Nasib
"Hani."
Aku menatap lekat bayangan yang terpantul di cermin setelah menyisir rambut. Wajah oval yang selalu tampak lesu dan kusam, bagian bawah mata yang sedikit hitam, satu jerawat kecil yang baru muncul kemarin di dahi, dan pipi bulat yang kulihat itu tak lain adalah bayanganku sendiri. Semakin dilihat membuatku merasa semakin membenci diri sendiri.
"Hani."
Masih sambil menatap bayangan di cermin, pikiranku jadi berantakan ketika memori-memori tak menyenangkan kembali datang tanpa diundang dan isi kepalaku semakin carut-marut.
"Hani! Dari tadi Ibu panggil tapi kamu nggak nyahut juga. Mikirin apa sih?"
Aku langsung menengok begitu suara Ibu membuatku kaget karena ketahuan bengong, tapi kututupi dengan cengiran khasku. "Enggak kok. Kenapa, Bu?" tanyaku langsung sebelum Ibu sempat lanjut menginterogasiku.
"Tolong beliin telur setengah kilo, gula seperapat, sama susu sachet putih dua dong. Ibu ada pesanan buat nanti sore," suruh Ibu.
"Oke. Uangnya?"
Ibu memberikan selembar uang berwarna biru padaku bersamaan dengan hembusan napas yang sudah sering kudengar-tanda kalau Ibu sedang pusing memutar otaknya.
"Kenapa, Bu?"
"Ibu pusing banget muter uang biar kalian tetap bisa makan. Ayah juga nggak jelas kapan dapat duitnya. Dua hari yang lalu bilangnya lusa, tapi mana? Belum ada juga tuh," keluhnya.
Jujur, aku ingin Ibu berhenti mengeluh di hadapanku karena hanya akan membuatku semakin bersalah dan merasa tak berguna sebagai seorang anak yang sudah gagal beberapa kali dalam seleksi masuk universitas. Keberadaanku di rumah yang kini tidak ada aktivitas apa pun terasa menjadi beban saja untuknya.
Sambil menggaruk belakang kepala yang tidak gatal, aku hanya bisa mendengar keluhan Ibu yang entah kapan akan berakhir. Rasanya sudah ribuan kali Ibu mengeluhkan hal yang sama selama setahun lamanya. Mungkin saja akan terus begitu kalau keadaan belum juga berubah.
"Mesti gimana lagi ya, Han?"
Aku nggak tahu, Bu, jadi tolong berhenti bertanya hal yang sama lagi! Jawaban itu sayangnya hanya bisa kuteriakkan di dalam kepala.
Pikiranku mengawang begitu aku keluar untuk membeli barang pesanan Ibu. Aku tidak melamun, hanya saja semua kejadian tak mengenakan yang kualami di masa lalu kian menyerbu tanpa henti, sehingga sebagian besar memori yang susah payah ingin kulupakan kini membuat perasaanku semakin sesak.
Kegagalanku dalam seleksi masuk universitas, keadaan ekonomi keluarga yang masih kekurangan sehingga membuat hubungan ayah dan ibuku merenggang, dan tidak ada seorang pun yang kukenal di kota ini membuatku semakin tak berdaya serta dibuat gila oleh semua cobaan yang datang terus-menerus.
Kapan semua ini berakhir? Dari mana semuanya bermula? Apa salahku sehingga semua ini terjadi? Apakah Tuhan belum percaya padaku untuk mengemban amanah yang kuinginkan, atau justru Dia ingin aku membayar lunas dosa-dosa yang sudah kuperbuat terlebih dulu?
Tidak tahu. Aku sungguh tak tahu dan bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba aku teringat satu kenangan buruk di antara semua yang mengeroyok kepalaku tadi, kenangan yang sangat tidak menyenangkan. Kenangan itu saat aku masih duduk di bangku kelas dua belas.
Aku mulai hidup sendiri sejak beberapa bulan sebelum kenaikan kelas. Oleh sebab jarak dari rumahku ke sekolah bisa dibilang jauh dan mengantisipasi hal yang tak diinginkan terjadi, orang tuaku memutuskan aku untuk hidup menjadi anak kos. Ini juga termasuk keinginanku yang tidak ingin pindah sekolah. Tanggung.
