KKN

Sore itu sebagian dari kami menghabiskan waktu bersama, berkutat di dapur. Aku tengah mengadu sutil dengan wajan, memasak lauk untuk menu makan kami malam ini. Sementara, Vera dan Devi mengosek kamar mandi sembari bersenda gurau. Sesekali Echa seliweran masuk ke dapur, membantuku menyiapkan makan malam. Suara canda tawa Vera dan Devi semakin menghidupkan suasana dapur kala itu, hingga... tiba-tiba saja listrik rumah semuanya mati.

Hening.

Kami yang hanya bertiga di dapur itu saling diam, menunggu ada teman lain menyalakan kembali saklar MCB rumah. Karena tak kunjung lampu menyala kembali, kumatikan kompor sementara, dengan perasaan sedikit takut, kuberanikan diriku melangkah keluar menju teras. Rupanya teman-teman yang berada di rumah petang ini kebingungan mencari saklar dimana, akhirnya akulah yang menaikkan kembali saklarnya.

“Ra, kamu tadi ketawa, ya?” Begitu lampu-lampu rumah kembali menyala, dengan aku yang sudah kembali ke dapur melanjutkan kegiatanku, Vera tiba-tiba menyeletuk dari arah kamar mandi. Aku mengernyitkan dahi dengan pertanyaan yang baru saja Vera lontarkan.

“Hah? Kapan aku ketawa? Aku baru saja balik ke dapur lagi. Tadi aku ke depan buat nyalakan listrik rumah yang jeglek, lho!” jawabku. Kutatap Vera dan Devi yang juga tengah saling tatap. Bulu kudukku rasanya meremang kala itu. Entah mengapa suasana terasa dingin untuk beberapa saat. “Kenapa, ih? Kalian habis dengan suara darimana?” Aku penasaran.

“Nggak, nggak apa-apa, kok,” timpal Devi.

“Iya! Kita nggak dengar suara apa-apa, kok, Ra,” sambung Vera.

“Yang bener, deh! Terus ngapain nanya aku tadi?” Aku berdecak kesal.

“Nggak, kita salah dengar kayaknya,” sahut Vera. Dahiku masih berkerut heran. Kenapa gerangan mereka bertanya begitu?

***

Beberapa hari setelah kejadian listrik jeglek itu, kelompok KKN kami masih terus melanjutkan kegiatan seperti biasanya. Kita melakukan bakti kepada sebuah desa yang ditunjuk oleh kampus. Masa bakti itu hanya berkisar satu bulan. Lokasi desa juga tidak terlalu terpencil, hanya sekitar satu setengah jam dari ibu kota provinsi. keadaan desa ini juga sudah terbilang maju, selain karena letaknya yang cukup dekat dengan pusat kabupaten, juga karena jangkauan sinyal internet sudah stabil, pun mini market terkenal sudah masuk ke dalam desa.

Tidak banyak yang kami lakukan di sini, hanya membantu sebisa kami, mengadakan kelas kecantikan untuk ibu-ibu desa, seminar parenting, mengajar di sekolah, membuat perpustakaan mini, ikut kegiatan posyandu, penyuluhan ini dan itu, pengajian ibu-ibu PKK, dan sebelum akhir KKN, kami mengadakan kegiatan jalan sehat dengan door prize yang tidak telalu mewah. Selain karena ide itu dadakan, juga karena anggaran kelompok sudah minim. Kita hanya berlima belas dan iuran hanya sekitar setengah juta, itupun sudah terpakai untuk kaos kelompok, makan harian, dan kegiatan-kegiatan lain.

“Zara, kamu sudah selesai buat laporan kegiatan untuk hari ini?” Fahri bertanya kepadaku, kala kami semua tengah berkumpul santai di ruang tengah usai kegiatan jalan sehat. Aku yang merupakan sekretaris kelompok dan kebetulan tidak ikut andil secara langsung dalam kegiatan jalan sehat. Tepatnya, hampir semya kegiatan KKN tidak banyak kontribusi kehadiran dariku, dikarenakan keadaan fisikku yang tidak terlalu kuat, terlebih setelah kejadian aku yang tiba-tiba lemas saat kami semua tengah berlibur ke pemandian air hangat di dekat kaki gunung.

