Dia yang Tak Bisa Kulupakan
Sudah menjadi kebiasaan bagi Ana untuk tidur di atas jam 12 malam. Hobinya menonton film di televisi sekaligus bermain game Facebook di sela-sela iklan, tidak menyurutkan rasa takutnya pada gangguan malam hari. Ketimbang suara misterius seperti tangisan atau ketukan pagar di luar rumahnya, gadis itu lebih takut pada ketinggalan bonus game dan akhir sebuah film. Lagi pula ia tidak sendirian, biasanya ada sang ayah yang turut menemani.
Suatu malam kala ayahnya sedang mendapat shift malam di kantor, Ana kembali menonton televisi sendirian. Ibu dan adiknya yang masih kecil sudah tertidur sejak pukul 9 malam. Mata cokelat tua gadis itu melirik jam dinding yang terpasang tepat di atas pintu menuju dapur. Jarum panjang jam mengarah ke angka 6, sedangkan jarum pendeknya ke angka 12. Bagi Ana ini belum waktunya tidur, padahal besok pagi ia harus berangkat ke sekolah.
Di tengah sela-sela iklan yang mana tidak ada korelasinya dengan produknya, Ana mendengar suara aneh seperti seseorang tengah menyapu jalanan menggunakan sapu lidi. Ia ingat betul kejadian ini sering terjadi, padahal komplek perumahannya dibilang cukup aman. Mungkin untuk kasus mistis tidak.
Awalnya, Ana mengabaikan suara tersebut. Akan tetapi, makin lama suaranya makin terdengar keras. Alih-alih ketakutan dan bersembunyi di balik selimut seperti kebanyakan anak-anak seusianya, Ana justru masuk ke kamarnya. Lantas, ia menyibak tirai jendela dan memperhatikan luar rumahnya.
Sepi. Tidak ada siapa pun di luar sana kecuali seekor kelelawar yang terbang melintas. Dirasa suaranya sudah hilang, Ana kembali ke ruang televisi untuk melanjutkan menonton film.
***
Tak terasa film sudah berakhir, pertanda bahwa Ana harus tidur. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Cepat-cepat gadis itu mematikan televisi, mematikan lampu, dan masuk kamar. Ia bahkan sudah bersiap dengan selimutnya ketika lampu kamar dimatikan. Namun, dirinya tidak bisa tidur.
Bukan tanpa sebab ia tak bisa tidur, melainkan suara dua kucing di depan kamarnya tengah berdebat hebat. Ana sampai-sampai harus membuka jendelanya dan memarahi kucing-kucing tersebut. Untung saja, dua kucing jantan itu langsung kabur begitu Ana mengancam akan melempari mereka dengan kaleng.
Setelah masalah kucing selesai, gadis itu kembali menutup jendela dan naik ke ranjang hangatnya. Selimut merah sudah ia tarik sampai menutupi lehernya, dua guling mengapit dirinya, dan satu boneka domba berada di samping kepalanya. Tatkala Ana hendak menutup mata selepas memanjatkan doa sebelum tidur, ia merasakan sesuatu yang ganjil.
Satu-satunya cahaya yang di dapat kamarnya hanyalah berasal dari lampu depan rumah, tetapi mata Ana bisa melihat ada sesuatu di langit-langit kamar. Sesuatu itu awalnya ada di ujung, lalu bergerak perlahan dan kini berada tepat sejajar dengan kepalanya.
Karena penasaran, Ana lekas bangkit dan menyalakan lampu kamar. Ia sangat berharap dugaannya salah, dan ia bisa kembali tidur. Namun, kenyataan sungguh pahit. Sesuatu itu masih di sana, membuat Ana membeku selama beberapa menit. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang, bulu kuduknya berdiri, dan yang paling parah ia sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Ana ingin berteriak, tetapi tidak bisa. Suaranya tertahan di tenggorokan.
Hal pertama yang ia pikirkan setelah beberapa menit mematung adalah mengamankan bantal, dua gulingnya, boneka domba, serta selimut ke ruang televisi. Kemudian, Ana mengintip kamarnya untuk memastikan sesuatu itu masih ada di tempat yang sama. Seakan tahu bahwa seorang manusia tengah mengintipnya, sesuatu itu bergerak perlahan ke arah pintu. Sontak saja Ana panik dan hendak membuka pintu kamar orang tuanya, tetapi menahan diri karena tidak mau membangunkan sang ibu.
Tiba-tiba Ana teringat sesuatu. Ucapan ibunya jikalau keadaan seperti ini terjadi padanya. "Jangan panik, lawan rasa takutmu. Gunakan sapu terus pukul yang keras."
