🥀Home 1🥀
"Bagi beberapa anak, rumah bukanlah tempat pulang terbaik. Beberapa anak lagi justru ingin segera menemukan rumah meski hanya ada dia sendirian di tempat kosong itu."
🥀🥀🥀
USIANYA TAHUN INI menginjak 17, masih remaja; umur yang seharusnya diisi dengan keindahan masa remaja, cinta pertama, dan tawa hangat bersama teman atau keluarga.
Fayri Erica Rikawa menghela napas pelan. Sepasang matanya yang sembap menatap pantulan dirinya di cermin yang makin hari tampak kian memprihatinkan-menurutnya. Teriakan yang saling bersahutan dari luar kamarnya sama sekali tak mengganggu. Justru Fay sama sekali tak memedulikannya.
"Fay, cepat berangkat!"
Kali ini teriakan ibunya yang terdengar. Teriakan yang sarat akan nada kejengkelan dan amarah.
Fay menghela napas lagi sebelum mematut jilbab putih yang membungkus indah wajah bulatnya. Sepasang matanya yang sipit untuk terakhir kali menatap cermin, sebelum tubuh kurusnya yang kecil itu berbalik. Tangannya terulur, meraih tas berisi perlengkapan sekolahnya yang lusuh dan menyampirkannya di bahu.
"Lama banget, sih!" amuk ibunya begitu cewek 17 tahun itu muncul dari balik pintu kayu yang sudah usang.
"Tuh, ditinggal kan sama ayah dan Kevin!" sambung wanita itu. Dia mengomel sambil sibuk memomong putranya yang baru berusia setahun.
"Aku pergi." Fay berujar dengan nada datar. Tanpa mengulurkan tangan sebagai pamitan, dia melengos pergi.
Saat membuka pintu yang berderit pelan, cahaya hangat mentari pagi langsung menyambut. Udara sejuk Bandung Selatan yang belum terlalu tercemar oleh polusi kendaraan juga cukup memberinya aroma semangat baru.
Dengan sepatunya yang sudah sobek, Fay melangkah pelan menyusuri gang sempit sampai kemudian tiba di pinggir jalan. Ini sudah pukul enam lewat, semoga saja satu-satunya angkot belum lewat.
Kawasan Malasari memang bagian dari Bandung Selatan, lebih tepatnya masuk Kecamatan Cimaung. Tempat itu masih setengah desa setengah kota. Banyak bangunan perumahan atau industri yang mulai memenuhi setiap sudut, tetapi sebagian besar tanah masih diisi oleh lahan perkebunan sosin.
Satu hal yang menyulitkan adalah alternatif kendaraan. Hanya ada dua alternatif untuk kendaraan umum, yakni angkot-yang hanya satu itu-dan ojek pengkolan. Ojek online tidak bisa masuk ke kawasan itu karena ada "kebijakan buatan".
Sekolah Fay sebelumnya ada di kota, jaraknya memerlukan satu jam dengan motor. Namun, baru-baru ini dia dipindahkan ke sekolah swasta yang jaraknya lebih dekat dari rumah. Tentu saja bukan itu alasannya. Fay dipindahkan ke sekolah biasa karena biayanya lebih murah.
Apa sebagai anak dia berhak untuk protes? Kalaupun ada nyali untuk protes, Fay hanya akan melakukan tindakan bunuh diri.
"Jadi anak pungut tuh harusnya banyakin bersyukur. Lo dikasih rumah nyaman, uang jajan, terus sekolah di tempat elite kayak gue. Masa lo kayak gak punya otak mau protes, sih?"
Ah, itu ucapan pedas Kevin, saudara tirinya.
"Jalan pake mata, dong!"
Fay mengerjap saat teriakan cowok itu menyerang kedua telinganya yang tadi tenggelam dalam nostalgia.
"Lah, pantes jalannya meleng, mata lo sipit ternyata!" sambung cowok itu yang diikuti tawa geli teman-temannya.
Mendengar itu, Fay berusaha tak ambil pusing. Toh, tidak berguna juga kalau dia melayani cibiran mereka. Sudah biasa pula dia mendapat perlakuan seperti itu.
