Takut Tambah Dewasa

Kalau ditanya perkara rasa takut, jawabannya sederhana: setiap saat. Aku belum punya dana pribadi untuk memastikan ini memang ketakutan biasa atau memang ada yang salah dengan diriku. Tetapi, jujur saja, rasa itu benar adanya dan sangat-sangat mengganggu bahkan ke dunia nyata.

Aku manusia pemikir. Orang tua dan beberapa orang teman dekat mengakui itu dan aku pun membenarkan. Aku lebih suka menjelajah seisi alam semesta dengan kepalaku ketimbang bangkit dari ranjang dan melakukan kegiatan yang membuang tenaga. Jangankan menggerakkan rangka, bersuara pun aku jarang. Enggak jadi ice princess juga, sih. Belakangan, aku mendapat penilaian dari netizen, mereka bilang aku bukan pendiam, tetapi hanya introvert biasa yang bisa menarikan Reog Ponorogo bila dalam suasana hati kelewat baik dan akan menyerupai kulkas berjalan ketika kehabisan energi.

Jika ditanya tentang pengalaman menakutkan pun, ada banyak sekali, kurasa. Mengingat, hidup yang kujalani memiliki konsentrasi kepahitan yang lebih banyak daripada kadar manisnya. Hanya saja, kapasitas otak dalam tengkorak ini mungkin sudah kelebihan muatan sehingga tak sedikit yang dibuang tanpa ada titah dariku sebagai pemilik organ.

Yah, aku manusia biasa. Lupa itu alamiah, normal.

Sebenarnya, ada juga yang masih kuingat, mungkin juga akan terkenang sepanjang masa seperti kenangan kamu yang sudah tak bersama dia. Namun, aku akan memilih salah satu yang paling ringan untuk diceritakan. Kalau yang berat, biar Dilan saja, aku mana kuat.

Aku takut menjadi mahasiswa.

Namun, di sisi lain aku sangat ingin dan harus menjadi mahasiswa.

Banyak hal yang kutakutkan. Mulai dari lingkungannya, lingkar pertemanannya, mampukah aku menjalaninya? Bagaimana kalau aku mendapat nilai jelek? Apakah aku akan dibentak atau ditindas kakak tingkat? Boleh langsung pakai toga dan tempel gelar saja, tidak?

Entahlah, mungkin karena dipenjarakan oleh pandemi, aku jadi takut akan interaksi dengan dunia luar, terutama dengan individu baru. Tidak sepenuhnya takut juga, sih. Sulit rasanya memulai interaksi. Aku takut bila mendapat masalah yang bisa saja muncul selagi berinteraksi. Kita tidak bisa langsung tahu karakter seseorang, apalagi orang baru. Otak pintarku ini secara alamiah mulai merancang skenario menyeramkan terkait kehidupan perkuliahan seperti di drama atau film-film.

Untungnya, ada satu teman lamaku, teman SMP, yang secara kebetulan masuk di jurusan yang sama denganku. Ketika tahu, kami jadi sangat sering bertukar pesan dan kugunakan kesempatan itu untuk―istilahnya―deeptalk.

"Apa pun yang terjadi, lo jangan tinggalin gue, ya? Kalo gue sadar gue salah, gue bakalan merasa bersalah dan minta maaf. Kalo gue enggak sadar, tolong bilang, ya? Walau dulu kita gak deket-deket amat, seenggaknya lo tau gue orangnya gimana. Lo bisa percaya terus sama gue, kan?" Kira-kira begitulah pesan yang kukirim sebagai spam di jam setengah satu dini hari. Jam-jam rawan overthinking.

Seingatku, dia cowok nolep yang kalem dan agak ambis. Makin ke sini, dia agak menyebalkan. Kata temanku yang lain, mungkin karena dia wibu. Dari pesanku yang sepanjang Sungai Nil itu, dia hanya membalas, "Ya”, lalu kembali membicarakan hal-hal random. Misalnya, kira-kira berapa idealnya tebusan yang diminta seorang penculik di tengah perekonomian lemah pasca pandemi? Bahkan dia menanyaiku kira-kira teknik penculikan macam apa yang harus digunakan agar tidak sampai tertangkap polisi, terutama oleh tim detektif sehebat Conan Edogawa a.k.a Sinichi Kudo.