Kupikir semua berjalan lancar saja ketika aku menghabiskan sisa waktu di kelas sebelas. Namun, ternyata aku salah.
Ketika aku sudah naik ke kelas dua belas, di situlah beberapa masalah muncul sehingga membuatku merasa kehilangan arah dan kebingungan.
Keadaan ekonomi keluargaku belum juga membaik. Ada satu masa ketika semua temanku sudah mulai mempersiapkan diri untuk seleksi masuk universitas, aku sendiri masih bingung bagaimana caraku agar bisa seperti mereka yang punya fasilitas untuk belajar: mengikuti les-baik offline maupun online-sampai memiliki buku-buku latihan soal.
Aku juga terlambat menyadari saat terpikirkan untuk meminjam buku milik kakak kelas. Semua kakak kelas yang kukenal sudah meminjamkan bukunya kepada temanku yang sudah dari lama ingin pinjam.
"Kamu nggak belajar, Han?" Salah satu teman satu circle-ku, Vivi, bertanya saat aku menaruh kepalaku di atas meja seperti orang yang ingin tidur di kelas. "Aja turu bae, SBM tinggal enam bulan lagi lho," sambungnya.
Vivi adalah teman paling dekat di antara semua teman di circle-ku, jadi aku langsung berterus terang padanya. "Nggak ada buku, Vi. Aku harus belajar dari mana? Langganan les online juga nggak bisa."
Dia paham dengan keluhanku karena dia tahu keadaanku, kemudian dia tampak berpikir. "Kayaknya aku ada buku latsol saintek bekas kakakku deh, tapi tahun 2018. Kalau kamu mau, aku bawa besok," tawarnya.
Kepalaku langsung terangkat dari meja. "Mau, Vi!"
"Oke, ingetin aku biar nggak lupa ya."
Seketika itu aku berpikir ada secercah harapan untukku bisa seperti mereka. Vivi pun membawa buku latihan soal bekas kakaknya seperti yang dia janjikan.
Pada awalnya aku bersemangat untuk mulai belajar. Namun, setelah beberapa hari mencoba belajar sendiri-semua sumber belajarku hanya dari buku itu-aku mulai kesulitan saat mempelajari materi yang tidak kupahami hanya dari membaca saja. Ditambah sistem soal SBMPTN yang akan kuhadapi berbeda jauh dari buku yang Vivi beri, membuatku sedikit kelimpungan.
Dari situ aku mulai takut dengan masa depanku. Bagaimana jika aku benar-benar gagal?
Hingga puncaknya ketika di akhir semester satu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, ada satu kenangan buruk yang mungkin itu adalah hari tersialku.
Suatu pagi, ponselku berdering setelah aku menunaikan salat subuh. Telepon dari ayahku.
"Kenapa, Yah?" tanyaku begitu teleponnya tersambung.
"Hani, kamu masih ada sisa uang?" Beliau menjawab dengan pertanyaan.
Jantungku terasa berhenti berdetak sepersekian detik saat mendengarnya. Aku bisa menebak apa yang akan Ayah sampaikan selanjutnya.
"Maafin Ayah ya, Nak. Ayah belum ada uang buat ditransfer ke kamu. Ayah usahakan nanti malam atau besok. Kamu masih ada uang untuk makan, 'kan?"
Sudah kuduga karena saking hafalnya dan lagi-lagi aku harus terpaksa berbohong sambil menahan air mata karena Ayah meminta maaf padaku. Namun, suaraku sedikit bergetar karena menahan diri untuk tidak menangis. "Masih ada kok, Yah. Tenang aja, nggak usah minta maaf."
"Alhamdulillah kalau begitu, yang penting kamu jangan sampai lupa makan. Jaga kesehatan, jangan sampai sakit." Kini suara Ibu yang terdengar. "Ibu sedih kalau tahu kamu sakit, sendirian di sana, nggak ada yang jagain," imbuhnya.
Tolong, aku ingin obrolan ini cepat berakhir karena sudah tidak kuat lagi menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk.