Fay akhirnya tiba ke sekolah dengan jalan kaki. Untung saja dia hafal rute ke SMA YPD Wisteria. Soalnya ketika melakukan pendaftaran ulang kemarin dia diantar ibunya, juga sekolah ini sering dilaluinya dulu.
Bel berbunyi nyaring, pertanda anak-anak harus segera ke lapangan untuk melakukan upacara pertama semester baru di Senin pagi yang cerah ini. Fay kebingungan, dia masih bawa tas, dia juga belum dapat teman baru. Terlebih napasnya masih putus-putus, badannya juga kegerahan dan banjir keringat. Fay jadi tidak pede mau nyamperin orang, takut bau badannya mengganggu.
"Eh, sini!" Seorang cewek pendek melambai ceria pada Fay.
Bukannya segera mendekat, Fay malah mematung.
"Kamu anak baru, ya?" tanya cewek itu lagi. Dari name tag di dada kirinya, tertulis nama Feby Amalia Putri.
Fay mengangguk kaku lalu menunduk dalam.
"Ya udah, sama aku aja dulu. Nanti aku antar kamu ke guru."
Cewek pendek ini tampak baik. Namun entahlah, Fay malah merasa tidak nyaman dan curiga. Dia sudah terlalu trauma menghadapi orang-orang baru. Jangan sampai seperti murid-murid di sekolah lamanya, ramah pas baru pertama bertemu, lalu mengolok-oloknya setelah kenal lama dengan alasan bercanda sebagai sesama teman.
Tak ada yang spesial hari itu. Fay hanya ingin buru-buru pulang meski rumahnya pun bukan tempat pulang terbaik.
Selesai mengikuti upacara Senin, Fay bertemu seorang guru pria yang ternyata adalah wali kelasnya. Dia dibawa ke sebuah kelas di lantai dua, kelas XI-IPS 2. Fay disuruh memperkenalkan diri dan dia hanya menyebut nama, usia, serta asal sekolah saja.
Lalu, sekarang Fay berdiri mematung di depan kelas, mendengarkan Pak Ahmad yang menyampaikan beberapa hal lagi.
"Silakan duduk di tempat yang masih kosong, Fay!" titah guru beraroma pinus itu ramah.
Fay mengedarkan pandangan, tetapi hanya menemukan tatapan-tatapan asing sekaligus penuh selidik dari seisi kelas. Terutama dari barisan cewek-cewek yang sejak tadi memelototinya, membuatnya bak barang dagangan murah.
"Di sana saja, Fay!" Pak Adi menunjuk salah satu kursi kosong di barisan kedua.
"Eh, Pak, jangan! Kan, ini tempat Rini," tolak si cewek berjilbab putih yang dipasang ala-ala selebgram.
"Sementara saja," bujuk Pak Adi. "Habis tak ada tempat kosong lagi, kecuali di dekat cowok-cowok."
Fay tak ingin ada perdebatan, apalagi di hari pertamanya sekolah. "Tidak apa-apa, Pak," katanya pelan, mirip bisikan.
"Yakin?" tanya Pak Adi sangsi.
Namun, Fay mengangguk cepat saja. Lebih simpel begitu, daripada terus berdiri di depan kelas dan jadi pusat perhatian.
Pada akhirnya Fay duduk di barisan paling belakang, dekat barisan cowok-cowok. Ada beberapa coretan di kursinya, kolong mejanya juga terdapat sampah-sampah. Fay memilih abai, meletakkan tasnya dan mulai mengeluarkan buku-buku.
"Eh, dia blasteran, kah? Mukanya aneh banget, kayak orang Jepang tapi tanggung."
"Tau deh. Kayaknya bukan, orang logatnya kayak orang Jawa."
"Alumni SMAN 23 Bandung, pasti anaknya sombong. Tadi aja mukanya kayak lagi ngajak gelut."
Fay hanya menunduk mendengar beberapa cewek menggibahkannya. Sudah biasa, tidak apa-apa, dia tidak perlu merasa sakit hati. Dia hanya perlu menulikan telinga dan menebalkan wajah. Pokoknya hari pertamanya sebagai murid baru di sini harus berlalu dengan baik.