Mungkin aku terdengar berlebihan sampai berkata begitu. Tetapi memang itulah yang ingin kusampaikan. Aku tidak punya siapa-siapa yang bisa kupercaya dan kujadikan teman selain dia. Pasca pandemi, entah mengapa aku jadi selektif bukan main dalam memilih orang yang bisa kuberi ijin masuk ke duniaku.

Aku takut membuka gerbang untuk orang yang salah. Bisa-bisa tingkah dan duniaku diketahui oleh orang tua, orang kampus, bahkan tetangga-tetangga sampah yang merasa paling tahu dan hobi menggelar forum diskusi guna membicarakan hal-hal tidak penting.

Ketakutanku memunculkan inisiatif yang mendorong adanya pergerakan nyata. Aku menghapus semua postingan instagram yang agak lain, mengganti username, mengubah akun ke mode private, menyembunyikan postingan yang menandaiku, bahkan membuat akun Whatsapp baru agar aku dan duniaku tidak sampai terendus orang baru.

Dulu, aku tidak takut terhadap penilaian orang. Tetapi, sekarang entah mengapa aku jadi was-was. Mungkin karena jarak kampus dan rumahku yang cukup dekat dan bisa ditempuh perjalanan naik motor kurang dari 10 menit, pun di sekitar banyak kompleks kos-kosan mahasiswa. Kalau pas SMP dan SMA, butuh waktu setengah sampai satu jam hanya untuk sampai tujuan. Yang tahu aku orang seperti apa, hanya teman-teman dan anak sekolahan. Kalau sekarang, bisa saja terdengar sampai telinga orang tua dan tetangga. Selain itu, nama jurusan juga bisa diikutsertakan.

"Eh, tau, nggak? Itu, si Anu dari prodi B, ternyata begini lho!"

"Hah? Si Anu? Masa, sih? Kosan gue sebelah rumahnya. Kata Ibu Kos, anaknya diem-diem bae, kok! Anak baik!"

"Iya, dia diem aja di luar, mah! Nih, liat postingannya! Apaan banget, dih!"

"Haduh, parah! Ini orang tuanya tau, nggak, sih, anaknya kayak gini?"

Kira-kira begitulah skenario buatan kepalaku, murni hasil pemikiran sendiri, no plagiat! Omong-omong, aku tidak melakukan tindak kejahatan, asusila atau tindak kriminal dan hal merugikan lainnya. Aku hanya sedikit oversharing, mendamba lelaki Negeri Ginseng, sering dikata alay karena memang lebay dan cukup menggemari sesuatu yang melenceng dari hukum alam, serta gemar mengumpat. Aku tidak mau hal itu sampai diketahui orang tuaku, takut mereka kecewa dan merasa tidak becus mendidik anak.

Selain itu, aku juga takut dengan masa orientasi. Aku punya pengalaman buruk dengan kakak kelas, mungkin itulah alasannya.

Selama masa awal perkuliahan, kami satu angkatan sering dikumpulkan oleh kakak tingkat karena berbagai hal. Mulai dari yang bermanfaat seperti mengajarkan kami mengisi KRS sampai hal yang menguji mental, marah-marah dan mengomel, misalnya.

Angkatan tahun ini agak bandel, kata mereka. Satu yang berbuat, seangkatan yang kena. Setiap kali ada suruhan untuk berkumpul, semua pasti langsung buang napas dan menerka-nerka, "Ini kita ada salah apa lagi, ya?"

Aku benar-benar menjaga sikap dan tindakan demi mencegah kesalahan―apa pun itu―yang berpotensi membuat Angkatan 22 dipanggil ke aula lantai 2. Aku tidak mau mereka dimarahi hanya karena aku. Beruntungnya, kakak-kakak tidak memberi kami hukuman, hanya sebatas omelan dan marah-marah biasa. Tetapi, tetap saja nyaliku ciut. Kendati demikian, bisa dibilang aku adalah salah satu orang yang paling tenang dengan ekspresi muka yang datar dan sorot mata hampa.