Telepon pun berakhir setelah orang tuaku bertanya tentang kegiatan sekolahku. Saat itu juga aku langsung mengelap semua air mata yang sempat jatuh ke mukenaku.
Ya, aku memang masih ada sisa uang, tetapi untuk biaya pos mengirim dokumen persyaratan beasiswa dan bensin sepeda motorku. Walaupun aku ragu akan kesiapan diriku menghadapi SBMPTN yang tinggal empat bulan lagi, aku tetap mencari alternatif lain dengan mendaftar beasiswa yang sudah lama kuincar. Terpaksa hari ini aku tidak makan.
Aku berniat untuk mengirimkannya nanti begitu mendapat izin dispensasi dari guru di jam pelajaran sebelum zuhur. Namun, semuanya tidak berjalan lancar karena guru yang mengajar di waktu itu adalah guru fisika.
"Nanti saja! Jam Ibu saja belum mulai, kamu malah sudah minta dispen," tolak beliau saat aku meminta izin untuk memberi tanda tangan di surat dispensasiku.
Emosiku yang sudah tidak stabil sejak pagi, ditambah kaget dengan intonasi bicara beliau yang marah-beliau juga menyinggung kejadian tadi di depan semua teman sekelasku saat jam pelajarannya dimulai-membuat dadaku terasa semakin sesak dan merasa sangat malu dengan teman-temanku.
Akhirnya, guruku menandatangani surat dispensasiku saat jam istirahat kedua tiba sambil menceramahiku. Aku sudah tidak peduli lagi dengan itu dan semua yang ada di sekolah. Aku hanya ingin keluar dari sana, segera ke kantor pos, dan secepatnya kembali-atau lebih tepatnya kabur-ke kos.
Akan tetapi, cobaan yang datang hari ini belum berakhir juga.
Setelah aku berhasil mengirimkan dokumenku ke kantor pos, aku langsung pergi ke masjid yang biasa kukunjungi bersama keluargaku dulu. Yang paling kucari sekarang adalah udara sejuk, jadi begitu selesai salat, aku berdiam diri dulu sejenak sambil menikmati sejuknya udara AC di dalam masjid. Tanpa bisa kukendalikan, air mataku mengalir dengan sendirinya bersamaan dengan perasaan sesak yang begitu menyakitkan tadi perlahan hilang.
Ya Allah, aku takut. Apa yang harus kulakukan?
Tanpa memedulikan sekitar, kali ini aku membiarkan diriku menangis sepuasnya.
Sayangnya, walaupun aku sudah berkorban jiwa dan waktu, aku gagal ke tahap selanjutnya di seleksi beasiswa itu. Tangisku kembali pecah saat Ibu menelepon dan berkata, "Nggak pa-pa, jangan sedih ya? Kamu udah berusaha kok."
Pilihan terakhirku kini adalah SBMPTN. Sebenarnya, aku merasa enggan untuk meminta pada orang tuaku agar menyediakan uang untuk mendaftar itu. Namun, Ayah bilang, "Sudah, kamu fokus belajar. Urusan uang biar Ayah usahakan."
Rasa bersalah semakin menghantuiku, tetapi di saat yang bersamaan aku juga senang karena bisa berkesempatan untuk ikut ujian seleksi masuk universitas nasional itu. Harapanku bisa lolos dan menjadi mahasiswi. Namun, sepertinya Tuhan masih ingin mengujiku dengan satu cobaan lagi.
Aku kembali gagal. Entah karena aku memasang target yang begitu tinggi atau aku kurang belajar, aku tidak tahu. Sedangkan teman-temanku, terutama teman satu circle-ku, semua lolos. Rasa iri dan tidak percaya diri semakin tumbuh dalam hatiku ketika mereka menceritakan tentang kehidupan kuliah mereka hingga menjadikanku sebagai pribadi yang mudah berputus asa dan merasa semakin kesepian. Kucoba lagi tahun depannya alias belum lama ini, aku sudah gagal di awal karena keterbatasan biaya serta ketidaksesuaian persyaratan.
Memori-memori itu sejenak hilang ketika pemilik warung selesai membungkus semua belanjaanku. Kini aku kembali ke rumah sambil masih memikirkan nasibku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top