Dengan keberanian yang dikumpulkan selama beberapa menit, Ana mulai pergi ke dapur dan mengambil sapu. Ia yakin bahwa dirinya bisa mengusir sesuatu itu dari kamarnya. Lagi pula makhluk itu lebih kecil dari tubuhnya, bahkan lebih kecil dari ukuran kucingnya.
"Ah, coba aja kalau Tomtom ada di sini. Pasti dia bisa bantu," ucap Ana sembari mengeratkan pegangannya pada gagang sapu.
Langkah kakinya yang pelan berhasil membawa Ana ke dalam kamarnya. Sesuai dugaan, sesuatu itu masih terlihat oleh matanya, hanya saja posisinya berubah. Karena lebih dekat dengan pintu, gadis itu yakin jika dipukul dan dilempar maka sesuatu itu akan terlempar ke ruang televisi. Ana bersiap dengan posisinya, lalu memukul sesuatu itu. Sayangnya meleset.
Sesuatu yang kecil itu bergerak melarikan diri hendak ke pinggiran ranjang yang menempel dengan dinding, tetapi Ana mencegahnya dengan menarik ranjang hingga menjauh. Gadis itu terus memukul sesuatu yang mengerikan di matanya, bahkan melupakan kalau jantungnya terus berdetak kencang disertai napas memburu.
Ketika sesuatu itu berada di lantai, Ana dengan kekuatan yang tersisa memukulnya keras. Ia sangat bangga karena berhasil melawan. Akan tetapi, tatkala sapu di angkat untuk memastikan sesuatu itu melemah, rupanya Ana memukul lantai kosong. Sesuatu yang ditakutinya menghilang entah ke mana.
Panik melanda, dan Ana buru-buru membawa sapunya ke luar kamar. Ia bahkan memilih duduk di sofa panjang sembari memeluk gulingnya. Matanya terus menatap ke arah pintu kamar yang kini terbuka lebar, sedangkan pikirannya kacau.
Dia pergi ke mana? Kok hilang? Perasaan tadi udah aku pukul, pikir Ana.
Butuh waktu lima menit agar Ana mau kembali ke kamar untuk memastikan. Setelah ia menatap gulingnya seolah meminta disemangati, Ana berjalan mengendap-endap. Kepalanya melongo dengan ekspresi waspada. Keadaan kamarnya yang kini mirip kapal pecah berhasil membuat gadis itu mengernyit. Bukan karena tak suka melihat kamar berantakan, tetapi keberadaan sesuatu yang mengerikan baginya. Makhluk kecil bersayap, punya empat kaki, antena, dan kadang disalahpahami sebagai kurma saat bulan puasa. Musuhnya Ana.
Tangan kanan gadis itu sudah siap memegangi sapu, bersiap jikalau berhasil menemukan makhluk bernama kecoa. Namun, tidak ada apa pun di sana. Sudah Ana pukul-pukul semua benda di kamarnya menggunakan sapu, dan memeriksa sela-sela. Sayangnya, makhluk itu tidak ada.
Saat Ana memutuskan untuk membalikkan badan dan kembali ke ruang televisi, mimpi buruknya terjadi. Entah datang dari mana, kecoa itu melesat terbang cepat ke arah mukanya. Spontan, Ana berteriak. Sapunya dilepaskan dan kedua tangannya menepuk-nepuk bagian wajah hingga kepala supaya kecoa itu terjatuh.
Namun, kecoa tersebut tidak ada di rambutnya, melainkan di dinding dekat ranjang. Sayapnya bergetar soal tengah ancang-ancang untuk bersiap terbang lagi. Sementara itu, Ana yang gemetaran tetap memaksakan diri mengambil sapu dan hendak memukul. Sayang seribu sayang, gadis itu terlambat. Kecoanya terlanjur terbang ke arahnya sampai Ana terjengkang, kemudian melarikan diri entah ke mana.
Ana menyerah. Air matanya sudah membasahi pipi, jantungnya berdetak tak karuan, keringat dingin, dan kakinya seperti jeli. Akan tetapi, gadis itu memaksakan diri untuk berlari ke ruang televisi sembari menutup pintu kamarnya. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri di sofa panjang dan menarik selimut.
Seharusnya, aku bangunkan mama.
***
Setelah kejadian itu, Ana demam. Dia bahkan tidak masuk sekolah dan sang ayah yang baru pulang harus pergi lagi untuk mengantar surat izin ke sekolahnya Ana. Gadis itu menceritakan kejadian semalam pada orang tuanya. Akan tetapi alih-alih dihibur dan dibantu menangkap kecoa yang masih hilang, ia malah mendapat ejekan. Tentu saja Ana makin sakit setelahnya.
A/N
Saya nulis ini asli gemeteran, karena ini pengalaman paling menakutkan bagi saya. Ketimbang kejadian horor yang melibatkan makhluk halus alias hantu, kejadian ini paling tidak terlupakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top