Soal kubilang nyali ciut, itu bukan bualan. Aku benar-benar takut berada di bawah pengawasan kakak tingkat, terlebih ketika hendak diadakan kegiatan Student Day. Dari informasi yang didapat, kegiatan tersebut sejenis kegiatan OSPEK yang ditangani oleh prodi, dengan angkatan di atas kami sebagai panitia yang akan bersama kami selama kegiatan.

Meski dikata angkatan kami bebas dari perpeloncoan, tetap saja ada gusar di hati ini. Bebas perpeloncoan bukan berarti bisa bebas dari hukuman dan jiwa korsa. Aku tidak takut dihukum, yang kutakutkan adalah ketika teman-teman yang lain harus dihukum karena kesalahanku. Satu salah, semua kena. Aku takut membuat kesalahan.

Diberikan surat ijin mengikuti kegiatan dan wajib ditanda tangani orang tua atau wali. Aku berpikir panjang untuk ini. Kegiatan Student Day adalah sebuah keharusan, tetapi jika tidak mendapat ijin, berarti bukan masalah, kan, kalau tidak ikut? Iya, aku berpikir untuk tidak ikut. Terlebih, aku mempunyai fisik yang lemah, itu alibi kuat yang bisa kugunakan.

Nyatanya, orang tuaku sendiri malah mengomeliku dan menyuruhku tetap ikut. "Gak ada lagi tindakan aneh-aneh masa ospek! Kalo ada, bakal diviralkan di medsos. Kamu tenang aja, kalo ada apa-apa, biar bapak langsung menghadap kampus," kata bapakku waktu itu.

Dan pada akhirnya, surat ijin itu ditanda tangani.

Di hari pertama kegiatan, banyak mahasiswa baru yang tidak menaati peraturan yang ditetapkan. Aku pun kesal bukan kepalang. Aturan sudah jelas dan diingatkan berulang-ulang, kenapa masih tidak ditaati? Kala itu Sabtu pagi. Kami berbaris di lapangan depan gedung prodi. Kakak-kakak panitia sudah marah-marah, muka mereka merah padahal angin pukul setengah enam pagi masih lumayan dingin. Yah, memang angkatan ini banyak yang bandel. Aku sudah was-was akan dihukum, mengingat di sini diterapkan jiwa korsa.

Namun, aku menjatuhkan rahang begitu saja karena alih-alih menyuruh kami lari keliling lapangan atau melakukan squat (bending), ketua panitia malah menyuruh kami menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa sambil menari. Terlebih, semua panitia tampak terhibut melihat kami dan setelahnya tidak marah lagi. Mereka ramah sekali. Rasanya campur aduk, antara kaget, senang, lucu dan bersyukur juga. Sumpah, saking tersentuhnya aku sampai ingin memeluk salah satu kakak panitia yang kukenal.

Dan selama kegiatan tersebut berlangsung dari hari pertama sampai hari terakhir, tidak ada perpeloncoan, tidak ada hukuman yang melibatkan fisik dan tenaga, juga tidak ada nada tinggi atau bentakan. Semua berjalan menyenangkan, tidak menyesal aku mengikuti kegiatan ini.

Tak terasa, satu semester telah kulewati sebagai mahasiswa. Belakangan teringat kembali tentang ketakutanku di awal perkuliahan. Setelah dipikir, yang kutakutkan itu sama sekali tidak terjadi. Semua berjalan normal. Lika-liku akademik hal wajar, aku mendapat nilai 43 dan 50 dalam ujian tengah semester dan menangis berhari-hari, hahaha. Soal lingkar pertemanan, aku bersyukur bisa bertemu dengan teman-teman yang sekarang. Meski kami tidak sefrekuensi tetapi aku merasa cukup cocok dengan mereka.

Di sini aku sadar, bahwa rasa takut yang sempat mendera hanya bayang semu yang tercipta dari kegiatan berpikirku yang tidak berguna. Menjadi mahasiswa ternyata tidak semenakutkan itu.

Atau mungkin, belum? Entahlah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top