Namun, satu hari itu berlalu dengan lambat, apalagi dilalui di tempat asing, tanpa kenalan atau ada orang yang mengajak bicara. Fay hanya duduk sendirian di kelas saat jam istirahat tiba. Saat masuk waktu salat juga dia tak ke luar kelas karena sedang halangan.
Fay hanya berubah jadi patung saat itu, mengamati setiap aktivitas kelas. Tak ada yang datang ke mejanya untuk sekadar berkenalan atau malah mengajak pergi bersama. Yah, walau hanya sebatas diajak ke kantin, Fay pasti akan senang. Namun, mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing dan Fay tak punya keberanian untuk masuk ke dunia asing mereka.
"Yeayyy, akhirnya pulang!"
Sorakan itu terdengar lebih kencang dari rombongan cewek. Seisi kelas langsung sibuk merapikan barang masing-masing, termasuk Fay. Namun, Fay memilih beranjak paling akhir, setelah semua rombongan cewek ke luar kelas, berdesakkan dengan para cowok.
"Lho, sepatuku mana?" gumam Fay saat tiba di luar kelas dan tak menemukan sepatu bututnya.
Fay coba mengedarkan pandangan, mencari-cari sepatunya siapa tahu tertendang ke arah lain. Namun, nihil, dia tak menemukan kedua sepatunya. Setengah jam mencari, Fay malah lelah sendiri. Dia memandangi kaus kakinya yang bolong dengan putus asa. Kedua matanya berkaca-kaca, mulai terasa panas.
Hela napas mengenyahkan kesedihan yang mulai menumpuk di kedua bola matanya. Fay memilih berjalan dengan bertelanjang kaki untuk turun ke lantai satu. Siapa tahu dia menemukan sepatunya, kan?
"Lempar sini! Lempar sini!"
Perhatian Fay teralih pada tiga cowok yang asyik main sepak bola di lapangan. Namun, mereka tidak menendang bola, tetapi sepatu miliknya.
"Dih, sepatu buluk! Jijik, jangan lempar ke gue, woi!" Cowok jangkung itu berteriak jengkel pada rekannya yang akan melempar sepatu padanya.
Sepatu itu melayang tinggi, tetapi meleset, tak mengenainya, justru mendarat dengan mulus di atas pohon rindang. Tawa puas terdengar, tiga cowok itu saling berkejaran di lapangan. Fay ingin memaki mereka, tetapi memilih diam dan segera menghampiri pohon.
Perlu usaha ekstra untuk mengambil sepatu itu dan Fay melakukannya sendirian. Memang ada orang yang akan peduli padanya? Toh, selama ini dia apa-apa selalu sendirian.
Sebelah sepatunya telah ditemukan. Fay kembali menatap pada tiga cowok itu. Ternyata sebelah sepatunya lagi ada pada mereka, sedang dijadikan bahan lempar-lemparan.
"Woi! Itu sepatuku!" teriak Fay yang sudah habis kesabaran.
Cowok-cowok itu menoleh, tetapi bukannya berhenti, si rambut kribo justru melempar kuat-kuat sepatu itu ke arah Fay. Fay yang panik akhirnya refleks menunduk. Sepatu itu terlempar melewatinya dan ... mengenai seseorang.
"Waduh, bahaya!"
Fay menoleh pada tiga cowok itu yang sudah kabur. Lalu, dia beralih pada cowok lain yang punya penampilan super rapi di depannya. Sepatu itu mengenai jambul klimis si cowok. Fay takut-takut mendekatinya.
"Ma-maaf, itu sepatuku," tegur Fay dengan suara mencicit.
Cowok itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan tajam. Kemudian, tangannya yang dihiasi jam tangan hitam mahal terulur, meraih sepatu sebelah kiri Fay yang tergeletak.
Tanpa aba-aba, cowok itu berdiri dan melempar sepatu Fay tepat ke tempat pembuangan sampah yang tengah mengepulkan asap hitam. Lalu, si cowok bertampang tampan tetapi punya kesan kejam itu pergi begitu saja.
Fay diam mematung, menahan segala gejolak yang mulai menyesakkan dadanya.
Kenapa kehidupan remajanya selalu begini?
🥀🥀🥀
Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top