“Oh, sudah semua, tinggal foto-fotonya saja,” timpalku, diikuti Nurin yang menyerahkan kamera DSLR.

“Foto-fotonya di situ semua, ya, Ra,” ucapnya. Kusambut kamera itu dan kemudian langsung berkutat dengan kegiatan yang selalu kulakukan setiap hari selama KKN. Yup, mengisi laporan.

Guys! Besok banget kita udah harus balik, kan? Siap-siap dari sekarang aja, yuk? Biar besok tinggal beresin dikit, kita juga belum fix untuk kepulangan nanti gimana prosedurnya, kan?” Vera menginterupsi kita semua, yang kala itu tengah sibuk dengan urusan masing-masing.

“Oh, bener juga! Boleh, tuh!” Lita merespon.

“Kalau gitu yang cowok-cowok balik ke poli desa dulu buat beres-beresin barang kalian di sana, ya. Nanti malam biar tidur di sini semua aja, gimana? Biar bisa bantu yang berat-berat di sini, soalnya hampir semua barang di sini, kan?” Rinda mengajukan usulan, diikuti kami semua yang ikut berpikir, meencerna usulan Rinda barusan. Memang, sih, untuk tempat tinggal laki-laki dan perempuan sengaja dipisah. Laki-laki semua tidur di poli desa, sedang perempuannya tidur di salah satu rumah milik Pak RW.

“Aku rasa nggak ada salahnya, sih. Nanti kalian tidur di ruang tamu aja, kita semua, kan, di kamar.” Vera memberi respon positif dan berujung tanpa perdebatan lama, akhirnya diputuskan malam itu kami semua tidur di rumah Pak RW.

***

Pagi harinya, kita semua mulai membereskan semuanya. Seperti kompor yang langsung dirapikan dan dimasukkan ke dalam mobil usai memasak untuk sarapan, atau galon-galon air yang segera dikosongkan isinya, tabung gas, dan semua barang-barang lain disusun bertahap. Hingga akhirnya...

“Hey! Ada yang lihat ponselku?” Rinda tiba-tiba membuyarkan suasana tenang ini.

“Hah? Smartphone, Rin?” timpal Erika.

“Bukan, sih, yang ponsel biasa. Ponsel jadul.”

“Ikhlasin aja, Rin.” Ridwan menyeletuk.

“Nggak masalah ponselnya, tapi SIM card-nya!”

“Loh, kan nomornya di smartphone?” Ulva merespon, nampak heran.

“Nggak, nomorku di ponsel itu, kalau yang ini untuk paketan aja.”

“Sial. Yaudah, kita cari!” Vera akhirnya mengajak kita semua mencari ponsel Rinda.

Seisi rumah sudah kita telusuri, dari lantai satu hingga lantai dua. Dari halaman hingga ke dalam bak mandi. Terasa mustahil rasanya mencari hingga ke titik-titik itu, tapi nyatanya tidak ada sama sekali. Tiba-tiba saja terbesit di pikiranku sebuah tempat yang nampaknya jauh lebih mustahil lagi.

“Lantai tiga!” ucapku lantang di tengah teman-teman yang masih sibuk mencari ponsel Rinda. Semuanya terdiam, menatapku semakin heran.

“Ada-ada aja, Ra! Nggak mungkin di sana. Itu lantai belum selesai dibangun, loh? Siapa yang bakalan ke sana? Nggak mungkin ponsel Rinda di sana!” Hendri menyahutiku.

“Nggak. Aku tahu ini mustahil, tapi nggak ada salahnya dicoba, kan?” Akhirnya diputuskan aku dan Rinda yang naik ke lantai tiga bersama. Hawa antara lantai dua dan tiga sebenarnya sudah terasa mulai tidak nyaman. Sempat ragu-ragu begitu kita berdua mulai memijak tangga menuju lantai tiga. Aku dan Rinda saling pandang, sedikit ketakutan. “Aku duluan yang naik, Rin. Nggak apa,” ucapku tenang, walau jantungku rasanya hampir copot. Padahal sekarang masih siang bolong, tapi perasaannya seperti petang menjelang maghrib. Benar-benar membuat dada sesak dan tidak nyaman.

