Sakit
"Kau tahu ke mana pindahnya klinik itu?"
Sebuah pesan terkirim—bunyinya begitu, kamu lisankan. Seketika centang dua tidak biru. Tak lama kemudian, ada balasan dari teman baikmu. "Entahlah. Aku jarang keluar rumah. Jadi, aku tidak tahu."
Dan satu balasan lagi. "Semoga saja masih seputaran Tenggarong, sih. Orang-orang yang bekerja di sana ramah sekali! Rasanya semua penyakit kalau dibawa berobat ke sana, seketika sembuh."
Kamu menghela napas. Jarimu kembali mengetik, "Baiklah, terima kasih jawabannya."
Kamu mematikan ponsel kemudian.
Kamu penasaran kenapa klinik langgananmu sampai kelas 6 SD itu mendadak pindah dan bangunan lamanya berganti jadi toko makanan kucing. Pindah ke mana, tidak ada informasi mengenai itu.
Beberapa hari lalu, saat kamu mulai terbiasa berkendara di kota, kamu mencoba jalan-jalan ke klinik tersebut sekaligus mengisi bensin. Ada tempat pengisian bensin di dekat klinik, langganan ayahmu. Kamu kaget bangunan biru dengan tulisan besar Klinik X itu berganti menjadi tulisan besar Toko Makanan Kucing Y. Setelah sampai di rumah, mencari-cari di internet, kamu tetap tidak menemukannya.
Tidak mengapa. Kamu hanya mencarinya karena teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang membuatmu tidak suka rawat inap lagi. Kelas 6 SD setelah kegiatan Pramuka Sabtu-Minggu (Persami). Lupa memakai krim pelindung dari gigitan nyamuk, kamu terkena demam berdarah padahal tiga bulan lagi ujian akhir sekolah dasar.
Kamu ingat betapa khawatirnya ayah dan ibumu. Kamu ingat ada infus di tanganmu, infus pertama dalam hidupmu. Kamu ingat perawat menyuruhmu mengepalkan tangan dan mulai menyuntikkan sesuatu pada tangan tersebut. Suntikan apapun itu, itu tidak mengurangi suhu badanmu. Kemudian pada jam 2 dini hari, kamu dibawa rawat inap di Klinik X setelah proses berbelit. Rawat inap untuk menetralisasi kritismu.
Tidak ada pasien lain selain dirimu saat itu. Kamu menempati ruang pertama, dekat tangga, di depan ruang-ruang lainnya. Kamu terbaring lemah dan melihat televisi, berkata pada ibumu. "Mak, serial koreanya. Lima hari lagi episode terakhir. Nyalakan televisinya, kumohon," pintamu, lirih.
"Kau ini!" Ibumu tentu tidak mau. "Kamu lagi sakit itu. Istirahatlah dulu—"
Bahkan sebelum ibumu menyelesaikan perkataannya, kamu sudah terlelap dengan tubuh masih panas. Ibumu menghela napas, ia mulai melebarkan selimut klinik dan membalut tubuhmu dengan itu.
Ayahmu adalah orang kedua yang tidur. Perjalanan dadakan membuatnya kelelahan.
Ibumu sibuk membereskan kamar. Katanya setelah kau bangun, ia tak dapat tidur. Ia sangat khawatir padamu. Kamu tak bisa mengatakan apa-apa untuk menenangkannya karena kamu pun kurang bisa tidur karena suhu badan.
***
Kamu baru habis menangis. Perawat-perawat itu tak henti-hentinya menyuntikmu dengan cairan yang tidak kaukenal. Entah itu cairan penurun panas atau untuk mencegah pecahnya pembuluh darah gara-gara suhu badan yang panas. Kamu tentu saja kesakitan karena disuntik terus-terusan. Apalagi salah satu perawat malah menusuk tanganmu dengan suntikan besar yang sangat kamu benci.
Habis menangis, ibumu menyuapimu dengan bubur. Sekeliling matanya menghitam, tidak tidur. "Tadi malam Mamak mendengar sesuatu di kamar sebelah," ujarnya. Tidak ada waktu untuk memasang ekspresi tertarik. Kamu menatap datar dengan wajah pucat, mulut mengunyah bubur yang pahit.
"Ranjangnya bergoyang-goyang. Mamak bahkan harus membangunkan Bapakmu agar menemani Mamak berjaga." Ibumu terpantau gemetar. "Coba saja Mamak tidak memikirkanmu, Mamak akan lari karena Mamak sangat takut."
Kamu saat itu bergumam mengejek dalam hati. "Mamak payah!" Kamu tidak percaya tidak hal begituan. Klinik, rumah sakit, dan sejenisnya memang tempat di mana banyak orang sakit yang beberapa secara tidak beruntung malah kehilangan nyawa. Terlalu banyak penghuni. Tapi, kamu tidak peduli.
"Aku mau tidur lagi. Makannya nanti saja." Kamu menolak sodoran bubur. "Aku mengantuk."
