraikan aku. Ke mana aku pergi kalau kita pisah? Anak kita-"
"Semua anak kamu itu merepotkan!" potong Anto. Suaranya menggelegar. "Terutama si Fay! Untuk Al, biar aku aja yang urus!"
"Yaaah ...." Sari memohon.
"Aku muak dengan istri kayak kamu! Kamu itu cuma bikin aku muak. Cantik enggak, ngabisin duit iya!"
Fay menghela napas. Dia berdiri terpaku di luar rumah, tepat sejajar dengan pintu yang terbuka lebar.
🥀🥀🥀
Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top