Begitu tiba di lantai tiga, kita hanya dihadapkan oleh bangunan yang belum selesai dibangun, masih berselimut semen dengan lantai tanah dan batu. Ada setumpuk tanah dan batu di tengah-tengah. Aku dan Rinda mencari perlahan sembari berusaha menelpon nomor yang berada diponsel itu, namun hasilnya nihil, hanya dialihkan ke pesan suara. Entah baterai ponsel habis atau...?

“Rin, masa ponselnya tertimbun di bawah tumpukkan batu dan tanah ini, ya?” gurauku, setengah serius, memaksakan tawa kecil agar suasana tidak terasa terlalu mencekam.

“Kamu ini ada-ada saja, Ra!” Rinda menjawab dengan mata yang masih mengedar ke sekeliling. “Kayaknya nggak ada, Ra. Udah, kita turun aja, yuk?” ajak Rinda. Akhirnya kita berdua menyerah dan berjalan menuju tangga dengan Rinda yang lebih dulu turun.

“Rin!” panggilku. Aku masih berdiri di belakang tangga pertama. Rinda menoleh, menatapku heran, karena tidak ikut turun bersamanya. “Sini! Naik lagi!”

“Ngapain?”

“Coba lihat! Ada SIM card di sini.”

Rinda bergegas kembali ke atas. Telunjukku menuding ke arah bawah tepat di depan sandalku, ada kartu ponsel dengan warna merah. “Nggak mungkin punyaku, Ra.” Rinda berucap, seakan tahu apa maksudku.

“Nggak ada salahnya, kan?”

Akhrnya kami kembali turun membawa kartu kecil itu. Dengan singkat kami jelaskan kepada teman-teman yang lain, lalu kami coba masukkan kartu itu ke dalam ponsel, dengan aku yang standby untuk menelepon nomor Rinda. Semua dalam keadaan cemas dan takut, berada di antara dua pilihan dan jika salah satu pilihan yang mereka semua ragu itu benar, tetapi ternyata sungguhan terjadi, agaknya rasa takut dan tidak nyaman di antara kita semua semakin meluap.

Tring ring ring... tring ring ring ring...

Semua mata membelalak. Terpatri jelas nama kontakku di layar ponsel itu, menandakan kartu itu benar-benarmilik Rinda. Tapi... dimana ponselnya? Kenapa hanya kartunya? Kenapa bisa di lantai tiga yang mana kami semua tidak ada yang ke sana?

Semua mata saling tatap. Kejadian mengejutkan itu berujung pada forum melingkar. Kita semua yang tadinya sibuk beberes, memilih melingkar dan mulai buka suara untuk semua kejadian yang terjadi selama KKN ini. Dimulai dari Vera dan Devi yang mendengar suara tawa saat membersihkan kamar mandi, yang mulanya mereka kira adalah diriku yang tertawa, tetapi ternyata memang makhluk ghaib yang tidak senang dengan kegiatan yang Vera dan Devi lakukan –membersihkan kamar mandi di waktu maghrib. Atau Nurin yang bilang kalau dia sempat melihat bayangan hitam besar sekilas turun dari lantai dua menuju lantai satu. Hingga kejadian-kejadian lain yang akhirnya terkuak semua.

“Sebenarnya, aku tahu, memang ada beberapa makhluk di sini. Terutama yang Nurin ceritakan. Aku sempat lihat sosoknya, itu memang berada di lantai tiga. Aslinya dia hanya di antara lantai dua dan tiga, makanya hawa di sana kurang nyaman, kan? Tapi, ya... dia pernah turun sampai lantai satu, tapi hanya sebatas di tangga. Setidaknya... syukurlah kita semua tidak apa-apa sampai hari terakhir ini.  Setidaknya sosok itu tidak mau mengganggu, hanya ingin memberitahu kalau dia juga tinggal di sini.” Sesi itu berakhir oleh ucapan Vera yang ternyata sedari awal kita menjajakan kaki di rumah ini, ia sudah menyadari suatu hal aneh, dan sengaja ia sembunyikan, karena katanya tidak baik menceritakan hal seperti itu secara langsung.

Kata: 1487

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top