"Oh, baiklah." Ibumu menarik sendoknya. "Tidurlah kalau begitu, banyak-banyak istirahat. Hei, sebentar, minumlah dahulu."
Dokter mengatakan kalau kamu harus minum banyak air untuk meningkatkan trombosit darah. Apa itu trombosit darah, kenapa harus ditingkatkan dengan cara minum air? Apakah untuk meningkatkan cairan dalam tubuh agar suhu tubuh berangsur-angsur mendingin? Kamu tidak tahu, kamu hanya menuruti apa yang diperintahkan karena kamu ingin sembuh.
Kemudian kamu tidur, bangun, makan bubur, dan tidur lagi. Begitu seterusnya sampai malam tiba dan matamu kembali memberat. Kamu tanpa sadar tertidur lagi dan mulai bermimpi.
Kamu bermimpi tengah menggulung selimut di ruangan itu. Hanya menggulung biasa. Tiba-tiba, selimutnya menjadi panjang dan kamu anehnya makin menggulung. Makin lama gulungannya makin tebal, berat apabila diangkat. Gulungan selimut itu mendadak terbang dan menghantammu sampai terbaring. Kamu kesakitan, menggeliat sesak. Kemudian, kamu merasa dadamu ditekan. Kamu menggelepar. "Mak! Mak! Selimutku, Mak! Mak!" Kamu mulai berteriak.
Kamu terus menggelepar keberatan selimut sebelum kamu merasa di antara sadar dan tidak sadar. Sadarnya, ibumu memegangmu. Tidak sadarnya, kamu merasa masih bermimpi. "Mak, selimutku, Mak!" Kamu masih merasa keberatan, padahal tidak. Selimut itu sendiri sudah disingkirkan ibumu darimu.
Seketika itu perasaan mual datang. Kamu menutup mulut, berusaha tidak muntah sebelum datang ke toilet. "Mak, ke WC, Mak," suruhmu lirih.
Ibumu segera memegangimu. Kamu yang masih keberatan merasa lambat menggerakkan kaki untuk turun dari kasur. Kamu jadinya sedikit berteriak pada ibumu. "CEPATLAH, MAK!"
"Iya, iya!" Mamakmu menyahut panik.
Kamu berhasil turun dari kasur dan dibopong ke toilet kamar mandi. Di sanalah kamu akhirnya memuntahkan segala hal yang kamu makan hari itu.
Kamu menangis. Tenggorokanku seketika sakit seperti baru saja memuntahkan silet. Kamu jadi menyesal ikut Persami, kamu menyesal tidak memakai krim pelindung gigitan nyamuk ke badanmu. Setelah muntah, kamu kembali ke kasur dan diberi obat anti-mual dan maag. Kamu meminumnya perlahan, lalu berbaring dengan muka dipenuhi keringat dingin.
Kamu menutup mata sejenak, lalu membukanya. Sesosok hitam di depanmu mendadak muncul dan berdiri. Dia seperti perempuan. Bentuknya hanya seperti bayangan biasa, tapi dia bergerak. Kamu menatapnya cukup lama sebelum bilang pada ibumu, "Mak, aku mau tidur lagi." Karena kamu baru saja bebas dari keadaan sadar-tidak sadar-mu, kamu merasa bayangan di depan hanya sekedar ilusi. Kamu tidak mau langsung keceplosan kalau kamu melihatnya.
Baru saja memejamkan mata, kamu, Mamak, dan Bapakmu dikagetkan dengan suara ranjang yang bergerak-gerak di ruangan lain. Entah jam berapa saat itu, ayahmu segera mencari petugas klinik untuk dijadikan teman jaga. Ibu memegang erat tanganmu dan komat-kamit membaca doa.
Setelah petugas datang dan menyakinkan semuanya akan baik-baik saja, di situlah kamu kembali terlelap. Ranjang-ranjang itu masih berbunyi, tapi matamu sudah terlanjur berat. Kamu tidur, bermimpi yang aneh-aneh, tapi tidak lagi menemui sosok perempuan hitam tadi. Bahkan setelah kamu dialihkan ke rumah sakit umum, kamu tidak menemukannya lagi.
***
Kamu membuang napas. Gedung tempat klinik itu dulu beroperasi telah dijadikan toko makanan kucing. Apakah sosok itu masih ada di sana? Menjaga toko tersebut dan menyapa pembelinya seperti dia menyapamu?
Apapun itu, kamu berharap karyawan-karyawan toko tersebut baik-baik saja. Kamu tahu tidak hanya gedung bekas klinik yang berhantu, tapi bisa di gedung atau tempat lain, tapi mari spesifikkan pada gedung bekas klinik. Semoga karyawan-karyawan toko itu tidak melihat dan mendengar yang tidak-tidak.
"Apa kalian punya pengalaman yang menyeramkan selama di klinik atau rumah sakit?" Kamu kembali membuka ponsel. Ketikan sudah berubah jadi pesan. Centang abu-abu. Seseorang sedang mengetik, terdapat balasan, percakapan pun terjadi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top